Rabu, 25 Januari 2012

Anggang dari Laut karya Pinto Anugrah


Riau Pos
Minggu, 13 Januari 2008

Anggang dari Laut
Cerpen: Pinto Anugrah

"Pergilah! Ikuti aliran batang Kuantan itu, kelak kau akan bertemu ujungnya, di mana air akan terasa asin di lidahmu. Muara dengan riak ombak yang mendesir, nyanyian yang mendayu-dayu, yang membuat hati pilu dan layu. Ya, di sanalah tanah Melayu. Carilah ayahmu! Ia berdiam di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Anggang, itulah nama ayahmu, terkenal dengan julukan ‘Anggang dari Laut’!"
Mengiang, kata-kata itu mengiang. Tertanam di tubuhku yang paling dalam. Masuk ke darah, mengalir, setiap persendian, ngilu, dan pilu. Menjadi dayung setiap pelayaranku.

"Ingat, Buyuang! Kau bukan lagi anak dari seorang putri raja dengan ibu bernama Puti Jamilan. Kini, kau hanya seorang anak rantau yang mencari penghidupan baru di tanah seberang. Layarilah penghidupanmu, kini kau punya kapal sendiri yang bebas kau kayuh ke samudra manapun."

Sebuah kapal dagang baru saja melempar jangkar. Petang di bandar Malaka tak menyurutkan hiruk-pikuknya sebagai bandar dagang yang sangat ramai. Kapal-kapal silih berganti menurunkan dan menaikkan jangkarnya. Barang-barang dagang tak habis-habisnya turun dan naik dari kapal-kapal.

"Apa yang kau lamunkan, Bujang?"

Aku tak menyangka ia akan menyapaku juga. Sedari tadi kuperhatikan ia sibuk menyelesaikan pekerjaannya; mengangkuti peti-peti lada yang hendak diperdagangkan. Ia seorang kuli angkut di bandar ini, aku mengenalnya pagi tadi di kedai kopi sudut bandar.

"Saya hendak sangat berlayar."

Ia tertawa, lepas, keras sekali. Hingga orang-orang pun menoleh, kami jadi pusat perhatian. "Ke mana kau akan berlayar, Bujang?"

"Entahlah. Ke mana gelombang akan membawa."

"Kau masih terlalu mentah. Kau tahu, di laut lepas sana lanun-lanun berkeliaran. Membidikkan meriamnya ke setiap kapal dagang yang lewat. Sanggup kau menghadapinya?"

Aku tercenung, kemudian mengangkat kepala kembali. "Boleh saya tanya sesuatu."

"Apa yang hendak kau tanyakan?"

"Kau tahu di mana letaknya laut yang sedidih?"

Ia terkesiap, seketika ia hentikan pekerjaannya. Dan langsung berlari, menghilang di balik kerumunan orang. Bandar sangat ramai, aku tak dapat melihat ke arah mana ia lari. Tinggal rasa heranku.

Kembali aku termenung di ujung bandar, menatap laut lepas, dan sesekali pikiranku melayang entah ke mana. Tak lama ia kembali, namun kali ini ia tak sendiri. Di belakangnya seorang tua mengikuti. Air mukanya jernih. Bawaannya sangat tenang. Tampaknya ia seorang tua yang sangat dihormati dan jadi kaul tempat bertanya. Ia menghampiriku, sangat dekat, memandang lekat-lekat.

Ia berkata setengah berbisik, "Siapa yang kau cari, anak dagang?"

Aku memandang wajahnya yang teduh itu. "Anggang!"

Tampak ia terkejut, namun keterkejutannya itu dapat ia redam dengan bijak sebagai seorang tua. "Dari mana kau tahu keberadaan Anggang? Hanya orang-orang yang telah lama berlayar dan lanun-lanun yang tahu akan keberadaan Anggang."

"Aku anak Anggang!"

Kali ini keterkejutannya tak dapat ia sembunyikan. Ia terdiam, beberapa saat.

"Sebaiknya kau, anak dagang, cepat pergi dari sini! Jika Syahbandar tahu, kau bisa dirantai."

Kawanku, kuli angkut, turut mengangguk. Mengiyakan. Meyakinkanku.

Dan orang tua itu tampak memandang lurus ke depan, seolah pandangannya dapat menembus luas lautan. "Datang juga masa itu!"

***

Ruang ini gelap sekali, tak ada cahaya masuk sedikit pun. Aku tersandar di dinding batu yang lembab dengan kaki terantai dan terpasung ke dinding. Kepalaku terasa berat, tak lagi berasa apa-apa. Hanya darah dingin yang mulai membeku terasa di bibirku yang sembab. "Asin," umpatku, "Seasin air laut..."

Tak dapat kuingat dengan jelas, kejadian itu berlalu begitu cepat. Menghantamku, membuat segala yang ada di sekitarku mengelam. Kelam.

Tiba-tiba saja ia telah berada di belakangku dengan para hulubalangnya. Mereka langsung menyekap dan merantaiku. Kawanku—kuli angkut itu, tak dapat berbuat apa-apa, hanya memandang nanar ke arahku. Sedangkan orang tua itu, ia tersenyum, senyum yang lepas, "tidak apa, ikuti saja mereka! Itulah jalan untuk bertemu ayahmu!" Kemudian ia menghilang di antara kerumunan orang yang menonton.

Aku dibawa ke sudut bandar, seperti sebuah gudang, tapi aku yakin ini bukanlah sebuah gudang. Di dalam gelap, hanya bayangan garis wajah mereka yang dapat kutangkap dengan mata.

"Kau dari mana?"

"Siak!"

Sesuatu mendarat di kepalaku. Begitu keras. Membuat pandanganku mengabur. Dan benar-benar kelam.

***

"Tukar kebebasanmu dengan Pedang Sijanawi!"

Ia duduk berhadap-hadapan denganku. Sebuah meja Turki memisahkan. Tampangnya begitu dingin, walau airmukanya kelihatan bersih. Aku tak mengenalnya.

"Aku tidak tahu pedang apa itu, lagipula aku tidak punya pedang satu pun apalagi pedang yang kau sebutkan tadi."

Tawanya langsung meledak seperti muncung meriam. Aku tak mengerti apa yang ditertawakannya. "Bodoh! Aku tidak menyangka ia punya anak sebodoh ini."

Orang-orang yang berdiri di sudut ruangan itu pun ikut tertawa.

"Tidak perlu kau tahu pedang apa itu, cukup kau beritahu di mana keberadaan ayahmu, maka kau bebas!"

"Di laut yang sedidih." Aku menjawabnya cepat.

Ia lalu mengambil sebuah peti dan meletakkannya di atas meja Turki itu. Dikeluarkannya sebuah peta yang tampak sudah usang dan dikembangkannya seperti mengembangkan layar kapal ke hadapanku.

"Tunjukkan! Di mana laut yang sedidih itu!"

Aku sama sekali tak mengerti membaca peta. Yang kulihat hanya garis-garis hitam yang tebal dan pada bagian tertentu terdapat garis tipis mengiris. Dan tulisan, tulisan Arab tanpa baris, aku dapat membacanya sedikit-sedikit walau masih terbata-bata. Kutelusuri tulisan itu dengan berusaha membacanya satu persatu.

"Inuk." Kutunjuk sebuah tempat yang dengan mudah dapat kubaca di peta.

Ia langsung tercenung, semua tercenung.

"Inuk?"

"Bukankah Inuk wilayah kekuasaan raja-raja Bugis di Lingga?"

"Kita tidak bisa masuk ke dalamnya."

"Jika tetap masuk kita akan berperang dengan Bugis-bugis itu."

"Saya tidak percaya Anggang berada di Inuk, Syahbandar."

"Kenapa kau tidak percaya?"

"Kita lupa, ia itu Raja Lanun yang diburu muncung meriam raja-raja Melayu dan dibenci oleh raja-raja Bugis. Tidak mungkin dengan mudahnya ia memberitahukan keberadaannya pada orang-orang, bahkan kepada anak dan istrinya sekalipun."

Syahbandar langsung memukul meja di hadapanku.

"Budak ini mencoba menipu kita!"

Sebuah benda keras lagi-lagi dihantamkannya ke kepalaku. Membuatku tersungkur ke meja, darah segar langsung keluar mengalir dengan deras menggenangi meja buatan Turki itu, membentuk lautku sendiri. Tiba-tiba aku seperti tersadar, inikah laut yang sedidih itu? Mana mungkin, aku menepis pikiran itu.

Samar-samar aku masih mendengar amarah mereka.

"Buang budak ini ke air, biar muara Kampar menguliti tubuhnya, dicabik-cabik buaya. Tidak ada gunanya budak ini di atas kapal kita."

"Huh, Anggang, Raja Lanun yang menyimpan pusaka segala lanun yang benar-benar licik dan licin. Tidak salah ia dinamakan dengan Anggang, mendengarnya saja sudah bikin gatal seluruh badan apalagi kalau menyentuhnya."

***

"Bangun! Bangunlah, Anakku!"

"Kaukah itu Ayahku? Kaukah itu Anggang?"

"Ya, inilah bentuk wujudku. Ternyata kau sudah besar, Buyuang. Tanggalkanlah nama kecilmu itu! Sekarang kau bernama Tun Bujang yang akan mewarisi segalanya dariku."

"Di mana? Di mana kau, Ayah?"

"Ada di hatimu."

"Hatiku jauh kutinggalkan bersama Ibu, sebagai kawan sepinya untuk bersenandung."

"Telah kujemput dengan pusakamu Yamtuan Raja Kecik dan pedang Sapu Rajab, serta cap kuasa atas segala selat dan pesisiran."

"Kita pernah bertemu. Bukankah kau yang di bandar tempo hari?"

"Ya, bentuk lain dari penyamaranku."

"Di mana aku saat ini?"

"Ada dalam dirimu."

"Seperti kabut kau buat segalanya kabur. Tidakkah aku sekarang berada di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk?"

"Tidak. Itupun lebih dikaburkan. Kenapa kau datang ingin menemuiku?"

"Ibu sudah sangat rindu kepadamu. Aku ingin membawamu menemui Ibu."

"Laut telah mengikatku!"

"Ayah!"

"Dan suatu saat kau pun akan diikat laut!"

"Ayah!"

"Sudah takdirmu kau akan menjadi Raja Lanun dan memegang pusaka pedang Sijanawi!"

"Ayah!"

"Salamku untuk ibumu!"

"Ayah!"

"Bangun! Bangunlah, anakku!

"Oh, di mana aku?"

"Di rumah. Kau terbawa arus sungai, untung tersangkut akar bakau, kalau tidak mungkin kau akan digulung arus bendungan dan pulang namanya saja."

"Ayah! Di mana Ayah? Ayah!"
"Ayahmu belum pulang menangkap ikan sejak pagi."

"Bagaimana aku menyusuri Kampar, Ibu? Batang Kampar telah dibendung, air menggenang membuat danau. Bagaimana caranya aku sampai ke laut. Dan Ayah, bagaimana dengan Ayah?"

"Kau bicara apa?"

"Laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Di mana itu, Ibu?"

"Bangunlah, Buyuang! Sadarlah!"

"Anggang, ya, Anggang. Itukah nama Ayah, Bu?"

"Rupanya benturan di kepalamu cukup keras, hingga kau menceracau tidak karuan!"

"Ayah! Kita tidak akan ketemu Ayah lagi, Bu!"***

Kandangpadati, 0705 – 09

 ANggang 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar