Republika
Minggu, 04 Mei 2008
REMBULAN
Cerpen: Anita Retno Lestari
GADIS kecil empat tahun itu tiba-tiba
berkata-kata kepada teman-teman mainnya di halaman rumah kontrakan yang baru
ditempatinya bersama ibunya, "Aku berasal dari rembulan."
Teman-temannya terpana. Mereka seperti
meragukan kata-kata aneh itu. Lalu gadis kecil itu melanjutkan kata-katanya,
"Dulu ibuku suka keluar rumah malam-malam, lalu duduk di halaman rumah.
Tiba-tiba rembulan jatuh dan pecah di pangkuannya. Lalu ibuku mengunyahnya,
kemudian ibuku hamil dan melahirkan aku."
Teman-temannya tetap terpana. Mereka seperti
tak percaya atau tidak mengerti kata-kata gadis kecil itu. Dan, ketika mereka
pulang ke rumah masing-masing, segera bertanya kepada ibu masing-masing.
"Ibunya
tidak punya suami."
"Ibunya
tidak pernah menikah."
"Ibunya
perempuan nakal."
"Jangan
main lagi dengan dia."
"Jangan
mau diajak bicara ibunya."
Gadis kecil itu kemudian selalu bermain-main
sendirian di halaman rumah kontrakan itu, karena teman-temannya tidak sudi lagi
menemaninya. "Aku tidak betah tinggal di sini, Bu. Sebab tidak ada teman
yang mau kuajak bermain." Gadis itu mengeluh kepada ibunya yang baru saja
pulang kerja. Ibunya selalu berangkat kerja pada jam tujuh pagi dan pulang pada
jam lima sore.
Gadis kecil itu diasuh oleh pembantu yang bisu. Maka gadis kecil itu merasa
kesepian meskipun tinggal berdua bersama pembantu.
Gadis kecil itu tidak mengerti kenapa ibunya
memilih pembantu yang bisu. "Sebaiknya kamu bermain-main atau nonton teve
dengan Bik Ijah saja di dalam rumah. Tak usah main-main di luar rumah,"
tutur ibunya. "Aku bosan bersama Bik Ijah, karena dia tidak bisa diajak
bicara. Sebaiknya Bik Ijah dipulangkan, lalu kita cari pembantu lain yang bisa
bicara." "Hus, jangan bicara begitu. Kasihan Bik Ijah. Meskipun bisu,
dia bisa mendengar pembicaraan kita. Lagi pula, Bik Ijah itu sangat baik dan
sayang padamu. Buktinya, sejak dulu kamu disuapi. Kalau kamu mandi, dimandikan.
Kalau kamu tidur, ditemani."
Gadis kecil itu kemudian merengek-rengek
minta didaftarkan di sekolah taman kanak-kanak, seperti anak-anak tetangga yang
sebaya dengannya. Tapi, ibunya menolak karena iba kepada pembantunya.
"Kasihan Bik Ijah kalau setiap hari mengantarkanmu pergi dan pulang
sekolah, karena dia sudah capek bekerja di rumah. Besok saja kalau sudah
berumur enam tahun kamu masuk SD."
Gadis kecil itu kemudian diam dengan wajah
murung. Lalu bertanya kepada ibunya, "Benarkah aku berasal dari
rembulan?"
Ibunya tidak menjawab. Wajah perempuan yang
tak pernah menikah itu tampak redup. Terbayang masa-masa mudanya yang ceria dan
kemudian berakhir kelam setelah pesta ulang tahun temannya yang membuatnya
kehilangan keperawanan.
Beberapa teman lelakinya mengajaknya
minum-minum sebelum berdansa, lalu dia mabuk dan pingsan. Setelah siuman ia
merasakan perih pada kemaluannya, lalu dia terlambat bulan. Sekilas terbayang
masa-masa kehamilannya. Betapa kedua orangtua dan saudara-saudaranya
mengusirnya dengan sikap jijik dan muak. Lalu dia pergi ke rumah teman-teman
kuliahnya, tapi mereka keberatan menampungnya.
Terpaksa dia selalu berpindah dari rumah
teman satu ke rumah teman lain, sebelum kemudian ditampung oleh seorang pemilik
warung remang-remang. Selama berada di warung remang-remang, dengan perut
membuncit, dia terpaksa melayani tamu-tamu pria hidung belang.
Setiap melayani, dia tersiksa jiwa raga, tapi
ada harapan jahat betapa janin dalam kandungannya mungkin bisa gugur ketika
diperlakukan kasar oleh pria-pria hidung belang itu. Tapi rupanya janin di
perutnya sangat sehat dan gemar digoncang-goncang, sebelum kemudian lahir
dengan selamat. Dan setelah menjadi ibu, rasa cinta kepada anak gadisnya yang
tidak jelas siapa ayahnya itu membuatnya kabur dari warung remang-remang.
Terlalu sayang jika anak gadisnya itu terbiasa melihatnya melayani pria-pria hidung
belang. Ibu mana yang tega menjerumuskan anak gadisnya sendiri menjadi pelacur?
Maka demi anak gadisnya ia bekerja di pabrik
dan tinggal di rumah kontrakan bersama seorang pembantu yang bisu itu. Memang
sengaja dicarinya pembantu yang bisu, agar tidak bisa bicara dengan tetangga
yang sok ingin tahu dan usil.
GADIS kecil itu menolak didaftarkan menjadi
murid SD, karena malu. "Sekolah tak usah malu. Kalau tidak mau jalan kaki,
besok beli sepeda baru," ujar ibunya. "Aku malu, karena dianggap anak
haram! Aku tidak punya ayah. Ibu tidak pernah menikah!"
"Kata siapa?" tanya ibunya dengan
mata berkaca-kaca.
Betapa aib di masa lalu masih juga belum
terhapus karena aib itu telah membuatnya hamil dan kemudian memiliki anak
perempuan yang akan terus tumbuh menjadi besar dan pasti akan mengerti sejarah
hidupnya. Kini rasanya semakin sulit membohongi anak gadisnya itu. Jika dulu
gadis kecil itu percaya dirinya berasal dari rembulan, kini kepercayaan itu
sudah mulai luntur.
"Kalau tidak mau sekolah, kamu harus
belajar di rumah."
Gadis kecil itu tidak menanggapi kata-kata
ibunya. Dan ketika anak-anak sebayanya sudah mulai sekolah di SD, ia memilih
mengurung diri di dalam kamar. Lalu lama berdiri di ambang jendela kamar,
melihat langit luas sambil membayangkan dirinya bisa melayang tinggi di awan
untuk melihat kota-kota lain seperti yang sering dilihatnya di layar teve.
Di suatu kota yang pernah dilihatnya di layar
teve, banyak anak-anak perempuan bersekolah tanpa seragam, sebelum kemudian
dijemput oleh ibunya dan diajak pulang. Tak terlihat seorang ayah yang
menjemput anaknya. Mungkinkah aku bisa menikmati sekolah di kota yang entah
letaknya di mana itu, pikirnya.
Ibunya dan pembantunya sangat sedih melihat
gadis kecil itu semakin suka mengurung diri di kamar seharian. Dan suatu malam,
gadis kecil itu keluar kamar lalu duduk bersimpuh di halaman rumah sambil
memandangi rembulan bundar di langit kelam. Angin semakin dingin dan
jendela-jendela rumah tetangga sudah ditutup, tapi gadis kecil itu masih saja
duduk bersimpuh di halaman rumah sambil mendongak menatap rembulan bundar.
"Ayolah masuk dan segera tidur. Udara
makin dingin. Kamu bisa masuk angin." Ibunya mendekat dengan wajah tegang.
Gadis kecil itu tiba-tiba berkata-kata, "Aku ingin seperti Ibu. Aku ingin
rembulan itu jatuh dan pecah di pangkuanku. Lalu aku menyunyahnya." Sang
ibu meneteskan airmata, sebelum kemudian memaksa anak gadisnya untuk masuk ke
dalam rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar