Rabu, 25 Januari 2012

Agonia Senja karya Novieta Tourisia

Suara Merdeka
Minggu, 16 Maret 2008

Agonia Senja
Cerpen: Novieta Tourisia

KAMI melanggar peraturan. Seharusnya batas waktu penggunaan kolam renang apartemen adalah pukul delapan, namun lewat dari dua jam yang ditentukan kami justru baru menceburkan diri ke dalam kolam. Saya katakan padanya bahwa saya tidak bisa berenang, saya takut air dan takut tenggelam. Karena itu ia menuntun saya dari sisi depan. Gerakannya sangat tenang, terlihat jelas ia sedang berusaha menciptakan keberanian pada diri saya untuk melenyapkan segala macam ketakutan yang ada.
Namun di pertengahan kolam, saya menghilang. Menyelam dengan bebas pada kedalaman dua koma lima meter hingga membuatnya kesal bukan kepalang. Sudah capek-capek menuntun sampai tiga puluh meter jauhnya, ternyata yang dituntun mahir berenang, bahkan menyelam hingga nyaris menyentuh dasar kolam. Maka ia menantang saya menyelam dalam kolam renang berukuran olimpiade ini bolak-balik tanpa jeda, dan menerima tantangannya tanpa berpikir dua kali.
***
IA tidak menyadari, saya tak sedikit pun berusaha memenangkan perlombaan ini. Saya terlalu menikmati air kolam yang hangat beradu dengan dingin menusuknya sang bayu. Saya mengayun kedua tangan dan kaki seirama dengan roda waktu, seolah saya diciptakan sebagai makhluk air bernama penyu bermata sayu.
Ketika ia telah jauh mendahului saya, tiba-tiba saya berhenti. Sesuatu yang hilang seperti menyeret saya ke belakang serupa jalinan memento, membuat penasaran akan rasanya kematian. Semakin penasaran karena degup jantung tak juga menemukan titik pemberhentian. Saya tak berkedip hingga tiga puluh detik pertama, menanti. Setelahnya menutup masing-masing kelopak mata perlahan, masih menanti. Saya segera mengerti bagaimana rasanya berada di tengah palung menuju alam bawah sadar. Saya dapat mencium aroma kematian: serupa wangi sedap malam yang membusuk, sebagai pengiring dayang-dayang langit berlentera kelam. Saya kesurupan, dirasuki setan malam nan pendiam.
Seperti tersadar akan pemberhentian yang tidak wajar, ia menyelam ke arah saya lantas menarik lekas-lekas tubuh yang nyaris tak menyisakan kehidupan ini. Ia mengangkat lalu merebahkan saya di atas gazebo pinggir kolam berkelambu sutra abu-abu. Bertanya: apa, kenapa, bagaimana, atas nama apa. Apa dan apa dan apa dan hanya ada apa. Tidak apa-apa, jawab saya. Ia diam tetapi saya tahu ia bicara, tidak melalui kata-kata yang lahir dari suara.
Semilir angin semakin merengkuh saya jauh dari realita menuju kedamaian imitasi. Pelukan tak lagi terasa hangat, malah kelewat panas seperti hendak melebur saya untuk dijadikan santapan tengah malam. Akan tetapi dan terus-terusan hanya ada tetapi, saya ingin, ingin, dan semakin ingin dipeluk oleh ia tanpa harus dilepaskan, tanpa harus lagi-lagi kedinginan. Demi Tuhan. Keinginan saya untuk dipeluk semakin menjadi-jadi, semakin tak tertahankan, semakin sulit dilawan. Dan demi setan saya malah hanya bisa diam, bungkam, bahkan tak mampu berdeham.
Mungkin dingin bisa saja membuat saya ngilu, tapi tak seharusnya menjadikan saya bisu. Sekarang saya benar-benar sekarat. Rasanya mau mampus saja buru-buru, tanpa harus dihibahkan kelu seperti itu. Kenapa, kenapa, kenapa, saya bertanya. Tidak akan terjadi apa-apa, semoga saja, saya meyakinkan diri, dan mencari doa.
Doa. Datanglah melalui tarian angin mahagemulai. Bisikkan mantra penyuci jiwa lewat telinga dan biarkan ia meranggas di jantung nan rapuh ini tanpa perlu dilukai. Kan kunikmati sayat demi sayat pada permukaannya hingga ruh dan raga sama-sama terkulai. Datang, datanglah, walau tengah malam ini saja. Beri kesempatan agar hati ini mendorong mulut untuk melayangkan suara kepadanya atas nama rasa. Izinkan diri menyampaikan keinginan untuk dipeluk oleh ia, sang pelindung nan setia melagukan kasih penidur, sebagai penawar rasa sakit akan ketidakabadian. Ajarkan jiwa ini menerima segala yang sepatutnya diterima, meski lewat sebait doa.
***
SAYA yakin Dia di Atas sana mendengar dan mewujudkan permohonan saya akan kiriman surga bernama doa. Sebab kengiluan tak lagi ada, digantikan bara hangat yang berembus lewat napasnya pada mulut saya. Ia melukis lengkung lidah mesra di dalamnya, sembari dihantui kepanikan akan degup jantung saya yang meski tak lagi ngilu namun semakin melemah dan memberi getaran kecil seolah memohon ampun untuk segera diakhiri. Jantung saya berbicara, mewakili pita suara yang sungguh tak sanggup melahirkan kata. Detik itu pula saya percaya, segalanya akan mati sia-sia sekali pun cinta sebagai peran utama. Saya tahu, keabadian selalu tamat secara berkala dan sudah semestinya saya siap digantung koma.
Sepertinya saya memang sengaja disiksa; tak diizinkan hidup secara utuh, mati pun perlu sertifikasi. Terlebih karena seumur hidup dapat dihitung dengan jari seberapa sering saya berdoa demi kebaikan. Ingatan hilang dihantam sunyi. Nyeri membebat kepala hingga meruntuhkan kapabilitas memori. Nyeri itu turut mengendap di setiap persendian, membuat saya terbujur kaku. Saya mati rasa, namun berada di ambang ketidaksadaran justru menguatkan saya untuk tetap bertahan, meski kekuatan itu terletak pada titik tengah kelemahan. Mungkin ini yang dinamakan fase kematian. Sakit yang menegarkan, perih yang membebaskan. Seperti dibuai akan panorama duniawi ketika naik gondola raksasa yang putarannya senantiasa mendebarkan.
Ia yang saya cintai masih terus berusaha menciptakan keajaiban, menjemput kehidupan agar kembali menyulut ruh saya yang perlahan memadam. Saya merasa kalut, sebab ruh saya tak mau hidup kembali untuk mencicipi manis cinta yang justru perih di dada karena ketulusannya tak akan mampu terbayarkan oleh saya, manusia pesakitan dengan berjuta obsesi akan kematian. Saya yakin ia akan bahagia justru tanpa saya, tanpa halusinasi saya yang berlebihan, dan tanpa harus dibuat tersiksa karenanya.
Tersirat dalam benak yang mulai redup ini untuk menghisap cintanya terlebih dulu sampai habis, sampai ia tak sudi lagi memberi satu keping di antaranya, sampai ia muak dengan perasaannya sendiri, sampai akhirnya tidak memedulikan saya bersama jasad kaku ini di sini. Namun rasanya percuma. Sebab hingga detik ini ia tak putus-putus mentransfer doa dalam lirih bisikan melalui telinga saya sembari mengatakan agar tetap bertahan menguatkan diri dan senantiasa menyadari bahwa ia selalu berada di sisi saya.
***
SAYA memang digantung koma, namun bukan berarti tak lagi tersisa air mata. Tetesan itu menyeruak keluar dari lingkar mata serupa guratan pada cabang pepohonan. Saya menangis bukan untuknya, melainkan diri sendiri. Jika harus saya hitung satu demi satu pengkhianatan yang telah saya lakukan di belakangnya tanpa pernah sekali pun ia ketahui hingga hari ini, akan ada lebih dari sepuluh nama yang tertera di dalamnya, lebih dari sepuluh cerita yang nantinya terbaca, dan lebih dari sepuluh hati yang tercabik dan meluka, bagian yang tersulit untuk diobati dengan penawar apa pun kecuali hati itu sendiri.
Saya pengkhianat, tapi saya mencintainya. Mencintainya tanpa mengharap balasan namun pada kenyataannya cinta saya kepadanya kalah telak oleh cinta yang ia berikan kepada saya. Tak akan pernah mampu saya mengimbangi perasaannya yang sudah berada di puncak dari segala tingkat. Saya pengkhianat, tapi saya tak pernah meninggalkannya. Ada magnet yang menarik saya dan kutub-kutubnya memompa lembut jantung hati ini untuk terus berdegup setiap kali saya bersamanya. Saya pengkhianat, tapi saya takut dikhianati. Mungkin karena itu tak henti-hentinya saya menyiksa diri dengan berkhianat ke sana kemari, menikmati perih luka pada jiwa-jiwa yang dikhianati, mengais habis kebahagiaan mereka. Saya pengkhianat, tapi pada akhirnya saya tak mendapatkan apa-apa. Saya kehilangan hampir segalanya, dan bukan tak mungkin segera kehilangan ia juga.
Seharusnya saya lekas mengakhiri hidup ketika masih menyelam tadi dan menjauh dari jangkauannya agar ia tak bisa menarik saya ke daratan yang alih-alih malah membuat saya tersiksa seperti ini. Atau seharusnya saya tak pernah berkhianat kepada siapa pun, sehingga tak perlu ada balasan semacam ini. Atau seharusnya ia tak mencintai saya lebih dari cinta yang saya berikan, sebab kini jurang perbedaan kadarnya terlihat kian membesar. Selalu ada ''seharusnya''. Seharusnya selalu ada.
Saya sempat mengira astana dasamuka mengirimkan musikalisasi dari gending lembah ngarai sebagai lagu pengiring kematian saya, namun suara samar-samar itu terdengar semakin jelas dan bukan gending lembah ngarai yang mendamaikan, melainkan sirine ambulans putih dengan lampu merah nyalang di atasnya. Ruh saya marah. Ia menghujat orang-orang yang berkerumun di sini dan menganggap saya sebagai tontonan cuma-cuma. Ia mengamuk pada dayang-dayang langit berlentera kelam yang tak datang membawanya ke astana dasamuka untuk dibunuh dan dilahirkan kembali. Ia mencabik jantung saya yang degupnya tak juga berhenti sedari tadi.
Saya ingin merengkuhnya ke dalam jasad ini kembali, agar kami menyatu lagi dan kelak membenahi segala sesuatu yang telah kami hancurkan hingga porak poranda. Namun ia tak sudi dan malah berteriak lantang tepat mengena di ulu hati saya. Ia tahu, jika ia kembali bersatu dengan jasad ini, saya hanya akan menyiksanya perlahan-lahan dengan menjadi makhluk Tuhan yang terpuji. Tidak akan ada lagi pengkhianatan dan dusta yang kelak melahirkan dosa. Adapun ia terlahir sebagai pendosa sejati. Dosa adalah sumber kehidupannya. Ia akan mengupayakan segalanya untuk bisa memenangkan peperangan dengan jasad saya yang menginginkan kebaikan dan membutuhkan penyucian diri, karenanya saya pasti akan kalah. Di sinilah kali terakhir saya diberi kesempatan untuk memberdayakan akal pikiran sebagai manusia. Saya diberikan pilihan: berperang dengan ruh sendiri selama jasad ini menopangnya kembali demi pembersihan jiwa, atau mengizinkan ruh itu mendapatkan kehendaknya untuk terlepas dari jasad saya selamanya.
Akhirnya pilihan saya jatuh pada pilihan kedua. Sebab walau bagaimana pun, saya pasti kalah dan ia selalu menang. Jika saya terus-terusan berperang dengannya tanpa ada titik temu di bibir pintu, saya yakin, ketika suatu saat nanti kesalahan kami terulang kembali, jasad ini telah membusuk bahkan sebelum saya menyadarinya. Saya tak ingin itu terjadi. Saya juga sadar, ruh ini telah berusaha membebaskan diri dari saya sekian lama, namun saya tak pernah peduli, sebab saya mencintai lelaki itu, dan untuk mencintai seorang manusia dengan ruh dan jasad yang saling melengkapi, saya harus tetap hidup dan tidak boleh mati.
Saya terharu bahwa pada detik-detik menjelang babak akhir kehidupan ini, masih ada hati yang mencintai saya, yang tidak semata-mata menginginkan saya, meski ia tak berhasil menolong saya. Air mata tak lagi berupa cairan, ia telah menyatu dengan angin, sehingga kekasih saya tak tahu betapa pedih yang saya rasakan saat harus meninggalkannya, sebelum saya sempat mengatakan maaf dan mengecup kelopak bibirnya untuk terakhir kalinya.
***
SAYA pasrah. Ruh saya menari-nari gemulai, menyeringai lebar dengan lidah api yang terjulur dari mulutnya. Ia akan dilahirkan kembali nun jauh di sana, di astana dasamuka. Sementara jasad yang selama ini menjadi topangannya, tempat saya merelakan tubuh ini berkhianat ke sana kemari pada tubuh-tubuh yang juga pengkhianat oleh sebab hasrat ruh yang melewati batas, harus rela juga ketika pada akhirnya hanya akan berakhir di kotak kayu pengap dan panjangnya pas-pasan yang dinamakan peti mati.***
Catatan:
agonia: rasa sakit yang amat sangat
Jumat, 01 Februari 2008
11:55 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar