Rabu, 25 Januari 2012

Emak Cerpen: Masriadi Sambo


Batam Pos
Minggu, 27 Mei 2007

Emak
Cerpen: Masriadi Sambo

Bosan rasanya aku meliput berita kekerasan setiap hari. Dunia ini seakan tidak pernah aman. Kemarin aku meliput kematian di Lorong Bunga, Lhokseumawe. “Aku bosan,” kataku sama Redaktur desk kriminal. Kejadian pembunuhan dan pemerkosaan tadi pagi, membuat bulu kudukku bergidik. Begitu sadis pembunuh itu. Sudah memperkosa korban nenek-nenek berusia 62 Tahun, si korban malah dicincang, seperti mencincang daging sapi di saat meugang bulan Ramadhan.

”Bos, aku bosan dengan desk kriminal. Aku tidak sanggup lagi melihat darah, aku lemah, sudah dua tahun di desk ini. Aku minta pindah desk,” kataku sambil merapikan tali ransel liputanku yang melorot ke lengan.
”Po Cut, dengar ya. Kamu itu, orang yang paling diandalkan di desk ini. Desk lain belum membutuhkanmu. Bertahanlah. Nikmati pekerjaanmu,” suara Pak Ismail membuatku semakin pusing. Pusing dengan sikapnya yang tidak mau memindahkanku. Aku harus bertemu dengan redaktur pelaksana. Beliau memiliki otoritas lebih tinggi dari pada Pak Ismail, yang judes, cerewet seperti perempuan ini.

Kuketik berita tentang pembunuhan nenek-nenek itu. Niatku, setelah mengetik berita ini aku akan pulang dan istirahat. Tidak perduli apa yang akan terjadi sebentar lagi atau nanti malam. Aku tidak akan meliput kriminal lagi. Itu tekadku.

Kukirim berita itu via email ke Redaktur Desk dan Redaktur Pelaksana. Tidak biasanya aku mengirimkannya via email. Biasanya aku ketik berita dengan program online di kantor, jadi redaktur tidak mesti menunggu berita yang di kirim wartawan. Semuanya serba online. Bahkan dia bisa memantau proses pengetikan berita itu sampai selesai. Begitu canggihnya program yang satu ini.

Kuambil motor ku. Baru saja kumasukkan gigi satu handphone di kantong menjerit kembali. Tampak nomor redaktur desk memanggil. “Ah? Pasti di suruh liputan lagi. Biarlah. Tak mau aku, liputan. Aku jenuh.” Ku gas motorku menuju rumah.

Jalan-jalan di kota mogas ini mulai ramai. Kota ini seakan tidak pernah mati. Namun, sayang, itu hanya bisa dilakoni pada siang hari. Malamnya semua masyarakat tidak berani keluar rumah. Suara rentetan senjata susul menyusul. Seakan bagai suara petasan menyambut tahun baru. Tidak pernah berhenti. Rumah-rumah penduduk terkunci rapat, pertokoan tidak terlihat satupun yang terbuka. Hanya mobil rio aparat keamanan yang lalu lalang. Ya, kota ini mirip Bosnia dulu. Atau contoh lain, kota ini mirip Irak saat di bombardir Amerika. Entahlah. Yang jelas, tidak ada yang bersuara untuk berteriak, damai dan hentikan kekerasan. Semua hanya kelu di sudut-sudut tasbih. Berdoa agar suatu hari, dunia ini akan damai dan masyarakat tersenyum kembali, menyambut pagi dan matahari. Menjalankan aktivitas tiada henti. Mencari sesuap nasi untuk anak-istri.

Po Cut. Ada kontak tembak di Langkahan, menurut informan kita di sana ada lima belas korban jiwa. Satu lagi, kontak tembak juga terjadi di Meurandeh Alue, di sana korban lebih besar jumlahnya. Sekitar enam puluh orang. Terserah kamu mau pilih yang mana,” begitu pesan singkat (SMS) yang masuk ke handphoneku. SMS itu lagi-lagi dari Ismail-sang redaktur usil.

”Pilih-pilih memangnya itu makanan. Itu korban jiwa. Terserah kamu E’, aku tidak mau meliput,” gerutuku dalam hati. Tidak ada niat untuk membalas SMS itu. Juga tidak ada niat untuk meliput berita itu. Aku bosan dengan darah dan mesiu. Bosan, titik. Tidak ada tawar menawar.

”Ken kalheh lon peingat. Kerjaanmu itu penuh tantangan. Apalagi sekarang dunia seperti ini. Perang di mana-mana. Jangankan di desa. Kantor Walikota saja dikirimi bom. Kamu tidak percaya. Dasar adekku yang cantik dan batat.” Suara abangku terdengar dari belakang. Tampak dia sedang membuka baju dinasnya. Hanya kaos lengan pendek di tubuhnya. Abangku, Marzuki memang lebih memilih bekerja sebagai pegawai negeri di salah satu instansi di kota ini. Katanya, dia tidak ingin berurusan dengan senjata. Terlebih lagi kontak tembak. Dia tidak berani. Meskipun tubuhnya tinggi besar dan mendapat undangan resmi dari Mabes TNI untuk menjadi taruna Akabri, saat SMA dulu. Dia tidak mau. Padahal sudah menjadi rahasia umum, masuk ke dunia militer harus mengikuti seleksi berbagai jenis dan model.

Dari tes darah, fisik sampai ke tes pantohir. Entahlah, dia memang lebih memilih menjadi masyarakat sipil. Katanya, untuk membunuh musuh dia tidak berani. Dia memang agak alim. Nyamuk yang hinggap di lengannya saja selalu di usir. “Nyamuk juga cari makan,” pesannya padaku tempo hari.

Dia juga yang mengingatkan aku agar tidak memilih profesi sebagai wartawan. “Kamu itu cewek. Beda dengan cowok. Kok milih kerjaan jadi wartawan. Tantangannya besar,” katanya saat aku mengikuti tes jadi wartawan di mediaku sekarang.

Aku tidak memperdulikannya. Kuambil tas liputan dan masuk ke kamar. Kukunci pintu rapat-rapat. Aku kesal dengan ucapan abangku. Seakan kalau perempuan tidak pernah bisa menjadi wartawan. Abangku terkadang berpikiran kolot. Baginya wanita harus bekerja di kantor. Tidak boleh di lapangan. Daripada di lapangan, wanita lebih baik di rumah saja. Mencuci, memasak dan tidur. Itu akan lebih baik menurutnya. ?

***

Senja menguning. Redup. Perlahan sinarnya di gantikan sang raja hitam. Dan, malam membekap kota ini. Artinya tidak ada warga yang bisa keluar rumah. Di sini berlaku jam malam. Persis di Irak.

Kami makan malam bersama. Emak sudah menyiapkan asam keueng kesuka-anku. Di keluarga, gulai yang satu ini menjadi makanan favorit. Abangku juga menyukainya. Kata Emak, di saat Ayah masih bersama kami, beliau selalu menyuruh Emak untuk memasak lauk ini. Jika lauk ini tidak ada, maka menunya di ganti dengan kuah pliek. Sayang, Ayah sudah lama pergi. Menurut cerita Emak, sejak aku berusia lima tahun, Ayah sudah pergi. Katanya mencari rezeki di Kota Medan. Sampai hari ini belum pernah kembali.

Terkadang aku berpikir, Ayahku menjadi korban konflik ini atau menikah lagi di Kota Medan. Setiap kali kutanya, Emak hanya berpesan, jangan berburuk sangka terhadap Ayah. “Suatu hari Ayah pasti kan kembali,” kata Emak bernada romantis.

”Ayo makan, jangan melamun,” kata Emak sambil menyenggol lenganku.
Ku suap nasi itu perlahan. Meskipun masakan Emak, selalu enak. Tapi, kali ini nafsu makan ku hilang entah di mana. Dari dalam kamar terdengar handphoneku menjerit.
”Ayo diangkat dulu,” Emak mengingatkan.

”Biarkan saja Mak. Nanti juga berhenti. Paling-paling dari kantor,” kataku.
Abangku terus menyuap nasi, aku berharap dia tidak memberi komentar tentang jeritan handphoneku barusan. Makan malam itu pun berakhir. Emak menuju kamar untuk istirahat. Usianya mulai senja. Tidak dapat duduk berlama-lama lagi dengan kami. Dulu, sewaktu masih kuat, setiap malam dia menyanyikan Hikayat Prang Sabie. Nada-nada hikayat itu menyejukkan hati.

Sejurus aku sempat bercerita dengan Abangku tentang konflik di negeri ini. Menurutnya, konflik ini karena ketidakadilan saja. “Coba? jika pemerintah adil. Hasil migas di daerah ini di bagi sama. Pasti tidak akan perang. Di sini rakyat miskin terus. Pengangguran lebih enam puluh persen. Terus Aceh ini kayanya di mana,” ujarnya. Dia memang lulusan sosial politik. Terkadang analisa politiknya tepat. Namun, tidak jarang juga salah.

Aku berpikir, untuk mendamaikan dua belah pihak yang bertikai lebih dari tiga puluh tahun, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Aku hanya berharap suatu waktu, di kala sedu sedan mulai menyepi, damai itu akan tiba. Singgah di negeri ini, untuk selamanya. Dering hanphoneku terdengar lagi.”Hanphone itu tidak berhenti menjerit. Diangkat dulu. Mana tahu penting,” abangku mengintruksikan. Sampai usiaku sekarang ini, belum pernah aku membantahnya. Apapun yang dia katakan, aku selalu nurut. Di keluarga, Emak menerapkan sistem militer. Junior tidak boleh membantah senior. “Adik tidak boleh membantah Abangnya. Kalau itu benar,” kata Emak belasan tahun lalu.
”Hallo. Assalamualaikum. Ada apa Pak?”

Redakturku memerintahkan aku harus meliput kontak tembak di Simpang Buloh, dekat dengan salah satu kompi TNI. “Kamu harus pergi. Aku tidak ingin dengar alasan malam ini,” katanya tegas.
”Pak, saya tadi pagi sudah bilang. Saya jenuh dan minta pin..,” belum sempat kalimat itu kuselesaikan, terdengar dari seberang telepon, suara Pak Maimun, Redaktur Senior di mediaku. Orang ini yang paling aku segani. Penampilannya sederhana, penuh kharisma.

Po Cut. Kali ini saja. Sudah semua wartawan kita mendapat tugas. Mereka masih berada di lapangan. Hanya kamu satu-satunya. Tolong kali ini saja. Besok pagi saya janji, kamu akan di pindahkan ke desk hiburan. Saya harap kali ini kamu bersedia, untuk yang terakhir kali di desk kriminal,” katanya membujuk.
”Baiklah Pak. Saya berangkat,” kataku lemah. Kusiapkan semua keperluan liputan. Tape recorder, ballpoint, kamera dan buku kecilku. Aku pamit.

”Hati-hati di jalan, jangan terlalu memaksakan diri. Jika memang tidak memungkinkan meliput. Tinggalkan saja. Tulis saja, apa yang kamu rasakan,” kata Abangku mengingatkan.

Di perjalanan tidak ada satu mobilpun melintas. Dentuman bom mulai terdengar. Jarak antara tempat tinggalku dengan lokasi kejadian memang tidak terlalu jauh. Sekitar lima kilometer. Rentetan peluru bersahutan. Kucari posisi aman. Ku bidikkan beberapa kali kamera ke arah TNI yang berlarian sambil menembak ke arah timur. Beberapa wartawan lainnya sudah berada di lokasi kejadian lebih dulu.
”Arah Jam Satu. Mereka lari ke sana. Lidungi aku,” teriak seorang TNI tidak tentu arah. Senjata serbu itu terus memuntahkan peluru. Kami hanya tiarap. Tidak ada hal yang bisa kami lakukan. Selain mengarahkan kamera sambil tiarap.

Beberapa pohon pinang sudah tumbang, tidak tahan terkena ledakan bom. Desingan peluru juga terdengar mendesing di atas atap rumah penduduk. Suaranya seakan menjadi aliran musik tersendiri.
Satu jam perang itu berlangsung, perlahan para TNI keluar dari persembunyian masing-masing. Wajah mereka memperlihatkan amarah yang meledak. Merah. Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan terlihat sibuk berbicara lewat radio di tangannya. Dia mengintruksikan agar kompi arah Timur menghalau para pemberontak itu. “Halau mereka. Mereka berlari ke arah situ,” katanya tegas.

Kami mulai mendekati lelaki berbadan gempal ini. Bahasa Indonesianya kental logat Jawa. Namun, dia juga bisa berbahasa Aceh. “Semuanya baik-baik saja. Tidak ada korban jiwa di kita. Mungkin mereka ada. Karena ada bekas darah di sepanjang jalan ini,” katanya sambil menunjukkan ke arah Timur.
Beberapa kali aku memotret wajahya. Hatiku mulai gugup. Tidak biasanya aku segugup ini. Apa yang akan terjadi. Aku memang wartawan wanita satu-satunya yang sering meliput konflik.
Po, mari kita pulang,” suara Amir salah seorang kontributor TV nasional padaku.

”Entah kenapa, hatiku tidak enak, Mir.” Kataku sambil menghidupkan motor.
”Berdoalah, semoga tidak terjadi apa-apa,” katanya sambil tersenyum.
Jalan-jalan semakin sepi. Hanya jangkrik yang bernyanyi. Ku arahkan motorku menuju rumah. Kampungku juga sepi. Hanya beberapa TNI terlihat sibuk berjalan kesana-kemari.

”Berhenti. Kamu dari mana. Cewek kok pulang malam,” kata seorang TNI menghentikan motorku.
”Saya baru saja pulang liputan,” kataku tenang. Kuperlihatkan ID Card-ku padanya.
”Ya, sudah pulang sana. Jangan berkeliaran, kutembak nanti,” kata lelaki berkumis tebal itu.
Satu-satu terlihat penduduk berjalan menuju ke arah timur desa. Tambo meunasah, terdengar tiga kali. Artinya ada yang meninggal dunia. Siapa yang meninggal pikirku?

Kuperhatikan orang-orang di rumahku. Tampak Geuchik dan para tetua kampung berkerumun di depan rumah.

”Apa yang terjadi Abu?,” tanyaku pada Pak Geuchik.
”Masuklah dulu. Ayo,” katanya sambil mengajakku.
”Emak???, Emak. Jangan tinggalkan kami. Emak??.”
Tubuh itu emakku. Terbujur. Kaku. Aku menangis sejadinya. Kudekap tubuh dingin itu. Emak, kata Abangku keluar rumah untuk mengambil air wudhu di telaga. Emak terbiasa salat tahajud. Dia tidak pernah perduli dengan kondisi di sekitarnya. Jika jam telah berdentang dua belas kali, maka dia akan ke sumur untuk wudhu. Saat itulah, timah panas menembus tubuhya. Emak terkena peluru nyasar dari manusia yang bertikai. “Mak, selamat jalan.”

***

Keterangan Kata:
- Asam Keueng dan Kuah Pliek : Gulai Khas Aceh
- E’ : Panggilan untuk Ismail, orang Aceh biasanya memanggil begitu untuk singkatannya.
- Tambo Meunasah : Beduk Tempat Rumah Ibadah
- Ken Kaleuh Lon Peingat : Kan Sudah Saya Ingatkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar