Kamis, 02 Februari 2012

Respati Telah Mati Cerpen: Sunaryono Basuki Ks


Sinar Harapan
Sabtu, 01 September 2007

Respati Telah Mati
Cerpen: Sunaryono Basuki Ks

Kadang tak kusadari bahwa Respati telah mati. Entah kapan matinya aku sering mau melupakannya, namun kadang dia muncul dalam lintasan ingatan, yang manis tetapi tiba-tiba topan datang, berubah jadi puting beliung, membawa tsunami, membawa Katrina, membawa apapun yang menghancurkan kenangan baikku.

Betulkah Respati sudah mati? Kadang aku juga ragu. Di mana dia dikuburkan? Kapan?

Kami pernah bercinta dalam gelora. Gelombang yang menghempas dada kami, membasahi tubuh kami dalam keringat kepuasan yang kukira tak akan ada batas. Kami bertemu hampir setiap hari. Kami bercinta hampir setiap bertemu. Kami merasa puas pada hampir semua akhir bercinta.

Respati adalah gelora, yang mampu merespons geloraku. Ombak air panas yang saling menjilat, yang saling menghempas pasir pantai yang putih.

Mungkin salahku juga kenapa aku tiba-tiba jatuh hati pada Respati. Dia masih sangat muda, baru dua puluh satu tahun. Tapi, perempuan semuda itu sudah siap untuk menikah, baik fisik maupun mental. Dia bahkan berencana menikah tahun depan, setelah lulus dan sudah bekerja. Sudah pasti, seolah di tangannya semua serba pasti, tahun depan adalah tahun pernikahannya, padahal dia juga diharapkan untuk membiayai adiknya yang baru saja mulai menempuh kuliah di Jakarta.

Dari gajinya sebagai karyawati hotel, dia harus menyisihkan sebagian untuk adiknya. Bukan sebagian, tetapi separuhnya, sebab hidup di Jakarta memang mahal. Namun sebagai mahasiswi Akademi Kebidanan, Komang memang tinggal di asrama dan menerima sekadar uang saku. Dan Kadek Respati harus membayar sisanya untuk keperluan tetek-bengek seorang gadis remaja. Komang juga perlu beli pulsa untuk HPnya, beli bedak, gincu, pensil alis, pelembab, rok baru, celana dalam, sabun mandi, sabun cuci.

Dan aku sudah menjelang empat puluh tahun, tetapi yang kupunya hanya sebuah mobil Toyota Starlet tahun 1997, sebidang tanah seluas empat ratus meter persegi, sedikit uang tabungan, dan keinginan untuk beristri. Di kampus yang ada hanya mahasiswi. Dosen perempuannya yang baru diangkat sudah langsung pula diangkat menjadi istri seseorang. Lingkungan lain aku tak mengenalnya.

Walaupun aku sering bermobil ke Lovina, menikmati pemandangan matahari yang mencelupkan diri ke dalam air laut, memerah seolah bola api merindukan kesegaran air, aku tak bertemu wanita yang dapat menggoda minatku. Kadang aku berbaur dengan anak muda di Kafe Barakuda menikmati lagu-lagu keras, namun pramusaji yang mendekatiku hanya bertanya:

“Minum apa, Pak?

Tak seorang pun yang mengajukan pertanyaan bodoh:

“Sendiri saja, Pak?”

Jadi, aku lebih banyak bertemu Respati tetapi tak pernah mengajaknya dalam mobilku ke Lovina, ke Air Sanih, ke Air Panas Banjar, sebab aku dosen dan Respati mahasiswi. Dia selalu menolak dan aku jarang berusaha mengajaknya. Tapi, rencana pernikahan Respati tahun depan hampir pasti, begitu kesan yang kudapat.

Di tempat lain kami bertemu, bercanda, saling meremas tangan, saling berpelukan, dan saling berciuman. Respati selalu menyambutnya dengan bergelora, kami bagaikan dua pecinta yang merasa pasti tentang masa depan kami.

“Sayangilah daku, Res!” bisikku.

Lalu dengan kasih sayangnya diciumnya pipiku, yang kiri dan kemudian yang kanan. Ciuman di pipi itu selalu merasuk ke dalam jiwaku dan selalu kubisikkan:

“Aku paling suka ciumanmu di pipi.”

“Karena aku melakukannya dengan kasih sayang, Bli.1”

Kukira aku makin merasa pasti dengan Respati. Gadis belia itu mencintaiku, sebagaimana selalu dikirimkannya melalui sms: “L u yang.”2

Tetapi, rencana pernikahan bukan denganku, tetapi dengan Bli Wayan, lelaki yang jauh lebih muda dariku, yang selalu dipujanya. Respati memujanya bagaikan memuja seorang dewa, sosok yang tak lekang di panas, tak basah oleh guyuran hujan. Respati memujanya dengan membabi buta.

“Kenapa aku mencintainya?” dia selalu mengulang pertanyaanku. “Aku ingin menebus kesalahanku di masa lalu.”

“Bukan. Aku tak pernah menyakiti orang lain, tapi kesalahan masa lalu yang membuat kami berpisah. Memang, saat masih di SMA aku punya pacar, lelaki muda seusiaku yang mencintaiku. Tapi kami berpisah lantaran aku tidak bisa memahaminya dan tak mampu memberikan kasihku sepenuhnya.”

“Bukan. Dia bukan satu-satunya orang yang mencintaiku. Wahyudi kukenal ketika aku masih di semester dua. Dia sudah bekerja. Usianya? Waktu aku dua puluh tahun, tepat pada hari ulang tahunku, dia datang bersama temanku. Tetapi dia sudah berusia dua puluh enam tahun dan punya pekerjaan layak di sebuah perusahaan asuransi besar. Dan dia bersedia menungguku sampai tamat. Jadi, tiga tahun, empat tahun. Kami salaing bertemu, menelepon, tetapi kesibukan masing-masing memisahkan kami.

Wahyudi sekarang sudah menikah dan punya seorang putri yang manis. Kadang masih menghubungiku. Mengapa kami berpisah? Mungkin, petemuan yang kurang intens. Aku banyak tugas, dan juga harus bekerja paruh waktu sebab aku harus membiayai studiku. Ayah tak mampu, ibu hanya seorang PNS kecil. Kesalahanku? Sangat mungkin, dia mengharapkan kehangatan yang belum pernah kuberikan.”

“Tapi Wayan? Seusiamu?”

“Tidak. Dia juga lebih tua tiga tahun dariku. Kami bertemu di sebuah forum pertemuan gerakan spiritual. Dan aku menemukan kecocokan, cocok dalam pandangan spiritual. Kami vegetarian.”

Dari teman-temannya aku juga dengar bahwa Respati sangat mencintai dan memuja Bli Wayannya. Tapi, yang mengejutkanku bukan tentang kedekatannya dengan lelaki itu, tetapi tentang sikapnya. Ternyata Bli Wayan sangat pencemburu. Kalau Respati menerima sms dari teman lelakinya, maka dia marah-marah. Padahal, Bli Wayan tidak tinggal sekota dengan kami. Hampir setiap Sabtu dia datang menengok Respati, dan setiap Sabtu pagi Respati selalu meninggalkan pesan lisan:

“Jangan hubungi aku lewat HP. Senin saja kita bertemu di kampus.”

Aku memahaminya. Aku tak ingin mengusik kedamaian Respati dengan Bli Wayan, tetapi yang baru kutahu sesudah itu, ternyata HP milik Respati berada di tangan Bli Wayan. Malah kadang HP itu terbawa pulang ke kotanya dan selama seminggu Respati tak bisa dihubungi lewat HP. Terpaksa aku menghubunginya lewat e-mail bilamana dia tak muncul di kampus. Alamatnya callme-respati@hotmail.com. Aneh. Aku bisa saja datang berkunjung ke kos Respati dan berbicara langsung, tetapi dia tinggal masuk ke dalam di perkampungan dan aku harus memarkir mobilku jauh di jalan raya, dan semua akan tahu kalau aku berjalan masuk gang mencari Respati. Wah, Pak Dosen mencari mangsa!

Lebih mengejutkan lagi, bila marah Bli Wayan tak segan-segan menampar wajah Respati, dan gadis itu menerimanya dengan senang hati. Sebab, sesudah itu Bli Wayan selalu akan minta maaf, lalu peristiwa terulang lagi, lalu, minta maaf lagi.

“Kenapa aku bertahan? Karena aku mencintainya. Dia mencintaiku. Kami saling mencintai. Aneh? Itulah kami,” kata Respati dengan tenang seolah badai tak pernah menerpa kehidupannya.

“Kenapa tak memilihku?” protesku. “Aku mencintaimu. Kau mencintaiku. Kita saling mencintai. Dan aku sudah siap menikah.”

Matanya memandang tak percaya, seolah kata-kataku kosong tak bermakna. Betulkah aku mencintainya? Betulkah kami saling mencintai? Tak ada yang tahu. Bagaimana Respati bisa mendua? Mencintai Bli Wayan tetapi juga mencintaiku? Apakah dia siap melakukan poliandri sebagaimana dalam dunia pewayangan. Jelas aku tak siap, Bli Wayan apalagi, pasti akan menolak.

Dan, sekarang Respati sudah mati, paling tidak bagiku. Begitu lulus menjadi sarjana, dia pergi entah ke mana. Sms ke HP-nya selalu terkirim, tetapi tak pernah dijawab. Apakah dia sudah menikah dengan lelaki yang dipujanya? Apakah HP sudah berada sepenuhnya di tangan Bli Wayan? Apakah Bli Wayan tak lagi menamparnya? Memarahinya?

Aku tak ingin menangis, sebab kepergian Respati sama sekali bukanlah hal baru. Saat masih menempuh kuliah, pacarku sejak SMA kelas I sudah kawin lari dengan seorang pengusaha kaya. Masih juga pada semester akhir, pacar lain, yang siap untuk menikah dan ingin punya banyak anak, tiba-tiba menulis surat: “Kita berpisah di sini saja.” Saat aku sudah mulai bekerja, gadis lain yang berjanji setia menungguku, tiba-tiba menikah juga dengan kepala sebuah perusahaan besar. Tahun-tahun lewat, dan seorang demi seorang juga lewat. Ketika aku memeluk Respati, aku sudah dapat merasakan bahwa pelukan itu akan melonggar dan lepas sama sekali.

Pasti ada yang salah denganku. Dengan karmaku? Apakah aku dulu punya banyak istri, praktisi poligami seperti yang sedang diributkan orang di TV, dan semua istriku ingin membalas dendam dalam hidupku yang sekarang? Buah karmaku: aku akan ditinggalkan oleh wanita, seorang demi seorang. Dan, Respati sudah mati, entah di mana dan entah kapan.

Walaupun sekarang ada seorang gadis cantik yang selalu tak berkeberatan kuajak bermobil ke Lovina, ke Bedugul walau dia seorang mahasiswi, aku sudah merasakan bahwa gadis ini pun akan segera mati dan aku menjadi seorang perjaka tua, benar-benar perjaka karena aku tak berani melakukan persetubuhan kalau tidak dengan istriku, padahal aku tak beristri. Dia pun akan mati sebagaimana Respati.

Mula-mula mencintaiku dengan bergelora, dan kemudian menghilang bagaikan asap. Tapi, bukankah aku juga sudah mati?***

Singaraja, 9 Desember 2006

3 Bli = panggilan untuk kakak lelaki, semacam sebutan Mas di Jawa.
2 Love you, sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar