Rabu, 25 Januari 2012

Di Kampung, Tak Ada Kunang-kunang Cerpen: Indrian Koto


Sinar Harapan
Sabtu, 25 Agustus 2007

Di Kampung, Tak Ada Kunang-kunang
Cerpen: Indrian Koto

Pernahkah engkau mendengar riwayat seekor kunang-kunang? Betul, kawan. Dia tercipta dari kuku orang mati. Kematian yang tak wajar, memang. Menurut cerita nenek, orang-orang tersebut mati dalam ketakutan dan kecemasan. Kuku-kukunya dicabut selagi orangnya masih hidup. Sejak itu kunang-kunang selalu muncul malam-malam untuk mencari kukunya yang pernah hilang.

Ujung-ujungnya nenek akan melarangku untuk menangkap kunang-kunang. Hanya membawa sial dan petaka belaka, katanya. Menangkap kunang-kunang, berarti menganggu kepulangan kuku si mati. Bisa saja, tambahnya, anak-anak yang menangkapnya akan diganggu dalam mimpi. Dan memang, beberapa kali aku pernah tak bisa tidur dengan nyenyak dibuatnya.

Seperti kawan-kawan seusia lainnya, aku begitu menyukai kunang-kunang. Kerlipnya, seperti mata yang kadang berbinar, sesekali berubah sendu. Kerlip di tubuhnya seperti ingin bercerita banyak padaku. Entah apa. Di lain waktu ia seperti menatapku dengan perasaan hampa. Adakah ia bertanya jalan pulang?

Seperti halnya nenek, Buya Suar – guru mengaji kami – juga melarang menangkap kunang-kunang. Buya melarang kami, hanya karena rasa kasihan belaka. Kunang-kunang jauh lebih indah kalau dia dibiarkan terbang, maka biarkan ia berpijar sampai pagi, tambahnya. Tak perlu menangkapnya, karena –tambah Buya – kunang-kunang adalah petunjuk arah untuk makhluk-makhluk malam lainnya. Seperti mercusuar di lautan, layaknya. Ah, masih saja dia ingat akan pelayarannya yang sesekali pernah diceritakan pada kami – yang laki-laki – saat menginap di surau malam-malam.

* * *

Entah kenapa aku begitu senang menangkap kunang-kunang. Saat pulang mengaji, misalnya, ketika melewati jalan setapak di pinggir kali, atau ketika melewati hamparan parak pisang yang luas di ujung desa – surau kami memang terletak jauh di ujung desa, sedikit agak di pinggir sawah – ratusan kunang-kunang akan selalu menggoda kami sepanjang perjalanan pulang.

Saat melewati hamparan parak pisang itulah, akan mengalir banyak cerita yang tentu saja akan membuat teman perempuan memekik ketakutan. Tak jarang sesekali waktu – saat purnama bersinar terang – suluah dan colok ikut dipadamkan. Saat seperti itu kami – yang laki-laki – mencuri-curi kesempatan dan belajar menjadi dewasa. Aku dengan segera memeluk Yuni, gadis manis yang jadi rebutan kawan-kawan. (Ah, mengapa jua menceritakan sesuatu yang telah patah).

* * *

Adakah kau sungguh-sungguh percaya kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati?

Aku tetap menyukai kunang-kunang, diam-diam. Menangkapnya dan memasukkan ke dalam sarung, pakaian juga plastik yang telah disediakan. Aku dan kawan-kawan akan berlomba untuk mendapatkan yang paling banyak. Dan lihatlah kerlipnya di tubuh kami, aduh, tidakkah seperti mercu yang sering diceritakan Buya?

Di rumah, aku menyimpannya ke dalam botol atau toples, tak jarang aku menaruhnya di kantong plastik. Sisi-sisinya kulubangi agar ia bisa bernapas. Kemudian kusembunyikan di kolong dipan. Saat mau tidur kutaruh di lemari kayu dan sebagian lagi akan aku gantung di dinding. Sampai aku terlelap. Selalu kubayangkan, kerlipnya adalah mercu di lautan. Atau terlihat seperti kerlip lampu bagan penangkap ikan. Sesekali kubayangkan sebuah tempat yang penuh lampu-lampu di tempat yang jauh.

Tak jarang aku ketahuan nenek, dan akan membuat beliau marah. Nenek menghardikku dengan keras.

“Tak jua berhenti juga kau, Buyung? Tidak terdengar di telingamu apa yang telah aku ceritakan? Dengarlah, kerjamu ini sungguh keterlaluan.”

Ingin rasanya aku mengatakan pada nenek apa yang pernah Buya bilang. Tapi kata-kata itu hilang begitu saja. Aku tak berani membantahnya. Mata itu, lihatlah, berkilau diterpa cahaya kunang yang tersisa satu dua.

“Baiklah, akan aku ceritakan padamu kisah yang sesungguhnya.” Suaranya mendesis di telingaku. “Dengarlah, Buyung. Dulu sekali, banyak orang yang mati dengan tidak wajar sehingga kukunya menjelma kunang-kunang. ” Nenek diam sejenak. Matanya kian berkilau memandangku. Ah… Aku melihat mercu di matanya.

“Kenapa kunang-kunang?” tanyanya. Aku diam saja. “Untuk mencari jalan pulang, Buyung. Mereka ingin kembali ke rumah masing-masing. Berharap pintu-pintu tak pernah dikunci.”

Dia terdiam lagi. Terdengar batuk-batuk kecil dari mulutnya. “Mati yang tidak wajar, kau tahu? Waktu itu ibumu masih kecil sekali. Orang-orang bersenjata itu datang dari kota menyerbu perkampungan. Mereka menembaki satu-satu orang-orang kampung. Mereka tidak hanya dibunuh, tapi juga dicincang. Kampung ini sebentar saja hangus dilalap api..”

Kembali nenek terbatuk sebelum melanjutkan, “Mereka selalu menanyakan di mana markas para tentara revolusioner yang mereka bilang kaum pemberontak. Kami tak mengerti revolusioner seperti yang mereka bilang. Tapi tentara-tentara terlatih itu tak mau tahu. Tidak seorang pun yang berani melawan jika tidak mau dicap pembangkang. Mereka terus membakar perkampungan dan lumbung-lumbung. Mereka bilang untuk mematahkan perlawanan para pemberontak yang katanya bersembunyi di hutan-hutan sekitar perkampungan.” Nenek terbatuk lagi, memuntahkan air sirih yang berwarna merah darah.

“Mereka menembak kakakku yang sedang bekerja di tengah sawah.…” Sampai di sana nenek terdiam. Ada getar dari suara yang coba ditekannya. Mata tuanya berkaca-kaca. Aku ikut terhanyut oleh irama yang dilantunkannya.

“Ya, Buyung. Kemalangan timpa bertimpa. Ketika nenek masih kecil kampung dijahati oleh Ulando kemudian Heiho. Mereka sama-sama kejam dan jahat, menyiksa dan membunuh. Banyak orang yang diangkut dari kampung untuk disuruh menggali lubang. Mereka tidak dikasih makan, banyak yang mati kelaparan. Masih untung bisa pulang dengan tulang dada bertonjolan. Lebih banyak yang mati dan terlebih dahulu mereka disiksa. Kuku-kukunya dicabuti. Dan mereka menjelma kunang-kunang.”
Kembali dia terdiam. Barangkali tengah mengumpulkan serpihan kenangan dan mengatur jalannya napas. Aku diam memeluk guling. Sementara nenek kian bergetar.

“Terlebih lagi waktu pembantaian orang-orang komunis itu. Dalam semalam ratusan orang hilang. Begitu banyak yang tak pulang. Tiap pagi selalu ada mayat yang sulit dikenali lagi. Dan kau tahu apa pengganti hati yang luka? Kunang-kunang cucuku. Begitulah, setiap ada yang hilang tiap itulah kunang-kunang datang. ”

“Tapi menurut Buya…” selaku pelan.

“Alaah...! Apa yang ditahu si Suar itu. Dia orang yang cerdik dan licik, memilih berlayar agar selamat dari kematian. Saat itu benar-benar kacau. Orang-orang saling berbunuh. Saat itu siapa musuh siapa. Pilihan hanya membunuh dan dibunuh. Kau tahu, Buya Suarmu tak lebih manusia penakut. Dia pura-pura gila untuk bisa menyelamatkan diri dari kematiannya. Saat itu siapa bunuh siapa. Membunuh dan dibunuh. Dalam suasana kacau itu Buyamu terhindar dari maut karena dia pura-pura gila. Tapi keluarganya habis dibantai, sebelum akhirnya ia memutuskan pergi berlayar. Bertahun-tahun yang panjang...”

Aku tak lagi mendengar kelanjutan cerita nenek. Kepalaku tak cukup kuat menampung kebingungan-kebingungan yang tak mampu kupertanyakan.
Kubayangkan orang-orang yang tewas dalam kelaparan dengan tulang dada yang menonjol. Kusaksikan perkampungan yang terbakar, kakek yang meninggal, juga Buya yang pura-pura gila. Lalu kusaksikan laut dan segala yang hijau. Pulau-pulau dan mercusuar, Buya yang berdiri di surau tua dengan mata yang menerawang. Mengingat pelayaran.

* * *

Tiba-tiba aku merindukan kunang-kunang. Setelah belasan tahun kutinggalkan kampung. Saat kembali yang ingin kusaksikan adalah ribuan kunang-kunang di pinggir sawah. Ah, jalan lengang yang gelap di pinggir kampung tentu akan berkilau oleh cahaya.

Lama tak kembali juga tanpa kabar membuatku sedikit bingung riwayat kampung. Jalan-jalan telah diaspal, tiang-tiang listrik berdiri kokoh. Surau kami pun telah menjelma masjid besar. Ah, tentulah ini hasil jerih payah mereka di negeri seberang. Tentu seluruh masa lalu ikut hanyut jauh ke muara sejak surau digantikan. Betapa banyak kenangan; Buya, pematang sawah, cerita nenek, kunang-kunang dan Yuni, perempuan yang mengantarku jauh ke tanah rantau. Ah, kisah pahit yang entah harus aku kutuk atau disyukuri.

Kampung benar-benar telah banyak berubah. Jalan-jalan yang telah diaspal, motor dengan berbagai merek bersileweran, rumah-rumah besar di sepanjang jalan, juga suara iklan dan sinetron. Bukan perubahan ini benar yang kuherankan, bukan. Bukan suara tape recorder yang berdentum atau gesekan keping VCD, juga riuh sinetron di televisi. Sekali lagi bukan. Juga masjid besar yang lengang dan kian kosong – sempat kulihat pintunya selalu digembok.

Aku tak menemukan seekor kunang-kunang pun!

Tidakkah ini mengherankan? Ke mana kunang-kunang itu mengungsi? Adakah karena sinarnya tak lagi dihargai? Ataukah dia sedih saat anak-anak melupakan sinarnya yang telah diganti lampu-lampu? Atau adakah dia temukan jasad yang dicari.

Tanpa sadar aku melangkah ke ujung desa tempat di mana makam-makam warga sekitar. Aku terus saja melangkah. Ke mana perginya kunang-kunang? Sungguh, aku kembali hanya untuk melihat kerlip itu lagi, setelah kota mengungsikan bermiliar kunang-kunang. Dentingan gelas dan hempasan batu domino terdengar sayup, bercampur dengan hentakan lagu rock yang diputar keras-keras entah dari arah mana.

Aku sampai di kubur nenek. Sepi! Tak seekor kunang-kunang pun yang kutemukan.

Tiba-tiba aku teringat Buya. Barangkali di kuburnya tersisa seekor kunang-kunang. Bukankah konon kematiannya sesuatu yang tak wajar? Sebagian kukunya, menurut cerita yang kudengar, tidak lagi lengkap saat mayatnya diantar pulang. Buya meninggal setelah dijemput orang tak dikenal. Lalu diantar pulang dengan tubuh tak bernyawa.

Aku melangkah cepat. Jika di kubur nenek tak ada kunang-kunang, aku berharap di kubur Buya ada sisanya.***

Rumahlebah, November 2004-Mei 2006

Arti kata Minang:
Buya=guru mengaji, parak=kebun, suluah=daun kelapa kering, colok=obor, dama=lampu minyak, bagan=kapal penangkap ikan, Ulando=panggilan untuk tentara Belanda, Heiho=tentara Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar