Kamis, 02 Februari 2012

Tanda Cerpen Amrin Zuraidi Rawansyah


Seputar Indonesia
Minggu 02 September 2007

Tanda
Cerpen Amrin Zuraidi Rawansyah

Bo menahan napas. Perlahan tangannya menjangkau rok Un. Sedikit gemetar. Meski demikian, ia mencoba tersenyum. Kemudian dengan saksama menatap mata Un, seolah algojo yang sedang menantikan sang terpidana mati telah menunaikan permintaan terakhir.

Atau justru dirinyalah yang sekarang pesakitan? Entahlah. Namun, sepasang mata indah yang balas menatapnya mengerdip yakin. Baiklah, Bo membatin. Aku harus melakukannya. Akan. Harus.Ya, harus. Aku harus melakukannya. Bo terpejam sesaat.Mengatur napas.Lalu,tangannya mulai bergerak menyingkap rok Un ke atas. Sedikit demi sedikit. *** ”Berdasarkan terawangan Datuk Kelabu,”kata Pak Uteh sambil mengisap kreteknya dalam-dalam, ”Orang yang tepat untuk membuang tanda itu adalah engkau, Nak Bo.” Untung gelas kopi Bo baru menyentuh ujung bibir.

Sekian detik saja terlambat, bukan mustahil, ucapan Pak Uteh itu dapat membuatnya tersedak. Membayangkan hal tersebut, ia menelan ludah.Sekian jenak berikutnya,barulah ia menyeruput kopinya pelan-pelan. ”Harus saya, Pak Uteh? Kenapa?” tanya Bo hati-hati, sembari meletakkan gelas kopinya ke meja. Diam-diam ia mencermati ekspresi Pak Uteh. Lelaki tua itu,yang sudah dianggapnya sebagai orangtua sendiri semenjak ayahnya meninggal ketika masih SD, tampak menarik napas seraya mengatupkan rahang kuat-kuat. Keriput di wajahnya menjelas. Bergetar-getar.

Matanya menyipit. Seakan punggungnya menanggung gunung-gunung. Tiba-tiba Bo merasa tidak enak dengan pertanyaan barusan. Beberapa menit yang lalu, setelah bermain catur, mereka masih berbincang lepas. Tentang kondisi terkini ibu kota kabupaten mereka, yang terletak di perhuluan sungai Kapuas dan sekarang dijamuri pembangunan ruko-ruko dan swalayan baru.Tentang kepulangannya kemarin, di mana ia sempat membawa kardus orang sampai ke rumah. Juga tentang rencana wisudanya bulan depan. Sekaligus juga membicarakan dengan penuh semangat tawaran Pak Mukti, agar ia nanti bekerja sebagai guru honorer di sebuah SMA swasta.

Namun, topik pembicaraan berubah, semenjak Bo bertanya tentang kakek tua yang siang tadi dilihatnya berjalan bersama Pak Uteh. Datuk Kelabu, demikian nama kakek itu, sengaja Pak Uteh undang untuk melihat kondisi dan mengobati Un. Awalnya Pak Uteh agak berat menjawab ketika ia bertanya tentang sakit apa yang sedang Un derita. Karena di matanya,Un sehat-sehat saja.Bukankah kemarin Un menyambutnya di muara gang dengan histeris? Bahkan mengambil paksa kardus yang sedang dijinjingnya, yang kemudian diketahui ternyata milik orang lain.

Satu-satunya penyakit Un yang ia ketahui adalah sering mencubitinya tanpa alasan.Tapi,sekalipun cubitan-cubitan itu berbisa, sungguh, ia tak ingin ”penyakit” itu disembuhkan. Mungkin karena samasama anak tunggal, selalu bersama sejak kecil, sehingga cubitan-cubitan itu telah menjadi semacam lambang persaudaraan antara mereka berdua. Lalu, Pak Uteh bercerita mengenai kunjungan Pak Usman seminggu yang lewat.

Pak Uteh meyakini, maksud kedatangan calon besannya itu tak lain tak bukan adalah untuk membicarakan lebih lanjut perihal pertunangan anak mereka. Pak Uteh sendiri sudah menyiapkan beberapa pilihan ”hari baik bulan baik” berdasarkan perhitungannya bersama orang-orang tua di kampung. Tak dinyana, Pak Usman justru datang membicarakan baik-baik mengenai pembatalan pertunangan! Menurut Pak Usman, hal demikianlah yang terbaik untuk masa depan masing-masing anak mereka. Bukan lantaran karena ketidakcocokan karakter antara Un dan Febrian.

Juga bukan disebabkan latar belakang ekonomi keluarga. Namun, karena Un memiliki sebuah tanda di tubuhnya. Tanda itu berupa tahi lalat sebesar ibu jari, terletak pada bagian tertentu di tubuh Un, menurut keyakinan keluarga Pak Usman dapat membawa sial bagi masa depan Febrian. ”Apa Nak Bo keberatan?” tanya Pak Uteh tiba-tiba, membuyarkan lamunan Bo. ”Bu….Bukan, Pak Uteh. Bukan begitu. Saya hanya ingin tahu.Kenapa Datuk Kelabu memilih saya?” ”Tidak sembarang orang dapat membuang tanda itu, Nak Bo,” kata Pak Uteh seraya mengambil sebatang kretek lagi dan menyulutnya.”Bahkan,orang pintar sekelas Datuk Kelabu pun tidak. Beliau hanya bisa melihat siapa orang yang berjodoh dengan jarum emasnya, alat khusus pembuang tanda celaka. Itu.

”Tadi siang,”lanjut Pak Uteh,”Setelah melihatmu, Datuk Kelabu mengatakan pada Bapak bahwa Nak Bo berjodoh dengan jarum emasnya.Untuk memastikan, Datuk Kelabu mengajak Bapak mengunjungi kuburan leluhurnya di luar kota. Padahal tujuan kami semula, Nak Bo, adalah menjemput cucunya yang menurut Datuk Kelabu pun berjodoh dengan jarum emas.Namun setelah mendapat petunjuk saat bersemedi di kuburan, Datuk Kelabu menegaskan bahwa untuk kasus Un, Nak Bo jauh lebih tepat dibanding cucunya.” Bo melongo. ”Bapak mengerti,”kata Pak Uteh lagi, ”hal seperti ini bukan perkara yang bisa diterima begitu saja dengan nalar.Apalagi bagi Nak Bo yang anak kuliahan.” ”Jadi?”Tanya Nak Bo sekenanya. ”Terserah pada Nak Bo. Bapak tidak memaksa.

Kalaupun Nak Bo tidak bersedia, tidak apa-apa,” ujar Pak Uteh menyandarkan punggungnya dan menerawang pada langit-langit ruang tamu ”Mungkin memang demikian garis Un, adikmu itu.” ”Lalu ... cucu Datuk Kelabu?” ”Kata Datuk Kelabu, cucu perempuannya baru berjodoh dengan jarum emas itu jika tanda sial itu ada di tubuh laki-laki.” Bo tercenung. Teringat akan segala kebaikan Pak Uteh sekeluarga selama ini.... ”Saya bersedia,Pak Uteh.” ”Engkau yakin, Nak Bo”’ ”Yakin,Pak Uteh.” *** Bo terpejam sesaat. Mengatur napas. Lalu, tangannya mulai bergerak menyingkap ujung rok Un ke atas. Sedikit demi sedikit. Sedikit demi sedikit pula matanya terbuka, yang kemudian terpacak pada panorama yang terhampar.

Jantungnya berdegup kencang. Jakunnya naik-turun. Berkali-kali ia menelan ludah. Sebuah peta putih dengan jalurjalur hijau urat darah yang menuntunnya ke sebuah masa, lebih dari sepuluh tahun lalu. Ketika itu, untuk pertama kalinya, mereka saling belajar tentang apa perbedaan laki-laki dan perempuan. Aroma setanggi memenuhi ruang. Peluh mulai lahir dari pori-pori kulit Bo. Sementara itu,Pak Uteh,Mak Uteh,dan Emak Bo yang duduk di salah satu sudut ruang tampak gelisah.

Dari tadi sesekali mereka saling pandang.Kadang melihat Un dan Bo di dipan,kadang pula melihat Datuk Kelabu yang takzim bersimpuh di depan sebuah kotak kecil merah berisi jarum emas. Datuk Kelabu bangkit tiba-tiba,kemudian duduk di belakang Bo.Sambil komatkamit, dua telapak tangannya menempel pada punggung Bo.Setelah sesaat berlaku demikian,Datuk Kelabu menarik tangannya. Kemudian, membisikkan sesuatu di telinga Bo. Bo mengangguk-angguk. Setelah meletakkan kotak jarum emas di samping Bo,Datuk Kelabu mendekati Pak Uteh, Mak Uteh,dan Emak Bo.Pada ketiga orangtua itu, Datuk Kelabu menjelaskan bahwa Bo bertarung akan kekuatan tanda sial di tubuh Un.

Agar tidak mengganggu Bo,Datuk Kelabu mengajak mereka meninggalkan kamar. ”Kenapa, Bang? Kok, ragu-ragu? ” tanya Un setelah memastikan pintu kamarnya tertutup rapat. ”Kok seperti dulu, ya? Dan, di kamar ini lagi,” ujar Bo dengan tatapan mengitari ruang. Ketika Bo hendak mengembalikan ujung rok ke tempat semula,Un malah mencegah. ”Buanglah tanda ini, Bang,” kata Un seraya membimbing tangan Bo menyingkap roknya,sampai kurang lebih sejengkal dari pangkal paha.Jidat Bo bekernyit saat melihat sebuah tahi lalat yang ternyata tidak sebesar jempol jari, tapi cuma seukuran dua kepala korek api. Un mengambil jarum emas dan menyerahkan pada Bo.Bo menyambut ragu. ”Un,Abang akan menusuk tahi lalatmu tiga kali, sesuai pesan Datuk, tapi Abang penasaran Un.

Seingat Abang, dulu, tahi lalat ini tidak ada,kan?” ”Sebenarnya ada, Bang. Cuma kecil. Sejak kapannya,Un tidak tahu,tahi lalat ini mulai membesar sampai seukuran sekarang.Yang Un tahu, kira-kira sejak tiga tahun lalu, ukurannya tidak berubah lagi.” ”Katanya seukuran ini?”tanya Bo mengacungkan jempol kirinya. Tapi Un menjawab dengan senyum asing. Bo menyipitkan mata.Tajam menatap mata Un. ”Mereka lelaki pengecut,” kata Un sembari menghindari tatapan Bo. ”Hanya karena Un ceritakan tanda ini, mereka kabur.” Dengan ibu jari kanan, Un mengelus tahi lalat di pahanya.Kemudian,bercerita tentang beberapa pria yang pernah dekat dengannya, termasuk si mantan tunangan. Mereka semua munafik, keluh Un. Mula-mula mereka bilang mau menerima Un apa adanya.

Mereka juga dengan gagah mengatakan bahwa keperawanan bukanlah syarat utama dalam membina rumah tangga.Tapi sekian waktu, ketika Un mengatakan bahwa mungkin saja dirinya sudah tidak perawan, pelan-pelan mereka mundur.Lalu,persoalan tahi lalat pun dibesar-besarkan. ”Abang belum mengerti,” potong Bo, ”Apa Un memang sudah tidak...” Un menggeleng dan tersenyum, ”Un hanya menguji mereka.Ternyata cinta mereka cuma seperti itu.” ”Nekat!” kata Bo tanpa sadar. Bagaimana jika mereka menyebarkannya pada orang lain? Abang benar-benar tak habis pikir...” ”Iya sih.Terus terang Un sedikit menyesal, karena hal ini menyangkut citra Un.

Tapi Un lebih bersyukur karena bisa jauh dari laki-laki picik seperti mereka. Selain itu,Un melakukannya karena Un sebenarnya sangat mencintai seseorang...” ”Siapa, Un? Boleh Abang tahu?” ”Orangnya baik dan sangat menyayangi Un?” ”Siapa sih, Un? Cerita, dong...” ”Malu,ahhh...” ”Cerita dong, Un. Dengan Abang sendiri kok malu ?” ”Itulah masalahnya,” desah Un, ”Orang itu hanya menganggap Un sebagai adik,” sambung Un tertunduk. Hening sejenak.Bo merasa ada debar lain di dadanya. Debar yang selama ini mati-matian ia tahan, yang rapi ia sembunyikan ke dalam sebuah peti kedap suara jauh di relung hatinya. Sekarang, tutup peti itu telah terbuka. ”Un...” kata Bo bergetar. Un mengangkat wajah.Mereka bertatapan.Tanpa berkata- kata,sekarang mereka saling tahu isi hati masing-masing.

Ada kekuatan aneh yang mendorong wajah mereka saling mendekat.Mendekat.Mendekat dan... ”Aouww…..!” Un menjerit, tapi cepatcepat menutup mulutnya.Wajah Bo tersurut beberapa jengkal. Ternyata, jarum emas yang entah sejak kapan terlepas dari tangan Bo telah mengenai kaki Un. Orang-orangtua, yang resah menunggu di ruang depan, ketika mendengar jeritan Un, bergegas masuk. Mereka merubung Bo dan Un. Meski sebelumnya, tidak satu pun dari keempat orang tua itu yang pernah melihat tanda sial Un, yang katanya sebesar jempol jari, yang jelas sekarang mereka telah melihat ukurannya hanya sebesar dua kepala korek api.Karena itu,mereka kemudian saling pandang dan tersenyum puas. Mereka luput mengamati, sepasang tangan yang saling genggam.Erat. ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar