Kamis, 26 Januari 2012

Hujan Pagi Cerpen: Dwicipta


Media Indonesia
Minggu, 29 Juli 2007

Hujan Pagi
Cerpen: Dwicipta

SISA hujan pagi masih tersampir di pucuk-pucuk dedaunan dan batang-batang pepohonan, Sayangku. Aku terbangun dari tidur pendek, setelah mengetik hampir semalaman, ditemani bayangan-bayangan letih tanpa kesudahan dari wajahmu. Pertengahan April, genap dua tahun aku tinggal di rumah ini, tanpa dirimu. Seperti letaknya yang jauh dari perkampungan, terpencil dari segenap kebisingan, kutemukan rumah ini dan diriku seolah menyatu dalam persekutuan aneh antara dua makhluk yang sama-sama kesepian. Hanya ditemani persawahan membentang, ricik suara air sungai di sebelah timur rumah, dan kicau burung atau binatang malam. Apakah ini yang kaumaksudkan ketika kita masih tinggal di pusat kota dulu: hidup yang tak diricuhi apa pun kecuali suara-suara alam? Ah sayang, begitu lekas kau pergi, dan tak punya waktu menikmati ketenangan rumah ini bersamaku. Padahal, rumah ini kubangun karena kau menginginkannya, bukan untukku sendiri.

Dalam keheningan dan rasa ketakjuban pada apa yang menghampar di depanku, alangkah rindunya aku padamu. Hujan pagi seolah membawamu kembali sekarang. Lihatlah, matahari enggan keluar, nyaman di balik gumpalan awan tebal. Beberapa ekor burung yang berloncatan dari dahan ke dahan atau hinggap di reranting ringkih terbang dengan sayap gemetar menahan dingin. Haruskah aku bersyukur atau mengutuknya? Haruskah aku tak menerima jika kau tak akan kembali ke rumah ini? Sepi dan hawa dingin ini memaksaku kembali padamu, menyeret segala ingatanku tentangmu.

Kastil kecil nan rapuh

Di suatu senja yang berkilau jingga, dari loteng rumah kita di pusat kota, kau ingin melupakan segala deru dan amis kota. Tubuhmu melambai rapuh tertiup angin beracun, makin kurus oleh penyakit setan yang bersarang bertahun-tahun dan tak juga lekas tercerai darimu. Desis napasmu hilang oleh deru kendaraan. Jika saja kota ini bisa diheningkan sejenak, tentu akan kutangkap sengal itu, sisa waktu yang makin menipis dan mimpi-mimpi buruk yang akan menghantuiku menjalani setiap detik dan menit tanpamu suatu hari kelak. Namun kau berkeras, tak mau masuk dan membiarkan ringkih tulang dan dagingmu termakan angin.

"Aku ingin menikmati udara sore. Bukankah aku sudah memakai jaket? Udara ini tidak sejahat yang kaukira...," ujarmu tersenyum. Kau menoreh perih setiap kali tersenyum seperti itu. Dengan kedua bibir ditarik ke salah satu sudut mulut, mata beningmu yang memancarkan kepasrahan, dan tulang pipimu yang menangkap hasratku untuk memelukmu. Kita seperti dua burung elang yang beranjak pulang ke sarang setelah menghabiskan hari dalam tualang.

"Aku tak ingin kau lebih sakit lagi."

"Kata ayah aku memang kastil kecil nan rapuh sejak kecil. Dan rumah kita ini, yang terselip di pusat kota, juga menjadi kastil rapuh bagiku. Lihatlah, bangunan-bangunan besar dan angkuh itu seperti mengusir kita dan berharap kita lekas pergi. Bila malam hari, dari tempat ini aku melihat mereka seperti raksasa-raksasa jahat yang sedang mengawasi kita. Aku tak ingin menempatinya lagi. Kalau kau mau, kita bisa membangun rumah di pinggir sawah. Tapi tentu kau tak mau."

"Aku akan membuatkannya untukmu."

"Untuk apa? Toh kita tak punya anak. Alangkah inginnya aku punya momongan."

"Sudahlah, jangan ingat-ingat itu lagi. Nikmati apa yang ada sekarang. Kalau kita menuruti keinginan, tak akan ada habisnya."

Kau menatapku sembari melontarkan peluru-peluru itu ke jantungku: air mata yang meleleh pelan dan berharap jemari serta telapak tanganku menghapusnya. Bagaimana mungkin bidadari yang selalu punya kekuatan untuk menghidupkan segala impian mustahil dalam hidupku ini kubiarkan menangis? Apakah dunia memang sengaja menciptakan kau supaya aku mengutuk dan tak memercayai kehidupan ini? Tanpa suara, kau meraih kedua tanganku dan menciuminya seperti seorang ibu menemukan anak tunggalnya yang hilang, membawa gemetar tanganku ke seluruh raut mukamu, menjejaki segala keperihanmu dan usahaku menjauhkanmu dari segala rasa putus asa.

"Kau terlalu baik untukku. Dan tak mau menuntut lebih pada hidup yang kita jalani. Aku heran kenapa aku bisa menemukanmu di antara segala wajah-wajah culas di kota ini."

"Kau benar-benar ingin meninggalkan rumah ini?"

"Sudahlah, lupakan keinginanku yang terlalu mengada-ada itu."

Sisa badai kenangan

Jauh sebelum kita bersama, ibuku bermimpi melihat buah simalakama. Semula ia tak tahu kalau itu buah simalakama. Rupanya hitam, bentuknya seperti buah manggis dengan tangkai berwarna merah. Di dalam buah itu terdapat lima ruangan berisi biji yang dibalut bagian empuk yang bisa dimakan. Pohon dari buah itu tumbuh di depan rumahku, dengan bentuk daun seperti daun mangga kecuali pohonnya yang tingginya tak lebih dari tiga meter. Seorang perempuan berwajah putih dengan mata bersinar bak mutiara menunggui pohon dan buah itu. Ketika ibu akan memetik buah itu, perempuan penunggu buah simalakama itu melarangnya.

"Kenapa aku tak boleh memetiknya?"

"Bukan kau yang berhak memetiknya."

"Apa nama buah ini?"

"Simalakama."

"Ah, kau mengibul. Tak ada buah simalakama. Buah itu hanya dongeng saja, tak ada buah simalakama di dunia ini."

"Sekarang kau melihatnya. Inilah buah simalakama itu."

Ibu mengamati buah itu sampai tiba-tiba ia mendengar suaraku berteriak dari belakangnya.

"Siapa perempuan ini Ibu? Alangkah cantiknya. Aku ingin matanya yang cemerlang itu Ibu. Seperti menyimpan cahaya."

Perempuan itu memandangku lekat-lekat, dan kemudian tersenyum. Tangannya seolah memanjang dan mengambil salah satu buah dari pohon itu lalu mengangsurkannya padaku.

"Kau mau buah ini? Ibumu tak boleh makan, hanya kau yang boleh memakannya."

Ibu melarangku menerimanya, namun dipenuhi rasa ingin tahu, tanpa memedulikan larangannya tanganku sudah menggenggam buah itu.

"Bukalah, dan lihat isinya."

Aku membukanya, dan melihat lima bulatan putih dalam lima ruangan terpisah oleh sekat buah itu. Segera kumakan buah itu, sementara kulihat ibuku menangis dan perempuan itu tersenyum sangat lembut.

"Nah, kau sudah memakannya. Enak bukan?"

"Rasanya manis tapi agak aneh."

Perempuan bermata bak mutiara yang menjaga pohon simalakama itu memandang kami berdua, lalu berkata pada ibuku.

"Ia telah memakannya. Suka atau tidak suka ia akan menanggung segala akibatnya."

Begitu berkata seperti itu ibu terbangun dari mimpinya. Ia memeluk tubuhku yang persis tergolek di sampingnya erat-erat. Sejak saat itulah ibu seperti malaikat yang selalu menjagaku dari tangan-tangan jahat yang ingin menghancurkanku. Sampai kemudian kau datang dalam hidupku. Malaikat yang menjagaku siang dan malam itu tiba-tiba seperti kehilangan segala kekuatannya.

Ulah para ahli nujum

Kita bertemu oleh waktu yang memepat di sebuah titik yang tak pernah terduga sebelumnya. Bagaimana kita bisa menduganya kalau semua telah digariskan bukan oleh kita sendiri, melainkan oleh para aktor-aktor ganjil tak semestinya bersekutu mempertemukan kita? Pertama adalah ruang perpustakaan, tempat aku menghabiskan sebagian besar waktu hidupku. Sejak kecil ibu telah memanjakan aku dengan sebuah ruangan berukuran delapan kali sepuluh meter di rumah kami yang luas, memenuhinya dengan deretan rak dan buku-buku yang tertata bukan berdasarkan katalog seperti yang biasanya berlaku di perpustakaan umum namun berdasarkan nama pengarangnya. Di ruangan itulah, selepas waktu bermain bersama teman-teman masa kecil, aku menemukan sebuah lapis kehidupan yang lain, dunia yang menciptakan kejutan demi kejutan.

Pada suatu hari, selepas masa sekolah menengah, ayah berharap aku masuk fakultas kedokteran, namun kekagumanku yang berlebihan pada senyawa-senyawa kimia membuatku lebih memilih ilmu kimia. Oleh hasrat hatinya yang tak tercapai, ayah bersumpah tak mau membiayai kuliahku, sedangkan ibu, dengan gaya bertarung seekor singa betina yang anggun, mati-matian membelaku. Rasa sayangnya seperti menguatkan nujum atas mimpinya di masa kecilku. Namun di kemudian hari, kuketahui pilihan salah belajar di jurusan itu. Dua tahun aku berusaha mencintai senyawa-senyawa kimia yang semula memukauku itu, namun ingatanku pada perpustakaan di rumah kami membuatku berontak dan mengkhianati pilihanku sendiri. Bukan laboratorium yang kucintai ternyata, namun aroma buku-buku lama di perpustakaan dan lapis-lapis kehidupan yang ada di tiap lembar buku.

Tanpa memberi tahu ibu dan ayah, aku memutuskan pindah kuliah di kota yang berbeda dan kembali ke rumah lama nan temaram namun menyenangkan: perpustakaan. Ayahku semakin murka, dan tak mau mengakuiku sebagai anak. Dan ibu, tetap sebagai seekor singa betina yang anggun terus membelaku meskipun dengan tenaga yang makin melemah. Keyakinanku kembali ke rumah yang temaram itu datang di tahun kedua kuliahku di jurusan sastra saat tanpa sengaja kutemukan sebuah novel Jack London, White Fang yang dulu kubaca ketika masih berusia sepuluh tahun. Dan pada hari aku membaca Penderitaan Pemuda Werther, tanpa sengaja kutemukan dirimu di sudut ruang perpustakaan Universitas, sedang menggenggam Victoria.

Saat itulah waktu memepat, dan dunia seperti membuncahkan segala rahasianya di depan kita, Sayangku. Kau, dengan matamu di balik lensa kaca mata menelan semua impian yang telah kusemai. Rambut ikalmu yang berwarna agak keemasan jatuh di dahi, lalu bibirmu tersenyum simpul melihatku bagai berhenti menahan napas. Aku tidak tahu jika saat itu aku masuk ke wilayah paling runyam dalam hidupku.

Melewati jembatan api

Apa yang salah dari hidup kita sebenarnya? Bukankah semestinya cinta tak dihalangi oleh apa pun? Dua tahun setelah kau pergi, aku memikirkannya tanpa henti. Kita tak menyangka telah berani menentang badai dengan memasuki ketidakmenentuan demi ketidakmenentuan. Sadarlah aku, melemahnya kekuatan singa betina yang merasuk dalam tubuh ibuku digantikan oleh kehadiranmu. Kau selalu bilang semenjak kita merekatkan hati satu sama lain di ruang perpustakaan bahwa kita akan melewati jembatan api.

"Tapi aku tak mau menjadi Victoria. Kalaupun aku mati, aku akan mati setelah mewujudkan seluruh impian dan cintaku," katamu dengan mata menerawang.

Perlahan-lahan ucapanmu menemukan kenyataan-kenyataan ganjilnya. Ancaman kedua orang tuamu hanya kau lewatkan seperti sebuah arus sungai besar yang tak bisa dibendung hanya oleh tanggul tipis dan rentan. Aku memberesi seluruh barang-barang dari rumahmu, diikuti sumpah serapah dari ayahmu dan tangisan ibumu. Alangkah menyedihkannya menikahimu tanpa kedua orang tuamu dan ayahku. Tapi apakah yang lebih agung dari cinta kita ini? Seperti sihir paling memilukan, hanya ibuku yang merestui pernikahan kita.

Tahun kedua pernikahan kau masih tampak sehat, namun belum juga kau mengandung. Semula kupikir badai akan segera berlalu. Tapi tidak, selepas tahun kedua, kau divonis tak bisa mengandung karena rahimmu dihuni kista. Ah Sayangku, aku masih teringat senyummu menghadapi vonis itu, juga air matamu yang luruh sembari menyembunyikan wajah di balik dadaku. Bertahun-tahun kemudian, oleh derita dan nestapa itu, penyakit demi penyakit menghampirimu.

Hidup di sebuah negeri yang mustahil seperti negeri kita, tempat ujung pena penulis dipandang sama berbahayanya dengan sebuah senapan, akhirnya mengantarkan aku ke dalam penjara. Sebuah buku yang kutulis, karena dianggap menghina sebuah agama, hanya mengantarkan kegetiran paling meletihkanmu. Aku menjalani kehidupan dalam ruang sempit dan pengap, sedangkan kau harus menghadapi teror demi teror yang dilontarkan orang-orang tak dikenal dari depan rumah kita. Kau tak mengira jika setelah melewati jembatan api bersamamu, kita akan melewati neraka demi neraka kehidupan kita di dunia.

Kehancuran kastil kecil nan rapuh.

Akhirnya saat itu tiba. Aku keluar dari penjara dan kembali ke rumah kita. Kau memelukku erat, seolah-olah mengisyaratkan perpisahan panjang. Kau membenci deru kehidupan kota dan udara amisnya yang beracun. Kau ingin menciptakan akhir yang damai bagi hidupmu dengan menatap persawahan dan mendengar cericit burung serta binatang malam. Dan akhir itu datang dua tahun lalu, ketika kastil kecil nan rapuh itu-–tubuhmu--rubuh dalam pembaringan yang hingga kini masih menyisakan aroma tubuhmu.

Tinggallah aku di sini, menghisap aroma kenangan yang membuar dahsyat. Ah sayangku, dua tahun sudah aku tinggal di sini tanpamu. Setiap malam kuhabiskan waktuku dengan mengetik tanpa henti. Setiap kelelahan mendera, kau seolah mengelus dan memelukku dari belakang.***

Yogyakarta, Tengah April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar