Kamis, 02 Februari 2012

Rumah yang Hilang Cerpen: Ida Ahdiah


Suara Merdeka
Minggu, 06 Januari 2008

Rumah yang Hilang
Cerpen: Ida Ahdiah

RUMAH itu kecil dua lantai dan jauh dari keramaian. Lantai pertama terdiri atas ruang tamu, dapur, dan ruang makan. Dua kamar tidur dan kamar mandi di lantai atas. Di kanan, kiri, depan, dan belakang masih ada tanah kosong. Supermarket agak jauh. Begitu juga klinik.

Dua blok dari rumah ada taman besar, menjorok ke sungai, yang membelah pulau. Piere yang lahir di sebuah kota kecil, di tepi sungai, dengan dermaga kayu tempat menambatkan perahu, menyukai kedekatan rumah itu dengan sungai.

"Mari kita hitung berapa uang yang kita miliki," kata Piere sambil menggenggam tangan istrinya, Siti.

Berdua mereka menatapi rumah berdinding bata merah itu.

"Jika kurang uang kita jual rumah yang di Tanah Air," ujar Siti.

"Kau sudah tak sabar, ya..."

"Apartemen itu tak layak huni lagi."

Musim dingin lalu di bawah temperatur 30, pemanas di apartemen tak berfungsi. Piere dan Siti tidur mengenakan baju hangat, berlapis jaket tebal, penutup telinga, kaos kaki, kaos tangan dan berselimut tebal. Tak ada yang bisa diminta pertanggungjawaban. Pemilik apartemen, Madame Chantal, yang tinggal di apartemen bawah, sedang liburan di Kuba.

"Sejak lama aku ingin pindah dari apartemen ini, tak perlu membeli rumah, cukup pindah ke apartemen lain. Tapi katamu, tempat ini penuh kenangan. Perjuangan masa mudamu kau mulai di sini," tutur Siti.

Apartemen di wilayah itu umumnya dibangun dua lantai, berjejer sepanjang jalan, dimiliki perorangan. Tak seperti apartemen baru yang dibangun menjulang ke atas dan dikelola oleh perusahaan. Tempat yang Piere diami memiliki satu kamar tidur, ruang tamu, dengan dapur yang menyatu dengan ruang makan. Cat temboknya kusam. Warna karpetnya pudar. Kompor, pemanas, dan air panasnya masih menggunakan gas, bukan listrik seperti di apartemen yang dibangun belakangan.

Madame beberapa kali menawari Piere untuk membelinya. Ia bisa mencicilnya bila belum punya cukup uang. Piere suka lingkungan tua, jalan-jalan kecil dengan trotoar batu, yang dirindangi pohon-pohon tua dan besar. Jaraknya hanya satu blok dari statsiun bawah tanah. Supermarket dan rumah sakit juga dekat. Tapi Piere melupakannya karena ia belum punya cukup uang.

Sampai satu saat karena pekerjaan,Piere dikirim ke luar negeri. Ia pamit pada Madame dan menyelesaikan kewajibannya, membayar sewa. Saat Piere hendak membuang barang-barang miliknya, Madame Chantal berkata, "Simpan saja barang-barangmu, aku tidak keberatan."

"Tapi para penghuni sesudahku akan terganggu."

"Kau pikir aku akan menyewakannya pada orang lain?"

Di negeri itu ia bertemu Siti, perempuan yang ia cintai apa adanya. Perempuan yang memperlakukannya berlebihan, mencium tangannya dengan hikmah saat ia hendak pergi dan pulang kerja. Perempuan yang tak berani menatap matanya kala bicara. Perempuan yang menyeduhkan kopi dan menyiapkan sarapan sebelum ia bangun tidur.

"Kamu istriku, bukan pembantuku," kata Piere, yang jengah dan tak terbiasa diperlakukan istimewa karena ia laki-laki. "Mintalah bantuanku jika kamu butuh. Aku bisa memasak, biasa mencuci baju, bersih-bersih rumah."

Siti tercengang. Menjadi satu-satunya perempuan dari empat saudara lelaki, Siti terbiasa melayani. Pagi hari, ia diminta menyediakan kopi atau teh untuk ketiga kakaknya. Siti yang mencuci baju. Jika kakaknya perlu baju licin dan rapi mereka berteriak meminta Siti menyetrika.

Siti harus mengalah ketika diminta sekolah sampai SMA saja. Saat itu satu kakaknya butuh uang untuk masuk kerja. Masih pula, ketika ia bekerja, diminta membantu seorang kakaknya membuka warung rokok. Piere terpana saat tahu Siti masih mengirim uang untuk kebutuhan ponakan-ponakannya. "Mereka sudah bukan kewajibanmu lagi."

"Kakak-kakakku tak punya cukup uang."

"Mengapa mereka punya anak?"

"Berkeluarga, ya, pantasnya punya anak."

"Kalau mau punya anak, ya pantasnya bekerja."

"Sudah, sudah. Aku tidak pakai uangmu, kok," Siti menangis.

Piere yang mencintai Siti apa adanya membeli sebuah rumah di dekat kebun teh. Di depannya ada sungai kecil yang airnya jernih menampakkan batu-batunya yang berlumut. Berdua mereka suka duduk di atas batu di tepi sungai, menghabiskan sarapan ketan bakar.

Piere merasa beruntung penghasilannya dengan dolar di negari itu membuatnya mampu membeli rumah. Dengan penghasilan yang sama di negerinya, ia hanya mampu menyewa apartemen tua. Namun karena pekerjaannya Piere harus kembali ke negerinya. Ia meminta keluarga Siti merawat rumah tersebut. Syukur-syukur bisa menyewakannya.

"Mulailah memikirkan dirimu dan berbagi perhatian denganku," kata Piere saat ia mengajak Siti ke negerinya.

Siti tidak ragu. Ia akan berbagi hidup dengan lelaki yang telah menunjukan tidak saja cinta, tapi juga hormat.

*****

PIERE lega apartemennya dulu masih kosong. Bahkan menurut Madame, ia tak pernah menyewakan pada siapa pun.

"Kapan kau akan mulai menghuninya? Bersihkan sendiri, ya. Sejak kau pergi hanya satu kali aku membersihkannya. Mungkin sudah banyak sarang laba-laba sekarang," tutur Madame di telepon.

"Akan kubersihkan bersama istriku."

"Kau sudah beristri! Orang mana?"

"Lihat sendiri nanti. Dia belahan jiwaku."

"Akhir pekan datanglah untuk makan siang, merayakan kedatanganmu, pernikahanmu."

"Terima kasih, Madame."

Untuk Madame Chantal mereka menyiapkan suvenir taplak meja batik Pekalongan warna daun musim gugur.

"Apa kabar?," sambut Madame Chantal seraya mencium kedua pipi Piere saat mereka tiba di rumahnya.

"Siti, istriku," Piere merangkul bahu Siti.

"Senang bertemu Anda."

Ia menjabat tangan Siti.

Acara makan siang itu terasa lambat dan membosankan bagi Siti. Ia duduk menyuap makanan. Matanya bergantian melihat piring, wajah Madame, lalu wajah suaminya. Madame mendominasi percakapan.

"Ini kuncinya kalau kau mau bersih-bersih," kata Madame akhirnya.

"Jangan kaget, ya, beda sekali dari rumah kita di kebun teh," bisik Piere seraya membuka pintu apartemen dan menyalakan listrik.

Siti diam saja, meski ia kaget, mengetahui Piere tinggal di apartemen tua, kecil, yang pengap dan bau apek itu.

"Kau keberatan tinggal di sini?"

"Kau tahu aku pernah tinggal di rumah lebih jelek dari ini."

"Aku suka di sini karena sewanya murah, dekat ke mana-mana."

"Aku mengerti."

"Uang yang ada kita tabung sampai cukup untuk uang muka rumah."

Siti setuju. "Ayo, kita mulai bersih-bersih," ajaknya.

Siti menyapu, Piere menggosok lantai. Piere membersihkan kamar mandi, dan kompor. Piere juga mem-vacuum karpet dan sofa. Siti melap kursi, meja, lemari dan tempat tidur.

"Minggu depan kita mulai tinggal di sini," ujar Piere.

Awalnya Siti menyukai pemukiman yang dekat ke mana-mana, yang mayoritas dihuni orang kulit putih itu. Namun bulan demi bulan, ia mulai merasa kesepian. Para penghuni rumah dan apartemen lebih suka menutup pintu rapat-rapat. Jika pun bertemu hanya senyum kecil, tidak suka berhenti untuk bercakap-cakap.

"Piere, aku kesepian," Siti berterus terang.

Piere kemudian mengajak Siti ke Plamondon, sebuah wilayah yang banyak dihuni orang Asean, khususnya Filipina. Di situ Siti menemukan warung yang menjual tahu, pete, ikan asin, ongol-ongol, dan bakpao. Sepekan sekali Siti ke sana duduk di taman, mengobrol dengan teman-teman baru, kendati ia harus naik kereta api, melewati sembilan stasiun.

"Mari kita pindah dari pemukiman ini. Kita cari rumah dengan harga terjangkau, yang dihuni oleh berbagai warna kulit," putus Piere.

Siti berterima kasih atas pengertian Piere.

***

UANG yang Piere dan Siti miliki hanya cukup untuk membayar uang muka minimal. Sisanya mereka harus mecicil selama 20 tahun dengan bunga tinggi seperti yang ditawarkan bank. Mereka benar-benar harus mengetatkan ikat pinggang. Siti lebih suka cara lain, memberi uang muka besar dan cicilan rendah dengan jangka 20 tahun juga.

"Kita jual saja rumah di kebun teh," usul Siti.

"Jika kau tak keberatan."

"Kita juga tak menghuninya."

"Kau yang memutuskan."

"Aku akan sms Ibu," kata Siti.

"Mudah-mudahan urusan dengan bank selesai segera. Lalu kita pindah musim panas ini."

"Aku akan syukuran, membuat tumpeng."

"Undanglah teman-teman Filipinamu."

"Menurutmu kita akan membawa semua benda-benda in," Siti menunjuk meja makan, kursi, sofa, televisi, yang semuanya sudah dimakan usia.

"Aku kira, ya, sampai kita bisa membeli barang-barang baru."

"Juga itu," Siti menunjuk lukisan reproduksi karya Monet, berjudul Au Jardin.

Piere menggeleng. "Itu punya Madame. Ibu sudah membalas sms-mu?"

"Biasanya Ibu membalas sms-ku segera. Di Indo pukul 07.00. Mungkin Ibu ke pasar lupa membawa ponsel. Bisa juga baterainya habis."

"Ya, sudah kita makan malam dulu."

Piere membuka kulkas, mengeluarkan makaroni keju dan menghangatkannya di microwave. Siti mencuci letus, ketimun, dan tomat untuk salad.

"Kita perlu membeli mesin cuci dan kompor baru."

"Butuh gorden, keset kamar mandi, rak sepatu... Kebutuhan kelihatannya banyak."

"Butuh tempat tidur baru buat anak kita," bisik Siti meraba perutnya seraya melirik Piere.

"Siti..."

"Kemarin aku cek kehamilan..."

"What!" Piere terlonjak dan membawa Siti ke pelukannnya.

Lalu ia mendaratkan ciuman di dahi istrinya. "Jaga diri baik-baik. Aku akan turut menjagamu."

"Anak ini mudah-mudahan membawa rezeki," kata Siti.

"Yang jelas kita harus bekerja lebih keras, jangan seperti kakak-kakakmu yang sukanya minta uang kamu," sambung Piere.

Musik mengalun dari ponsel Siti, pertanda ada sms.

Balasan sms buat Siti dari kakaknya, nomor tiga.

Lima bulan lalu kakak sulung kita menjual rumahmu. Ia terlibat utang di bank. Sudah seminggu Ibu di rumah sakit terkena serangan stroke. Sebelah tubuhnya tak bisa lagi digerakkan. Tolong kirimi kami uang!

Siti limbung, terhuhung-huyung... ***

Montreal, Musim Dingin 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar