Rabu, 25 Januari 2012

Dua Penari (Untuk Tuan Kawabata) Cerpen: Rama Dira J


Media Indonesia
Minggu, 15 Juli 2007

Dua Penari (Untuk Tuan Kawabata)
Cerpen: Rama Dira J

ANGIN lembut milik sore musim semi, cukup mendatangkan kesejukan pada dua perempuan yang tengah berjalan-jalan di sekitar hutan kecil itu. Bau dedaunan muda yang dihajar angin bercampur aroma tanah basah akibat hujan yang sebentar tadi menyeruap, menyengat di hidung. Mereka melihat tupai-tupai berlarian di atas dahan, tampak gembira karena tak ada lagi hujan. Mereka mendengar suara-suara burung yang beterbangan, begitu menyenangkan. Ada pelangi mini yang mengambang di atas danau.

Perempuan yang lebih muda, namanya Rani. Ia masih mengenakan busana tari berwarna emas. Dalam gerak yang kurang leluasa sebagai pengaruh dari rok panjang yang agak ketat, ia mendorong perlahan sebuah kursi roda. Di atasnya duduk perempuan yang lebih tua, namanya Hanum. Sebagaimana penghuni lain di panti perawatan bagi orang cacat yang berlokasi tak jauh dari hutan itu, Hanum mengenakan setelan serba putih.

Berdua mereka menyusuri jalan setapak di antara rimbun pepohonan samping danau berair hijau dengan terus menikmati pemandangan dan kehidupan yang begitu terawat dalam hutan itu. Hanum terus mengajak berbicara, terdengar sangat antusias suaranya. Tampaknya, kunjungan Rani telah menjadi sesuatu yang sangat berharga baginya.

Pada kenyataannya, Hanum belumlah bisa dikatakan tua, meski ia bukan gadis pula; usianya baru menginjak kepala tiga. Meski demikian, masa-masa kejayaannya telah berakhir. Ia tak lagi bisa seperti dulu, memukau ratusan penghuni Ibu Kota yang sengaja datang demi menyaksikan pertunjukan tarian tunggalnya yang begitu menakjubkan.

Pada masa itu, gedung kesenian seolah sengaja dibangun khusus untuknya, sebab tak ada kegiatan kesenian di gedung itu yang bisa menandingi keramaian pertunjukan tarian tunggal Hanum. Tak ada yang memungkiri bahwa Hanum memang memiliki sihir jika menari. Sebagai perempuan dengan kecantikan alami, yang bisa menggerakkan badan dengan begitu indahnya dalam menerjemahkan kegundahan, kegembiraan, maupun kesepian dalam wujud tarian, tak pernah ada perempuan lain yang bisa menandingi kehebatan Hanum. Namun sekali lagi, kini, semuanya tak lagi tersisa. Dikenang pun, hanya akan menimbulkan duka pada Hanum. Meski demikian, apa yang kemudian dapat diraih Rani kini, lumayan bisa mengobati kegalauannya setelah kehilangan semua.

"Bagaimana pertunjukan tarianmu tadi, Rani?" Ia terus melontarkan percakapan antusias pada Rani.

"Sempurna, Bunda! Aku bisa memukau ribuan penonton sebagaimana Bunda dulu."

Meski tak ada hubungan darah antara mereka, Rani memang memanggil Hanum dengan sebutan bunda. Dulu, Hanumlah yang menyelamatkan Rani dari jerat kehidupan jalanan. Hanum telah mengangkat Rani si gadis yatim sebagai anak. Ia perlakukan Rani selayaknya darah dagingnya sendiri.

Seketika itu juga, kenangan tentang gadis kumal yang terbaring lemah di depan pintu rumahnya kembali membayang di depan mata Hanum. Betapa ia merasa bangga kini, bisa menjadikan Rani sebagai penggantinya menjadi penari yang sulit tertandingi. Demi capaian itu, ia telah mengajarkan dan mewariskan pada Rani gerakan-gerakan tarian kreasinya sendiri.

Bagaimanapun, waktu itu ia sepenuhnya menyadari, jika usia mulai menggerogoti tubuhnya, seorang pengganti haruslah disiapkan. Namun, ia tak pernah menyangka, takdir berkata lain. Kelumpuhan kedua kakinya itu datang menyerang terlalu cepat, kala usianya belumlah bisa dikatakan senja.

Sebelum menderita cacat, meski Rani telah sampai pada tahap hampir menandingi kehebatannya dalam menari, Hanum tak pernah merasa tertandingi. Bahkan untuk Rani, ia menciptakan tarian kupu-kupu emas, sebuah tarian yang indah, hanya jika ditarikan oleh mereka berdua sebab mereka sepakat untuk merahasiakan gerakan-gerakan detail dalam tarian itu. Bagaimana membuat kerlingan mata yang berbeda-beda dalam setiap gerakan pergelangan tangan, bagaimana tingkat kelembutan jentikan jari ketika harus mengibaskan ujung kain, bagaimana gerakan sebat kala mengepakkan sayap kupu-kupu emas buatan dan kapan harus saling menukar pandang dan senyum, baik pada pasangan maupun pada penonton adalah sekian dari rahasia milik mereka semata.

Tarian kupu-kupu itu membuat Hanum tak hanya menguasai tarian tunggal. Keberhasilan kreasi tarian kupu-kupu emas yang ditarikannya bersama Rani telah menambah reputasinya sebagai penari serbabisa. Sampai kini, tak akan pernah ada yang tidak memuji keindahan dan kehebatan tarian kupu-kupu emas sebab mereka berdua bisa menjiwainya, menarikannya dengan begitu sempurna, hingga mereka menjelma laksana dua anak kembar, pemilik gerak harmonis layaknya sepasang sayap kupu-kupu sungguhan yang mengepak, kemudian dari kepakan itu mengeluarkan semacam serbuk sihir yang bisa memukau semua penonton yang ada di gedung kesenian.

"Ah, aku sangat ingin menarikan tarian kupu-kupu bersamamu lagi, seperti dulu."

"Bunda usah khawatir, aku masih terus menarikannya. Oh, ya aku lupa memberi tahu Bunda. Gerakan pada tarian kupu-kupu itu aku ubah sedikit. Karena Bunda tak bisa menemaniku, aku terpaksa memodifikasinya dan menampilkan sosok laki-laki sebagai pengganti Bunda."

"Oh, ya? Apa tidak mengurangi nilai keindahannya?" Ada nada tak suka dalam suara pertanyaan Hanum.

"Sama sekali tidak, Bunda. Penonton malahan sangat menyukai versi baru ini."

Hanum diam. Sesungguhnya, ia tidak pernah menduga Rani akan melakukan itu. Semenjak mula, tarian itu ia buat khusus untuk ditarikan oleh mereka berdua. Jika kemudian salah satu dari mereka tak ada, seharusnya tarian itu tidak dipertunjukkan.

"Mengapa diam, Bunda? Apa Bunda keberatan jika tarian itu kuubah?" Tampaknya Rani bisa membaca gerak pikiran Hanum. Meski keberatan, Hanum tak mau Rani mengetahui. Ia tak ingin membuat Rani merasa bersalah. Ia sungguh bisa membuat dirinya berdamai dengan apa saja keberatannya demi kebaikan Rani sebab ia sangat menyayangi anak angkatnya itu, melebihi siapa pun.

Dengan penuh kepura-puraan, Hanum berusaha menenangkan Rani, "Oh, tidak, tidak. Jangan salah sangka. Aku diam justru membayangkan betapa menariknya tarian antara engkau dan lelaki pasanganmu."

Bagaimanapun, Hanum tak ingin membahas masalah itu lebih jauh. Ia tak ingin suasana hatinya yang girang berkat kunjungan Rani menjadi kacau balau. Lagi pula, ia tak pernah mau membuat Rani merasa bersalah. Untuk itu, ia berinisiatif mengalihkan pembicaraan.

"Rani, tahukah kau?"

"Ya. Bunda?"

"Saat kunjunganmulah yang selalu kunantikan. Aku sangat kesepian di sini." Hanum memang tak suka dengan kesepian sebab dalam kesepian, bayangan masa lalu akan mudah menyusup dalam pikirannya. Dalam kondisi seperti itu, ia akan bersedih hati, membayangkan rumahnya, tabungannya, segala harta bendanya yang sudah habis terkuras untuk biaya pengobatan penyakitnya yang tak kunjung bisa disembuhkan itu. Nasib buruk lain juga akan membayang. Kenangan tentang Braman, sang kekasih yang meninggalkannya dengan mudah pula menghantui. Ia begitu terpukul menemukan kenyataan bahwa laki-laki itu tak mencintainya. Terbukti dengan aksinya yang begitu saja meninggalkannya setelah mengetahui Hanum menderita cacat seumur hidup.

Berbagai macam masalah itulah yang membuat Hanum bulat memutuskan untuk tinggal di panti perawatan bagi orang-orang cacat, meski Rani pernah menawarinya untuk tinggal bersama dalam apartemen mewah miliknya.

Tentu, pernyataan Hanum tadi membutuhkan jawaban. Dan Rani memberikan jawaban yang bernada kurang lebih sama : "Aku pun begitu, Bunda. Saat seperti inilah yang selalu kuinginkan. Aku sentiasa ingin dekat dengan Bunda. Namun, itu mustahil kulakukan. Karena namaku semakin banyak dikenal, aku sering kali pergi ke luar kota untuk melakukan pertunjukan." Hanum tentu paham mengenai hal itu. Ia mengangguk menyetujui Rani.

Kini, mereka terus melintasi hutan itu. Sinar matahari sehabis hujan yang bersekutu dengan angin sore mulai menyapu hilang pelangi yang tadinya tersisa separuh di atas danau. Suara-suara riang di taman samping kompleks panti tak lagi terdengar, menandakan mereka berdua sudah melangkah begitu jauh.

"Apa kita tak terlalu jauh, Bunda?"

"Ah, tak mengapa. Aku masih ingin menikmati suasana di sini. Teruskan saja perjalanan kita sampai ke taman air mancur di ujung sana." Rani menurut saja apa yang diinginkan Hanum.

Taman air mancur adalah taman bunga yang ada di ujung hutan kecil itu, di sana terdapat pula kolam yang ada air mancurnya. Dan banyak burung dara yang beterbangan di dekat kolam itu. Sebelum meninggalkan kompleks panti tadi, Hanum memang sudah merencanakan untuk berjalan sampai ke taman air mancur. Ia telah mempersiapkan sebungkus jagung kering yang halus bagi burung-burung dara yang ada di sana.

Begitu mereka tiba di taman air mancur, Hanum langsung menaburkan jagung-jagung halus dari dalam genggamannya. Burung-burung dara yang kelaparan langsung berkelepak, mengerubung di depan mereka. Begitu gembiranya, Hanum sampai tak bisa menahan tawa segarnya yang lepas begitu saja. Rani pun ikut menikmati keriangan itu. Segera ia taburkan segenggam lagi jika yang segenggam tandas.

Kegembiraan itu tiba-tiba terhenti kala Hanum menyaksikan ada seekor burung dara yang terpisah dari kawanan itu. Burung dara itu menepi lemah di kaki tiang sebuah lampu taman yang ada di pojokan. Hanum meminta Rani untuk membawanya ke arah burung dara tersebut. Setelah mereka mendekat, Hanum meminta Rani mengambilkan burung dara itu. Rani segera mengambilnya, memberikannya langsung kepada Hanum. Hanum mengamati burung dara itu sejenak dan menemukan kedua kakinya memang patah. Hanum begitu saja terbawa pada pikiran bahwa kondisi burung dara itu tak berbeda jauh dengan apa yang menimpanya. Ada kesedihan yang kemudian datang, meski tak langsung membuatnya menangis. Ia kembali meminta Rani untuk meletakkan burung dara itu di kaki tiang lampu taman. Ia lemparkan seganggam jagung yang mulai dipatuk satu-satu oleh burung dara cacat itu. Tapi kemudian, kawanan burung-burung dara lainnya ikut mengerubungi segenggam jagung yang tengah dipatuk-patuk si burung dara malang. Langsung habislah dalam sekejap saja. Hanum kembali memberikan segenggam jagung, lebih dekat lagi pada si burung dara malang, namun kawanan burung-burung tadi justru mematuk si burung dara malang, yang seperti bukan anggota kawanan mereka. Burung dara malang yang kewalahan tak kuasa menahan. Ia mencoba untuk berdiri menghindar dari patukan, namun tak bisa ia lakukan. Hanum dan Rani mencoba mengusir kawanan burung dara yang jahat itu. Maka, beterbangan menyebarlah burung-burung itu untuk sementara dan Rani mengambil si burung dara malang untuk kembali diletakkan di tangan Hanum atas permintaannya. Burung-burung dara yang sempat terbang tadi, kembali mengerubungi segenggam jagung terakhir dari kantung jagung yang dibawa Hanum. Hanum mengelus-elus si burung dara malang. Tiba-tiba saja air mukanya berubah. Ia menangis dengan air mata yang menitik berat. Berbagai macam kenangan, keperihan yang menyatu dengan pemandangan nasib naas si burung dara malang membuatnya tak tahan.

"Tinggalkan aku untuk sementara di sini. Kembalilah menjemputku setengah jam lagi....." Sebagaimana biasanya, Rani tak menolak permintaan Hanum. Ia melangkah perlahan meninggalkan taman air mancur. Ia hanya sempat menoleh ke belakang, sebelum mencapai tikungan. Semakin menjauh meninggalkan Hanum, dalam setiap langkah kakinya menyusuri jalan setapak, perasaan girang yang lain, yang coba ditahannya kala bersama Hanum tadi menyeruak begitu saja. Bagaimanapun, kondisi Hanum yang seperti itu memang sudah lama ia harapkan. Ia tersenyum kala mengingat perjuangannya sampai harus ke pedalaman Kalimantan demi menemui seorang peracik ramuan pelumpuh kaki dari bahan tetumbuhan hutan. Ramuan itulah yang ia campurkan pada air minum Hanum di suatu malam keparat yang kemudian membuat Hanum abadi dalam kelumpuhan. Itulah awal, ketika ia bisa dengan leluasa meraih apa yang dimiliki Hanum yang serasa mustahil tergapai jika Hanum masih berada dalam kondisi sehat dan bisa menebarkan sihir tarinya. Tak ada yang tahu bahwa sesungguhnya semua itu bermula dari rasa muaknya berada posisi sebagai orang kedua, selaku penari pelengkap sang Dewi Tari: Hanum Setyaningrum.

Dengan pikiran yang terus berjalan, Rani melangkah mantap menyusuri jalan setapak hutan hingga mencapai panti, langsung menuju ke area parkir kendaraan. Dari dalam sebuah mobil sedan, Braman melambai mesra pada kekasih barunya itu. Begitu Rani masuk, mobil sedan itu langsung menderu laju meninggalkan area parkir.

Setengah jam telah berlalu, Hanum masih menunggu. Ia masih membelai-belai si burung dara malang dalam pangkuan. Kala itu, malam mulai turun. Ia terus abadi dalam harapan bahwa Rani akan kembali datang menjemputnya karena ia tak bakalan tahu bahwa sesungguhnya, kedatangan Rani tadi adalah kedatangan untuk terakhir kalinya.***

Pedalaman Borneo, 12 Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar