Kamis, 02 Februari 2012

Sang Presiden Cerpen: Tjahjono Widijanto


Seputar Indonesia
Minggu, 08 Juli 2007

Sang Presiden
Cerpen: Tjahjono Widijanto

Semenjak membaca di surat kabar bahwa Presiden akan datang ke kotanya, Mirna merasa kembali jadi ABG. Ia heran dan tak tahu mengapa Presiden bersedia singgah di kotanya meskipun menurut surat kabar itu kehadirannya hanya satu jam saja.

Kota tempat tinggalnya hanyalah sebuah kota kecil, malah teramat kecil.Penduduknya juga biasa-biasa saja, kebanyakan pegawai negeri, pensiunan, dan pedagang. Juga di kotanya atau di kecamatan-kecamatan sekitarnya tidak ada orang pintar, kiai, atau orang berpengaruh yang layak dan biasa didatangi seorang pejabat negara.

Tak juga kotanya mengandung riwayat sejarah atau menjadi kelahiran tokoh- tokoh masa lampau yang layak diziarahi para pejabat seperti yang biasanya umum dilakukan pejabat-pejabat tinggi. Sudah lama Mirna ngefans berat dengan Presiden. Sejak beliau menjadi Presiden lima tahun lampau Mirna selalu tak ketinggalan untuk melihat idolanya itu tentu saja melalui layar tv.

Setiap pagi setelah menyuapi anaknya Mirna tak pernah absen berada di depan tv menyimak berita pagi hanya untuk melihat sang Presiden.Tengah hari ketika berita siang mengudara ia juga sudah duduk manis di depan layar tv, demikian juga berita jam lima sore, berita jam tujuh malam, jam sembilan malam hingga berita tengah malam. Ia tak peduli dengan acara sinetron, kuis, dangdut, film, atau acara-acara lain.

Yang penting dapat melihat Presiden di layar kaca. Itu saja. Kalau sekali waktu tak sempat nonton berita karena sedang bepergian misalnya, ia menggantinya dengan cukup mendengarkan suara atau pidato Presiden melalui radio kecil yang nyaris tak pernah berpisah dari tangannya.

Saking gandrung dan hormatnya Mirna senantiasa menyempatkan mandi terlebih dahulu sebelum menonton siaran berita. Tiap hari Mirna berhias dan mandi enam kali sehari. Menjelang jam tujuh saat berita pagi, jam dua belas siang saat berita siang, jam lima sore, jam tujuh malam, jam sembilan dan jam dua belas saat berita tengah malam.

Di kamar tidur, foto suaminya yang semula berada di atas ranjang sudah lama dipindahkan di kamar belakang, Sebagai gantinya terpampang foto Presiden ukuran besar dalam pose resmi kenegaraan lengkap dengan lencana lambang negara di dada. Di ruang tamu juga dipasang gambar Presiden dalam ukuran lebih besar. Juga di ruang keluarga, ruang makan, dapur bahkan di kamar mandi semuanya ada foto Presiden dalam berbagai ukuran dan pose.

Baginya tiada hari, bahkan tiada semenit pun tanpa wajah Presiden. Diam-diam sering kali muncul pertanyaan dan fantasi aneh-aneh pada diri Mirna, misalnya membayangkan Presiden mandi telanjang sambil tertawa cekikikan sendiri. Masa sebulan sebelum kunjungan Presiden betul-betul masa paling sibuk, masa paling melelahkan tetapi juga paling bergairah dalam sejarah hidup Mirna.

Ia benar-benar mempersiapkan diri. Setiap dua hari sekali pergi ke salon untuk melulur tubuhnya, setiap tiga hari sekali ia hunting baju di toko-toko, setiap sore mengikuti senam kebugaran, bahkan mengikuti kursus bahasa Inggris. “Siapa tahu nanti diajak berdialog, Beliau kan sering ngomong pakai bahasa asing. Kan malu kalau nanti diajak ngomong Inggris aku nggak bisa,” demikian katanya kalau ada orang yang usil bertanya. Suaminya jadi uring-uringan.

Pekerjaan rumah kacau balau. Mirna tak sempat lagi memasakkan suami dan anaknya. Anaknya tak pernah dimandikan. Suaminya terpaksa harus masak, menyuapi dan memandikan anaknya. Pertengkaran tiap hari meledak. “Ma, kamu boleh saja ngefans sama beliau. Tapi Mama harus ingat dong kalau Mama punya keluarga. Mama kan punya kewajiban ngurus anak, ngurus suami, dan ngurus rumah”, kata suaminya perlahan-lahan suatu ketika.

”Papa ini bagaimana to. Papa kan tahu, ini kan kesempatan langka. Bayangkan Pa, Presiden akan datang ke kota kita. Mama sebagai warga negara yang mencintai Presiden apa salahnya mempersiapkan diri dengan optimal untuk menyambutnya!” kata Mirna ketus sambil membersihkan jerawat di wajahnya.

”Iya, Papa tahu Ma. Tapi kan banyak cara untuk menyambut beliau. Tidak mesti harus menyibukkan diri dan mempercantik diri seperti itu” “Eh, Papa cemburu ya. Nyebut dong Pa. Mama itu mencintai beliau sama dengan seluruh jutaan rakyat negeri ini mencintainya. Ini kan cuma cara Mama menyambut beliau. Kita kan rakyat dan warga negara biasa Pa, jadi yang bisa dan mampu Mama lakukan untuk menghormatinya ya seperti ini. Mama kan nggak bisa seperti pejabat daerah yang bisa menyediakan hotel untuk menginap, santapan malam, atau apalah yang lain. Mama bisanya hanya ini kok!” “Iya Ma. Kita memang harus menghormati beliau. Tapi Mama juga punya kewajiban sendiri. Masak Papa harus masak sendiri, mandikan anak, cuci piring, nyuapi, nyapu halaman?!”

”Eh Papa. Papa mau ngungkit-ngungkit masalah gender ya. Sekali-kali laki-laki yang ngurus anak, masak, nyapu, kenapa sih?! Jangan cuma ngantor, ngorok, dan makan saja!” teriak Mirna semakin keras. Akhirnya suaminya kalah, pergi membawa anaknya menyingkir ke rumah orang tuanya. Mirna tak peduli. Ia malah merasa senang dan tambah leluasa mempersiapkan diri. ***

Saat yang ditunggu-tunggu Mirna tiba. Pada hari kedatangan Presiden Mirna sudah standby di lokasi penyambutan. Entah bagaimana caranya Mirna dapat berada pada barisan paling depan dan berharap dapat melihat dari jarak dekat serta bertatap muka langsung dengan Presiden idolanya itu. Dengan kawalan Paspampres datanglah Presiden. Setelah peresmian selesai orang-orang berebutan berjabatan tangan dengannya termasuk Mirna.

Keringat dingin berleleran dari kening dan wajahnya.Dadanya berdegupan gemetar harap-harap cemas menunggu giliran berjabatan tangan.Akhirnya sampai giliran Mirna. Mirna menjabat tangan Presiden kuat-kuat bahkan kemudian diciumnya tangan itu, sambil takut-takut melirik wajah sang Presiden. Tiba-tiba Mirna terperanjat dan panik bukan buatan. Wajahnya pucat seketika. Kakinya limbung gemetaran ketika melihat wajah sang Presiden ternyata tak sama dengan foto-foto dan tayangan tv yang dilihatnya selama ini.

Wajah Presiden berubah menjadi wajah perempuan lengkap dengan sanggul, lipstik dan alis mata. Mirna menjerit seketika. Kakinya jadi lemas nyaris ambruk karena kaget. Suasana menjadi gaduh seketika, sedetik kemudian seorang anggota Paspampres wanita berambut pendek, dengan tangkas menyergap dan menelikungnya. Mirna diamankan dan dibawa menjauh. Orang-orang melanjutkan berjabatan tangan. Mirna duduk lemas dan tak berdaya.

Beberapa orang memberinya minum segelas air putih. Setelah agak pulih dari shock-nya Mirna sempoyongan pulang. Sampai di rumah Mirna langsung meneliti foto Presiden di dinding kamar tidurnya. Mirna kontan berteriak histeris. Wajah Presiden di foto juga berubah berkumis dan bercambang.Mirna kaget dan bagaikan terbang lari ke ruangan tengah diamatinya dengan teliti foto Presiden di ruangan itu.

Mirna menjerit lagi ketika melihat foto Presiden sekarang berambut panjang seperti seniman. Mirna berlari ke dapur langsung menuju foto Presiden di sana. Mirna tambah pucat pasi. Di dapur, foto Presiden berubah gundul plontos dengan kaca mata hitam tapi memakai bikini. Mirna menjerit lagi dan berlari ke depan. Harapan satu-satunya tinggal foto Presiden yang ada di ruang tamu.

Sampai di ruang tamu, di depan foto Presiden, Mirna menutupi matanya dengan jari-jari dan telapak tangannya sendiri. Dengan gemetar dan harapharap cemas lewat celah-celah jarinya itu Mirna mengintip foto sambil menahan nafas. Mirna menjerit sekeras-kerasnya, tubuhnya terhuyung-huyung limbung dan nglesot ke bawah. Dilihatnya wajah dan tubuh Presiden lenyap, yang tersisa hanya baju kenegaraannya saja tanpa tubuh dan kepala. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar