Kamis, 02 Februari 2012

Tesya Cerpen: Isbedy Stiawan ZS


Suara Pembaruan
Minggu, 13 Mei 2007

Tesya
Cerpen: Isbedy Stiawan ZS

Kalau saja tidak karena kehabisan uang dan tak lagi punya pilihan untuk meminjam, mungkin Tesya tak akan pernah menghubungi Dani. Sudah hampir 26 tahun ia lupakan Dani. Begitu pula Dani. Meski keduanya pernah saling mencinta. Tapi, ah, cinta semasa remaja. Ahai, kata orang dulu: cinta monyet-entah apa pula artinya...

"Ini Dani ya?" kalimatnya cepat dan tegas terdengar di telepon genggam Dani, senja benderang di musim kemarau panjang kali ini. Berkali-kali Dani mencoba mengeja nomor telepon yang menghubunginya, tak ada nama di sana. Tidak ia kenal. Berarti nomor baru, atau mungkin dari warung telepon.

"Ya, benar! Ini..."
"Aku Tesya. Tesya, Dani..." lanjut suara di seberang, masih dengan suacara yang cepat dan tegas. Belum lagi Dani mengingat nama Tesya, dari seberang telepon terdengar lagi: "Aku perlu kau,Dan. Sangat membutuhkan bantuanmu. Dani sekarang di mana? Bisa temui aku?"
"Aku di kantor, masih ada rapat."
"Di mana?"
"Di Bypass"
"Wah, aku tak tahu," terdengar Tesya mengeluh. "Tapi, kau bisa temui aku? Aku di rumah Dadang di pinggir rel."
"Tapi, aku rapat selesainya habis magrib."
"Jam berapa pun Tesya tunggu. Bisa kan?"

Dani hanya bisa mengatakan "ya" untuk desakan itu. Apa lagi ingatannya mulai terbuka tatkala Testa menyebut Dadang di pinggir rel. Dadang adalah kakak sepupu Tesya yang dulu sangat kooperatif pada hubungan cinta mereka. Dadang pula yang acap menutup-nutupi atau membela Tesya apabila pamannya melarang hubungannya dengan Dani.

Sekarang, untuk apa Tesya mau bertemu? Ia, seperti dalam telepon tadi, sangat perlu. Untuk keperluan apa? Tesya juga mengaku sangat membutuhkan Dani, dalam soal kebutuhan apa? Ah, dani mulai diusik hal-hal yang tak jelas. Pikirannya mulai digoda, digayuti oleh berbagai macam kenangan dan ingatan. Ia mulai bosan mengikuti rapat yang berlarut-larut. Membosankan.

Jelang magrib, Dani sudah tiba di rumah Dadang. Tesya yang menyambut. Ah, ia makin kurus dan seperti tak ada gairah hidup.

"Katanya habis magrib, aku belum mandi ni?" sambut Tesya. "Tapi tak apalah, kan sudah nenek-nenek ini..." imbuh Tesya tersenyum.
"Kebetulan rapatnya sebentar. Daripada aku bengong sendirian di kantor?"
"Lebih baik ke sini?"

Dani tersenyum. Tesya belum berubah, pikir Dani. Perempuan hampir setengah abad usianya itu masih menarik dan selalu memberi hidup setiap pertemuan. Kalau ada yang berubah, Tesya yang dilihatnya sekarang sangat kurus. Selain itu banyak hal masa lalu yang sudah terlupakan. Dani kerap menyebutnya "error" dan "henk" setiap Tesya mengatakan, "Kapan ya, yang mana? Ah, aku sudah lupa..."

Namun, pikir Dani, Tesya tetap menarik. Meski tak segairah dan semanis semasa ia muda dulu. "Kau jangan menatapku seperti itu. Tak ada lagi yang menarik dariku, aku sudah nenek-nenek," Tesya mengejutkan. Dani sadar.

"Siapa yang menatapmu," Dani mengelak. "Siapa bilang kau masih menarik, tidak ya?!" seloroh Dani kemudian.

"Itu sebabnya aku berterus terang tadi. Aku tak lagi menarik. Sudah nenek-nenek," jawab Tesya tak mau kalah.

Ya! Usia keduanya berpaut 3 tahun. Kalau sekarang Dani berusia 49 tahun, Tesya 46 tahun. Suatu usia yang bukan lagi dapat dibilang muda. Sungguh pun begitu, benih-benih cinta yang dulu pernah tersemai akan tetapi kering dan mati, sebenarnya sekarang telah menggoda untuk disiram. Ah, tak mungkin. Batin Dani menolak. Benih yang sudah kering dan mati, tak mungkin akan dapat jadi pohon.

"O ya, ada apa kau ingin bertemu denganku? Katanya, kau perlu sekali?" Dani segera mengalihkan pembicaraan ke persoalan utama mengapa Tesya meneleponnya. Ia juga mencari tahu dari mana Tesya dapatkan nomor telepon selulernya. Tesya masih lancar menjelaskan semua pertanyaan, misalnya, bagaimana ia bisa membujuk Dadang untuk menghubungi rekan Dani demi nomor telepon. Apa yang sulit?

"Nah, untuk soal aku perlu denganmu..." Tesya mulai bercerita. Ia datang ke Lampung ini karena tergiur pembagian warisan keluarga suaminya. Ia berharap bagian untuk suaminya, tersalur kepada Tia-anaknya. Memang tidak besar, namun cukuplah untuk kebutuhan Tia di Jakarta. Sayangnya hasil penjualan warisan sebidang sawah sudah terpakai oleh keluarga suaminya. Padahal ia membawa uang cuma pas untuk dua sampai lima hari. Karena masih ada harapan dari penjualan rumah, ia disarankan untuk menunggu beberapa hari. "Sudah 15 hari lebih aku menunggu, rumah belum juga terjual. Akibatnya aku kehabisan uang. Bayangkan dari Terminal RJB kami harus jalan kaki, karena uang kami hanya cukup untuk beli es puding!" tuturnya.

Dani mulai bisa membaca arah keinginan Tesya, kenapa ia menghubunginya senja tadi.Kalau sajak tidak disebabkan kehabisan uang dan tak lagi punya pilihan untuk meminjam, mungkin perempuan itu tak akan pernah menghubunginya. Sudah hampir 26 tahun ia melupakan Dani. Begitu pula Dani. Meski keduanya pernah saling mencinta. Tetapi, karena terhalang oleh ketidak senangan keluarga, Tesya pun menjauh. Dani juga seperti tak bernyali untuk berjuang dan berkorban meruntuhkan penghalang cintanya itu.

Dani berpikir positif saja saat itu. Tiada yang harus dikorbankan ataupun diperjuangkan. Cinta remaja-orang menyebutnya ketika itu sebagai "cinta monyet"-tak lebih hanya permainan kanak-kanak yang dapat segera dilupakan. Kalaupun mengental dalam ingatan, selayaknya pernik atau pecahan kaca untuk bercermin lalu menertawakan masa lalu.

"Lucu ya kalau ingat masa lalu kita," ucap Tesya seraya tersimpul. Tia, anaknya yang berusia 19 tahun ikut pula tersenyum, di sebelahnya. "Bagaimana aku diam-diam keluar dari rumah kemudian kita bertemu di warung pisang goreng depan gang itu, he he he..."

Dani menyambut pula dengan senyuman. "Tapi, itu masa lalu. Tak akan pernah kembali menjemput."

"Ya, aku tahu. Aku sadar itu," kata Tesya mendesah. "Seandainya dulu kita jadi, barangkali..."

"Tuhan tidak menjodohkan aku denganmu, tapi pada Ranti. Dan, aku sangat mencintainya. Rumah tangga kami teramat bahagia," sela Dani untuk menegaskan sesungguhnya situasi sudah berubah. Ia sudah dikaruiniai lima anak dan seorang cucu. Itu sudah cukup membuktikan kalau rumah tangganya harmonis dan damai.

"Ya, aku tahu. Tak mungkin kita berandai-andai. Maafkan, aku terlalu hanyut oleh kenangan, ingatan, dan masa lalu. Padahal, itu tak mungkin akan menjemputku lagi," aku Tesya. "Hanya aku sesalkan mengapa aku tak memeroleh suami sebaik dirimu."

"Itu juga karena takdir."
"Mengapa takdir baik selalu tak berpihak padaku?"
"Mungkin belum saatnya sekarang. Mungkin Tuhan masih menunda..."
"Seperti hidup ini, hanya menunda kekalahani?
"Boleh jadi," tekan Dani. "Tapi usah sesali, sebab bukankah kau kini bahagia? Punya anak tiga, dan sudah bukan anak-anak lagi?"

Tesya mengangguk. Pelan. "Cuma mereka masih bergantung padaku. Cari pekerjaan di Jakarta seperti mencari jarum di padang pasir. Teramat sulit."

Dani mendesah. Ia tak bisa mengimbangi Tesya. Perempuan itu terlalu banyak terimpit oleh beban hidup, sehingga kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya terkesan merutui nasib dan agak filosofi. Ia diam untuk beberapa jenak. Ia merogoh sakunya, dan mengeluarkan beberapa lembar uang Rp 50 ribu kemudian menyodorkan ke tangan Tesya. "Aku tak bisa membantu banyak, tapi ini sekadar pemberianku agar kau bisa pulang. Bukan utang, jadi tak perlu kau cari aku untuk mengembalikannya..."

"Kau tak ingin bertemu aku lagi?" bisik Tesya, setelah Tia masuk ke ruang lain menonton televisi. "Kau membenciku, sehingga tak mau menemuiku? Kalau begitu, sebaiknya aku pulangkan saja uangmu ini. Aku serius utang dan pasti akan kubayar!"

"Aku juga serius dan ikhlas membantumu!" Dani menegaskan kembali.

Lalu keduanya tertawa, pasalnya Dadang yang sejak tadi di ruangan lain bersama istrinya keluar. "Kalau saja kalian tegas bersikap seperti itu, tentu hubungan kalian akan berlanjut. Sayangnya, yang kalian pertahankan hanya saling ngotot bukan sikap atau ideologi!"

"Tapi, kalau Tuhan tak memberi jodoh?"
"Manusia kan diberi hak berusaha oleh Tuhan. Iya kan?"
Tesya dan Dani mengangguk. Keduanya tersenyum.

****

SEJAK berpisah lantaran suaminya meninggal, Tesya mengadu nasib di Jakarta. Ia habiskan waktunya di tempat bekerja untuk menutupi kebutuhan dirinya dan tiga anaknya. Dengan ijazah SLTA, tentu tak berada di posisi yang baik di tempat kerjanya. Hanya saja, hidup di kota besar semacam Jakarta apa pun bisa didapat asal fleksibel dan sedikit berkenan menitipkan idealisme. Itu kata Tesya ketia Dani bertanya apa pekerjaannya di Jakarta, dan hal-hal lain tentang mantan kekasihnya.

Sewaktu Dani bertanya kabar suaminya, Tesya hanya menjawab: "Suami yang mana ni? Suamiku banyak, hihihi..."

Dani menganggap ucapan Tesya itu hanya gurauan-cuma canda-sekadar untuk menghidupkan suasana pertemuan. Apalagi sudah sangat sangat lama mereka tak berjumpa, bahkan berkabar pun tak pernah terjadi. Tepatnya, terakhir kali mereka bertemu ketika Tesya sedang hamil anak pertama. Sementara Dani baru enam bulan menjadi papa. Pertemuan yang sungguh-sungguh dipenuhi kerinduan, sebab begitu bulan pertama kehamilannya ia ditinggal pergi suaminya. Di dada Dani, Tesya terisak. Seperti mengadu dan menumpahkan kekecewaan rumah tangganya. Dani bergeming, namun hatinya terguncang juga. Ia nyaris sentimentil: larut dalam pelukan.

"Aku tak punya apa-apa lagi," bisik Tesya 26 tahun lalu, sambil memegangi perutnya yang membuncit. "Akan kukatakan apa pada anakku jika ia bertanya tentang papanya..."

Hampir saja Dani melontarkan kalimat, ".... katakan papanya aku!" Ups! Syukurlah kalimat itu tercekat di tenggorokan. Tesya kian merapatkan pelukannya. Dani serbasalah. Senja mulai pudar.

****

"KAU mau antar aku makan malam? Kasihan Tia aku ajak dia ke sini, belum menikmati kota ini," harap Tesya. Dani menggeliat. Ia melihat arloji di tangannya: pukul 20.05. "Keberatan? Khwatir pulang kemalaman? Ya, tak apa lain waktu..."

"Bukan. Bukan itu," ujar Dani terbata. "Katanya kau akan segera pulang?"
"Ya, benar. Besok siang aku pulang.
"Apa maksudmu lain waktu?"
"Ya, kalau aku membawa Tia ke sini lagi. Meskipun itu tidak mungkin...."
"Baiklah, sekarang kita keluar. Tapi hanya sebentar saja ya?"
"Ke mana?"

Dani tak punya tempat makan dan mengobrol, selain Diggersiii di mana ia kerap menghabiskan waktunya selepas kerja dan pikirannya penat. "Mendengar namanya, pasti asyik ya Mama?" Tia berujar. Tesya mengangguk. "Bisa kita buktikan perkiraanmu," Tesya menimpal.

Tesya makin terpana ketika Dani mempersilakannya naik ke sedan Soluna. "Kau makin gagah saja. Sejak kapan kau bawa mobil?"

"Tidak juga, baru setahun ini. Mobil ini hadiah dari teman!"
"Wow! Dermawan sekali sahabatmu itu?"

Dani tak menjawab. Ia menghidupkan sedannya, lalu membelah jalan Kota Bandarlampung. Sebelum mencapai Diggers, ia keliling kota yang kini tengah bergeliat dan berdandan. Ada patung pengantin suku Lampung di perempatan Jalan A. Yani dan Jalan Diponegoro. Ia ceritakan kalau patung pengantin itu, terutama yang bertengger di Diponegoro dekat Kantor Walikota Bandarlampung sempat terhampat karena mendapat protes pemilik adat. Tetapi kemudian selubung patung dibuka, meski tanpa peresmian secara seremonial, kini sudah bisa dinikmati warga. Sedangkan patung pengantin dari Lampung Barat itu telah diresmikan secara besar-besaran.

Malam tak terasa terus mendaki. Santapan di meja sudah habis, selain juice lemon dan semangka yang masih tersisa. Dan itulah yang mereka nikmati, sambil mengobrol ke sana ke mari. Tentang masa lalu, tentang kehidupan Tesya di Jakarta, dan seterusnya. Tia selalu tersenyum dan berujar "prek" mengomentari kami jika mengenang masa lalu.

Ah, ingatan. Ah, kenangan. Duh, masa lalu! Sepertinya masih terasa indah dan menyenangkan jika diingat dan dicakapkan. Tetapi tak mungkin lagi untuk dimasuki dan dilakoni. Bahkan, ketika Tesya, diam-diam mengharap Dani menghubunginya jika di Jakarta, lelaki yang telah penuh oleh warna putih di rambutnya itu dengan tegas menggeleng.

"Cukuplah perjumpaan ini yang terakhir," ia mendesis dalam hati. Ia tahu, Tesya bekerja di sebuah tempat hiburan yang lumayan terkenal di kawasan Pondok Gede. Dan, Dani tak biasa berkunjung ke tempat semacam itu. Cukuplah...

***

Lampung, Akhir Agustus-Awal
September 2006
Catatan kaki:
i.     kalimat ini dipetik dari puisi Chairil Anwar
ii.    nama sebuah kafe atau warung santai terletak di perbukitan di kawasan Pahoman. Kafe/Waroeng Diggers ini juga dikenal dengan Kafe Hollywood.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar