Rabu, 25 Januari 2012

Ajak Aku Melihat Kunag-Kunang karya Mustafa Ismail


Suara Pembaruan
Minggu, 10 Februari 2008

Ajak Aku Melihat Kunang-Kunang
Cerpen: Mustafa Ismail

Lelaki itu membuka komputer, lalu mengaktifkan Yahoo! Messenger. Ia meneliti satu persatu nama-nama di sana. Beberapa temannya sedang online. Tapi lebih banyak tidak. Sudah sore, pikirnya, teman-teman yang biasa mengaktifkan YM di kantor, sudah mulai pulang. Rus ingin menyapa beberapa teman yang tinggalnya terpisah-pisah di berbagai kota dan luar negeri.

Tak hanya nama-nama, ia juga memperhatikan kata-kata yang diletakkan di depan nama-nama itu, yang seringkali menjadi cermin apa yang sedang dirasakan atau dilakukan teman-temannya. “Sedang keluar”, “Bos yang manis”, “Menunggu musim duren”, “Bete deh…”, “Kamu ketahuan….” dan sebagainya. Ia memperhatikan satu persatu, sambil senyum-senyum melihat “catatan status online” itu.

Matanya kemudian tertumbuk pada nama lain: Mawar. Ia menulis “status onlinenya” dengan sangat puitis: “Ajak aku melihat kunang-kunang.” Ah, ia langsung tersugesti untuk menyapa Mawar. Sudah lama ia tidak bertemu perempuan hitam manis dengan rambut sebahu dan lesung pipit itu.

Dulu, Rus itu satu kantor dengan Mawar. Mereka sangat dekat. Tapi pelan-pelan kedekatan itu berjarak. Seseorang kemudian sering menjemput Mawar. Ia tidak mengenal lelaki itu. Mawar selalu mengelak menceritakan tentang dia. Ia hanya berkata: “Itu sepupuku. Kantornya dekat sini, makanya sambil pulang ia mampir menjemputku.”

Rus pun tidak bertanya lebih jauh. Tapi suatu kali, Mawar mengajak Rus bertemu di sebuah kafe. Meski satu kantor, mereka pergi sendiri-sendiri ke kafe yang biasa mereka kunjungi itu. Itu dilakukan agar teman-teman kantor tidak tahu mereka dekat.

Rus tidak ingin terlihat sebagai lelaki yang mengingkari keluarga. Mawar pun tidak ingin tampak sebagai gadis yang dekat dengan suami orang. Jadi di kantor, tak seorang pun yang tahu hubungan khusus mereka. Ketika di kantor, mereka berlaku sebagaimana layaknya rekan-rekan kerja lainnya. Rus kepala bagian personalia, dan Mawar adalah staf di bagian keuangan.

Pengakuan di kafe itu sungguh mengejutkan. “Aku mau menikah, Mas,” katanya.

Rus terdiam sesaat. Matanya memandang Mawar tanpa berkedip. Mawar tersenyum. Tapi bukan senyum yang biasa dilihat Rus. Senyum ini agak getir. Ia seperti merasa menyesal telah mengatakan sesuatu kepada Rus. “Maafkan aku, Mas. Aku tahu, Mas sangat mencintai keluarga Mas.”

“Ya. Sebetulnya akulah yang salah karena telah mengagumimu dan mengharapkanku terus dekat denganku.” Suara Rus sangat pelan. Mawar menatap lelaki di depannya itu dengan mata tak berkedip. Mereka saling tatap. Tapi pelan-pelan Mawar menunduk, dan beberapa tetes bening mengalir di pipinya.

“Maafkan aku Mas. Aku juga mengagumi dan mengharapkan Mas selalu dekat denganku, tapi…..”

“Ya, aku paham.” Rus berusaha tenang. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Siapakah lelaki itu?”

“Mas pasti sudah tahu.”

“Lelaki yang sering menjemputmu?”

“Dia bukan lelaki yang cocok denganku. Kami terpaksa berpisah beberapa bulan lalu.”

“Lalu siapa?”

“Safar.”

“Safar Yoga?”

Rus segera terbayang seorang lelaki tinggi kurus hitam manis yang dulu mejanya di kantor persis di sebelah Rus, ketika awal-awal bekerja di kantor itu. Tapi setahun bekerja, Safar pindah ke perusahaan lain. Kudengar, terakhir ia menjadi kepala bagian penjualan pada sebuah perusahaan ritel.

“Dia tetanggaku, Mas.”

“Safar cerita banyak tentangku?”

Mawar tersenyum.

“Ia bercerita bahwa ketika sama-sama mahasiswa ia berhasil merebut Santi dariku?”

Mawar menggeleng.

“Atau ia bercerita suatu kali kami berantam di kampus karena ia menggoda Nova, pacarku?”

Mawar juga menggeleng.

“Atau dia cerita bahwa aku dan dia lama tidak ngobrol karena masalah perempuan. Bahkan ketika satu kantor pun kami jarang bertegur sapa meski meja kami bersebelahan?”

“Tidak. Ia tidak menceritakan apa yang Mas ungkapkan. Ia memang tahu kedekatan kita, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Justru ia merasa tidak enak ketika aku dekat dengannya. Ia takut Mas tersinggung. Tapi aku berhasil meyakinkannya bahwa Mas orang terpelajar dan sangat mencintai keluarga Mas. Mas tidak mungkin mencintai lebih dari satu perempuan.”

Rus terdiam. Agak lama. Lalu, ia melirik arloji, dan buru-buru ia mengatakan: “Sudah malam. Kita harus pulang. Aku akan mengantarmu.”

“Tidak usah, Mas. Aku naik taksi saja.”

Mereka beranjak. Rus berjalan ke arah tempat parkir. Mawar berhenti di teras gedung. Tak lama, sebuah mobil minibus silver lewat dan berhenti di sana. Seseorang melongok dari dalam mobil dan berbicara dengan Mawar. Lalu Mawar pun naik.

Dari jauh, Rus tertunduk diam. Ia tak langsung ke tempat parkir tadi, tapi berdiri di sebuah sudut memperhatikan Mawar. Ia bisa melihat jelas lelaki yang memberhentikan mobilnya di depan Mawar dan mengajaknya pergi. Dia adalah Safar. Ia tidak mengerti mengapa Safar selalu menang dalam soal perempuan.

Dua bulan kemudian, Rus menerima surat pengunduran diri Mawar. “Aku mau pulang ke Yogya, Mas. Mengurus usaha orangtua,” katanya.

“Bagaimana dengan Safar?”

“Dia sementara di Jakarta, tapi nanti setelah menikah ia juga akan ikut mengurusi usaha orangtuaku.”

“Aku hanya berharap kamu bahagia.” Suara Rus pelan, dan menatanya menatap Mawar dalam-dalam.

“Terima kasih, Mas. Saya berharap kita bisa menjadi saudara.”

Rus mengangguk. “Ya, kamu saudaraku.” Ia ingin mencium dan merangkul Mawar karena begitu terharu, tapi ia mengurungkan niat itu. Ia juga berusaha menahan tetes air mata, meskipun matanya terasa berkedap-kedip dan agak panas.

Sementara Mawar buru-buru pamit dan membiarkan Rus terdiam di kursi memandang tubuhnya hilang di balik pintu. Yang sempat ia dengar hanya sebuah isak kecil yang ditahan.

*

Ini pertama kali Mawar online di Yahoo Messenger, setelah setahun kepindahannya ke Yogya, dan mereka tidak saling sapa. Yang membikin penasaran ia muncul dengan kalimat yang sungguh puitis: ajak aku melihat kunang-kunang. Ia tak sabar untuk menyapanya. Rus pun mulai mengetik pesannya, bertukar kata dengan Mawar.

Rus: Mawar, aku ingin mengajakmu melihat kunang-kunang. Berdiri dari jendela di lantai sebelas kantor kita dulu, dan melihat ke gelap malam. Di situ beribu-ribu kunang-kunang membentuk lautan cahaya, saling-silang dan meluncur-naik.

Rus: Atau berdirilah di tengah sawah atau kebun ketika matahari telah terbenam. cahaya-cahaya itu bagai tetes salju yang meliuk-liuk seperti camar-camar di pantai.

Mawar: Wah….

Mawar: Sayangnya udah menelusuri penjuru Yogya dan belum juga menemukannya, Mas.

Rus: Masa sih?

Rus: Atau pejamkan mata…

Rus: Bayangkan seribu kunang-kunang meliuk-liuk di rambutmu, terbang ke sana kemari, seperti melompat dari ranting ke ranting. Lalu, bayangkan dirimu ada di sebuah gurun, dengan rumput-rumput hijau, dan sebatang pohon di belakangmu. Lalu seribu kunang-kunang menyerbu dari pohon itu, hinggap di pucuk-pucuk rumput itu, dan membentuk gurun cahaya.

Mawar: Kok serem Mas, hihi…

Mawar: Satu kunang-kunang sudah cukup kok, hehe.

Rus: Bukannya lautan cahaya itu indah.

Mawar: Setitik cahaya yang bisa dimiliki dan digenggam erat lebih indah daripada lautan cahaya yang mudah sirna…

Rus: Jika terus merawatnya, gurun cahaya tidak akan sirna.

Rus: Dan bayangkan seribu kunang-kunang itu kemudian membentuk satu kunang-kunang abadi yang terus terbang meliuk-liuk di rambutmu.

Mawar: Haha.

Rus: Mawar serius ingin melihat kunang-kunang?

Mawar: Iya, hehe.

Rus: Bayangkan ini…..

Rus: Seseorang datang dari jauh, menyapamu, kemudian menjelma kunang-kunang yang selalu berkedap-kedip setelah matahari terbenam. Ia selalu membuat jalanmu begitu terang berderang.

Rus: Bayangkan juga jika ada seribu kunang-kunang yang kemudian menyatu menjadi satu kunang-kunang. Betapa terangnya jalanmu.

Mawar: Ya, sungguh indah Mas.

Rus: Mawar, coba ceritakan apa yang kamu lakukan jika kunang-kunang datang padamu.

Mawar: Melihat saja sudah cukup puas mas. Aku tak ingin memiliki karena justru akan melukainya

Rus: Tidak ingin kunang-kunang itu selalu bersamamu?

Mawar: Tidak.. Tapi pengen dia ada pas aku ingin melihatnya. Tak perlu harus terus bersama. Kebersamaan yang terus menerus dipaksakan seringkali menimbulkan kejenuhan dan kebosanan.

Rus: Apakah kunang-kunangmu telah terbang jauh?

Mawar: Belum pernah merasa memiliki satu kunang-kunang pun, Mas. Jadi masih terus mencari, kunang-kunang yang mau setia hadir saat aku pengen melihatnya. Yang cahayanya takkan pernah pudar.

Mawar: makluk kecil lemah namun mampu memberikan cahayanya untuk menerangi.

Rus: Sungguh mengharukan.

Rus: Jika aku punya kunang-kunang, aku akan segera mengirim satu untukmu

Mawar: Mau mas…Tapi jangan sampai melukainya ya.

Mawar: Untuk apa dimiliki dan dinikmati tapi dia terluka.

Rus: Mawar benar.

Rus: Tapi lebih baik memiliki sambil terus merawatnya agar tidak terluka.

Rus: Pernahkah pada satu hari dulu, mawar takjub pada kunang-kunang? Atau mawar punya kenangan bersama kunang- kunang?

Mawar: Dulu di kebun di rumahku banyak kunang-kunang mas.

Mawar: Tiap malam…

Mawar: Sering aku sama adikku, berdua menggelar tikar di halaman rumah, menikmati kunang-kunang. Kami seringkali menangkapi mereka dan menaruh dalam botol.

Mawar: Sayang sekarang sudah tak ada lagi kunang-kunang.

Mawar: Mereka pergi seiring pergerakan usiaku menjadi dewasa.

Mawar: Betul, ada banyak yang bisa kita miliki dan kita rawat.

Mawar: Tapi kunang-kunang sepertinya tercipta hanya untuk dilihat.

Mawar: Tak akan ada yang bisa memiliki dan merawat.

Rus: Rumah Mawar di Yogya?

Rus: Sekarang masih ada kebun itu?

Mawar: Rumahku di Karanganyar, Solo.

Mawar: Kebunnya masih ada, tapi kunang-kunangnya menghilang. Dulu juga banyak burung jalak dan kutilang, tiap kali panen padi harus “ngoyak-oyak” para makhluk itu. Tapi sekarang sudah tak ada semua.

Rus: Mengapa kunang-kunang itu hilang?

Rus: Burung jalak dan kutilang bagaimana?

Mawar: Sawah-sawahnya sudah jadi perumahan, mas.

Mawar: Sawah yang tersisa sudah pakai pestisida semua.

Rus: Wah.

Ia tidak sempat melanjutkan percakapan itu, karena tiba-tiba status Mawar sign off alias offline. Rus menunggu Mawar online kembali. Boleh jadi, ada sesuatu gangguan yang menyebabkan percakapan itu terputus. Ia terus memelotoi komputer. Semenit, dua menit, lima menit, hingga setengah jam, Mawar tak juga sign in kembali.

Rus jadi gelisah. Mungkinkah listrik tiba-tiba mati, atau mungkin baterai laptopnya drop. Ia mengambil telepon genggam dan mengetikkan sms kepada Mawar. Tapi, sms itu tak terkirim. Ia makin gelisah, apa yang sesungguhnya terjadi.

Tapi Rus tidak hendak beranjak dari komputer. Meski sudah hampir magrib, dan sebagian temannya sudah meninggalkan kantor, ia masih tetap menunggu. Siapa tahu sebentar lagi Mawar online kembali atau sms yang dikirimkannya masuk ke telepon genggam Mawar.

Benar, selepas magrib, Mawar online kembali. Ia langsung menyapa.

Rus: Kok tadi off tiba-tiba.

Mawar: Iya nih, laptopku tiba-tiba hang, tidak jalan.

Rus: Ya sudah, nggak apa-apa.

Rus: Oh ya, sudah punya momongan?

Mawar : Momongan apa? Aku belum kawin Mas.

Rus: Safar?

Mawar: Aku sudah melupakannya. Mungkin ia juga sudah melupakan aku.

Rus terdiam sejenak. Ia tidak tahu harus menuliskan apa di “box dialog” yahoo messenger. Tiba-tiba perasaannya jadi tidak menentu. Rupanya sifat Safar yang gonta-ganti perempuan belum berakhir, sehingga sampai sekarang ia belum menikah. Tapi mengapa itu juga dilakukan terhadap Mawar. Mawar terlalu baik untuk disakiti.

Mawar: Mas…..

Rus : Iya

Mawar: Kok diam sih?

Rus: Nggak. Sebentar, ada telepon masuk.

Rus berusaha berbohong. Ia tidak ingin pikirannya tertebak.

Rus: Mawar….

Mawar: Iya Mas

Rus: Aku ingin menjadi kunang-kunang untukmu.

Mawar: Mas sudah cukup lama menjadi kunang-kunangku.

Rus: Tak mudah melupakanmu.

Mawar: Aku juga setengah mati untuk berhenti memikirkan Mas, berusaha untuk menjauh dari Mas. Sampai kemudian aku terpaksa pindah ke Yogya, karena tak kuat terus bertemu dengan Mas.

Rus: Mengapa harus menjauhiku?

Mawar: Mas sudah tahu jawabannya.

Rus: Tapi, tidak bolehkah aku kembali menjadi kunang-kunang untukmu. Atau, paling tidak, biarkan aku mengajakmu melihat kunang-kunang.

Baru saja pesan itu terkirim, status Mawar kembali sign off. Pembicaraan terputus. Rus tidak tahu, apakah Mawar sempat membaca pesan terakhirnya itu. Tapi, sungguh, ia ingin sekali mengajak Mawar melihat kunang-kunang, berdiri dari lantai sebelas kantornya, atau di sebuah taman pada senja yang temaram.

Rus tidak beranjak dari komputer. Ia menunggu Mawar online kembali. Kali ini, dengan perasaan sungguh berdebar-debar. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar