Media
Indonesia
Minggu,
13 Mei 2007
Tuan
Hillario dan Taman Magdalena
Cerpen: Dwicipta
PAGI turun cepat,
menyibak gelap, dan tanah basah oleh hujan sepanjang malam. Daun-daun kelihatan
lebih hijau. Udara dipenuhi harum aroma tanah; kelopak bunga-bunga mulai
bermekaran; atap-atap, jeruji, dan gerbang rumah lebih bersih setelah terbilas
air hujan. Sungguh, pagi yang ringan dan terang, pagi penuh kebahagiaan. Setiap
penghuni rumah buru-buru membuka pintu dan membiarkan kemurnian itu menyambangi
tiap ruangan, mengusir segenap kericuhan yang telah lama terperangkap di dalam
rumah selama musim kemarau.
Dan rumah megah di tengah
"Semoga tuan tidak lagi meradang seperti sebelumnya," dengus Mayar harap-harap cemas. Ia teringat beberapa hari lalu tuan Hillario membuang teh hangat itu ke arah rerumputan di taman karena ia lupa memasukkan gula batu ke dalam cawan.
"Dasar pembantu tidak berguna. Berapa kali kukatakan pada kalian supaya jangan sekali-kali memakai gula pasir untuk minumanku," ujarnya dengan muka memerah.
Mayar harus mempersalahkan diri sendiri. Alangkah susahnya mencari gula batu sekarang. Benda itu seperti raib entah ke mana. Telah dikelilinginya seluruh pasar di
Ah, hari masih pagi, kenapa ia mesti berpikiran buruk. Ia mendengar suara Sanikem menembang di ruang depan. Tubuh perempuan sepuh itu telah sama lapuk seperti dirinya, namun suaranya yang merdu tak pernah terpeleset dalam menyanyikan tembang-tembang Jawa. Di luar beberapa lelaki setengah baya hilir mudik dengan pikulan di bahu, membawa berbagai macam hasil pertanian ke pasar. Tubuh-tubuh yang berkilat oleh peluh dan sedikit cahaya matahari.
Siapa tak mengenal tuan Hillario di Batavia ini. Lelaki keturunan Spanyol itu telah menghadirkan momok tersendiri, terutama karena kekejaman, keculasan dan ledakan amarahnya. Tiada bergeming sedikit pun hatinya melihat seorang lelaki tua atau anak kecil penyakitan yang sedang meregang nyawa jikalau mereka tak kuasa membayar biaya pengobatan. Apalagi saat kemarau panjang kemarin, pada waktu sungai-sungai di Batavia mengering dan lalat-lalat berhamburan membawa bibit-bibit penyakit. Belum bisa dilupakan dari ingatan banyak orang di kota ini ketika hampir sepuluh orang -laki-laki dan perempuan, tiga di antaranya anak-anak- dalam keadaan sekarat dan digotong dengan tandu ke rumah besar ini. Tak seorang pun diperbolehkan memasuki rumahnya. Ia hanya menerima orang-orang penyakitan itu di pelataran rumah di samping taman luas ini, di dalam sebuah pondok bambu dengan dipan dari bambu pula. Wabah penyakit misterius telah tersebar, dan orang belum lagi tahu bagaimana menyembuhkannya.
Dengan dingin ia meminta mereka bayaran berkali-kali lipat lebih mahal dengan janji penuh kebohongan ia akan bisa menyembuhkan mereka dalam waktu cepat. Dari sepuluh orang itu hanya seorang lelaki setengah baya dan seorang perempuan istri seorang bekel yang mampu membayarnya, delapan orang yang datang terpaksa ditandu keluar, masih disumpahserapahi olehnya karena telah mengotori halaman depan rumahnya dengan penyakit yang mereka bawa itu. Kabarnya tak satu pun dari delapan orang itu yang berhasil diselamatkan, dikuburkan keesokan harinya. Dua orang yang telah menggadaikan petak-petak sawah mereka pada tuannya itu pun ikut meninggal seminggu setelah mendapatkan pengobatan. Orang-orang mulai tak mempercayainya. Tapi ia memasang pengumuman di tembok depan rumahnya dengan sebuah tulisan besar-besar bahwa ia telah memiliki obat mujarab atas penyakit yang telah menyerang secara misterius sebagian besar penduduk
Ketika para kerabat dari dua pasiennya itu menyoal pengobatan yang ia berikan dan meminta kembali biaya yang telah mereka keluarkan ia hanya tertawa dan mengancam mereka dengan memanggil penjaga keamanan
Pernah tersiar kabar tentang perseteruannya dengan seorang dokter Belanda yang ingin mendapatkan banyak pasien di
Bukan itu saja, untuk menjerumuskan seteru usahanya itu, ia telah mengirimkan seorang sundal dan disuruhnya perempuan pemuas berahi itu untuk menggodanya. Ketika sedang asyik masuk di dalam kamar, orang-orang menggedor dan menendang pintu, mendapati mereka berdua sedang telanjang bulat. Oleh peraturan keras tentang perzinaan yang berlaku di
Namun seperti kebanyakan manusia, tuan Hillario bukanlah setan sepenuh-penuhnya, dokter berwajah iblis yang menghadirkan teror di
"Berkali-kali aku harus membangunkannya. Dalam tidurnya, hampir setiap malam, ia melolong-lolong menyebut nama Magdalena. Kau tahu, tuan hanya akan tidur sendirian, meskipun sebelumnya ia harus ditemani oleh Nyai atau sundal Eropa itu. Ia punya kelainan dalam tidurnya. Semula aku tak tahu kenapa tuan lebih suka tidur sendirian. Tapi setelah hampir setiap malam aku mendengar suara lolongan dari kamarnya, aku memberanikan diri masuk dan membangunkannya. Pertama kali kubangunkan ia kaget setengah mati dan mengancam akan membunuhku kalau menyebarkan berita ini pada orang-orang. Itulah sebabnya aku tak berani menceritakannya pada siapapun. Namun karena kau tahu sendiri, maka aku menceritakannya," kata Sanikem dengan berbisik-bisik padanya.
Apakah karena perempuan bernama Magdalena itu yang membuat ia merantau sampai ke Batavia ini, dan menjadi dokter kikir dan kejam? Dulu ketika baru sampai di kota ini, ia hanyalah seorang pemuda berusia hampir tiga puluhan tahun, sama miskinnya dengan pendatang Eropa pada umumnya. Namun karena derajat dokter yang disandangnya, dan karena keahliannya bergaul dengan pejabat-pejabat Batavia, segera ia mendapatkan nama sebagai ahli kesehatan. Semakin banyak pasien datang ke tempat prakteknya, makin banyak uang mengalir.
Akhirnya ia mendirikan rumah besar ini, pindah dari tempat praktek pertamanya di tepi Kali Ciliwung yang setiap musim hujan airnya meluap dan sering kebanjiran. Ia membangun sebuah rumah megah, dengan taman amat indah ini. Secara khusus ia mendatangkan pembuat taman dari Eropa.
"Aku membuat taman ini untuk seseorang yang tak akan tergantikan dalam hidupku. Inilah monumen yang akan selalu menyertai keberhasilanku," katanya pada pembuat taman. Dinamainya taman itu sesuai dengan nama perempuan yang dicintainya, Magdalena. Ia tak menceritakan siapakah orang dikenangnya itu. Namun untuk siapakah laki-laki membuatkan taman seindah ini jika bukan untuk seorang perempuan? Mayar tersenyum, tak tahu apakah harus menertawai tuannya ataukah mengasihaninya.
Kini ia tak perlu menyirami taman ini karena hujan telah menyiraminya sejak semalam. Hujan pertama di awal musim penghujan. Ia mendengar siulan burung-burung dari pohon di depan rumah. Ketika pintu depan rumah terbuka, Mayar bersiap-siap menyambut tuannya. Ia bersiap menghadapi kemarahan lelaki itu yang bisa datang kapan saja seperti badai yang datang tiba-tiba di sebuah gurun pasir. Ditatapnya wajah kusut lelaki setengah umur itu. Ia terkesiap melihat wajah tuannya, terutama warna-warna pucat dan kerutan-kerutan yang makin menebal di wajahnya. Seolah tak punya tenaga lelaki itu duduk di kursi rotannya yang nyaman, membuang pandangan pada dedaunan menghijau di depannya.
"Ah, bahkan bunga dan dedaunan itu seperti tak mampu membuatnya berseri. Apakah yang terjadi dengannya?" pikir Mayar.
Sanikem keluar membawa minuman untuk tuannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dari sikap perempuan itu, Mayar tahu ia harus lebih berhati-hati pada tuannya. Nampak jelas lelaki separuh umur itu belum memejamkan mata barang satu detik pun. Mayar berpura-pura tak tahu apa gerangan yang sedang mengganggu pikiran tuannya. Ia menyapu halaman depan rumah sepi-sepi, memasang telinga tuanya lebih awas dan sesekali melirik lamunan dan gerak tubuh gelisah tuannya itu.
"Apakah sampai tua dan mati aku akan tetap di sini,
Tiba-tiba ia melihat tuan Hillario menangkupkan kedua belah tangannya, menangis terisak-isak sendiri. Ah, sungguh sebuah pemandangan ganjil! Baru sekali ini ia melihat tuannya menangis. Tubuhnya gemetar, tak tahu apa yang akan ia perbuat.
"
Dari pintu gerbang ia mendengar suara ketukan. Mayar bingung, apakah harus membuka pintu gerbang ataukah mendekat ke arah tuannya. Orang-orang itu tentu akan berobat kemari. Sejurus kemudian, ia teringat sikap tuannya yang gampang berubah itu dan segera ia beranjak ke arah pintu gerbang. Dibukanya pintu gerbang dan dilihatnya seorang lelaki sedang meregang nyawa dengan dada sobek lebar. Darahnya bercucuran membasahi dua orang pemapahnya.
"Tolong panggilkan tuanmu, kami membutuhkan pertolongannya. Jika tidak tuan kami akan mati," ujarnya.
Mayar bimbang. Jika salah membuat perhitungan, kepalanya sendiri yang akan menjadi taruhan. Tuan Hillario sedang berduka, dan tentu ia tak akan mau diricuhi permohonan bantuan orang lain, meskipun sebuah nyawa siap meregang. Ia memandang kasihan pada lelaki yang meregang nyawa itu, namun kepalanya menggeleng.
"Maaf, tuan kami pun sedang berduka. Ingin rasanya aku menolong kalian. Tapi aku tak berani mengganggu tuan Hilario. Jika aku mengganggunya, maka kepalaku yang akan melayang. Aku tak bisa menolong kalian...," ujarnya.
Kedua orang pemapah itu kebingungan. Mereka tahu seperti apa tabiat tuan Hillario. Dengan menggelengkan kepala dan mengutuk tuannya, mereka berlalu dari depan pintu gerbang.
***
Yogyakarta, awal Oktober 2006
Yogyakarta, awal Oktober 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar