Kamis, 26 Januari 2012

Hujan Februari Cerpen: Tary


Seputar Indonesia
Minggu, 29 April 2007

Hujan Februari
Cerpen: Tary

Akhirnya ia memutuskan pulang. Angin sore bulan Februari terasa pekat menampar wajahnya. Langit masih memuntahkan hujan ketika ia turun dari taksi. Seorang bocah laki-laki menawarkan payung padanya.
Kurus, hitam, bertelanjang kaki dan menggigil kedinginan. Mata tajam bocah itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia merogoh saku jaketnya, mengangsurkan selembar uang dan berlari menyeberangi halaman mal.Bocah laki-laki itu tertegun memandangnya. Ia mengibaskan pakaian dan rambut yang basah lalu melangkah memasuki mal.
Tubuhnya menggigil oleh terpaan udara pendingin ruang. Mendadak kulitnya terasa mengeriput.Setelah memeriksa denah tiap lantai tak jauh dari pintu masuk,ia memutuskan naik menggunakan lift. Salah satu kafe di lantai 3 menjadi pilihannya. Dari celah sekat ruangan berbahan rotan, ia melihat ke dalam kafe.Ada tiga orang sedang duduk di sana. Sepasang muda-mudi yang asyik bergenggaman tangan dan seorang lelaki yang menghirup secangkir minumannya lambatlambat.
Ia mengambil meja di pojok, dekat pot tanah liat berisi bunga asli berdaun hati. Bersisian dengan dinding kaca, membuat ia leluasa melihat pemandangan di seberang mal. Pelayan menghampiri dan mengulurkan daftar menu. Ia memesan segelas cappucino panas dan muffin. Silk Road Kitaro mengalun lembut ketika pandangannya menembus dinding kaca.Hujan makin lebat. Sampah menyumbat got. Air meluap membentuk aliran sungai kecil. Pengendara motor menyerobot jalan, melindas kubangan-kubangan air. Seorang perempuan mengumpat, blousenya basah terciprat air kotor.
Semua telah berubah, pikirnya. Kafe tempatnya duduk sekarang hanyalah sebagian kecil dari pemukiman yang telah berganti bangunan megah bernama mal. Ia pernah berada di pemukiman seberang mal bersama keluarganya. Sebelum tahun-tahun lewat meninggalkan jejak luka pekat dan sesal memburunya. Pelayan datang mengantarkan menu pesanannya.Ia menepikan tangan memberi tempat untuk segelas cappucino panas dan piring kecil muffin.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada pelayan, ia tak membiarkan aroma cappucino panas menggodanya lebih lama.Beberapa tegukan membuat tubuhnya sedikit menghangat. Matanya kembali menembus dinding kaca. Bocah laki-laki pembawa payung berdiri di seberang jalan. Payung dibiarkan menguncup dan kepala mungil itu mendongak menatap kafe. Buru-buru ia membuang pandang,mengatur detak jantungnya yang makin cepat lalu mengiris muffin. "Kenapa sesal tak segera membunuhku?" keluhnya lirih. Ada melata yang menggeliat di ulu hatinya. Gigitan taring berbisa menimbulkan rasa pedih dan mual silih berganti. Ia mengerang mencengkeram perutnya. Mata bocah laki-laki itu masih tajam menatapnya. ***
Alifa kecil tak pernah menyukai hujan bulan Februari. Banyak hal terenggut dari hidupnya pada hujan bulan Februari. Banjir pernah menenggelamkan permukiman tempatnya tinggal. Kelinci putih kesayangannya mati terseret arus. Alifa menangis berjam-jam melihat tubuh kelincinya basah dan membeku di selokan ujung gang. Usai banjir,ia mengubur kelincinya di belakang rumah dan mengunjungi setiap pulang sekolah. Sahabat dekatnya juga pergi pada hujan bulan Februari. Kapal yang ditumpangi sepulang mengunjungi neneknya tenggelam.
Jasadnya tak ditemukan. Alifa tak tahu ke mana mencari perkuburan sahabatnya. Lalu ayah dan ibunya mengajaknya ke laut.Berdoa dan menabur bunga sebagai tanda duka cita. Tetapi,Ayah dan Ibunya sangat menyukai hujan bulan Februari.Pada penghujung bulan basah itu bayi laki-laki lahir dari rahim ibunya.Orang-orang begitu heboh. Mereka berdatangan membawa bermacam-macam hadiah. Memandang bayi mungil itu dengan mata berbinar. Aduh, gantengnya putramu, selamat-selamat! Dia akan menjadi mataharimu. Kata orang-orang itu. Semua bersukacita.
Kelahiran bayi laki-laki seolah membawa sejuta tuah. Dan Alifa merasa tersisih. "Lihat Ruru! Mereka hanya memedulikan Bara!" Alifa mengadu pada boneka beruang dalam pelukannya. "Mereka tak menyayangiku lagi!" Bayi laki-laki itu bernama Bara. Ada sesuatu yang menggeliat dalam dada Alifa setiap melihat sosok Bara. Seharusnya ia menyayangi adiknya. Tetapi sesuatu yang menggeliat itu mengatakan sebaliknya.
Alifa tak suka Bara menggeliat manja di pelukan ibu. Alifa tak suka ayah mengangkat tinggi-tinggi tubuh Bara. Dan Alifa tak suka nenek mengajak Bara bercanda. "Alifa, ambilkan celana adik di kamar belakang!" "Alifa, belikan biskuit untuk adik!" "Alifa, tolong jaga adik sebentar!" Alifa cemberut. "Lihat Ruru! Bara membuat semua orang menyuruhku!" Boneka beruang itu memandang Alifa tanpa berkedip. Hingga Alifa berteriak. "Aku benci hujan Februari! Aku benci Bara!" ***
Silk Road telah berganti The Clouds. Ia mengunyah irisan muffin-nya lambatlambat sambil berharap Ocean Of Wisdom mengalun berikutnya. Ia menyukai semua koleksi Kitaro, namun Ocean Of Wisdom mampu mengirim debur ombak ke hadapannya saat ia menginginkan.Ah, dramatis sekali kesukaanku pada musik, pikirnya. Hujan masih deras. Air got meluber ke tengah jalan, sungai kecil melebar.
Kubangan-kubangan makin penuh air dan kemacetan mulai menggila. Apa yang berbeda dari hujan bulan Februari? Ia mendesah, mendongak menatap langit- langit kafe.Kecuali mal yang berdiri angkuh merenggut semua resapan air. Seorang pemuda melangkah memasuki kafe. Berkulit sawo matang, jangkung dan berambut lurus. Jaket hitam membungkus baju seragam sekolahnya. "Mungkin pulang sekolah dan terjebak macet," tebaknya. Pemuda itu mengambil meja di sebelahnya. Memanggil pelayan dan memesan sejumlah menu. Berapa umur pemuda itu? Enam belas atau tujuh belas? Jika demikian, ia kelihatan lebih dewasa dari umur sesungguhnya. Gerak-geriknya tanpa canggung dan ia tidak ke kafe bersama kelompoknya.
Mungkin pemuda itu lebih suka melakukan segala sesuatunya seorang diri. "Seharusnya ia sudah sebesar pemuda itu," bisiknya. "Dan mungkin akan tampak dewasa seperti itu. Bukankah sejak kecil ia sangat mandiri?" Matanya bersirobok dengan tatapan pemuda itu. Ia membuang pandang menembus dinding kaca. Di seberang mal, bocah pembawa payung berlari-lari kecil mengejar si penyewa payung. Ia merasa pipinya mulai basah. Melata di ulu hatinya menggeliat, taring-taringnya kembali menghunjam lebih dalam. "Kumohon, bunuhlah aku sekarang juga," rintihnya. ***
Bara kecil tumbuh sehat. Kulitnya sawo matang, rambutnya tebal berponi dan matanya bulat jernih. Semua orang menyukai Bara.Alifa tahu itu.Bara yang mandiri dan tak suka merepotkan pembantu. Bara yang jago matematika.Bara yang selalu juara kelas.Bara yang selalu menghibur ayah dan ibu dengan leluconnya. Segala tentang Bara adalah kebanggaan.Alifa tahu itu. "Mengalahlah sedikit pada adikmu Alifa! Kau sudah besar!" "Kau selalu memulai keributan, Alifa!"
"Menyingkirlah sana! Biarkan adikmu sendiri!" Alifa mencoba menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya dengan berbuat nakal. Ia berharap orang-orang akan mengembalikannya pada posisi sebelum ada Bara.Tetapi itu adalah kesalahan.Tak ada yang tertarik dengan kenakalan Alifa. Tak ada yang simpati dengan kelakuan Alifa. Dan Bara selalu menang.Akhirnya Alifa tahu satu hal. Ia tak akan pernah kembali ke posisi sebelum ada Bara. Maka Alifa semakin membenci hujan bulan Februari. Tak hanya semua kesayangannya terenggut hujan bulan Februari tetapi juga dirinya. Ia merasa terampas.
Alifa kemudian memilih menyendiri di kamarnya. Berbicara pada Ruru.Ayah dan ibu menganggap Alifa baik-baik saja.Ah,hanya siklus hormonal masuk usia remaja, begitu pikir Ayah dan Ibu. "Alifa, temani adikmu main di luar!" perintah Ibu. Hujan bulan Februari datang lagi. Alifa cemberut. Kenapa Ibu tak pernah mengerti bahwa ia tak suka hujan bulan Februari? Musim hujan begini, Alifa lebih suka mendekap Ruru sambil mendengarkan musik di kamar. "Dingin Bu, aku malas." "Ayolah! Kau harus mencoba hal-hal menyenangkan di luar rumah. Jangan memeluk boneka beruangmu terus, ia tak bisa memberimu pengetahuan."
Alifa bangkit dari duduk ketika Bara berlari ke halaman. Ia harus menemani anak itu kalau tak ingin ibunya ngomel sepanjang hari.Di luar langit gelap.Gerimis mulai turun rintik-rintik. Alifa menyambar payung dan mengikuti langkah Bara bergabung dengan teman-teman kecilnya. Bocah tujuh tahun itu berlari-lari kecil.Alifa terus mengikuti adiknya. Tiga jam berlalu dan Bara masih bermain. Alifa menepi di depan proyek pembangunan sebuah mal,melihat adiknya dari sana. Langit membabi buta menumpahkan hujan.
Beberapa anak telah dijemput ibunya. Tinggal Bara bermain bola di genangan air yang meninggi.Tiba-tiba air datang bergulung-gulung dari arah sungai. Seharusnya Bara masih sempat menepi, jika Alifa menginginkannya.Tetapi ada sesuatu yang menggeliat dalam dada Alifa. Sesuatu yang menginginkan hal sebaliknya. Alifa berdiri beku di bawah payung. Alifa melihat air datang bergulunggulung. Alifa melihat orang-orang menjerit menunjuk ke arah Bara.Alifa melihat bola adiknya menjauh terbawa arus.
Alifa mendengar suara Bara memanggilnya. Dan Alifa melihat tangan mungil Bara menggapai-gapai ke udara. Makin menjauh, lalu lenyap tanpa jejak. Tiga hari kemudian, jasad Bara ditemukan di selokan ujung gang. Persis kelinci putih kesayangan Alifa. Ibu menangis bertahun-tahun.Sampai air mata dan tubuhnya kering, lalu meninggal setahun setelah Bara hanyut. Ada yang merambat perih di dada Alifa.Sesal yang memburu.
Setiap saat hampir membunuhnya. "Sekarang tinggal kita berdua Alifa," kata ayahnya tersendat. Alifa tak kuasa menahan sesal. Rumahnya meninggalkan banyak bayangan Bara. Alifa memutuskan kuliah di kota lain, meninggalkan ayahnya sendiri. Mungkin, Alifa tak akan pernah pulang ke kotanya. Dan itulah yang terjadi bertahun-tahun kemudian. Alifa menghapus semua jejak yang dapat dilacak ayahnya. ***
Taring melata itu menancap kian hebat. Ulu hatinya mulai berdarah. Ia menikmati rasa sakit itu.Wajahnya seputih kapas, namun ia masih membeku menatap pemukiman seberang mal. Apakah lelaki itu masih di sana? Menunggu kepulangannya? Tangannya tak bergerak mencari obat pereda sakit dalam tasnya. Ia ingin mati saat ini. Air di jalanan mulai meninggi.Aliran sungai dan kubangan menyatu. Orangorang menepi,meninggalkan mobil atau motornya yang tenggelam. Banjir semakin hebat ketika bergulung-gulung air datang dari arah sungai.
"Mbak, kafe akan segera ditutup. Banjir datang lagi," kata pelayan sopan. Ia menyapukan pandangan ke seluruh ruangan kafe. Pemuda berjaket hitam tak ada lagi di meja sebelah. Semua pengunjung telah pergi.Perlahan ia bangkit dari duduknya, berjalan keluar kafe menuju lift. Semua orang menyelamatkan diri ke lantai atas. Tetapi ia memencet tombol bertanda turun. Ia ingin menyongsong air yang bergulung. Menemui Bara. ***
Telaga Sarangan, 5.2.07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar