Kamis, 02 Februari 2012

Sebuah Pilihan Cerpen: Shelvin Gunawan


Pontianak Post
Minggu, 19 Agustus 2007

Sebuah Pilihan
Cerpen: Shelvin Gunawan

Satu menitku yang berharga hilang sudah. Berapa lama lagi aku harus menunggu, menunggu dan menunggu? Kadang pula aku menghitung mundur dalam hati, kapan lalu lintas yang menjuntai kaku di depanku ini akan bersinar terang.

Sedari tadi, saluran radio sudah kuubah hingga berpindah lima saluran kurasa emmm.... bukan, enam tepatnya. Ditambah dengan satu saluran berita yang hanya memberikan info-info jalan raya di daerah sekitar Lumpur Lapindo.

Entah sudah berapa kali berita senada kulihat di layar TV pagi ini. Kalau kuingat lagi, masih sebal rasanya karena tadi rebutan dengannya gara-gara aku mengganti saluran TV saat ibu asyik menyimak tentang Lapindo itu.

"Tapi kan aku udah minta ijin, Ibu aja yang nggak denger," sanggahku tadi sedikit agak menang sendiri setelah berulang kali berdebat tanpa ada yang mau kalah. "Ah, Ibu emang orangnya begitu, lebih tua trus merasa paling bener," gumamku pada diri sendiri dengan masih terbayang-bayang wajah ibu yang tidak mau menoleh sedikitpun saat aku melangkah kaki keluar rumah.

Tanpa sadar, aku mengibaskan kedua tanganku untuk menciptakan angin buatan yang kutahu tidak akan berhasil. Kulihat pendingin ruangan sudah kupasang hingga yang terdingin tapi tetap saja belum bisa mengalahkan tata surya bumi ini. Bodohnya, aku tidak menyadari kalau bulan ini memasuki musim kemarau. Jadi, kurasa sia-sia saja usahaku.

Belum lagi hilang bayang-bayang ibu, sekarang wajah kak Reza muncul. Membuatku teringat untuk memakai jaket agar tanganku tidak terjemur matahari siang yang terik ini. Yang membuatku teringat dengan kak Reza, karena aku masih belum bisa menghilangkan kekesalanku padanya.

Sewaktu di kamar tadi, aku sudah menanyakan berulang kali dimana pelembab UV yang biasa aku pinjam. Tapi, dia hanya menganggapku seperti angin lalu dan sibuk mengobrol dengan temannya di telepon.

"Itu kan aku yang beli, lagipula udah habis kok. Makanya, beli sendiri dong!" kata kak Reza setelah aku membongkar lacinya dengan kasar tanda kesal karena tidak digubris. Bingung juga saat itu. Mau marah ya gimana lagi, toh barangnya sudah habis. "Pokoknya nanti kalau tanganku hitam, dia duluan yang kusalahkan," koarku agak lebih bersemangat mengalahkan suara klakson mobil di belakangku.

11:58

Yup, satu menit lagi untuk menceramahi dunia kecilku. Kupikir lumayan agak sedikit tidak membuang waktu daripada hanya berdiam saja. Selagi menunggu, enaknya siapa lagi yang jadi sasaranku ya? Pikirku dalam hati.

Ayah....tadi akan berangkat waktu pagi-pagi buta saat masih terlelap. Dia membuyarkan mimpi indahku hanya untuk mengingatkan agar siang ini aku tidak lupa mengisi bensin di tempat pengisian dekat rumah.

"Tinggalin memo aja kan udah cukup," gumamku lagi dengan nada yang agak keras berharap ada yang mendengar. Kalau ayah bilang sih anak jaman sekarang malas-malas. Bangun pagi minimal jam tujuh, itupun kalau ada kuliah, kalau liburan ya lebih berwarna-warni pastinya.

Bosan menanti giliran kapan deretan mobil di bagianku maju, aku pun merogoh tas dan mengeluarkan dompet panjang. Pikiran pertama yang muncul saat aku melihat foto keluarga yang biasa kupajang dibagian depan dompetku itu hanya untuk membunuh kejenuhan.

Tapi siapa sangka setelah lelah mengomentari kelakuan-kelakuan mereka sejak dua menit yang lalu. Ada perasaanku kosong di diriku yang hilang entah kemana. Perasaan itu makin kuat saat aku melihat foto itu.

Ibu tersenyum saat menenangkan dan memangku aku. Tawa renyah ayah yang menonjolkan kerutan-kerutan di hampir seluruh wajahnya. Juga ada senyum centil kak Reza yang berdiri di samping ayah sambil menggandeng.

Sambil tetap memandangi wajah mereka satu persatu, aku pun bertanya dalam hati, kenapa aku tidak bisa sedikit berbesar hati dengan sikap mereka. Bukannya mencari-cari kesalahan yang padahal bukan kesalahan mereka sepenuhnya? Tiba-tiba saja berbagai pikiran berkecamuk di benakku.

Bagaimana kalau ayah tidak bisa ke kantor karena aku belum mengisi bensinnya? Lalu bagaimana reaksi kak Reza saat tahu lacinya sudah berantakan layaknya kapal pecah? Apalagi, ibu, saat kutinggalkan terakhir kali, aku masih sempat melihat wajah sedihnya sehabis berdebat denganku. Padahal, semua itu hanyalah masalah yang sepele, tapi, kenapa aku yang serasa membesar-besarkannya.

Langit masih cerah, lalu lintas masih padat, dan lampu hijau pun juga belum bersinar. Aku melirik kearah jam yang sudah menunjukkan pukul 11:59. Kira-kira masih ada satu menit lagi untuk meneruskan perjalanan tanpa arahku atau memutar kembali ke arah rumah. Karena jujur saja aku belum memutuskan tujuanku kemana saat keluar dari rumah tadi.

Sementara itu, aku juga masih ada waktu untuk berbalik ke rumah kesayanganku dan mengubur dalam-dalam hal yang sejak tadi kutunggu-tunggu. Tanpa sadar, lampu kuning mulai berkedip. Tapi, aku masih saja belum mengambil keputusan, jalan mana yang harus kupilih?

Rem mobil kuinjak, mesin juga sudah kumatikan, kubuka pintu perlahan dan sengaja kubanting saat menutupnya. Sejenak masih sepi. Sesaat kemudian, ayah, ibu dan kak Reza muncul di teras sambil menatapku keheranan. Aku pun berteriak girang, "Aku pulang!" ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar