Kamis, 02 Februari 2012

Riwayat Kehormatan Cerpen: Fakhrunnas MA Jabbar


Suara Pembaruan
Minggu, 06 Mei 2007

Riwayat Kehormatan
Cerpen: Fakhrunnas MA Jabbar

Sedari kecil, aku percaya, bagi dara belia seperti diriku, kehormatan adalah segalanya. Kehormatan ini tak sebatas harga diri, lebih-lebih lagi kehormatan seorang perempuan yang sangat bernilai sebagai mahkota pernikahan. Emak selalu berhujjah kepada diriku dan adik-adik yang semua berkelamin perempuan, agar menjaga sepenuh hati kehormatan yang melekat pada diri kami.

Di kampung dulu, aku sering menyaksikan bagaimana anak dara belia yang sudah tak perawan lagi, begitu tak bernilai. Selain jadi cemoohan berkepanjangan juga cenderung diketepikan oleh orang-orang sekampung. Aku kasihan juga menatap mereka yang begitu terhina. Tak berharga sama sekali. Bahkan disebut sebagai barang tak berguna. Ibarat botol minuman, segelnya sudah rusak. Siapakah yang mau meminumnya lagi kecuali para lelaki yang sama-sama tak bernilai pula.

Aku begitu kecut bila membayangkan bila hal serupa menimpa diriku. Keperawanan bagi orang-orang kampung di atas segalanya. Amatlah hinanya bila sebuah keluarga mempunyai anak dara yang sudah tak perawan lagi. Kenyataan buruk semacam itu, sindiran orang-orang tua di kampung kami, laksana mengurung maling dalam rumah. Suatu hal yan teramat sia-sia...

Malam ini, tiba-tiba aku harus mengkaji riwayat kehormatanku sendiri. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan bagi anak dara seperti aku. Usiaku baru 19 tahun. Sedang ranum-ranumnya. Sedang berminyak dan bercahaya. Aku boleh sedikit berbangga bila banyak anak bujang yang merasa keciri menatap kemolekanku. Aku selalu merasakan getaran yang teramat sangat bila melintasi sekumpulan anak bujangii yang sedang mencari jodoh. Sedang miang-miangiiinya.

Riwayat kehidupanku sama dan sebangun dengan riwayat kehormatanku. Riwayat itu kini tiba-tiba bergerak berbelok-belok di luar kesadaranku. Segalanya bermula dari peristiwa nestapa saat ayah yang amat kami cintai berpulang kerahmatullah. Emak yang paling terkejut karena tak siap menerima kenyataan itu. Tapi bagi diriku dan dua adik perempuanku justru terasa menusuk jiwa begitu dalam. Kami semua tiba-tiba kehilangan tempat berteduh. Terasa kehilangan segalanya.

Kepergian ayah yang begitu tiba-tiba setelah kanker paru merenggutnya empat tahun silam, benar-benar meninggalkan rasa gundah-gulanaiv teramat panjang dalam kehidupan kami. Begitu berbekasnya, perasaan itu bak aliran setrumv yang selalu menyengat kehidupan kami empat beranak yang tinggal.

Setrum yang paling kuat kurasakan saat aku harus berhenti melanjutkan kuliah di kota, tempat kami kini bertarung menaklukkan kehidupan. Semula aku harus bekerja menjadi pelayan toko dengan gaji lumayan. Tapi ini tak berlangsung lama. Aku harus berhenti karena masa kontrak kerjaku berakhir. Setrum-setrum lain terus menyengat silih-berganti. Adikku yang masih SMP harus berhenti sekolah pula. Tinggal si bungsu yang melanjutkan sekolahnya di bangku SD dengan tertatih-tatih karena sering menunggak uang sekolah.

Di tengah pergolakan jiwaku yang meronta di titian hari yang gerah, aku bersama emak dan dua adikku setiap hari nyaris menahan derita dan lapar. Selaku manusia biasa, terus terang, kami sudah tak kuat. Setrum nasib yang terus melepuhkanvi perasaan dan keperihan dalam hidup kami bagai tak akan berakhir jua.

Tubuhku yang sebenarnya molek kini terasa kian kurus saja. Wajahku yang dulu bercahaya kini terasa buram dan kabusvii bagai diselungkupi asap ketidakpastian. Sungguh, aku bak bergantung tak bertali, menanti tak berujung.

Kucoba menoleh ke kiri-kanan, ke pihak keluarga yang lain, bukannya tak ada. Tapi mereka pun hidup dalam tak berkecukupan. Aku bisa memahami mereka. Sementara kamar kontrakan kecil dan sederhana yang kami tempati berempat harus dibayar setiap bulan.

Dalam deraan panjang itu, aku merasakan selalu betapa kehormatan masih kami junjung setingginya. Kami bertekad tak akan pernah menyia-nyiakan. Orang-orang kampung di negeri Melayu menyebutnya marwahviii. Marwah itulah yang masih kami punya. Marwah yang megah itu tetap pula kami simpul dengan ajaran agama Islam yang sudah kami anut turun-temurun. Di kamar kontrakan yang sempit, kami empat beranak masih selalu membaca Alquran. Emaklah yang selalu membimbing kami bagaikan bertadarus terutama setiap malam Jumat.

Sajadah lusuh di sudut ruangan yang selalu terbentang masih kami sujudi bergantian di tiap waktu sholat. Aku sendiri merasakan betapa kehormatanku selalu pula terjaga. Selalu dipagari ayat-ayat suci dan bacaan sholat yang memberikan kesejukan dalam hidup kami.

Malam ini, aku berada di puncak kebimbangan yang tiada tara. Uang kontrakan tiga bulan terakhir tertunggak karena ketiadaan uang. Pemilik kontrakan sejak beberapa hari lalu sudah mengingatkan agar secepatnya dilunasi. Bila tak dibayar juga pada batas waktunya, malam ini, kamar kontrakan itu harus dkosongkan. Ya Allah, cobaan ini terasa kian berat dari waktu ke waktu.

Sejak pagi, aku meninggalkan rumah untuk mencari pilihan-pilihan yang terbaik untuk mendapatkan pinjaman uang. Sewa kamar kontrakan harus kuperoleh menjelang malam ini. Aku tak bisa membayangkan bagaimana pakaian dan perkakas rumah kami yang seadanya akan bertumpukan di halaman rumah. Para tetangga akan menyaksikannya dengan cibiran yang menyakitkan. Apalagi, perihal kami yang selalu menunggak sewa sudah jadi buah mulut para tetangga juga.

Aku sudah ke mana-mana sepanjang hari ini. Itu pun harus kulakukan sebagian besar berjalan kaki. Telapak dan tumit kakiku sudah melepuh dan perih. Tapi perih di kaki terasa belum seberapa. Ada yang lebih perih dari itu yakni rasa malu.

Tapi di setiap langkah kakiku, selalu kurasakan kebahagiaan alami. Aku masih memiliki kehormatan seutuhnya. Bagi anak dara yang bermarwah, hanya kehormatan itulah yang cerminan harga diri. Aku merasa sepenuhnya jadi raja bagi diriku sendiri. Tak ada yang boleh memasung. Atau, merenggut kehormatan itu dalam ketidakberdayaanku sekali pun.

Tapi, firasatku mengatakan, riwayat kehormatanku benar-benar akan berubah sontak malam ini. Setengah jam lagi, batas waktu pengosongan kamar kontrakan bakal tiba. Apa yang kucemaskan ternyata sudah berlaku. Saat kuhubungi melalui telepon umum, pemilik kontrakan memberi tahu, barang-barang kami sudah dikeluarkan. Emak dan kedua adikku benar-benar jadi pengungsi sambil menunggu keberhasilanku membayar uang kontrakan sedikitnya satu bulan dulu. Uang yang sebenarnya kecil bagi ukuran banyak orang, sesungguhnya amat berat bagiku untuk meraihnya malam ini.

Dalam kebingungan yang tiada tara, di sebuah perhentian bus, di bawah remang-remang kota, aku tak tahu berbuat apa. Aku bagai terkepung dalam persoalan yang melingkari hidupku.

Seorang lelaki setengah baya, bisa jadi seusia almarhum ayahku, juga berdiri di tempat yang sama. Kelihatannya juga sedang kebingungan. Aku coba mematut-matut dalam jarak yang tak terlalu dekat. Kutatap wajahnya. Airmukanya terlihat jernih. Tapi aku belum berani membuat keputusan untuk bertegur sapa. Sebab, banyak kejadian, wajah innocent (tanpa dosa) justru berperilaku sebaliknya.

Saat kucoba membuang pandang padanya, lelaki itu tersenyum. Aku juga tersenyum. Tapi seketika itu pula aku jadi ketakutan yang luar biasa. Aku langsung teringat pada pesan emak agar benar-benar menjaga kehormatanku yang melekat pada diriku. Jangan-jangan riwayat ini berubah tiba-tiba menjadi malapetaka ketika aku terjerat dalam perangkap lelaki hidung belang.

Aku berdebat sendiri dengan batinku. Antara percaya dan tiada. Apakah lelaki ini memang orang baik-baik atau sebaliknya. Aku tak mau terjerat dalam pelukan lelaki hidung belang yang memperdaya banyak anak dara. Apalagi, aku nyaris mengalami hal yang amat pahit beberapa bulan lalu. Seorang perempuan muda merayu-rayuku agar bekerja jadi pelayan restauran dengan gaji yang lumayan besar. Tapi aku berhasil lepas dari jeratan perempuan yang sesungguhnya ingin menjual kehormatanku pada lelaki hidung belang lainnya. Ini kusadari setelah kusaksikan di TV soal tipu-helahix para perempuan mucikari yang banyak memperdaya anak-anak dara dari kampung-kampung yang lugu.

Kuputuskan saja untuk bertegur sapa dengan lelaki itu.

"Maaf, sudah pukul berapa?" tanyaku memulai pembicaraan. Padahal aku sudah tahu pasti saat itu sudah pukul sembilan malam saat kulihat di jam besar sebuah iklan tepi jalan.

"Pukul sembilan. Sedang menunggu jemputan atau bis kota?" lelaki itu balik bertanya.

Aku menggeleng. Kebingunganku memang tak dapat kusembunyikan lagi. Sebab, wajahku saat itu begitu lesu dan kuyu.

"Kita bisa bicara di tempat yang lebih tenang?" pintaku penuh harap.

Lelaki itu terdiam sejenak. Tapi cepat-cepat memutuskan dengan mengajakku ke sebuah restauran tak jauh dari tempat itu. Aku coba menyembunyikan kegundahanku bahwa lelaki ini tidak akan memperdayaku. Biasa, banyak lelaki yang menyembunyikan sifat jahatnya dengan cara beramah-tamah agar bisa memerangkap perempuan muda seperti diriku.

Kami duduk berhadapan. Saling tersenyum. Tapi terus terang, sekali lagi, aku tak bisa menyembunyikan kecemasanku. Bayangan secepat kilat teringat pada emak dan dua adikku yang terlantar. Mereka pasti sudah diusir dari kamar kontrakan. Perasaanku semakin galau.

Sambil menikmati makanan dan minuman, kami mulai terlibat pembicaraan yang serius. Aku mengungkapkan masalah yang kuhadapi dengan linangan airmata. Lelaki itu tampak tersengat juga. Wajahnya berubah jadi lembab mencerminkan ikut prihatin.

"Posisiku benar-benar sulit. Tak banyak pilihan yang tersedia. Andai saja aku bisa dibantu, aku akan melakukan apa saja untuk kamu,," suaraku terasa berat dan terbata-bata.

Lelaki itu tersentak.

"Maksud kamu? Kamu akan melakukan segalanya untukku?" lelaki yang tak pernah menyebutkan namanya itu balik bertanya.

Aku tertunduk lesu. Tapi pikiranku hanya tertuju pada diriku sendiri. Berulang-ulang, di kelopak mataku hanya terdedah apakah riwayat kehormatanku akan berubah seketika malam ini.

"Aku,..aku siap menyerahkan diriku padamu..Inilah pengorbanan terbesar yang harus kulakukan seumur hidupku. Ini semua kulakukan demi emak dan adik-adikku..." Airmataku tak henti mengalir di kelopak mata yang kian memerah.

"Aku bisa memahami persoalan kamu. Aku akan membantu semampuku. Tapi..." Suara lelaki itu terhenti tiba-tiba.

"Maksudmu? Aku harus membayar segala hutang-hutangku...?"

"Bukan...bukan begitu. Pokoknya kamu selesaikan saja pelunasan tunggakan kontrakanmu...Kalau kamu sudi, datanglah lagi..." kata lelaki itu tampak pasrah saja. Tampaknya, ia mulai meyakini bahwa aku memang perempuan baik-baik. Sebaliknya aku mulai percayai kalau lelaki itu bukan orang jahat yang akan menambah siksaan baru atas nasibku.

Aku pamit pada lelaki itu setelah menerima pemberian uang yang cukup membayar tunggakan kamar dan keperluan lain. Satu sisi, hatiku benar-benar lapang karena dapat menyelamatkan nasib emak dan adik-adik. Di sisi lain, aku belum bisa memastikan bagaimana keberadaan diriku setelah urusan keluarga sebentar lagi selesai.

Lelaki itu memang tak pernah memaksakan agar aku datang lagi menjumpainya. Ia terkesan tulus. Tak ada tanda-tanda paksaan dalam kebaikan yang diulurkannya padaku.

Menjelang tengah malam, segala urusan keluarga dapat kurampungkan. Perasaanku mulai lapang. Beban yang menyesak di liang paru-paruku terasa lebih ringan. Aku mencoba menghela napas dalam-dalam. Sekelabat terbayang juga bagaimana riwayat kehormatanku malam ini bisa berubah tiba-tiba.

Lelaki baik hati itu masih duduk sendirian di restauran yang sudah kutinggalkan cukup lama. Ia terkejut melihat kedatanganku kembali. Ia tersenyum lepas padaku.

"Di luar dugaan, kamu kembali lagi ke sini.." suaranya datar sambil menatapku dalam-dalam.

"Aku sudah berjanji sedari tadi...Terlalu lancang bila aku mengabaikan kebaikan sesorang begitu saja.."

"Terus...kamu mau kemana?" desaknya membuat aku kian tersudut.

Aku tertunduk. Pikiranku benar-benar jadi tak beraturan.

"Aku sudah katakan..aku hanya ingin berterimakasih. Kamu telah menyelamatkanku dan keluargaku malam ini. Mereka amat berterimakasih..Aku tak tahu harus melakukan apa untuk membalas segala kebaikan kamu..." tanggapku gugup.

Hening bertahta beberapa lama. Aku hanya tertunduk. Lelaki itu juga tampak mulai kelelahan di tengah malam yang kian larut.

"Aku mau kembali ke hotel saja... Kamu mau di antar ke mana?" tiba-tiba lelaki itu buka suara.

Aku bangkit dan menatap bolamata lelaki yang kian sayu itu. Ia jelas kelelahan.

"Aku..aku...ikut kamu.." aku menanggap tanpa ragu.

"Aku mau kembali ke hotel.."

"Aku ikut kamu.."

"Tapi...aku tak pernah minta apa-apa atas segala bantuan yang sudah kuberikan.."

"Aku tahu. Aku sudah berbulat hati untuk memberikan segalanya buat kamu malam ini.."

"Ya, tapi aku tak mengharapkan hal itu dari kamu.. Aku ikhlas saja.."

Aku tetap saja memaksakan diri untuk ikut ketika lelaki itu naik taksi menuju hotel. Boleh jadi, aku terlalu berani atau terkesan berani di mata lelaki itu.

Di kamar hotel, kami lebih banyak diam. Lelaki itu begitu bingung dan canggung yang tersirat begitu jelas dari wajahnya yang galau.

"Sering kamu tidur bersama lelaki?" selidik lelaki itu.

Aku menggeleng pasti.

"Tak pernah..Aku perempuan baik-baik..."

Lelaki itu menatapku dalam-dalam. Tersenyum bangga. Tapi aku masih saja mematung. Mematut diri. Hening malam menyelimuti hingga sinar mentari membangunkan tidur kami di esok pagi.

***

Pangkalan Kerinci,
Pelalawan - Februari 2006

Catatan Kaki
i      ngiler, mengharap sesuatu sampai menitik air liur
ii     anak muda yang masih lajang, siap hendak menikah
iii    Tabiat gatal mencari lawan jenis
iv    sedih dan gelisah yang luar biasa
v    aliran listrik
vi    kulit yang meriang akibat terbakar atau kena bisa binatang
vii   tak bercahaya, berkabut
viii seuatu yang lebih tinggi dari harkat dan kehormatan
ix    tipu daya dengan segala cara

1 komentar:

  1. Terimakasih ya, sudah menempatkan cerpen saya ini dalam blog Anda. Semoga menggiatkan sastra via jejaring sosial ini dapat terus berkembang. Sastra berkembang hanya karena kepedulian kalangan orang-orang sastra sendiri. Salam dari Tanah Melayu Riau

    BalasHapus