Kamis, 02 Februari 2012

Tiga Episode Bangkai Cerpen: Zelfeni Wimra


Jawa Pos
Minggu, 13 Mei 2007

Tiga Episode Bangkai
Cerpen: Zelfeni Wimra

BATU BANGKAI
Menjadi batu, sebuah pilihan paling damai. Biar setiap orang tahu, kemenakan Rajo Kiramaik tidak lagi senang menyendiri dan menangis. Penghuni istana pun tidak perlu lagi bergunjing tentang bangkai yang dirahasiakan salah seorang anak dara kerajaan. Ibunya, yang tahu perihal bangkai itu, setiap kali ia hendak bepergian secara sembunyi-sembunyi dengan hulubalang, selalu mengingatkan bahwa apa yang dilakukannya itu berbahaya. Bila mamak Rajo tahu, ia pasti marah besar. Seorang anak dara kerajaan diam-diam bepergian dengan hulubalang merupakan aib besar bagi kerajaan. Rajo sudah berkali-kali menegaskan bahwa kemenakannya tidak boleh bergaul dengan sembarang orang. Kemenakannya hanya boleh berkawan dengan orang-orang yang setara dengannya. Keluar dari anjungan pun hanya untuk keperluan penting. Untuk itulah, ia selalu didandani, dihiasi dengan tak kondai atau pasak guyang. Agar ia berbeda dari padusi lain. Impian mamak, kerajaan ini kelak akan menerima lamaran Rajo Mudo. Mamak kukuh dengan sikap yang satu ini. Apalagi setelah Bujang Salamaik datang membawa sebuah paham yang salah satu ajarannya mengatur bagaimana sebuah keluarga menjaga marwah. Menikahkan anak-kemenakan harus dengan yang sekufu, sebanding.

Dalam sejumlah pertemuan keluarga kerajaan, ingin ia sampaikan, betapa ia tersiksa melakoni status padusi terakhir di kerajaan matrilinial ini. Padusi-padusi sebelumnya telah menikah dan pernikahan-pernikahan itu dipandang tidak bermartabat oleh sang mamak. Itulah sebab, mengapa ia dipingit. Keluar anjungan harus seizin mamak. Bila ada tamu kerajaan ia harus tampil mendampingi mamak dengan dandanan yang dipaksakan. Pun, bila mamak berkunjung ke kerajaan lain, ia akan dibawa ikut. Mamak sudah menerangkan maksud semua itu. Mamak ingin urang sumando-nya juga berasal dari keturunan bermartabat seperti dirinya. Kemenakan kemenakannya yang lain terlalu longgar memilih laki, karena terlalu cemas akan menjadi rando seumur hidup.

Tapi, sebelum ia memilih jadi batu, ibu yang selalu disalaminya setiap kali hendak bepergian dengan hulubalang adalah orang pertama yang tahu. Ketika suatu kali, tepat ketika mamak memerintahkan bala tentaranya berperang melawan serangan kerajaan dari tanah Jao, ia melihat tidak ada lagi senyum di wajah ibunya.

"Kenapa, Bunda murung? Apa karena hari ini hari perpisahan dengan Ayah? Bukankah Bunda juga yang bilang kalau di hari perpisahan tidak boleh bersedih. Para lelaki yang akan berangkat perang harus dilepas dengan senyuman. Dengan peluk dan ciuman," lirihnya. Tapi sang ibu tetap murung. Perlahan ia dekatkan tangannya ke perut sang anak yang mulai membuncit.

"Kau akan jadi batu, Nak."

"Bunda mengutuk aku?"

"Bukan. Itu bukan kutukan. Itu hukuman."

"Berangkatlah sendiri ke pengasingan. Ibu tidak diizinkan mengantar."

"Baik, Bunda."

"Inilah yang bunda cemaskan, Nak. Bukan perpisahan. Bagaimana jadinya nanti bila mamak dan abahmu mengetahuinya. Kita semua malu. Kau akan terbuang dan jadi batu," gagau ibunya di hari kerangkatannya menuju pengasingan.

"Hulubalang itu juga ikut berperang," isak ibunya, "Kalau ia tidak kembali, siapa yang akan bertanggung jawab..." "Jangan cemas, Bunda. Aku ikhlas jadi batu..."

Petang hari ia berangkat. Sendiri. Ia menuju ranah Bulantiak, tanah pengasingan orang-orang yang senasib dengannya. Dalam perjalanan itu ia mesti melewati Pasie Talang yang lengang, di mana segerombolan penyamun biasa mengintai mangsa. Begitu pula di sekitar daerah Bendang, Kutianyie, Lundang, Batang Laweh, Rawang, dan Koto Baru, sangat terkenal dengan keganasan para perampok. Orang yang melewati tempat-tempat itu jarang yang selamat. Kalau pun selamat, pasti sudah dianiaya, dirampok. Kalau perempuan diperkosa.

Tapi ia beruntung. Satu hari perjalanan tidak seorang penyamun pun yang menghadang. Bahkan sampai menyeberangi Batang Bangko dan mendaki bukit kecil, ia tidak menemui rintangan apa-apa, kecuali letih dan beragam siksa di pikiran.

Perjalanannya tidak jauh lagi. Tinggal menuruni bukit kecil itu. Sejenak ia ingin beristirahat. Di atas sebuah gundukan tanah ia merenungi takdirnya sebagai orang buangan. Dengan berpanduang daun puau, ia tertidur. Saat itulah, di luar kuasanya, tubuh buncitnya perlahan mengeras jadi batu.

LUMPUR BANGKAI
Di tanah yang sama, dari ranah Pulakek seorang andeh miskin mendandani anak gadisnya. Mereka berencana pergi ke rumah Anduang Gadih Ajo, kemenakan Datuak Rajo Biaro, suku Melayu, di Kapau, untuk meminjam 15 sukat padi.

Sepanjang perjalanan mereka membincang siasat bagaimana menarik hati Anduang Gadih Ajo sehingga bersedia meminjamkan padi.

Andeh itu meminta anaknya berlaku sebagaimana layaknya seorang yang terpandang. Hanya karena musim panen padi belum datang, mereka terpaksa meminjam padi. Itulah kesan yang harus muncul.

Setibanya di rumah Anduang Gadih Ajo, mereka disilakan masuk dan disuguhi makan siang dan minum secukupnya. Anduang Gadih Ajo menyilakan andeh makan di dulang dan anak makan di talam. Tapi sang anak tiba-tiba menolak.

"Orang tua ini tidak usah makan di dulang. Ia makan di sayak saja. Ia kan cuma hamba sahaya saya...," ucap anak gadis itu. Pongah.

Andeh tersentak, seketika selera makannya hilang. Ia tercekik. Antara percaya dan tidak pada apa yang baru saja didengarnya. Tapi, rencana sudah dirancang. Andeh menduga baik, itu hanyalah sandiwara anaknya saja.

Selesai makan, Anduang Gadih Ajo menanyakan maksud kedatangan mereka. Dan sang anak buru-buru menjawab, bahwa kedatangannya untuk meminjam 15 sukat padi menjelang sawahnya panen. Melihat dandanan dan cara bicara anak gadis itu, Anduang Gadih Ajo merasa yakin meminjamkan padi sebanyak 15 sukat. Bahkan Anduang Gadih Ajo menghadiahi mereka seeokor ayam hitam sebagai ungkapan persaudaraan.

Padi 15 sukat itu ditakar dan diserahkan. Andeh langsung memikulnya. Sedang sang anak menggendong ayam hitam dan sebatang tibarau sengaja dipotong untuk dijadikan tongkat di perjalanan pulang. Di depan Anduang Gadih Ajo, ia perintahkan andeh-nya berjalan duluan dan ia mengiringi dengan gontai di belakang.

Dalam perjalanan mereka saling diam. Andeh merasa dikhianati anak sendiri. Anak merasa bangga dan puas dengan posisinya sebagai seorang yang berkuasa. Sampai ketika terdengar pekikan minta tolong.

"Andeh, tasibuluih den, Nde!" sang anak terinjak jejak kerbau dan kakinya diisap bancah, lumpur hidup di tengah sawah. "Andeh, tolong, Nde! Aku diisap! Semakin dalam saja, Nde!" Ayam di gendongannya terbang. Tibarau yang dijadikan tongkat itu pun terlempar ke samping dan tak terjangkau lagi olehnya. Tapi, andeh terus berjalan, tanpa menoleh selayang pun. Dengan napas sesak ia merungut-rungut: "Aku bukan andeh-mu. Aku hamba sahayamu!"

Seminggu kemudian, di jorong Ujuang Jalan, Nagari Alam Pauah Duo, Alam Surambi Sungai Pagu, orang-orang gempar. Di terusan mata air, tempat mereka biasa mengambil air minum, ditemukan sesosok mayat yang sudah mengelupas kulitnya seperti bangkai babi yang gembung di dalam lumpur.

***

BUNGA BANGKAI
Di masa yang lain, dari sebuah pondok kebun lobak, seorang ibu bergegas ke jalan raya menyongsong adik suaminya. Sekali sebulan adik suaminya yang bekerja di kantor kabupaten itu selalu mengunjunginya membawa kabar terbaru tentang anak gadisnya yang kini kuliah di Ibu Kota Negara. Anaknya itu dibiayai oleh sebuah yayasan atas prestasinya menciptakan zat pewarna pakaian dari cairan buah pinang yang difregmentasikan. Prestasi itu sudah dicapainya semasa masih duduk di bangku SMKN. Luar biasa.

Pihak yayasan tertarik pada prestasinya dan mengundang anak itu mengikuti program teknik industri di sebuah perguruuan tinggi kenamaan di ibu kota. Tawaran itu terkait erat dengan kerja sama pemerintah dengan negara pengekspor tekstil terbesar di dunia. Cara mengolah zat pewarna pakaian yang diciptakan sang anak menjadi sebuah prestasi yang harus diperhatikan.

Untuk urusan belanja-membelanjai, pihak yayasan semula berjanji akan menanggung semuanya, mulai dari pendaftaran sampai wisuda. Akan tetapi, setelah satu semester berjalan, kesepakatan berubah. Bukan disengaja sebenarnya. Tersebar kabar, yayasan yang menanggung pembiayaan kuliah anak itu tercatat sebagai salah satu yayasan milik seorang koruptor yang sedang diadili kasusnya.

Pihak yayasan minta maaf. Sebagai ungkapan bersalah ia memberi dana tunjangan sebesar lima juta rupiah. Tetapi, kurs mata uang yang terus terseok, angka lima juta tidak mampu berbuat banyak.

Pada semester ketiga sang anak terpaksa mengadu pada ayah ibunya. Ia masih ingin terus kuliah. Amat disayangkan jika harus berhenti di tengah jalan. Tapi, bagaimana caranya?

Ayahnya mengadu pada adiknya yang kebetulan telah lama bekerja di kantor bupati. Maka, didapat kesepakatan: kuliah sang anak harus diteruskan dengan cara swadana antar keluarga.


Sang paman berperan sebagai donatur tetap, pengganti pimpinan yayasan yang membelot dari janjinya itu.

Sang anak gembira dan bangga pada sang paman yang begitu perhatian kepadanya. Andai saja paman tidak ada, bagaimana nasibnya?

Bahkan, dalam kesempatan tertentu, sang paman berkenan menjenguknya ke ibu kota. Jadi, kekecewaaan terhadap yayasan itu tidak begitu terasa olehnya.

Bantuan semakin ia rasakan ketika paman naik pangkat. Ia kini menjadi kepala di bidang pembangunan kakabupaten. Jam terbang paman meninggi. Paman lebih sering keluar kota mengurus pekerjaaan.

Sejak itu pula ia sering dikunjungi paman. Kalau ke ibu kota, paman sering mampir. Atas kondisi itulah, paman beriniasiatif mengontrak sebuah apartemen untuk kemenakannya yang berprestasi itu. Jika paman kemalaman di ibu kota, ia bisa menginap di apartemen tersebut. Tak perlu lagi ke hotel. Hotel di ibu kota kan mahal.

Entah kapan mulainya, apartemen itu menjadi awal cerita yang mendebarkan bagi sang paman. Malam itu ia ada urusan di ibu kota. Paman kemalaman. Saat istirahat tiba, paman bermaksud akan istirahat di apartemen kemenakan. Kemenakan pun ditelepon. Sejak kemenakan membukakan pintu dan mempersilakan paman masuk, paman merasa ada yang ganjil. Ia seolah mencium aroma bunga di ruangan itu. Paman disuguhi minum oleh kemenakan yang hanya memakai gaun tidur. Aroma bunga itu kian menyeruak.

Paman mengajak bercerita. Bertanya-tanya tentang perkuliahan kemenakan. Cepatlah tamat, kemenakan. Selama paman masih bekerja di kantor bupati, kemenakan tidak usah pening seperti sarjana-sarjana kebanyakan. Untuk kemenakan sudah dipersiapkan jabatan ringan. Setidaknya jadi pegawai honorer atau pegawai tidak tetap. Setelah kemenakan punya Surat Keterangn Wiyata Bakti, Nomor Induk Pegawai mudah didapat. Yakinlah.

Kemenakan tersipu. Ia makin kagum pada pamannya. Dengan apa akan dibalas jasa paman yang baik ini? pikirnya.

Di tengah percakapan itu, penciuman paman kembali disergap aroma bunga yang ganjil. Ia tatap kemenakannya lekat-lekat. Paman ingin bertanya tentang aroma bunga itu. Saling tatap pun terjadi. Kemenakan sedikit kikuk. Tatapan paman membuatnya merasa ada yang tidak beres di tali gaun tidur yang diikatkan di bawah dadanya.

Dugaannya benar. Ujung talinya disentuh paman dan bertanya: kamu beli di mana? Kurang modis. Nanti kalau perlu gaun baru, bilang sama paman dong.

Tali gaun tidur yang tidak beres dan kurang modis itu tidak hanya sekadar disentuh paman tapi ditariknya. Aroma bunga yang ganjil tadi makin menyeruak ke benak paman.

Jangan Paman. Bunga ini belum mekar. Belum saatnya dipetik.

Paman tersenyum, di bola matanya bunga-bunga itu seperti beterbangan.

"Paman..."

Tali gaun tidurnya jatuh.

Paman pun jatuh.

Bunga itu luluh.

Si kemenakan terpuruk. Ia kini sering menyendiri. Murung. Kemurungannya mengundang perhatian seorang lelaki muda, teman sekelasnya. Ia dapat teman bercerita. Teman sekelas itu orangnya baik. Mau menjadi tempat ia berbagi segala keluh-kesah yang akhir-akhir ini terus menderanya.

Paman yang selama ini ia banggakan telah meluluhkan bunganya. Karena biaya kuliahnya paman yang mengurus, ia tidak bisa berbuat banyak. Yang lebih membebaninya kini, sang paman diperiksa KPK dengan tuduhan menyelewengkan dana APBD. Biaya kuliahnya pun mulai tersendat.

Teman sekelasnya bersimpati. Ia bersedia membantu kecil-kecilan. Ia kasihan pada bunga yang harus luluh sebelum mekar itu.

Paman selamat dari pemeriksaan KPK dengan mengembalikan dana yang nyaris diselewengkan itu. Tapi paman tidak bisa lagi berkunjung dengan leluasa ke apartemen kemenakan. Teman sekelas kemenakan memaklumi keadaan ini. Ia pun dengan rileks bisa menggilai bunga kemenakan di apartemen yang dikontrakkan paman.

Sementara paman hanya bisa bantubantu menstransfer uang belanja untuk kemenakan. Dan uang itu bukan lagi jaminan paman sepenuhnya. Beberapa sanak famili patungan. Untuk menutupi kekurangan, ayah ibunya terpaksa ngutang kiri ngutang kanan.

Seperti petang hari itu, sepulang kerja, paman sengaja singgah ke pondok kebun lobak milik ayah ibu kemenakan, menyampaikan isi SMS kemenakan.

Kemenakan kini sudah semester delapan. Sudah hampir wisuda. Untuk mengakhiri kuliah, kemenakan perlu dana yang lumayan besar. Setelah dihitung-hitung, kemenakan butuh dana sekitar 16 jutaan. Semua mencakup sewa apartemen, jajan sebulan, uang semester, dan dana membuat skripsi. Biaya wisuda dihitung kemudian. Menurut kemenakan, dana itu kalau dapat besok sudah dikirim.

Ayah kemenakan terhenyak. Ke mana uang sebanyak itu dicari? Keadaan sudah tidak seperti dulu lagi. Kepada istri, ayah kemenakan membisikkan sesuatu. Setelah dibisiki suami, ibu kemenakan tampak bergegas keluar pondok menuju pondok kebun tetangga. Begitu cekatan. Ketika maghrib menghampiri pondok itu, ia baru kembali, dengan wajah cemas dan bahagia. Alhamdulillah, ada yang mau meminjamkan perhiasan untuk dijual. Berarti besok uang yang diperlukan anaknya bisa dikirim.

***

Di depan ATM, seorang gadis menelan tangisnya.

"Aku anak yang pekak, Bu. Terpaksa. Restuilah aku untuk tidak peduli pada sakitmu. Sementara saja!" Saat meronggoh kartu ATM dari tasnya, astaga, tas itu jatuh. Isinya: handphone, aneka botol dan kotak kosmetik, pelentik bulu mata, tisu, dan sisa kondom yang dipakai teman sekelasnya semalam berserakan di lantai. Buru-buru ia kemasi. Tapi, ia sungguh kaget, setelah mengikuti tombol-tombol transaksi, di monitor ATM tertulis: Silakan tunggu. Bangkai bunga Anda sedang diproses.

***

Padang, Juni 2006

KETERANGAN

Tak kondai/pasak guyang: mahkota, tusuk konde
Padusi: perempuan
Urang sumando: semenda, suami kerabat perempuan
Rando: putik nangka yang tidak jadi buah
Panduang: payung, tempat berteduh yang terbuat dari daun kayu
Andeh: ibu
Dulang/talam: piring besar
Tibarau: sejenis tebu
Tasibuluih den, Nde: aku terbenam, Ibu
Bancah: lumpur hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar