Jawa
Pos
Minggu,
15 April 2007
Tentang
Musim
Cerpen: Lan Fang
KAMU berkenalan dengannya ketika sebuah huruf
jatuh dari lembaran buku yang kamu baca. Mungkin huruf itu tergelincir. Belum
sempurna rasa terkejutmu, tangkai yang menopang huruf menjadi tungkai, badannya
menjadi dada, dan ada tumpuan yang menyangga sebuah bulat telur yang kau sebut
kepala. Ia sempurna menjadi tubuh sebelum menyentuh lantai, rubuh.
"Aku Jo," ia menyapamu begitu
ramah.
"Kamu siapa?" kamu bertanya dalam
kuasa keterpesonaan. Dia tinggi besar seperti benteng dan sekuat banteng.
Suaranya seperti daun kering yang diremukkan oleh angin. Tetapi yang membuatmu
tidak bisa melepaskan pandang darinya adalah sepasang matanya yang indah.
Seluruh matanya berwarna hitam dengan lingkaran putih di tengahnya.
Keterpesonaan atau keterkejutan? "Aku
malaikat," jawabnya. Kali ini kamu terkejut. Bukan terpesona.
Kamu tertawa. "Kamu bohong. Aku bukan
anak kecil yang bisa kamu bohongi. Kamu tidak punya sayap. Kamu tidak berjubah.
Kakimu menyentuh tanah, kamu tidak terbang. Dan, namamu Jo, bukan Jibril atau
Gabriel."
Senyumnya melebar, "yang bersayap itu
bukan malaikat, tetapi burung. Yang berjubah itu bukan malaikat, tetapi orang
kehujanan. Yang terbang itu bukan malaikat, tetapi pilot. Dan malaikat itu banyak,
bukan cuma Jibril atau Gabriel."
Ia membentangkan tangannya, merengkuhmu
sampai kamu masuk ke dalam pendaran cahaya. Kamu melihat cahaya itu menerobos
jendela-jendela besar yang terbuka lebar. Sebagian memantul pada permukaan air
kolam dihalaman belakang. Kamu menggerutu dalam hati karena mendadak migren
menyerangmu (kamu selalu begitu bila bertabrakan dengan cahaya). Padahal
pemilik toko buku ini menyiapkan kelambu bambu untuk menghalau kemilau matahari
sore.
"Aku tercipta dari cahaya."
Kamu berkerjap-kerjap berusaha menyesuaikan
matamu dengan silau.
"Kulihat sejak pagi sampai sore kamu
cuma duduk membaca. Apakah tidak membosankan?" Ia menjadi cahaya yang
sedikit meredup.
Kamu menjawabnya, "Biar saja. Aku lebih
bosan menunggu empat musim yang tidak kunjung datang. Bahkan mereka tidak
seperti yang seharusnya. Dedaunan gugur padahal matahari sedang layu, angin
terlihat pucat tetapi bunga mekar di atas salju. Mereka kacau. Aku jadi tidak
bisa mempercayai mereka. Mungkin mereka sudah lupa padaku, akan lupa, atau
melupakanku sama sekali itu lebih baik bagi mereka. Lalu, menurutmu, apakah aku
masih harus menunggu? Padahal aku sudah merasa begitu tumpul," entah dari
mana kamu mempercayainya begitu saja. Apakah karena dia mengaku malaikat?
"Kamu masih saja gerimis. Belum menjadi
bunga. Tidak pernah menjadi belati. Masih saja merindukan empat musim yang
tidak pernah ada. Percayalah, mereka tidak akan pernah datang. Karena kalau
mereka datang padamu, maka waktu akan berhenti, mati! Seperti belati yang
menusuki pusat bunga, menikam jantung cinta."
Kamu menggeleng bersikeras bahwa akan ada
sebuah musim yang akan datang padamu. Dia bertanya kenapa kamu begitu keras
kepala menunggu musim-musim pendusta, mereka tidak pernah ada, tandasnya. Jo
mengatakan bahwa memeriksa rak-rak buku, menata buku, mengatur anak buah di
tiap ruangan, pasti lebih menyenangkan karena detik akan berdetak dalam waktu
yang bergerak. Kamu tidak dijemukan oleh empat musim abadi yang berhenti pada
dingin yang leleh, ricik yang berisik, atau beku yang rontok. Itu tidak ada!
Nonsens!
"Buatlah menjadi ada. Bukankah kamu
malaikat? Jo, apakah kamu bahagia menjadi malaikat?"
Jo mengatakan bahwa malaikat tidak pernah
tahu bahagia, sedih, marah, cinta atau cemburu. Semua itu adalah musim yang
tercuri dari kehidupan malaikat. Yang ada pada malaikat adalah kepatuhan.
Malaikat patuh kepada Allah termasuk ketika Ia menyuruh para malaikat bersujud
pada manusia. Lalu malaikat pun patuh untuk menjaga manusia. Karena itu yang
ada pada malaikat hanyalah kebaikan. "Menurutmu itu kebaikan?! Menurutku
itu kebodohan, tau! Cuma patuh...- patuh...patuh... Menurut...menurut...
menurut... Patuh kepada musim semi yang pasti memekarkan semua kelopak?
Menurut kepada musim salju yang membekukan
semua kuntum? Patuh dan menurut pada semua yang sudah diatur-Nya. Aku tidak mau
jadi malaikat! Itu bego!" semburmu melahar. Ia mengelilingimu dengan
cahayanya yang berpendar seperti kabut selembut lumut. Kamu dilingkupi hening
padahal di?sekelilingmu bising. Rak-rak buku menjadi ngarai dan buku-buku
menjadi sungai. Angin yang kusut masai leluasa lalu lalang di kisi-kisi. Ada
gemerisik ricik di sisik genteng. Sedang daun jendela begitu tabah menadah
basah.
Kamu mendengarkan semua percakapan alam lalu
menceritakannya kembali kepada Jo. Begitu banyak yang kamu ceritakan. Tentang
jantung yang terbelah dan ada paku di dalamnya, juga tentang mata yang pecah
tetapi tidak kamu temukan sedu sedan di sana. Termasuk cerita bahwa kamu
seperti mawar yang terserabut bersama akarnya. Tidak secantik mawar dalam
rangkaian. Kamu seperti halaman buku terbuka. Huruf-hurufnya terburai
berhamburan keluar berlomba dengan gerimis yang menepis. Dan kamu menari di
tengahnya. Kakimu berjingkat dan tanganmu terangkat seperti pebalet. Sepatumu
bergerak dalam ketukan irama riang. Kamu merasa ringan dan meluncur dari ruang
ke ruang. Cahaya itu melebar ke seluruh ruangan. Dari ujung ke ujung, atas ke
bawah, depan sampai belakang. Toko buku itu jadi benderang oleh kilau. Kamu
berputar di dalam cahaya. Kamu tahu bahwa Jo sedang mendengar ceritamu.
"Jo, berikan musim yang tercuri itu.
Carikan. Kembalikan. Mungkin ia terselip entah di rak yang mana?" pintamu
sambil terus menyusur dinding.
Jo berjanji akan memberikan sebuah musim yang
diambilnya dari tingkap jendela toko buku ini. Sebuah musim tanpa debu sehingga
kamu tidak perlu bersin. Musim itu akan membuatmu mekar tanpa perlu menjadi
mawar. "Karena kamu belukar liar yang tumbuh di padang terbakar. Tidak perlu menunggu fajar
untuk mekar."
Ia meniup dan kamu menghirup.
Sebuah musim yang ia katakan tibatiba
tercipta di antara kalian. Seperti kuas yang memulas lukisan di atas kanvas. Ada matahari dan bintang
yang bersinar bersama-sama, ada daun kecoklatan dalam kepingan es yang memucat,
lalu menggambar ujung, tubuh dan akar ilalang di tubuhmu yang menghilang. Kamu
menjadi begitu langsing dan tipis sehingga capung pun bisa hinggap di atasmu
walau hanya dengan sebelah kaki.
"Ini Awe," ia terus menggambarimu.
"Yahwe?" tanyamu.
"Tidak. Yahwe menciptakan Awe. Awe
menghadirkan semua musim yang kamu inginkan. Awe tidak perlu patuh dan menurut
seperti malaikat. Ia bisa membuat matahari berwarna ungu, daun berwarna putih,
salju yang menghitam, serta kuntum tanpa kelopak. Dan...Awe bisa mencabut paku
di jantungmu..."
Kemudian kau serahkan jantungmu. Awe adalah
helai-helai yang memanjang dari tingkap-tingkap. Ia menjulur seperti rambut
perawan sampai ke pinggang. Ia membujur seperti sulursulur di kebun anggur.
Ternyata Awe tidak mencabut paku dari
jantungmu. Ia menggambar Dajjal sedang menanam paku di sana . Pakupaku yang tumbuh subur tanpa perlu
disiram hujan dan dimandikan matahari. Paku-paku yang membiak tanpa perlu
dikunjungi para musim yang selalu dusta padamu.
"Jo, akhirnya aku punya sebuah musim
yang tidak pembohong!" Kamu melonjak gembira. Kamu lari dari rak ke rak
membuka semua buku, membuka sampulnya dan menelan isinya yang menjadi pupuk
untuk ladang pakumu.
Sekonyong ada deru dari pintu depan
menerobos. Ia lelaki setengah malaikat. Kamu tahu karena ia memiliki sebelah
sayap saja dan ia berjalan setengah terbang dengan sebelah kelepak yang
berkepak. Tetapi ia terbuat dari debu tanah yang dibentuk serupa Allah. Ia
makan semua biji dan tumbuhan yang tumbuh di tanah. Ia menabrak cahaya. Ia
pemilik toko buku ini, Han, namanya.
"Hei! Apa yang kamu lakukan?"?Ia
bertanya kepadamu tetapi tidak marah. Bukankah ia setengah malaikat? Maka
malaikat tidak pernah marah. Tetapi ia juga setengah manusia. Dan manusia suka
berbicara. Maka ia berbicara kepadamu. "Membaca itu perlu dan harus. Allah
pun menyuruh kita membaca bulan, bintang, dan matahari. Tetapi kalau kamu
membaca sambil menari seperti ini, maka huruf-huruf tidak bisa terletak pada
kata-kata yang tepat. Kata-kata tidak bisa membentuk kalimat yang indah. Dan
kalimat tidak bisa menjadi buku yang bagus."
"Aku tidak membaca. Aku sedang
berbicara. Aku tidak menari. Aku sedang mencari." Seperti biasa kamu
selalu menangkis.
Kamu bercerita bahwa kamu sedang berbicara
dengan malaikat bernama Jo. Malaikat tanpa sayap yang mencari musim yang
tercuri. Lalu kalian sedang berkeliling di rak buku sebelah mana musim itu
disembunyikan? Karena toko ini dipenuhi rak yang padat dengan buku. Ada yang menampakkan
judulnya, ada juga yang kelihatan sisinya. Mereka rapat dan menumpuk seperti
berpelukan. Jo membantumu menelisik buku demi buku, lembar demi lembar, untuk
menemukan sebuah huruf kunci yang terselip, agar musim yang kamu nanti bisa
kembali.
Han memandangmu dengan ganjil ketika kamu
bercerita tentang mata Jo yang hitam dengan lingkaran putih di tengahnya.
Apalagi ketika kamu katakan bahwa Jo telah membawakan sebuah musim abadi yang
tidak pernah berhenti.
"Kau membual! Tidak ada malaikat tanpa
sayap dan tak berjubah. Dan semua musim saling mencuri. Musim semi mencuri
ranggas musim panas. Musim gugur mencuri gigil musim salju," Han
menertawakan kisahmu tentang Jo.
Kamu tidak peduli. Kau bercerita bahwa Jo
sudah memberi Awe, sebuah musim panen di ladang paku yang tak pernah layu. Ada
Dajjal yang menanam, memupuk, menyiram, dan menyianginya. Dan kamu adalah
ilalang yang selalu tumbuh tanpa peduli tangan-tangan yang rajin mencabut dan
menyerabutmu.
Sebelah sayap Han berkepak membuyarkan cahaya
yang mengelilingimu. Sebagai gantinya bulu-bulu halusrontok dari sayapnya lalu
menempel di sela rambutmu. Kepalamu memutih seperti disiram hujan salju. Kamu
berbangkis begitu keras sampai menyebabkan buku-buku terpental kembali kepada
raknya. Halaman buku menjadi rapi. Huruf-huruf tertata sesuai aturannya. Han
masih terus mengepakkan sebelah sayapnya. Embusannya dingin membuat Jo yang berpendar
memudar. Cahayanya membeku seperti warna luntur di sayap kupu-kupu.
Ngarai hilang. Sungai hilang. Kabut hilang.
Lumut hilang.
Awe tersedot baling-baling kipas angin yang
ada di sepanjang lorong seperti anak gendewa yang ditarik mundur oleh busur. Ia
surai waktu yang rapuh dan tak utuh. Tanganmu tak mampu melerai, musim itu
terburai menjadi patahan pelangi di atas karpet abu-abu.
"Semua musim harus datang dan pergi.
Tidak boleh berhenti," Han berjalan setengah terbang dengan sebelah sayap
di antara semua ruang. Ia hidupkan kembali detik detak yang ada di setiap
halaman buku yang mempunyai waktunya sendiri-sendiri. Ia meletakkan kembali
matahari di langit-langit, angin di jendela, dan gerimis di atap.
Semua telah kembali seperti awalnya.
Kamu juga kembali.
Kembali menunggu.
Tapi kamu bukan sekadar menunggu empat musim
yang tak kunjung tiba seperti dulu. Sekarang kamu juga menunggu Jo, malaikat
bermata hitam dengan lingkaran putih di tengahnya.
Kamu ingin ia melukiskan ceritamu pada Awe.
Cerita tentang api yang membakar api, hujan yang membasahi air, juga sekelompok
awan yang cuma mampir sebentar memayungi kolam.
Kamu ingin ia menjawab pertanyaanmu kenapa
api tidak hangus terbakar api? Kenapa air tidak menjadi basah ketika tersiram
hujan? Kenapa awan pergi ketika angin bernapas?
Kamu ingin Awe datang membawa musim panen di
ladang paku.
Tapi Jo sudah tidak pernah datang lagi. Tidak
pernah mendengarkan dan menjawab ceritamu. Juga tidak datang membawa musim
lagi.
Kamu termenung seperti kena tenung. Kaupikir ternyata
Jo juga seperti musim-musim pendusta yang tidak pernah datang itu. Padahal
bukankah malaikat seharusnya setia? Tetapi sekarang ia ke mana? Lukamu serasa
dicucur cuka.
Sesaat ponselmu bergetar. Ada pesan singkat dari nomor yang belum kamu
ketahui.
Skrg aku tdk suka mendengar cerita sedih. Ga
asik. Krn aku sdh jd manusia. Jo bkn malaikat lg.
Sent by : unknown.
20.03.2007
16.30
Kamu menangis sepuas-puasnya karena ternyata
hidup begitu indah*).
***
Togamas, 2007
(pro: Triyanto Triwikromo: masih ada sebuah
musim. Pasti!)
Note:
Yahwe : Yehuva (bahasa Ibrani): Yang
Menyelamatkan
Dajjal: setan akhir zaman
*): Cuplikan puisi Sapardi Djoko Damono
"Dalam Diriku"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar