Kamis, 02 Februari 2012

Sebatang Pohon Cerpen: Yetti A KA


Jawa Pos
Minggu, 26 Agustus 2007

Sebatang Pohon
Cerpen: Yetti A KA

Tentang keinginan membangun rumah sendiri, rumah berdinding batu-batu sungai berwarna putih kebiruan, tempat ia bisa berkata tanpa ragu: Ini rumahku!; rumah yang akan menghindarkannya dari serangan beratus-ratus jarum ke dadanya kala ia mendengar kalimat-kalimat: "Pergilah ke mana saja kau mau. Jangan kembali sebelum pintu terbuka esok pagi atau keesokannya lagi."; rumah tempat ia ingin kembali memiliki dirinya sendiri, menentukan apa saja yang mau ia lakukan tanpa seseorang menjadi batang penghalang di tengah jalan.

Tapi bisakah ia berdiri di dua tempat; tetap menjadi bagian sebatang pohon sekaligus memiliki rumah lain yang mungil --di mana ia bisa melindungi harga dirinya sebagai keturunan para pengembara dan penakluk sejati yang pernah berlaga di atas daun-daun ilalang, merebut sungai-sungai, merampas gunung-gunung, dan mengambil perkampungan dari orang-orang kalah.

Harga diri itu, kini, seringkali robek di pohonnya sendiri, berada di dasar paling bawah dalam penyerahan demi penyerahan, melewati kesabaran yang benar-benar tunduk.

***

Pohon-pohon rindang di sisi jalan, berbunga di musim bunga, berbuah di penghabis bunga kembang.
Dan kita?
Sebatang pohon lain dalam rumah atap karat.

Ia, perempuan bernama Mara, berjalan di atas daun-daun warna kuning dan cokelat muda. Hampir tiap hari jalan sempit menuju rumahnya ditutupi daun-daun. Petugas kebersihan hanya sesekali menyapu jalan pada pagi hari. Sementara itu sepanjang dua sisi jalan sempit berdiri puluhan pohon tua tertata dalam barisan lurus dan rapi --batang-batangnya besar, dibalut akar-akar benalu dan lumut hijau pekat--yang tidak henti-henti menjatuhkan daun-daun.

Bagi Mara pohon-pohon itu ibarat rumah singgah, tempat ia seringkali ingin istirahat dan tidur sejenak dalam perjalanan pulang menuju rumah atap karat. Sering di bawah salah satu pohon, Mara berhenti beberapa saat. Mengambil selembar daun atau ranting kecil dekat kakinya. Saat lain, ia menengadah dalam gerakan tidak terburu. Kemudian, matanya memasuki lorong pohon tua yang gelap dan ia menemukan rumah itu --tempat ia, kelak, juga ingin menghabiskan masa tua. Mara tertawa sangat lepas. Tumitnya sedikit ia angkat sambil membayangkan lorong pohon itu menelannya, hingga orang-orang hanya mengingatnya sebagai tokoh dalam dongeng anak-anak di masa depan; dongeng perempuan dalam pohon dengan sisa rambut menjuntai keluar mirip akar-akar pohon beringin di halaman sekolahnya yang, ia dan teman-temannya suka sekali bergelantungan di sana pada jam istirahat, selalu dikenangnya meski berpuluh tahun itu sudah berlalu.

Ingat, aku atau kau tidak akan menyerah untuk kesempatan yang cuma satu kali.
Tawa Mara mendadak kaku, bibirnya mengendur, lalu menjadi garis berlekuk kecil. Matanya yang hitam bulat melihat pohon-pohon dengan gugup. Rumah dalam lorong pohon hilang seketika dalam benaknya. Bermimpi tentang rumah lain sama dengan ia telah membuka kemungkinan menjadi dahan patah dari sebatang pohon. Jika pohon tanpa satu dahan, bagian lain tidak mungkin sanggup bertahan menjaga daun-daun. Tidak. Ia masih menginginkan dirinya bagian dari sebatang pohon itu, menjadi sebuah keluarga dalam rumah atap karat.

Mara bergegas. Seolah-olah ia baru saja tersadar dan sesuatu tengah mengejarnya, membuat ia merasa harus cepat-cepat melewati deretan pohon-pohon besar dan tinggi. Daun-daun bergerisik di bawah kakinya. Ia tidak sabar ingin menemukan atap rumah yang, sejak pertama kali mereka tinggali, sudah warna karat. Ya. Di sana seharusnya ia pulang. Berkumpul dan melewatkan masa tua di tengah cucu-cucu yang akan keluar dari kulit tubuh anak-anaknya.

***

Sebatang pohon itu adalah kau, aku, dan anak-anak. Kita tidak hidup dalam rumah yang terdiri dari ruang-ruang, kamar-kamar, dan dinding-dinding pembatas serta pintu, melainkan sebuah ruang tanpa batas-batas di mana kita masih bersama-sama, selalu berdekatan, menjaga simpul satu sama lain.

Rumah atap karat?
Di sana kita memang berkumpul, melewatkan pagi dan malam di meja makan, dan melahap buku-buku di ruang keluarga dengan suasana hangat diselingi cerita-cerita ringan pada jam-jam santai, tapi tetap saja, bukan itu rumah kita sesungguhnya.

Lalu di mana?
Di hati kita, di cinta yang mengikat.

Rumah atap karat di hadapan Mara. Halamannya penuh rumput-rumput kecil habis dipotong. Rumput yang sengaja ditanam Mara puluhan tahun lalu agar halaman tidak terlalu becek di musim hujan hingga anak-anak bersama anak-anak tetangga tetap bisa bermain-main sewaktu kecil dulu saat langit tidak lagi tertutup gumpal-gumpal awan.

Tidak sabar Mara mengambil kunci di bawah pot bunga, membuka pintu, dan ia disambut oleh sepi yang menggeroti dinding tembok bercat putih dan lantai yang berkilat. Rumah yang tetap saja terawat dari tahun ke tahun, kecuali atap makin berkarat, namun justru karena atap karat itulah yang membedakannya dari rumah-rumah lain, hingga terkesan sangat unik di mata tetangga-tetangganya atau teman-teman seniman yang kebetulan mampir dan bermalam. Ia sendiri menyukai atap rumahnya, juga anak-anak, dan suaminya dan mereka tidak pernah berniat melapisi atap dengan cat atau mengganti seng tua itu dengan genteng model terbaru.

Mara tersenyum ringan. Pernahkah ia merasa benar-benar memiliki rumah atap karat. Tentu saja pernah. Dulu. Sebelum lelaki itu, suaminya, berkata marah untuk pertama kali: "Pergilah ke mana saja kau mau. Jangan kembali sebelum pintu terbuka pada esok pagi atau keesokannya lagi."

Mara memang tidak pernah pergi. Sekali pergi, itu artinya ia tidak bisa kembali. Begitulah ia dibisiki oleh ibu dan kerabatnya ketika tubuhnya yang masih menguarkan aroma pengantin turun dari rumah masa kecilnya menuju rumah lain yang ia belum tahu di mana tempatnya; seakan ia tengah berangkat menuju ketidakpastian, kabur, sekaligus menantang. Seorang perempuan, kata ibunya, harus mampu menjaga harga dirinya di hadapan siapa saja, termasuk suami dan anak-anak. Untuk itu ia memilih bertahan meski harga diri itu terluka. Juga ketika suaminya berkali-kali mengeluarkan kalimat penuh marah pada malam-malam bau dedaunan sehabis percintaan yang sangat hangat. Kenapa lelaki cepat sekali marah, bahkan sehabis bercinta, dan menghancurkan kebahagiaan yang seharusnya bisa dikenang berhari-hari. Lelaki sangat terbiasa menghadapi perempuan dengan kalimat-kalimat primitif dan kekanakan, seakan-akan ia sudah menjadi pemenang di atas segala-galanya, padahal sesungguhnya ia hanya mencoba menutupi sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti, barangkali saja kenangan buruk yang ia bawa dari masa kecil, tentang marah yang selalu tertahan di rongga dada, tentang dendam yang ditanam di petak-petak jantung, mengalir dalam deras darah.

Ya. Rumah atap karat, memang bukan miliknya lagi. Sejak kalimat pengusiran yang terasa membelah-belah seluruh tubuh Mara sebagai pewaris darah para pengembara dan penakluk dari tanah Selatan, hingga ia ingin memberontak dan membangun rumah sendiri. Rumah mungil dari batu-batu sungai. Namun tentu ia tidak bisa membangun rumah baru di atas rumah atap karat, kecuali dengan menghancurkan sebatang pohon dalam rumah itu.

Mana mungkin! Mara menolak pikiran yang acap datang tiba-tiba itu. Dalam sebatang pohon, ada anak-anak yang sangat ia cintai, ada ikatan dan janji yang sama pentingnya dengan harga diri yang ingin ia jaga. Bila terluka, Mara ingin sendiri saja. Jangan daun-daun muda, jangan cinta berwarna lembut itu.

Rumah mungil dari batu-batu sungai, biar ia pendam dulu sebatas kehendak selagi masih bisa ia tahankan. Selagi darah Selatannya bisa redam. Diam.

***

Kita tertawa di tengah-tengah orang lain. Persis pesta topeng. Kita menunjukkan kebahagiaan sebatang pohon yang lengkap, tanpa cacat. Padahal entah di mana letak kebahagiaan itu, kini, aku nyaris tidak tahu. Benarkah masih ada, atau sudah bernama lain. Aku mulai meragukan.

Jangan ragukan ikatan yang kita miliki, katamu, kita akan selalu menjadi sebatang pohon yang paling bahagia dibanding pohon-pohon lain.
Entah. Sungguh, entah.

Mara menggigit ranting kecil yang ia pungut dari jalan sempit menuju rumahnya. Ranting bercabang dua, kering dan hitam. Ia berpikir-pikir, dalam-dalam. Betapa rumit hubungan yang ia jalani bersama bagian pohon lainnya. Ia seorang perempuan yang terlalu tertutup pada suaminya atau bahkan tidak pernah berani berterus terang selain jika ia benar-benar marah (biasanya ia berteriak-teriak keras). Berterus terang ketika marah hanya mengurangi beban yang ingin ia lepaskan, beberapa saat. Sedangkan ia ingin membuang beban itu selamanya. Bahkan kalau bisa ia mau mengosongkan dadanya yang sesak biar ia bisa menjalani sisa hidup dengan ringan.

"Mama harus berani berhadap-hadapan dengan Papa, dan bicara," ujar anak perempuannya yang baru lulus dari perguruan tinggi.

Ketika itu, hampir saja Mara mengikuti saran anak perempuannya itu. Ia harus mengatakan perasaan sebenar-benarnya, tidak dengan berteriak atau marah. Hanya saja ia ragu saat membayangkan wajah suaminya memerah seperti tertampar, sebab dalam benak lelaki itu ia telah melakukan segala-galanya untuk kehidupan sebatang pohon. Lebih buruk lagi, bisa pula lelaki itu mengalami serangan jantung secara mendadak, karena sebagai lelaki dengan masa lalu penuh dendam, ia tidak menyiapkan diri untuk satu kegagalan saja di kehidupan masa depannya. Hingga, adakah lelaki itu pernah tahu, diam-diam Mara memiliki mimpi lain untuk menghibur diri yang sudah amat kesepian dan merasa terkoyak pada malam-malam percintaan yang sering diakhiri dengan kemarahan tanpa sebab tanpa alasan kuat. Adakah lelaki itu coba mengerti darah di setiap tubuh perempuan amat tersinggung oleh kalimat pengusiran yang tajam, dan siapa pun orang itu lebih ingin ditusuk pedang bermata tipis dan runcing, bila ia diberi pilihan. Karena dengan begitu ia bisa bangga pada leluhurnya. Tapi lelaki itu melukai kebanggaan Mara, menginjak-injak seluruh hidupnya, dan ia lebih banyak mengalah, menahan diri.

"Sampai kapan, Mama," anak perempuannya memberi pertanyaan nakal, setengah menguji.
Tidak tahu, Mara mendesah sambil mempermainkan ranting kering cabang dua. Ia tidak pernah tahu, bahkan ketika anak perempuan itu sudah belajar lagi ke kota lain dan hanya pulang satu tahun sekali, itupun hanya dua sampai tiga hari.

Siapa pun memang harus siap sendiri, sewaktu-waktu. Anak-anak tanpa terduga dengan cepat akan keluar dari rumah atap karat. Namun sejauh apa pun anak-anak bermigrasi, mereka tetap saja bagian sebatang pohon yang tentu tidak sama maknanya saat Mara menginginkan rumah mungil dari batu-batu sungai itu. Padahal Mara ingin sekali. Ingin, jika saja tanpa harus lepas dari sebatang pohon.

***

Sebab kita sebatang pohon dengan ranting-ranting dan daun-daun. Jika aku atau kau menyerah, maka ranting-ranting akan patah, dan daun-daun berguguran satu-satu. Lalu pohon tidak akan lagi bernama pohon, tapi tinggal bagian-bagian atau sisa-sisa kecil.

Ketika Mara meninggalkan rumah atap karat, suami dan anak-anak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dari menyusun ulang buku-buku hingga membersihkan keramik kecil-kecil yang mereka kumpulkan sejak lama. Ia sendiri sedang tidak ingin membantu apa-apa. Ia hanya ingin berjalan di bawah pohon-pohon, mengendurkan pikiran yang sedikit mengancam belakangan ini; kehendak-kehendak berlompatan dari dada, mata, dan bibir. Sesuatu yang mulai tidak mampu ia sembunyikan, tidak terbendung.

Di bawah pohon-pohon kaki Mara menginjak daun-daun basah makin tebal dan kebanyakan sudah warna cokelat tua, hampir membusuk. Petugas kebersihan semakin jarang menyapu jalan. Mungkin karena cuaca terus hujan dari pagi menjelang sore sepanjang bulan. Mara berhenti di bawah pohon paling besar. Pohon yang sering ia singgahi ketika pulang dari kantor menuju rumah atap karat. Seperti biasa, ia menengadah tanpa harus terburu. Lambat-lambat. Lalu rumah itu, rumah dalam lorong pohon kembali ia temukan. Mara mengedipkan matanya, dan pintu rumah itu terkuak lebar. Bibir Mara terbuka. Sebelum ia sadar sepenuhnya, satu gelombang angin mengangkat tubuhnya. Tubuh Mara melayang, mendekati rumah dalam lorong pohon. Mendadak ia pun hilang dalam lorong pohon itu. Atau barangkali tertelan seperti dongeng perempuan dalam pohon, sebab pohon selalu tidak bisa membiarkan seseorang bersedih dan tidak bahagia.

***

Maka, suatu hari nanti, ada saja seorang ibu mengisahkan pada anak-anak tentang seorang perempuan ditelan pohon yang menyisakan rambut panjang mirip untaian akar tempat anak-anak suka sekali bergelantungan. Perempuan itu seseorang yang tidak bahagia dan suka menyimpan perasaan. Ia menumbuhkan mimpi-mimpi dari tubuhnya, tapi selalu hanya sampai pada kehendak tertahan demi sebatang pohon yang ingin ia jaga.

Mungkin pula seorang anak akan bertanya, "Apakah sebatang pohon itu, Ibu."

"Sebuah keluarga, Anakku!"
"Seperti kita?"
"Ya, seperti kita."
"Ayah juga?"
Perempuan itu menatap anaknya sendu, "Besok saja Ibu jelaskan. Sekarang tidurlah..." ***
Kayutanam-Padang, 06/07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar