Batam
Pos
Minggu,
13 Januari 2008
Tiga Surat
Cinta untuk Bunga
Cerpen: Heru Kurniawan
Selama sebulan ini, sejak kisah cinta kita putus, aku sudah menulis
Saat aku tulis
Ibunya akan merebut sambil berbohong, "Kau masih tidak boleh membuka amplop itu. Amplop ini isinya surat, bukan uang"
Dengan cemberut anak itu menyerahkan apa yang baru ditemukannya.
"Isinya surat apa, Bu?" anak itu bertanya setelah ibunya selesai membuka dan membaca suratku ini.
"Cinta"
"Apa itu cinta, Bu?"
"Kau belum boleh tahu, Nak."
"Kalau begitu apakah boleh aku minta kertas-kertas yang isinya cinta itu, Bu!"
"Untuk apa?"
"Membuat pesawat kertas untuk mainan."
"Bagus itu, biar Ibu yang membuatkan."
Jadilah tulisan-tulisan cintaku menghias sayap, tubuh, dan kepala pesawat kertas mainan itu. Pesawat kertaS itu di lempar ke sana-ke sini, terbang kian-kemari, sampai akhirnya terdampar di ranting pohon beringin.
"Sudah mari kita pulang, Nak. Memang pantas nasib pesawat kertas itu di
Aku terhenyak mengembangkan lamunanku. Betapa sia-sia aku menulis
2.
Bunga, pada suratku yang kedua, aku kisahkan hidupku setelah kita berpisah. Hidupku terasa telah mati. Aku selalu membayangkan di dunia yang kedua kita tak juga bisa untuk bersatu kembali. Padahal kita telah berjanji, bila di dunia kita tak bersatu, kita berkeyakinan di alam baka bisa terus bertemu. Bunga, kau akan hidup di surga, sedangkan aku di neraka. Ini karena kau tak mengerti dengan apa yang telah aku lakukan padamu. Kau tak berdosa dengan persetubuhan kita. Kau melakukannya dengan rela, sedangkan aku memaksa. Kau atas nama cinta, sedangkan aku atas nama birahi membara. Tapi, kau harus tahu, birahi dan cinta bagi lelaki hampir tak ada bedanya.
Setelah
Setelah aku letakan
"
"Sini, biar aku yang membuka, kamu masih kecil tidak boleh membaca
"Memangnya itu
"Ini pasti
"
Lelaki berusia belasan tahun itu tak membalas pertanyaan adiknya. Ia membaca dengan cermat
"Isinya apa, Kak?"
"Kau belum boleh mengerti."
"Tapi, itu foto siapa, Kak?"
"Kakak tidak tahu, apa kau mengenal orang ini."
Anak kecil itu mengerutkan keningnya.
"Apakah kau mengenalnya?"
"Aku pernah melihatnya di bawah pohon ini, Kak. Tapi, aku tidak tahu mereka itu siapa."
"Itu namanya kamu tidak mengenal, Bloon."
Anak kecil itu nyengir dihina kakaknya.
"Ayo kita lanjutkan perjalanan mencari kambing-kambing kita."
"Tapi, Kak. Boleh aku menjadikan
Diberikannya
"Hore…, perahunya melaju cepat," anak kecil itu berteriak girang tentunya.
Tapi, tidak berapa lama kemudian perahu kertas itu hanyut dan tenggelam terbawa arus.
"Kak, perahunya hanyut tenggelam. Kenapa, ya?"
Pertanyaan anak kecil itu seakan-akan nyata dan mengagetkan lamunanku. Ah, Bunga, betapa nasib percintaan kita ditakdirkan hancur. Terus apa yang masih kutunggu darimu, Bunga. Aku tahu kalau kita sudah tidak bisa bersatu, tapi kenapa aku masih berharap keajaiban. Terkadang masih ada hasratku untuk menolak kenyataan. Saat itu anganku akan menghadirkanmu yang tiba-tiba datang dan mengatakan padaku, "Apa yang terjadi pada kita bukan takdir, Raka. Kita memang saudara, tapi cinta tak menghendaki persaudaraan kita. Haruskah kita menanggung salah dari lelaki yang telah jadi ayah kita! Tidak, Raka. Cinta kita lebih berharga dari bapak kita. Lebih mulia dari norma dan agama. Kau tahu itu, Raka… "
Tidak!!! Aku berteriak keras memecahkan malam yang mulai menjaring bumi. Aku tidak bisa, Bunga. Aku hanya akan memberimu doa, semoga kau tidak akan tahu dengan rahasia ini. Aku lebih baik dibenci olehmu daripada kau tahu rahasia kita yang pilu dan menjijikan.
Dalam tidur malam ini aku dihantui oleh pesawat dan perahu kertas yang nasib naas. Terdampar dan hanyut yang berujung pada kehancuran yang diakibatkan oleh ulah anak kecil. Ini memupus impianku tentang suratku yang kuharap akan dibaca banyak orang. Aku berharap pada suratku yang ketiga bayanganku bisa indah,
3.
Pada suratku yang ketiga ini, aku menuliskan keputusanku yang bulat; Aku akan pergi jauh, Bunga. Aku sudah tidak sanggup lagi dihantui oleh perasaan terluka seperti ini. Selamat jalan, Bunga.
Kau ingat tempat pertama kali kita bertemu, Bunga, sebuah halte yang saat langit mengurai airnya lewat hujan, kau dan aku sama sedang menunggu Bus Kota. Tapi dasar negeri kita amburadul, demo berkali-kali terjadi. Dan hari ini giliran para supir protes dengan kenaikan BBM yang ingin diikuti kenaikan tarif. Ah, celaka kita akibatnya, tersudut di halte dengan di kepung hujan yang amat deras. Hujan pertama yang menakhiri musim kemarau.
"Maaf, di rambut Nona ada kotorannya, boleh kuambil," kataku.
Kau diam menyilahkan, dan aku mengambil kotoran itu. Sejak saat itu kita terlibat pembicaraan yang sengit dan jadi kita sering buat janjian di halte ini. Sampai kita sepakat untuk menjalin percintaan.
Bunga, suratku yang terakhir untukmu akan aku letakan di kursi halte yang telah menjadi saksi perjumpaan kita. Aku membayangkan kalau suratku yang terakhir ini akan ditemukan seorang pemulung. Oleh pemulung itu suratku akan disimpan karena sepanjang hidupnya ia baru menemukan kertas yang indah dengan tulisan yang indah. Ah, aku akan senang. Betapa ternyata ada yang terselamatkan dari miliku yang paling berharga.
"Kenapa kau tidak membuka
"Tidak. Aku yakin
"Siapa gurumu itu pemulung?"
"Guruku sangat cantik, ia Ibu guru yang tengah gagal soal cinta."
"Harusnya kamu tak usah peduli kata-katanya."
"Tapi itu benar, karena aku juga sekarang tengah mengenal cinta"
"Dasar edan."
…
Bunga, aku tak bisa membayangkan percakapan si pemulung itu. Aku takut kalau Ibu gurunya yang cantik adalah kamu. Bukankah kau pernah bercerita padaku bahwa cita-cita tertinggimu adalah menjadi guru untuk para anak-anak terlantar.
4.
Pada suatu pagi sebuah
Terimakasih, Bunga. Aku sungguh bahagia dengan suratmu. Semoga kau selamanya tidak akan tahu dengan rahasia ini. Hari ini aku akan bunuh diri.
Selamat jalan, Bunga…***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar