Rabu, 25 Januari 2012

Dongeng Penunggu Surau Cerpen: Mahmudi Arif D


Batam Pos
Minggu, 08 Juli 2007

Dongeng Penunggu Surau
Cerpen: Mahmudi Arif D

Adzan menyilet. Menyapa pintu-pintu. Menembus daun trembesi, ladang, lembah-lembah, orang-orang sibuk. Dan para petani itu. Perempuan-perempuan di kali, penyabit rumput, menyusui anak. Ada matahari terik. Ada lesung ditalu, bertalu-talu; suara paku dipalu pertanda kerja, sapi-sapi dihalu para gembala. Tertawa. Gembira.

”Gusti,?” Muadzin Ali mendehem. Menatap Imam Mathori takjub, memandang jendela. Menunggu sesuatu.”Tak ada yang datang. Apakah speaker di surau ini kurang keras memanggil mereka, Ali?”
?Musim tanam selalu membuat seluruh kampung sibuk. Seperti biasa. Lelaki dan perempuan. Bahkan anak-anak. Jangankan surau, bahkan sekolah selalu kosong. Maaf, Guru Brojol yang menceritakan hal itu kemarin sore.” jawab Ali.

Jadi sunyi. Lalu Imam Mathori terpaksa tertawa, lantas murung. Ada gurat tak jelas ketika ia meludahkan dahak keras keluar jendela, “Bahkan tak ada waktu untuk Tuhan. Begitu katanya”
Muadzin Ali mengangguk, tersentak.”Barangkali musim panen mereka akan ingat. Kita hanya bisa berharap, bukan begitu?”

”Selalu,” Imam Mathori mengusap muka, menegaskan, “Adzan sekali lagi, Ali! Waktu sudah hampir habis”

Suara Ali memanggil, suara adzan menembus atap menyayat dan berirama. Kembali lantang. Menuju lembah, sawah, menyeruak rumah-rumah, jendela-jendela: menyapa orang-orang yang tetap sibuk bekerja. Anak-anak ribut-riuh berkeliaran tanpa dosa di pematang. Perempuan-perempuan bebal menenteng rantang makanan suami, ayah, buyut, saudara. Orang hidup harus kerja. Harus makan. Lenguh sapi dipanggang matahari, menapak kaki-kaki basah di tanah, penuh lumpuh, harapan, penuh nyanyian, gairah hidup.

Makan! Hidup!
Sedang Imam Mathori berdiri sunyi di mimbar menyampaikan khotbah Jumat dengan setumpuk kisah tentang dosa. Tentang dunia, akherat dan neraka. Tak ada yang mendengar. Hanya Ali lantas dua orang lelaki udzur tertatih datang di pintu masuk: Dialah Lebai Otok Sukatno Gendut dan Wak Haji Besut. Hanya itu. Dua jamaah tua paling rajin, yang berobat pada beberapa bulan terakhir, tetapi nyaris selalu datang di surau paling akhir. Tak apa. Khusnul khatimah lebih baik, begitu agama ini mengajarkan. Pelan-pelan. Tak ada pilihan, bukankah begitu? Ini bukan jaman khalifah Umar, juga tidak hidup di cengkraman dua belas Imam kewibawaan Khomaeni. Bahkan Imam Mathori berkali menyeru, gagal, tak bisa memaksa. Setiap manusia punya pilihan sendiri, Tuhan tak akan merubah suatu kaum tanpa di berkehendak. Jadi tak apa. Begitu. Imam Mathori jadi sedih.

Khotbah diakhiri, menantang langit-langit, menutup mulut lewat doa: “Kita berdoa untuk saudara-saudara kita. Amin?”

Sembahyang wajib dua rakaat. Sunyi. Di luar cangkul-cangkul masih didentangkan, pecut sapi-sapi berteriak minta dirumputkan. Keringat tumpah. Tertawa, bekerja, dan bernyanyi. Jam satu siang memandang angkasa. Saatnya perut manusia diisi tiwul, gaplek, nasi. Wajib. Manusia pasti mati jika tak makan. Demi Tuhan! Para perempuan itu, para lelaki, anak-anak mengunyah-mengunyah mulut. Berkeciplak-keciplak. Bersama-sama sapi, tentu. Kambing itu. Ayam-ayam kapung. Juga bebek. Tikus, ular sawah. Sedang Tuhan, dimanakah Tuhan? Lalu apa bedanya kambing, sapi, bebek, ayam, tikus-kecoak dan mereka.Tak usah peduli.

***
Empat bulan Gusti Allah dengan mudah menumbuhkan biji yang ditebar dengan menganugerahkan air, angin, matahari dan tanah; mengatur kesuburan hingga aroma padi kuning dalam keharuman membentang. Saat panen tiba. Empat bulan orang-orang kampong letih menunggu. Datang pagi banting tulang, pulang tidur mengangkang. Ngorok. Dan sebagian bikin anak. Selalu begitu. Dan Muadzin Ali, pada saat semacam itu, terlihat bercahaya di muka surau. Yaitu pada Jumat ke sekian, entah. Di tepi Rumah Tuhan yang selalu sepi. Menunggu jamaah. Seperti biasa.

”Lihatlah, Tuhan begitu baik melimpahkan keberuntungan. Panen raya! Padi-padi gembrot, padi harum, padi mentiung, di tanah subur!” Muadzin Ali berteriak, menyalami Imam Mathori yang datang kemudian. Keduanya tersenyum, haru. Menatap lembah, jauh berkelok, samping ke ujung kampung. Dan angin yang silir. Betapa tentram.

”Kalau begitu, panggilah mereka, Ali. Hari Jumat, saatnya sembahyang,” Imam Mathori menukas.
”Mereka harus bersyukur. Wajib bersyukur. Adzanlah dengan baik, seperti Bilal di zaman Rasulullah. Segera Ali! Aku sudah tak sabar melihat surau ini penuh. Ratusan jamaah! Keraskan volume speaker sampai habis. Mudah-mudahan kali ini mereka tergerak. Toh panen raya telah tiba.” Panen yang subur, di tanah yang gembur, pada rezeki mereka yang makmur! Ya Allah.?
Berjingkat Muadzin Ali berbenah.

Seperhentak kemudian suaranya lantang menyilet langit. Memekik. Gemetar ia dalam syukur dan takzim. Sedang Imam Mathori tetap berdiri di pintu. Dari jauh, lamat langkah dua orang tertatih-tatih masuk: Lebai Otok Sukatno Gendut dan Wak Haji Besut.

”Alhamdulillah, ke marilah! Dua hamba Allah. Kalian orang yang pertama memenuhi panggilan muadzin. Beruntunglah. Hei di mana yang lain?” Muadzin Ali lelah melongok. Berkali-kali. Satu jam. Waktu merayap dan surau tetap sepi. Imam Mathori bangkit, bosan, sedang Lebai Otok Sukatno Gendut berzikir. Terlihat Wak Haji Besut sembahyang sunnah. Khsyuk. Wajahnya bening.

”Gusti,” Imam Mathori menuding, “Kau lihat di pintu, Ali! Aku mendengar suara ribut orang di luar. Barangkali mereka yang datang. Tuhan Maha Besar!” Benar, orang-orang ribut. Dari rumah-rumah, di jalan-jalan. Para lelaki, perempuan, anak-anak. Dengan langkah tergesa berduyun-duyun. Menyongsong langkah, di depan surau! Bersorak-sorak: menyanyi. Cangkul-cangkul, sabit, bakul, keranjang, bahkan gerobak. Ya Tuhan,

”Ke marilah saudara! Datanglah ke mari. Bersyukurlah di Rumah Tuhan. Kalian?” Terhenti berkoar Muadzin Ali melongo. Ajaib. Apakah itu? Heh!! Cangkul-cangkul, sabit, keranjang, bahkan gerobak. Astaga! Wajah berkerut suci ternganga, “Ke marilah!” Dia berteriak memanggil Imam. Terbadai. “Serombongan orang-orang ramai berangkat, berhamburan menuju ke sawah! Mereka tidak hendak ke masjid. Surau milik Tuhan. Tapi mereka hendak bekerja, menuai padi. Ya Allah?” katanya letih.

Tak ada musim panen tak ada tanam. Semua sama. Orang-orang begitu sibuk. Tak pernah behenti. Wajah Imam Mathori tiba-tiba berubah jadi bening, ikhlas: “Allah kelak akan menutup pintu kasih sayang. Mencabut ilmu. Engaku tahu, Ali, sekaranglah tanda-tanda itu telah dimulai.” “Apakah artinya?” kini aku ganti bertanya. “Setelah kita berempat mati, siapakah yang rela berpayah memanggil mereka untuk datang ke surau, Ali? Mengajari anak-anak mereka mengaji. Jawablah.”
”Tak ada ilmu agama, Kiai? Tentu tak perlu bunuh Tuhan. Dengan bengis. Karena yakin hidup ini abadi. Tak akan mati.”

”Bagus! Nah, sekarang tutup pintu surau. Adzanlah sekeras mungkin, seperti Bilal di zaman Rasulullah. Dan percayalah, sekarang pulalah tanda-tanda yang lebih menegaskan itu mulai diperlihatkan, tentu, hanya bagi orang-orang percaya: bahwa Allah, dengan ketegasan-Nya menutup rapat-rapat setiap telinga sehingga betul-betul tuli. Bukankah begitu Ali?”
Ali diam. Tersedak. Sunyi.
Kemudian suara adzab melengking seperti terompet Israfil. Pekak. Malamnya, runtuhan petir membelah langit.*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar