Kamis, 02 Februari 2012

Sebuah Kota, Serupa Imaji, seperti Mimpi Cerpen: Sunlie Thomas Alexander


Suara Merdeka
Minggu, 27 April 2008

Sebuah Kota, Serupa Imaji, seperti Mimpi
Cerpen: Sunlie Thomas Alexander

/1/
SEBUAH kota, serupa imaji, seperti mimpi. Tapi apalagi yang dapat aku kisahkan padamu tentang kota kelahiran yang tinggal serpihan kenangan, Aisyah? Kota kelahiran yang hanya tinggal sesamar bayang ingatan dan senantiasa coba kurawat dengan bengal, terus-menerus didera zaman. Bukankah begitu banyak yang telah kututurkan dan selalu kau simak dengan mata tak berkerdip?
Tapi kau tetap saja memintaku menceritakan lebih banyak lagi tentang kota tua yang terletak di ujung paling barat pulau kecil itu. Ah, selalu saja kedua matamu yang menggemaskan menatapku dengan manja dan memeras. Membuatku bagai tak berdaya di bawah pukau sesuatu yang seolah sihir.
Kau tahu, buku-buku sejarah yang diajarkan pada anak-anak sekolah di Indonesia pun hanya mencantumkan pulau penghasil timah terbesar di dunia itu sebagai lokasi pengasingan Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Mohammad Roem dan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan lain pada 1949. Maka Mentok sebagai kota pengasingan tokoh-tokoh itu pun kerap diluputkan. Hmm, karena itukah kau jadi begitu antusias saat kukisahkan padamu tentang Bukit Menumbing —sekitar 10 kilo dari pusat kota Mentok— yang berhawa sejuk dan menjadi tempat pembuangan para tokoh tersebut?
”Apakah sesejuk hawa pegunungan Alpen, Bah?” sepasang matamu tampak berbinar-binar. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaanmu yang polos. Ah, kadangkala aku memang suka lupa kalau kau belum pernah merasakan iklim negeri-negeri tropis. Hm, tentu saja tak sesejuk hawa pegunungan Alpen yang melingkupi kota ini, Aisyah. Tapi konon karena tak tahan dengan hawa dingin di sana, Bung Karno pun meminta dipindahkan ke daerah kota sehingga Belanda harus menyiapkan baginya sebuah rumah di tepian Sungai Daeng di tengah kota Mentok. Rumah itulah yang di kemudian hari dikenal sebagai Pesanggrahan Mentok.
Pelabuhan Mentok diperkirakan dibangun oleh pemerintah Inggris ketika berkuasa selama kurun waktu 1812-1816, dan hingga kini masihlah menjadi salah satu gerbang laut pulau kecil itu. Ah, apabila suatu saat kau berkunjung ke sana, Aisyah, moga-moga masihlah kau dapati bangunan-bangunan bergaya kolonial yang dibangun pada masa pemerintahan Belanda atau rongsokan kapal-kapal perang di perairan pantai Tanjung Kelian. Semoga semua artefak sejarah itu masih tersisa. Tentu kau tahu, bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang telaten merawat sejarah.
”Apakah Mentok dulunya dibangun di atas rawa-rawa, Bah? Bukankah ada begitu banyak kota-kota di Asia Tenggara yang tak punya sejarah panjang, tak sebagaimana kota-kota tua Eropa?” kau jadi kian bersemangat saja.
Padahal kau tahu, aku bakal sulit mencari literatur yang dapat menyodorkan bukti-bukti autentik awal pembentukan kota tua bernama antik ini padamu, Aisyah. Masyarakat di sana pun hanya mengandalkan kisah dari mulut ke mulut. Entahlah sejak kapan Mentok dihuni orang. Mungkin tak lama setelah ditemukan dan dieksploitasinya bijih timah. Mungkin. Bahkan tak ada yang mengetahui pasti kenapa kota tua itu dinamakan demikian.
Terlalu banyak riwayat yang berseliweran, Aisyah. Sebuah hikayat misalnya menyebutkan bahwa Mentok dinamakan menurut nama Gubernur Jenderal Inggris yang berkedudukan di Tumasik, yaitu Lord Minto. Ada pula yang mengatakan kalau pada mulanya Mentok dibangun untuk kepentingan permukiman yang tak terlepas dari sejarah Palembang. Konon ketika Pangeran Jayawikrama naik takhta sebagai Sultan Mahmud Badaruddin I, keluarga Kerajaan Palembang kurang berkenan dengan kehadiran isteri pertama sang Sultan bernama Zamnah yang berasal dari Johor. Sehingga si isteri kemudian memohon agar diperbolehkan tinggal di pulau kecil itu. Ai, dari Tanjung Sungsang, dataran di muara Sungai Musi, Zamnah melihat kawasan di seberang yang dianggapnya cocok untuk bermukim.
“Amun tok, kalau itu tempatnya sesuailah,” syahdan begitulah kira-kira ujar si isteri.
Kata-kata itu pun menjelma jadi nama kota. Entahlah. Riwayat yang lain lagi mengisahkan kalau nama Mentok sesungguhnya berasal dari kata ”entok” yang berarti ”di situ” dalam bahasa Siantan. Jawaban yang terlontar dari mulut Lim Tau Kian, seorang Tionghoa mualaf asal Guang Zhou yang bernama muslim Ce Wan Abdul Hayat tatkala ditanya oleh anak buahnya di mana mesti meletakkan batu fondasi mendirikan kampung ketika rombongan mereka tiba di pulau kecil itu untuk merintis penambangan timah atas perintah Sultan Johor.
Ah, hikayat Mentok adalah hikayat timah, Aisyah! Berbondong-bondong orang Tionghoa kemudian didatangkan dari China daratan lantaran dianggap banyak menguasai teknik penambangan. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang Hakka, anggota puak Hai San, sebuah perserikatan gelap yang dipimpin oleh Chung Keng Kooi di Penang. Mereka membawa beragam teknologi baru yang sampai sekarang masihlah digunakan dalam penambangan timah seperti cara pengeboran yang disebut ciam atau sistem pengayakan pasir timah yang dikenal sebagai sakan.
Setelah dikuasai Belanda, sebagai kota pusat pertambangan timah sekaligus pusat keresidenan, Mentok pun berkembang menjadi kota modern khas kolonial. Pada 1850, misalnya, seorang Belanda bernama Kolonel de Lange memuji perkampungan Tionghoa di Mentok sebagai yang terindah di seluruh Hindia. Ai!
/2/
SEBUAH kota, serupa imaji, bagaikan mimpi... Demikianlah Aisyah! Sekadar riwayat kota kecilku yang tinggal seserpih kenangan masa lalu nan rapuh, yang sesungguhnya tak lagi memanjangkan ingatan kecuali rindu-redam tertahan sebagaimana isakku terkena pedas sambal terasi Ibu di pengap dapur yang jauh. Ya, dapur sebuah rumah panggung di sudut pasar Mentok yang riuh. Rumah khas orang Melayu, apit-mengapit dengan rumah-rumah berarsitektur koloni dan Tionghoa.
O, betapa aku lamat mengenang sebuah kota kecil yang semarak, sudut pasar yang kumuh dan anyir namun menawan dengan rumah-rumah beragam rupa budaya berdempetan. Dengan masjid, gereja dan kelenteng seolah saling bersahutan menyerukan panggilan bakti-ibadah. Tentu, suasana yang samar kuingat dengan haru-biru dan tak akan pernah kau mengerti sebagai seorang gadis yang dibesarkan di kota dunia yang diberkahi kesejukan hawa pegunungan Alpen ini; kota yang selalu hibuk dengan sejarah, dengan riwayat yang terlampau detail! Meskipun keduanya sama dipertemukan ragam budaya dari penjuru.
Ya, kau benar Aisyah, di kota-kota tua Eropa, dalam dingin udara pun mengaum sejarah! Paling tidak, begitulah dulu aku membayangkan kota yang indah ini, setelah melihatnya sekelebat lalu —serupa lanskap dari kaca jendela kereta api yang retak-berdebu —dalam sebuah film detektif di layar bioskop. Dengan angan seorang bocah yang penuh pukau-takjub menyaksikan anggun kastil-kastil dan katedral, elok jembatan dan patung monumen.
Demikian pula aku berkhayal tentang Paris yang modis dengan Menara Eiffel menusuk langit; membayangkan temaram London pada malam buta dengan dentang Big Ben sesayup sampai, bagai memanggil sang Pangeran Drakula singgah di pucuknya; atau Shanghai yang eksotik dengan lalu-lalang ricksaw; pun derap sepatu barisan serdadu yang berbaris rapi di Lapangan Merah Moskow. Demikian, Aisyah, seperti Calvino membangun kota-kota angannya, khayalku tak henti melenting-melambung ke berbagai belahan dunia: Berlin, Amsterdam, Lisbon, Montevideo, Istanbul, San Fransisco, Tahiti, Copenhagen, Rio de Janeiro, Brussels dan kota-kota dunia lainnya yang terus kusaksikan dalam film-film di bioskop tua penuh ngengat atau film-film layar tancap yang kerap diputar malam hari di lapangan bola. Kota-kota yang tak habis dieja, tak tandas dibayang —terbentang bak permadani di bawah cakrawala. Tentu, sembari berharap suatu hari, dewasa kelak, dapat kujelang.
Benar, di Asia Tenggara, ada terlalu banyak kota-kota yang tumbuh dan lahir begitu saja tanpa masa silam. Terkadang tanpa secarik pun catatan, walau sekadar menyiarkan sebuah berita tentang persinggahan musyafir, tersesatnya seorang raja yang sedang berburu, atau kabar lepasnya roda kereta kuda Tuan Puteri. Sebaliknya, kota-kota —besar dan kecil— terkadang lahir dan tumbuh dari aneka mitos: dari dongeng seorang isteri setia yang terjun ke laut untuk membuktikan kesucian dan cintanya, atau legenda sebuah sungai tempat seekor hiu dan buaya berjumpa dan saling memangsa! Tersampai turun-temurun, dari mulut ke mulut.
Oh Aisyah, kadang-kadang di sana, memang selayaknya keajaiban Abunawas dapat membangun kota dalam waktu semalam: rumah-rumah tiba-tiba saja telah berdiri berhimpitan, rawa-rawa menjadi pemukiman mewah, sawah-sawah ditumbuhi gedung-gedung perkantoran, hutan pala jadi jalan layang, atau sebuah jalan setapak yang dulu selalu kau lewati saat pergi-pulang memancing di sungai seketika telah menjadi jalan aspal lebar ber-hotmix! Betapa mencengangkan!
Begitu pun di pulau kecil itu, syahdan kota-kota terlahir dari bekas parit penambangan, dari deretan batang-batang pinang, dari bekas area perkebunan tebu, pun dari jejak kaki seorang raksasa yang konon adalah leluhur pertama orang-orang pulau itu.
Ya, di sana sebuah dunia baru bisa saja seketika tercipta, Aisyah. Seolah hendak mengejek keanggunan Roma yang kerap tersebut dalam ujar-ujar: ”Tak mungkinlah didirikan semalaman!” Atau New York... Oh, New York, apel besar yang berlumuran sejarah kelam, jejak panjang rasisme dan perseteruan yang kini alangkah angkuh dengan Patung Liberty mengacungkan obor kebebasan; siapa nyana dibangun oleh para gangster! Kau ingat kisah Dead Rabbits?
Cukuplah sekali aku ceritakan padamu bagaimana aku menjadi warga kota yang indah ini —alangkah jauh dari kota halaman dan Tanah Air, bahkan dari rapuh ingatan; ngungun dan tak bernama, Aisyah. Tak perlu pula kukisahkan lagi bagaimana aku mengenal mendiang ibumu, gadis manis dari Saigon —ai, kota yang perih dengan air mata gerilyawan Vietkong dan serdadu Amerika— yang menawan itu di sebuah kedai kopi kecil di pinggiran Fribourg. Hmm, kedai mungil yang eksotik, seketika membangkitkan ingatanku pada warung kopi Ko Akhiong di sudut dermaga Mentok yang senantiasa ramai disinggahi para pelaut dari berbagai penjuru, bergurau ribut mengabarkan beragam kisah dari kota-kota asing bernama asing. Ah, betapa wangi aroma kopinya yang khas, bercampur giringan jagung, seolah meruap lagi dari cerek tembaga, Aisyah!
Harum kopi. Hmm, entah kenapa malam ini tiba-tiba khayalku melambung lagi. Tidak, tidak ke kota-kota dunia sebagaimana ketika bocah, ataupun ke kota-kota imajinasi Calvino dan Maconda! Tapi kali ini lebih liar, seliar belukar, ke sebuah kota yang semata-mata hanya terjangkau dalam angan; atau mungkin tepatnya kubangun dalam angan.
Ya, bermula dari bercak kopi yang tumpah di karpet, mirip sepotong peta dalam atlas. Tumpahan itu kemudian melebar serupa sebuah wilayah di mataku: ah sebuah kota yang meluas, entah oleh pembangunan atau penaklukan. Perlahan-lahan anganku pun tumbuh dari bercak basah di karpet itu menjadi rumah-rumah bercat putih bagai rumah-rumah di Maconda. Terus berkembang menjadi kastil dan monumen, pasar dan stasiun, pelabuhan dan jembatan. Sebuah kota, sungguh fantatis!
/3/
YA, sebuah kota, sebuah imaji, Aisyah. Mirip mimpi, dan hanya dapat kaujenguk di negeri antah berantah, di waktu yang entah pula. Sebut saja namanya Samalanca. Tetapi janganlah kau mengingat sebuah kota di belahan bumi manapun yang barangkali pernah kau dengar namanya sama. Atau mungkin nama sebilah pedang mestika yang menjadi perebutan ksatria-ksatria dari tanah tinggi yang syahdan hidup abadi, melintasi abad demi abad yang nyeri untuk berperang dan menghantui jagat pengkisahan serupa bayang-bayang.
Sekali lagi, kota ini sungguhlah imaji, negeri yang fantasi, Aisyah! Konon, dulunya dia memang dibangun dari mimpi seorang lelaki pecundang yang datang pada suatu malam kelabu setelah melewati perjalanan panjang melarikan diri dari dunianya yang tak ramah lagi. Tatkala itu bulan berupa bayang-bayang pucat dan udara nyaris membeku. Ia datang dengan berdayung perahu, dari sebuah negeri begitu jauh. Lebih jauh dari sebuah kota yang pernah kau lihat dalam kartu pos bergambar yang dikirimkan seseorang. Tentu orang-orang kemudian mengenang lelaki itu sebagai pahlawan, pendiri kota yang budiman. Setara ia dengan Balian dari Ibelin, pande besi yang mati-matian mempertahankan gerbang Yerusalem dari penyerbuan Sultan Saladin. Pun sekadar seorang Jose Arcadio Buendia, yang mendirikan Maconda —sekali lagi dunia baru penuh takjub dan haru biru— dalam kepala Gabriel Garcia Marques! Bahkan seperti Cornelius Duck, pendiri kota Bebek dalam komik Walt Disney....
Apabila kita saksikan patungnya yang tegak di tengah-tengah kota, di tengah segala keganjilan dan keajaiban melebihi Kota Gotham, kita memang akan mendapatkan sesosok lelaki kurus berwajah muram dengan mata sayu yang seolah menyesali dunia. Tetapi janganlah khawatir, Aisyah. Justru kota ini, kota yang didirikannya dari mimpi, akan menawarkan suasana ceriah dan bahagia yang tak ada habisnya. Membuat kita merasa memiliki dunia!
Begitulah kota ini mekar berkembang dalam kepalaku, Aisyah. Gedung-gedung kian menjulang tinggi menembus awan-menggapai langit, rumah-rumah serupa kotak kubus, jalan-jalan melingkar seperti ular. Bagaikan Gotham yang dipenuhi aurora manusia kelelewar atau Central City yang selalu dijaga makhluk berkekuatan laksana angin topan mirip seorang aristokrat. Oh, kota-kota fantatis para superhero yang kukenal dan kusimak sepenuh semangat dari buku-buku komik sewaan dan gambar-gambar umbul. Sudah lama sekali. Tentu di tempat-tempat peminjaman buku dan lapak pasar malam Mentok, kota merapuh itu...
/4/
SEBUAH kota, sebuah imaji, kadangkala memang mencemaskan seperti mimpi. Tapi sungguh, bukan maksudku hendak membuat wajahmu yang sumringah jadi cemberut. Sepasang matamu yang menggemaskan itu sekarang melotot galak tapi justru karenanya membuatmu tampak lebih cantik.
”Berhentilah mengisahkan kota ajaib dalam khayalan Abah, aku hanya ingin mendengar cerita tentang Mentok, Bah!” tiba-tiba kau memotong dengan suara ketus.
Aku tertegun. Mendadak saja di mataku, entahlah, kau terlihat begitu mirip dengan perempuan itu, Aisyah. Alangkah miripnya! Entah kenapa. Dadaku pun jadi sedikit berdebar.
Malam terasa menggigil. Berita televisi tadi sore memang mengabarkan akan ada lagi badai salju. Cuaca akhir-akhir ini semakin buruk saja. Kurapatkan sweater hangatku. Kau melemparkan pandanganmu ke perapian. Memperhatikan bayangan lidah api yang menari-nari.
Hm, seandainya saja kau mengenal perempuan itu, Aisyah. Gadis berkepang dua begitu ayu —ah, tentunya tak lagi gadis setelah pesta penikahannya yang kuhadiri dengan hati remuk-redam itu— yang berdiri ngungun di tepian dermaga dengan wajah merengut. Sepasang matanya yang mengemaskan, dengan alis tipis melengkung, tak berkerdip memandang riak ombak Selat Bangka yang berdebur lembut. Tampak begitu memeras dan menciutkan. Tapi tak ada lambaian ataupun sepotong kata-kata perpisahan ketika perlahan kapal pengangkut kelapa sawit, karet, dan lada yang kutumpangi akhirnya bertolak dari pelabuhan. Menjauh bersama tiupan angin barat yang berubah haluan. Usiaku saat itu menjelang delapan belas, sebaya denganmu, Aisyah. Udara yang beraroma bacin seperti membeku.
Oh, haruskah aku ceritakan juga padamu tentang perempuan itu? Hatiku masih ragu. Apalagi ketika kulihat wajahmu yang masih saja cemberut, Aisyah. ***
Gaten, Yogyakarta, Februari 2008
/cerita buat Nana Eres

Tidak ada komentar:

Posting Komentar