Kamis, 02 Februari 2012

Riwayat Cerpen: Adek Alwi


Suara Karya
Sabtu, 19 Mei 2007

Riwayat
Cerpen: Adek Alwi

"Ke mana Umi?"
"Ke pasar!" Ayah menjawab, menggelegar.

Tapi sejak siang itu Umi tidak pernah pulang. Berhari-hari berminggu-minggu berbulan-bulan kutunggu, Umi tak muncul. Aku benar-benar kehilangan. Tangan Umi lembut. Suara, mata, senyum Umi lembut. Tak sekalipun Umi membentak, jangankan memukul. Karena itu tegahnya aku turuti, semua suruhnya aku jalankan. Ada sesuatu dalam suara dan mata Umi yang membuatku patuh, sekaligus bangga menuruti suruh dan tegahnya.

Lain dengan Ayah. Ayah adalah batu, dan juga harimau, yang jarang di rumah; sejarang dia bicara padaku. Kata tidak penting baginya. Semua kehendak seolah harus terwujud dalam tindakan, pada perbuatan.

Ayah tidak kerap memukul, kecuali jika aku pulang bermain bau matahari dan tubuh kotor, dan dia kebetulan di rumah. Tapi, cara marah dan sikapnya menyakitkan. Ayah menunggu di ambang pintu, menyeringai, tak berbunyi bak harimau mengintai. Begitu aku mendekat ikat pinggangnya melayang ke kaki. Piu! Piu! Berkali-kali. Aku terjengkang. Bangkit berdiri. Menggerung-gerung. Menghambur masuk rumah. Ayah tetap membatu. Berwajah dingin, kaku.

Suara lembut Umi juga kemudian yang terdengar, meredakan tangisku. "Ayah marah karena tubuhmu kotor. Ayah ingin kau jadi anak yang bersih, tidak lupa waktu kalau bermain. Mandilah. Ganti bajumu. Umi bikin rendang. Habis mandi dan makan, Umi obati kakimu," bujuk Umi sambil menyentuh kakiku.
Dengan masih terisak aku terpincang-pincang ke kamar mandi.

Namun rasa jengkelku terhadap Ayah tidak ikut terbasuh. Bekas lecutan di kakiku hilang keesokan hari, tapi mata hatiku masih melihat bilur-bilur merah di sana. Juga wajah Ayah. Yang dingin, kaku. Dengan mata menyipit. Dan bibir menyeringai bagai harimau. Ada yang meronta-ronta dan terus meradang dalam diriku; tidak tertahankan. Maka begitu Ayah pergi aku pun menghambur ke luar rumah. Berkeliaran sepuas hati, ke mana pun yang aku sukai.

* * *

Setelah Umi pergi dan tanyaku tak berjawab, aku makin sering ke luar rumah. Bukan saja ketika Ayah pergi, waktu ia di rumah pun aku menyelinap. Memang tidak mudah. Tapi selalu ada cara. Misalnya, saat Ayah lengah. Lantas pulang sore hari bau matahari dengan baju dan kaki kotor. Sampai di rumah Ayah membatu di muka pintu. Matanya menyipit, bibirnya menyeringai bak harimau. Dan kakiku dihajar lagi. Piu! Piu! Berkali-kali. Namun esoknya aku berkeliaran lagi, dan terus berkeliaran di luar rumah. Kadang bahkan lewat magrib.

"Dari mana kau!" gelegar suara Ayah memecah senja, suatu kali. Mungkin tak tahan terus-menerus membatu. Atau heran, takjub, dan juga bingung melihat aku tidak pernah jera walau selalu didera dengan ikat pinggang.
"Mencari Umi!" kubilang.

Tiba-tiba ikat pinggang Ayah tak jadi melayang, dan tergantung saja di udara. Kemudian tangannya jatuh terkulai. Ayah juga bergumam tak jelas, lalu melangkah ke beranda. Di sana, dia duduk di muka jendela. Memandang halaman tidak putus-putus. Lama sekali. Bibirnya kelihatan bergerak-gerak, seperti bergetar.

Sepekan kemudian aku dapati seorang perempuan di rumah kami. Lebih muda dari Umi, juga lebih kurus, atau langsing. Serta lebih putih. Bersamanya seorang anak perempuan, baru pandai berjalan, tertawa terus padaku. Ayah menyuruhku memanggil perempuan itu Bibi. "Dan itu adikmu. Jaga dia!" tunjuk Ayah. Setelah itu Ayah hilang lagi, entah ke mana, seperti biasa.

Kenyataannya, justru Bibi yang menjaga dan merawatku. Bibi menyelusupkan aku seusai bermain lewat pintu belakang, sebelum Ayah menyadari ketidakhadiranku, sehingga aku terhindar dari deraan ikat pinggang. Didorong Bibi aku ke kamar mandi, disediakannya baju bersih. Bibi pula yang menyabarkan dan membujuk Ayah bila dia mengaum menggetarkan nyali. Dan jika Ayah tidak terjinakkan, Bibi menangis tanpa suara, sambil mengobati bilur-bilur di kakiku.

Bibi juga menambah peralatan bermain dan sekolahku, yang sebetulnya sudah dicukupi Ayah, melebihi kawan-kawan. Bibi mendampingiku mengerjakan PR. Tidak bosan-bosan Bibi mengatakan aku akan jadi insinyur, atau dokter kelak, jika aku rajin belajar. "Dan kalau Bibi atau Adik sakit, kau yang akan mengobati kami. Mau, kan, kau mengobat Adik dan Bibi?"

Aku seolah mendapat pengganti Umi diperlakukan Bibi seperti itu. Tetapi, aku juga merasa ada yang tak enak tiap kali menyadari kehadiran Bibi dan Adik di rumah. Saat itu usiaku menjelang sepuluh, mulai dapat menduga-duga apa yang terjadi antara Ayah dan Umi. Serta kaitannya dengan Bibi dan Adik.

Dan suatu hari, hampir setahun setelah kepergiannya, Umi muncul di sekolah. Mulanya aku gembira, lalu kesal ketika ingat bahwa dia sudah meninggalkanku begitu lama. Tak berberita lagi. Dan aku makin kesal, juga bingung, karena dalam pertemuan itu Umi malah lebih banyak menanyakan serta memuji-muji Bibi. Umi juga menyuruh aku patuh dan baik kepada Bibi.
"Mengapa begitu?" tanyaku tak mengerti.
"Karena bibimu baik," jawab Umi.
"Tapi aku ingin Umi pulang. Aku ingin ada Umi di rumah, seperti dulu."
"Itu tidak mungkin, Nak."
"Karena ada Bibi?"

Umi bilang, "Bibimu baik. Bahkan, teramat baik, dan menjadi lemah karena kebaikannya. Tapi kau harus baik kepada Bibi. Turuti semua suruh dan tegahnya."
"Mengapa Umi tidak pulang?" aku bertanya lagi.
"Karena itu tidak mungkin, Nak."
"Mengapa tidak mungkin?"
Umi diam saja. Hanya senyum, memandangku.
Aku makin bingung. Tidak mengerti. "Mengapa Umi pergi?" tanyaku.
Umi tetap tidak menjawab. Tampak berpikir-pikir.
"Karena Ayah?" terkaku tak sabar.

Umi kembali kelihatan berpikir-pikir. "Ayahmu baik sebagai ayah. Barangkali juga sebagai laki-laki. Tapi suami" Umi tiba-tiba diam. Ditatapnya aku lekat-lekat, dan lama. "Ah, engkau baru kelas empat," katanya kemudian. "Pada saatnya nanti kau mengerti sendiri." Kemudian diusap-usapnya bahu juga kepalaku, tetapi tangan Umi kurasakan tak lagi selembut dulu. Senyum dan matanya juga tidak. Seakan dia bukan lagi umiku.

Aku masih mencoba memintanya pulang, Umi senyum menggeleng. Aku lalu minta ikut, Umi juga menggeleng, lambat-lambat. "Itu pun tidak mungkin, Nak," dia bilang. "Maksud Umi, itu belum mungkin sekarang. Tunggulah beberapa tahun lagi."

"Kenapa begitu? Kenapa aku harus menunggu?" aku bertanya menahan sambil tangis.
"Karena begitu janji Umi dan ayahmu."

Janji? Apa yang mereka janjikan? Aku tambah bingung. Makin tidak mengerti urusan dan kelakuan orang tua. Tidak mengerti dunia orang dewasa. Aku juga merasa sedih, jengkel. Dan kepada Bibi pun, di rumah, aku merasa jengkel. Juga pada Adik, yang melangkah tertatih-tatih mendekatiku, cengengesan seperti monyet. Serasa ingin kutokok saja kepalanya. Atau kujewer telinganya. Maka selesai makan aku tinggalkan rumah. Aku tulikan telinga waktu Bibi berpesan supaya tidak pulang terlalu sore. Jangankan mematuhi, bahkan malam itu aku sama sekali tidak pulang; berkeliaran dengan anak-anak sebayaku di pasar dan terminal. Pertama kali pula aku merokok, sampai tersedak dan batuk-batuk.

Besoknya, kudapati belum ada Ayah di rumah. Bibi menangis terus, sehingga Adik ikut menangis. Bibi tidak marah, hanya memelukku, menyatakan kecemasannya karena aku tidak pulang. Juga, karena bolos sekolah. "Sekolah itu buatmu, nanti. Buat bekal masa depanmu," kata Bibi. Dia siapkan air hangat untuk mandiku. Dia sediakan makan dengan cekatan. Bibi memang rajin, dan terampil mengurus rumah, tidak kalah dari Umi.

Namun perasaanku justru makin tidak karuan. Aku terharu melihat kebaikan Bibi, tapi tidak suka ada dia dan Adik di rumah. Aku ingin Umi di rumah seperti dulu. Tapi aku sedih, kecewa, jengkel, sebab Umi tidak mau pulang. Juga, karena dia tidak bersedia membawaku bersamanya. Di kota mana gerangan dia tinggal? Di rumah Bibi Marina? Tidak mungkin ia kembali ke rumah Nenek, karena beliau sudah meninggal.

Sepanjang hari aku gelisah, mengurung diri dalam kamar, tidak berangkat ke sekolah. Dan Ayah belum juga pulang. Besoknya juga belum. Entah ke mana, seperti biasa. Pikiranku melayang-layang. Kemudian aku putuskan pergi, kali ini untuk tidak kembali lagi. Bersama kawan-kawan di pasar dan terminal yang telah lama berangan-angan ke Ibu Kota, aku bergabung. Menumpang truk dari kota ke kota. Setelah sekian hari akhirnya sampai juga kami di Ibu Kota. Tapi di sini kami cerai-berai, tercampak ke jalan raya, hanya sesekali bersua. Itu pun tidak bisa lama-lama, kecuali tahan kena tendang atau tempeleng. "Kalian kira di sini buat ngobrol dan main-main, ha!" Plak! Ada juga yang pingsan.

* * *

"He!"
Aku tersentak dari lamunan. Di depanku tegak Bang Balok, bertolak pinggang kasih pengarahan. "Kau jangan melamun lagi kayak tadi. Mengerti! Muka sedihmu justru harus buat cari duit. Mengerti kamu, ha!" Kepalaku diketok dua kali.

Aku mengangguk, tidak dapat tidak. Tadi, sewaktu lampu lalu lintas berwarna merah aku melamun. Tertegun di trotoar, tidak melakukan apa-apa, sementara anak-anak lain sibuk kerja. Aku seperti melihat Umi, Bibi, Adik, dan juga Ayah, di dalam mobil yang berhenti. Kemudian wajah mereka berganti wajah-wajah lain ketika mobil berlalu saat lampu lalu lintas hijau kembali. Kakiku masih terpaku di trotoar. Mataku panas, berkaca-kaca.

Ubun-ubunku terbakar terik matahari Ibu Kota. Untuk kesekian kalinya aku rindu rumah, ingat kota kami yang kecil, dan ramah, betapapun garangnya Ayah, dan peliknya hubungan mereka bertiga: Ayah, Umi, dan Bibi.

***

1 komentar: