Kamis, 02 Februari 2012

REMBULAN Cerpen: Anita Retno Lestari


Republika
Minggu, 04 Mei 2008

REMBULAN
Cerpen: Anita Retno Lestari

GADIS kecil empat tahun itu tiba-tiba berkata-kata kepada teman-teman mainnya di halaman rumah kontrakan yang baru ditempatinya bersama ibunya, "Aku berasal dari rembulan."
Teman-temannya terpana. Mereka seperti meragukan kata-kata aneh itu. Lalu gadis kecil itu melanjutkan kata-katanya, "Dulu ibuku suka keluar rumah malam-malam, lalu duduk di halaman rumah. Tiba-tiba rembulan jatuh dan pecah di pangkuannya. Lalu ibuku mengunyahnya, kemudian ibuku hamil dan melahirkan aku."
Teman-temannya tetap terpana. Mereka seperti tak percaya atau tidak mengerti kata-kata gadis kecil itu. Dan, ketika mereka pulang ke rumah masing-masing, segera bertanya kepada ibu masing-masing.
"Ibunya tidak punya suami."
"Ibunya tidak pernah menikah."
"Ibunya perempuan nakal."
"Jangan main lagi dengan dia."
"Jangan mau diajak bicara ibunya."
Gadis kecil itu kemudian selalu bermain-main sendirian di halaman rumah kontrakan itu, karena teman-temannya tidak sudi lagi menemaninya. "Aku tidak betah tinggal di sini, Bu. Sebab tidak ada teman yang mau kuajak bermain." Gadis itu mengeluh kepada ibunya yang baru saja pulang kerja. Ibunya selalu berangkat kerja pada jam tujuh pagi dan pulang pada jam lima sore. Gadis kecil itu diasuh oleh pembantu yang bisu. Maka gadis kecil itu merasa kesepian meskipun tinggal berdua bersama pembantu.
Gadis kecil itu tidak mengerti kenapa ibunya memilih pembantu yang bisu. "Sebaiknya kamu bermain-main atau nonton teve dengan Bik Ijah saja di dalam rumah. Tak usah main-main di luar rumah," tutur ibunya. "Aku bosan bersama Bik Ijah, karena dia tidak bisa diajak bicara. Sebaiknya Bik Ijah dipulangkan, lalu kita cari pembantu lain yang bisa bicara." "Hus, jangan bicara begitu. Kasihan Bik Ijah. Meskipun bisu, dia bisa mendengar pembicaraan kita. Lagi pula, Bik Ijah itu sangat baik dan sayang padamu. Buktinya, sejak dulu kamu disuapi. Kalau kamu mandi, dimandikan. Kalau kamu tidur, ditemani."
Gadis kecil itu kemudian merengek-rengek minta didaftarkan di sekolah taman kanak-kanak, seperti anak-anak tetangga yang sebaya dengannya. Tapi, ibunya menolak karena iba kepada pembantunya. "Kasihan Bik Ijah kalau setiap hari mengantarkanmu pergi dan pulang sekolah, karena dia sudah capek bekerja di rumah. Besok saja kalau sudah berumur enam tahun kamu masuk SD."
Gadis kecil itu kemudian diam dengan wajah murung. Lalu bertanya kepada ibunya, "Benarkah aku berasal dari rembulan?"
Ibunya tidak menjawab. Wajah perempuan yang tak pernah menikah itu tampak redup. Terbayang masa-masa mudanya yang ceria dan kemudian berakhir kelam setelah pesta ulang tahun temannya yang membuatnya kehilangan keperawanan.
Beberapa teman lelakinya mengajaknya minum-minum sebelum berdansa, lalu dia mabuk dan pingsan. Setelah siuman ia merasakan perih pada kemaluannya, lalu dia terlambat bulan. Sekilas terbayang masa-masa kehamilannya. Betapa kedua orangtua dan saudara-saudaranya mengusirnya dengan sikap jijik dan muak. Lalu dia pergi ke rumah teman-teman kuliahnya, tapi mereka keberatan menampungnya.
Terpaksa dia selalu berpindah dari rumah teman satu ke rumah teman lain, sebelum kemudian ditampung oleh seorang pemilik warung remang-remang. Selama berada di warung remang-remang, dengan perut membuncit, dia terpaksa melayani tamu-tamu pria hidung belang.
Setiap melayani, dia tersiksa jiwa raga, tapi ada harapan jahat betapa janin dalam kandungannya mungkin bisa gugur ketika diperlakukan kasar oleh pria-pria hidung belang itu. Tapi rupanya janin di perutnya sangat sehat dan gemar digoncang-goncang, sebelum kemudian lahir dengan selamat. Dan setelah menjadi ibu, rasa cinta kepada anak gadisnya yang tidak jelas siapa ayahnya itu membuatnya kabur dari warung remang-remang. Terlalu sayang jika anak gadisnya itu terbiasa melihatnya melayani pria-pria hidung belang. Ibu mana yang tega menjerumuskan anak gadisnya sendiri menjadi pelacur?
Maka demi anak gadisnya ia bekerja di pabrik dan tinggal di rumah kontrakan bersama seorang pembantu yang bisu itu. Memang sengaja dicarinya pembantu yang bisu, agar tidak bisa bicara dengan tetangga yang sok ingin tahu dan usil.
GADIS kecil itu menolak didaftarkan menjadi murid SD, karena malu. "Sekolah tak usah malu. Kalau tidak mau jalan kaki, besok beli sepeda baru," ujar ibunya. "Aku malu, karena dianggap anak haram! Aku tidak punya ayah. Ibu tidak pernah menikah!"
"Kata siapa?" tanya ibunya dengan mata berkaca-kaca.
Betapa aib di masa lalu masih juga belum terhapus karena aib itu telah membuatnya hamil dan kemudian memiliki anak perempuan yang akan terus tumbuh menjadi besar dan pasti akan mengerti sejarah hidupnya. Kini rasanya semakin sulit membohongi anak gadisnya itu. Jika dulu gadis kecil itu percaya dirinya berasal dari rembulan, kini kepercayaan itu sudah mulai luntur.
"Kalau tidak mau sekolah, kamu harus belajar di rumah."
Gadis kecil itu tidak menanggapi kata-kata ibunya. Dan ketika anak-anak sebayanya sudah mulai sekolah di SD, ia memilih mengurung diri di dalam kamar. Lalu lama berdiri di ambang jendela kamar, melihat langit luas sambil membayangkan dirinya bisa melayang tinggi di awan untuk melihat kota-kota lain seperti yang sering dilihatnya di layar teve.
Di suatu kota yang pernah dilihatnya di layar teve, banyak anak-anak perempuan bersekolah tanpa seragam, sebelum kemudian dijemput oleh ibunya dan diajak pulang. Tak terlihat seorang ayah yang menjemput anaknya. Mungkinkah aku bisa menikmati sekolah di kota yang entah letaknya di mana itu, pikirnya.
Ibunya dan pembantunya sangat sedih melihat gadis kecil itu semakin suka mengurung diri di kamar seharian. Dan suatu malam, gadis kecil itu keluar kamar lalu duduk bersimpuh di halaman rumah sambil memandangi rembulan bundar di langit kelam. Angin semakin dingin dan jendela-jendela rumah tetangga sudah ditutup, tapi gadis kecil itu masih saja duduk bersimpuh di halaman rumah sambil mendongak menatap rembulan bundar.
"Ayolah masuk dan segera tidur. Udara makin dingin. Kamu bisa masuk angin." Ibunya mendekat dengan wajah tegang. Gadis kecil itu tiba-tiba berkata-kata, "Aku ingin seperti Ibu. Aku ingin rembulan itu jatuh dan pecah di pangkuanku. Lalu aku menyunyahnya." Sang ibu meneteskan airmata, sebelum kemudian memaksa anak gadisnya untuk masuk ke dalam rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar