Kamis, 02 Februari 2012

Timbunan Sampah Cerpen: Edi Supardi Emon


Seputar Indonesia
Minggu, 27 Mei 2007

Timbunan Sampah
Cerpen: Edi Supardi Emon

Di depan rumah kami, di atas tanah seluas dua belas meter persegi, timbunan sampah itu menyebarkan bau apek. Pagar anyaman bambu yang mengelilinginya sudah banyak yang lapuk.

Dari kejauhan belahan bambu-bambu itu kelihatan seperti kaki-kaki kurus, korengan, sementara ratusan, bahkan mungkin ribuan rayap menempel di sana bagaikan gumpalan nanah, mengering, putih kekuning-kuningan. Karena belahan bambu-bambu itu sudah pada keropos, maka timbunan sampah yang telah membukit itu tidak terjaga lagi. Sampah-sampah itu berserakan ke mana-mana, tertiup angin, tersaruk kaki orang lewat.

Kadang-kadang para pemulung dengan bergairah mengorekngoreknya, mencari sesuatu. Maka saat itulah untuk beberapa lamanya sampah itu menebarkan aroma yang amat memualkan perut dan penciuman. Melihat pemandangan yang tak menyedapkan itu,istriku sesekali berupaya merapikan sampah-sampah itu dengan menyapunya, bahkan kadang-kadang membakarnya. Namun ketika keesokan harinya sampah itu menimbun lagi, karuan saja dia jadi marah-marah.

”Aduuuuuhh! Baunya sudah lebih menyengat lagi dibandingkan kemarin. Coba pertajam penciumanmu, tidakkah baunya sudah mencapai taraf mendirikan bulu kuduk? Cobalah kau pikirkan bagaimana caranya merapikan sampah-sampah itu, Mas!” katanya bersungut-sungut.
“Aku sudah melakukannya dengan memasang pagar bambu yang kini sebagian besar sudah rusak. Tapi keadaannya tetap saja seperti yang kau lihat sekarang!” kataku membela diri.
“Aku hargai perbuatanmu itu. Tapi bukan maksudku untuk membangkitbangkitkan hal itu”
“Lantas apa?”

”Ajaklah tetangga memecahkan masalah ini” Tiba-tiba terdengar orang membuang ingus di timbunan sampah. Istriku melongok lewat jendela kaca nako ruang tamu, mengharap bisa melihat dengan jelas siapa yang membuang ingus.
“Tak tahu sopan!” makinya.
“Siapa?” tanyaku penasaran.
“Si perut buncit!” katanya ketus. Aku mengangguk, senyum, pasti tahu siapa yang dimaksudkan istriku.

Dia adalah tetangga sebelah rumah, Mas Andre. Aku maklum istriku bisa sejengkel itu. Memang seperti tidak punya toleransi saja lelaki beranak satu itu. Kulihat dia masih berdiri di dekat timbunan sampah sambil membungkuk. Sementara telunjuk tangan kirinya menekan lubang hidung sebelah kiri, beberapa kali memuntahkan ingus. Crit..crit..crit! Istriku mengomel lagi.

”Seharusnya pagi-pagi begini setiap orang akan berangkat kerja, cari makan, cari nafkah, cari duit. Dia juga harus ingat, sebelum berangkat setiap orang perlu sarapan, minum kopi atau teh. Jadi seharusnya dia tidak boleh membuang ingus sembarangan seperti itu. Di rumahnya kan ada kamar mandi, ada WC, di sanalah seharusnya dia membuang ingus. Dasar?!”

Sebelum istriku menyelesaikan katakata umpatannya, tahu-tahu mas Andre sudah berdiri di ambang pintu beranda depan rumahku.
“Bung Sobri, bagaimana soal mesin tiknya, jadi tidak dijual?”
“Mesin tik siapa?” tanyaku seraya menghampirinya.
“Masuklah dulu!”
“Mesin tik temanmu itu, masa kau lupa. Katanya mau dijual. Temanku yang berminat, mau nawar dua ratus ribu. Mau dilepas tidak segitu?” katanya Ya, sekarang aku baru ingat.

Beberapa hari yang lalu teman sekantorku ingin menjual masin tiknya. Dia seorang penulis amatir yang berupaya mengisi waktu luangnya dengan menulis, kemudian mengirimkannya ke beberapa media.Istrinya sering merasa terganggu oleh bunyi mesin itu saat temanku dengan bergairah mengetik pada malam hari. Katanya, ia kini membeli komputer bekas dari seorang tetangga dekatnya. Temanku meminta tolong agar aku menawarkan mesin tiknya itu kepada Andre.

Mungkin dia menawarkannya lagi kepada teman kantornya dan temannya itu serius ingin membeli mesin itu.
“Baiklah, nanti aku kasih tahu orangnya, ya!” kataku bersemangat.
“Oke, seriuskan sajalah. Tapi jangan lama-lama. Nanti dia keburu beli mesin tik orang lain, hilanglah komisimu,” katanya seraya tertawa, lalu duduk di kursi ruang tamu rumahku seenaknya.

Dari sikapnya itu,aku kira aku tak perlu minta maaf atas kelancangan mulut istriku, karena dia sendiri mendengar apa yang dilontarkan istriku tadi. Namun dasar perempuan, seberat apa pun dia jengkel, tetap saja tanpa kuperintah istriku keluar menghampiri kami sembari membawa dua gelas teh dan menaruhnya di atas meja. Dia kembali ke belakang rumah tanpa mempersilakan tamunya minum.Tentu saja aku jadi risih.
“Jangan marah, dia sedang jengkel kepadaku,” kataku.

Andre hanya tersenyum. Lalu tanpa basa-basi lagi dia meminum teh yang terhidang.
“Wah, sedang marah saja mampu bikin teh manis yang pas dengan seleraku. Apalagi kalau lagi fit, mungkin aku bisa kepincut!” Andre berseloroh dan ini bisa membuatku senang. Kami berdua kemudian tertawa lepas. Sangat santai kami pun mengobrol tentang politik, budaya, dan tak ketinggalan menanggapi upaya-upaya pemerintah dalam memperbaiki perekonomian bangsa yang dinilai para pakar belum optimal. Obrolan ringan pun kami tutup dengan pendapat yang menyimpulkan bahwa memperbaiki nasib bangsa yang tengah terpuruk ini harus membutuhkan waktu yang cukup lama. Andre kemudian pamit dengan alasan ingin berangkat ke kantor. ***

Aku mulai menyuap nasi goreng yang baru saja dihidangkan istriku. Di saat-saat begini aku bangga terhadap diriku sendiri. Segala macam bau yang ditimbulkan oleh lingkungan rumah tidak menghilangkan selera makanku. Itulah mungkin sebabnya aku jarang sakit. Orang sudah banyak yang paham bahwa sakit berat itu berawal dari sakit ringan seperti pilek, flu, sakit kepala, kelelahan yang bisa menjadi sakit parah kalau kita tidak berselera makan. Jadi kita harus tetap menjaga selera makan kita kalau kita tidak ingin sakit parah.

Baru beberapa sendok aku menyuap nasi goreng, terdengar suara berdebuk yang sangat keras dari arah timbunan sampah. Jarak beranda depan rumahku dengan pembuangan sampah memang dekat sekali, sehingga bunyi itu sangat jelas sekali terdengar. Istriku menoleh dan kulihat matanya melotot lagi . Bibirnya yang tipis mencibir dan wajahnya berubah menjadi kemerah-merahan, mungkin menahan geram.
“Dasar anak bandel. Kalau berak pergi sana ke WC. Ibu kan jadi malu melempar tahimu ke dekat sampah. Untung tidak ada tetangga yang melihat !” terdengar suara seorang perempuan memaki anaknya.

Mendengar kata-kata : “Untung tak ada yang melihat” yang diucapkan perempuan itu, istriku kembali penasaran. Dia kembali mengintip, Dilihatnya anak itu menangis menjerit-jerit dan terdengar beberapa kali suara ketepar-keteper, suara anak itu ditampar ibunya. Istriku menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin akibat tak tahan menyaksikan kejadian itu dia masuk ke dalam kamar seraya menutup mulut dengan kedua telapak tangannya.

Belum sempat melanjutkan umpatannya, istriku menangis tersengguksengguk. Aku masuk ke dalam kamar dan kulihat istriku mencoba menahan sengguknya ketika mengetahui kehadiranku. Kuelus-elus rambutnya dan kupijat-pijat sekalian kedua pundaknya perlahan dan lembut. Kulihat dia sangat lelah dan tertekan sekali.
“Aku tak tahu bagaimana jadinya jika setiap pagi aku harus menelan kejadian- kejadian seperti ini. Bisa-bisa aku jatuh sakit,” keluhnya.

”Sabarlah aku akan memikirkan usulmu,” kataku menghibur perasaan. Pagi ini tetangga kami si perut buncit dan ibunya si Otong membuat ulah. Pagi sebelumnya tetangga yang lain dan mungkin besok pagi mereka sudah punya rencana membuat onar yang dapat menjengkelkan istriku. Sebentar lagi musim hujan tiba dan timbunan sampah itu akan menjadi momok yang menakutkan, karena akan mengumbar bermacam bau yang tidak menyedapkan.

Hal ini tentu saja tidak bisa dibiarkan dan masyarakat kampung yang merasa berkepentingan, terutama mereka yang biasa membuang sampah di tempat itu harus berkumpul, untuk menanggulangi masalah yang tidak boleh dianggap remeh itu.
“Dalam keadaan lain mungkin aku tidak jengkel seperti sekarang ini. Soal sampah, soal ingus, soal tahi, seharusnya aku tidak perlu pusing-pusing memikirkannya. Tapi kau harus tahu, mas, aku mengkhawatirkan dia yang ada dalam perutku ini,” katanya.

Astaga! Aku lupa, rupanya istriku tengah hamil muda. Katanya usia kandungannya sudah tiga bulan. Pantas saja ia bertingkah aneh . Dan yang lebih penting lagi, dalam keadaan seperti ini aku harus berani merasakan, bukan saja hanya memikirkannya, bahwa istriku tengah mengalami kecemasan yang hebat. Apakah dia dapat melahirkan anak pertama kami dengan sehat, sempurna dan tanpa cacat?

Kekhawatiran seperti ini bisa kurasakan. Banyak cerita yang beredar tentang kelahiran seorang bayi dari rahim ibunya, sekitar kelahiran yang tidak sempurna yang menyebabkan kecacatan. Salah satu cerita seperti itu, pernah aku dengar dari mulut seorang perempuan istri temanku, yang melahirkan seorang bayi yang sumbing bibirnya.

Saat mengandung bayinya, perempuan itu rekreasi mengunjungi museum bersama keluarganya. Di halaman museum itu ada patung seekor gajah. Ketika pertama kali menapakkan kakinya di halaman museum itu, perempuan itu terkejut melihat mulut, taring dan belalai sang gajah yang baru sekali itu dilihatnya. Dia terkejut karena dikiranya gajah itu binatang sungguhan. Lahirlah seorang bayi dengan bibir sumbing. Cerita ini memang kedengaran tidak realistis menurut ukuran medis. Namun menurut perasaan perempuan itu kejadian itu diyakininya sebagai penyebab cacat bayinya. ***

Malam harinya istriku gelisah tak bisa tidur. Dia baru mampu memejamkan matanya saat aku berupaya dengan susah payah meyakininya agar dia bisa bersikap tenang, tidak emosional dalam menanggapi sesuatu. Aku tegaskan, kesetiaanku padanya masih besar, sebesar kesetiaanku saat berpacaran dulu. Aku mengingatkan bahwa saat ini aku tengah berusaha keras mengumpulkan uang untuk persiapan menyongsong kelahiran anak pertama kami. Saat aku masih terus berpikir merancang kata-kata untuk menghibur dirinya, tiba-tiba istriku bangun.

Dia memegang perutnya erat-erat, lalu duduk sambil menjerit-jerit. Disibaknya dasternya. “Anak kita lahir, Mas! Tapi lihat, kenapa darah yang menggumpal di tubuhnya bau sampah?” teriak istriku seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Aku segera merangkulnya.

”Sayang, aku tidak mencium bau sampah di tempat ini. Dan juga tidak ada darah di sini. Bayimu belum lahir! Aku meraba perutnya. Mengelusnya dengan lembut. Dia menarik napas panjang, membuatnya pelan-pelan lewat hidung, tanda mulai berupaya untuk menenteramkan hatinya. Tanda-tanda aneh seperti ini memang sudah seharusnya kuamati dengan serius. Sikap jijiknya pada timbunan sampah, mungkin sikap kompensasinya agar kuperhatikan secara istimewa. Tetapi bagiku sendiri, sampah yang menggunung itu memang harus ditertibkan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar