Kamis, 02 Februari 2012

Saleha di Tengah Badai Salju Cerpen: Ida Ahdiah


Suara Merdeka
Minggu, 19 Agustus 2007

Saleha di Tengah Badai Salju
Cerpen: Ida Ahdiah

SEPERTI malam kemarin dan sebelumnya Saleha keluar apartemen pukul sepuluh. Salju turun deras dan rapat disertai angin kencang. Menurut ramalam cuaca malam itu akan terjadi badai salju. Salju turun hingga esok, menimbun setebal 40 cm! Esok kota bakal mati. Penduduk sedapat mungkin tinggal di rumah. Petugas kota tak akan mampu membersihkan salju yang menutupi jalan-jalan.
Saleha berangkat kerja!
Tubuhnya dibungkus jaket tebal. Jemarinya dilindungi kaos tangan. Ia menggunakan scarf untuk menutup sebagian wajah agar tidak beku. Hanya mata yang terbuka. Langkahnya di trotoar terbenam dan tertahan di bawah salju yang nyaris menjangkau lutut. Jarak menuju halte bus ditempuh merayap dengan mata kabur karena salju merintangi penglihatan.
Seperti malam sebelumnya, ia sendirian di halte bus, menanti bus nomor 175 yang menurut jadwal tiba lima menit lagi. Angin kuat mendorong barisan serpih salju ke satu arah, menampar dinding halte, memunculkan suara berisik. Ia merapatkan tubuh di sudut halte.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, bus belum juga tiba. Bisa jadi karena cuaca bus melampaui jadwal. Saleha gelisah, hilir mudik di halte. Ia menggosok-gosok telapak tangan, melompat-lompat, mengusir dingin.
"Aku telat. Aku akan kehilangan pekerjaan, kehilangan uang. Bus datanglah segera," ia berkata-kata pada diri sendiri dengan gigi gemelutuk.
Waktu adalah uang karena ia dibayar per jam. Gajinya akan dipotong sesuai dengan jumlah menit keterlambatan. Waktu adalah kepercayaan. Beberapa kali ia melihat pekerja dipecat karena datang terlambat.
Baru lima bulan ia bekerja malam hari, di pabrik compact disc musik dan film. Tugasnya memasukkan cd ke bungkus, menyusun dalam kardus. 24 cd per kadus dan mengunci dengan selotip. Ia bersyukur ada perusahaan yang mau menampung, kendati visa kerjanya di negeri itu habis.
Saleha bertahan tak akan pulang sebelum cukup uang untuk membayar utangnya ke rentenir. Suaminya, yang ia percaya mengelola uang, telah menggunakan uangnya untuk menikah dengan perempuan lain. Saleha masih disalahkan, sebab tak memberi suami nafkah batin. Ada dua anak, yang kini ikut neneknya, yang harus ia hidupi pula.
Jika Tuhan meridai, ia berdoa, "Aku mencari uang di negeri ini sampai utangku selesai dan uang terkumpul. Lalu akan pulang menggunakan uangku untuk modal usaha, entah apa."
"Banyak pekerja gelap yang bekerja di pabrik-pabrik, ratusan, ribuan mungkin," kata Tiru, temannya asal Srilangka, yang memberinya alamat agen tenaga kerja, yang mau menampung pekerja gelap.
Tiru menambahkan, "Perusahaan diam-diam senang mempekerjakan pekerja seperti kita. Bayarannya murah tak perlu bayar pajak."
"Tidak ditangkap polisi, dideportasi?"
"Banyak yang ditangkap, tak sedikit yang selamat. Takut?"
Saleha menggeleng. "Apa pun yang terjadi, aku tak punya pilihan."
"Lebih baik begitu. Di sini kita bekerja, tidak jadi penjahat."
Saleha setuju pendapat Tiru.
Lima bulan lalu agen tenaga kerja membawa dia ke pabrik cd. "Kamu kebagian kerja malam dari pukul 23.00 hingga 07.00. Keberatan?"
Saleha menggeleng. "Sama sekali tidak."
Dalam hati ia menambahkan, bekerja 24 jam sehari pun ia siap. Niatnya melintasi samudra, nun jauh ke negeri orang adalah untuk bekerja dan memperoleh uang.
"Gajimu 8 dolar per jam, dibayar cash, setiap malam Jumat."
"Terima kasih," ujarnya. Ia tahu satu jamnya ia dibayar 10 dolar, tapi agen memotong 2 dolar dari penghasilannya per jam. Segera ia mengkurskan penghasilannya dengan rupiah. Ia bahagia mengetahui jumlahnya.
Selama bekerja ia tak pernah berkata-kata. Pekerja lain juga bekerja dalam diam. Mereka berasal dari Srilangka, Bangladesh, India, Pakistan, dan beberapa dari negara di Afrika. Setiap malam yang dilakukan sama. Berdiri di depan meja, memasukkan cd, menatanya di kardus. Dua kali waktu istirahat, masing-masing 15 menit. Waktu istirahat ia gunakan untuk minum kopi.
Pekerjaan itu ia anggap ringan dengan gaji yang lumayan. Beda dari saat bekerja di pabris kaos di negerinya. Gajinya minim, tak memenuhi kebutuhan hidup. Kehidupannya tak berubah, bekerja keras tapi utang tak pernah selesai dibayar.
Saleha pun tergiur bekerja di luar negeri. Ia mendengar cerita buruk para pekerja yang dianiaya majikan, diperkosa, dan tak dibayar sesuai kontrak. Ia juga mendengar keberhasilan-keberhasilan yang mereka bawa. Tidak tahu, apa yang akan terjadi pada dirinya, Saleha ingin mengadu nasib. Ia pinjam uang dari rentenir untuk biaya keberangkatannya melalui agen.
Agen menempatkan ia di sebuah keluarga dengan dua anak yang menghormatinya sebagai manusia. Ia ditempatkan di sebuah kamar yang bersih. Makan seperti yang disantap majikannya. Gajinya dibayar seminggu sekali. Jam kerjanya dimulai pukul 07.00 hingga pukul 16.00. Tugasnya mengasuh anak-anak dan memasak. Setelah pukul 16.00, ia bebas dari pekerjaan, bisa istirahat di kamarnya. Sabtu dan Minggu ia libur. Ia bisa pergi ke luar rumah, asal Senin pagi sudah kembali.
Tiga tahun kontrak kerjanya habis. Ia tak mau memperpanjang. Ia ingin pulang karena menurut catatannya, utang lunas, tabungan cukup untuk modal usaha. Ia juga rindu anak dan suami. Namun berita yang ia terima bagai halilintar yang menyambar pada siang bolong. Suaminya menggunakan uangnya untuk menikah lagi!
Saleha teraniaya, lahir batin.
Ia memohon majikannya terus mempekerjakannya. Namun majikannya, seorang warga negara yang baik. Ia menolak mempekerjakan Saleha yang tak punya izin kerja lagi. Saleha pun keluar dari rumah itu, bertekad melanjutkan mengadu nasib.
Kini ia menyewa sebuah kamar, bersama dua orang kawannya, di kawasan pekerja kelas rendah, yang kumuh. Satu kawannya dari Bangladesh dan satu dari Meksiko, yang sama-sama tidak tahu, nasibnya sejam nanti, esok, dan lusa.
Seperti malam itu, Saleha meramalkan pekerjaannya akan berakhir akibat keterlambatannya. Ia memutuskan untuk tidak datang saja karena ceritanya akan berakhir sama. Namun pikirannya berubah ketika melihat bus datang. Bukankah niatnya mengadu nasib?
Ia meloncat ke dalam bus, hendak mengambil duduk di belakang. Ia urungkan niatnya melihat di belakang dipenuhi penumpang pria. Pekerja malam juga. Mereka duduk berkelompok, sesuai dengan warna kulit dan bahasa. Bagian belakang bus secara tetap dikuasai oleh imigran asal Bosnia, yang naik dari terminal. Selanjutnya imigran dari Pakistan, Elsavador, Peru, dan negara Amerika Selatan lain. Sebagian besar penumpang adalah lelaki. Sedikit sekali perempuannya.
"Kamu bisa duduk di situ," pengemudi menunjuk kursi di dekat pintu bus. Tempat itu, sesuai dengan gambar di dinding bus, disediakan hanya untuk orang tua, perempuan hamil, dan orang cacat.
Semula Saleha ragu-ragu, namun akhirnya ia duduk.
"Tak ada dari kalangan mereka bepergian malam-malam begini," kata pengemudi.
Bus berjalan merayap di tengah badai salju. Saleha tidak sabar. Ia melirik jam tangannya. Sudah pukul 12.30! Mudah-mudahan mandor memaklumi keterlambatanku karena cuaca yang buruk, harapnya.
Saleha menarik nafas lega ketika akhirnya bus tiba di tempat. Ia meminta pengemudi menghentikan bus di depan pabrik, bukan di halte bus seperti seharusnya. Pada musim dingin, setelah pukul 21.00, pengemudi diizinkan menurunkan penumpang perempuan di tempat yang dekat dengan tujuan, bukan di halte. Keringanan diberikan setelah ada percobaan perkosaan. Untuk berjaga-jaga, perempuan yang bepergian malam dan sendirian disarankan membawa peluit, yang bisa ditiup dalam keadaan bahaya. Saleha mengantungi peluit di saku jaketnya.
Ia lalu berjalan melintasi lapangan parkir, merapatkan jaketnya. Salju turun kian deras dan rapat disertai angin kencang. Malam itu ia tak melihat mobil polisi. Jika ia tak terlambat, pada jam tersebut, selalu ada mobil polisi berkeliling di kawasan industri itu. Pernah, satu malam, mobil itu berhenti di sampingnya, membuat napasnya tercekat. Petugas itu hanya ingin memberinya jalan untuk menyebrang!
"Jaga diri agar tak berurusan dengan polisi," nasihat seorang temannya. "Polisi di sini tak bisa disogok," sambungnya.
Saleha ingat nasihat itu baik-baik. Ia tak pernah menyebrang jalan kala lampu merah kendati tak ada mobil, di tengah malam. Kapan saja polisi bisa menangkap basah lewat kamera yang dipasang di banyak tempat. Ia tak mau menelepon polisi kendati tetangga di atas kamarnya ribut bukan main tiap malam Minggu. Sebisa mungkin ia menjauhkan diri dari wujud polisi.
Ia menarik napas panjang sekali dan mengembuskan tergesa, membayangkan mandor memintanya untuk tidak datang esok hari. Memecatnya secara halus. Ia akan jadi pengangguran besok entah sampai kapan. Ia akan mulai lagi mendatangi agen-agen yang mau memberi pekerjaan. Lantas kepalanya dipenuhi pertanyaan bagaimana membayar uang sewa apartemen, membayar utang ke rentenir, biaya hidupnya, ongkos pulang, biaya anaknya.
Benci memuncak kepada suami yang tega berfoya-foya di tengah kucuran keringatnya. Sumpah serapah pun ke luar dari mulutnya. Sebenarnya ia ingin menjerit sekuat daya untuk memuntahkan beban di dada, namun ia sudah berada di pintu pabrik.
Saleha memijit beberapa angka, kode untuk membuka pintu. Ia masuk ke ruang tempat menggantung jaket. Ia tak mengerti, mengapa tak seorang pun menggantungkan jaket. Ia lalu masuk ke ruang utama tempat ia biasa bekerja. Tak ada siapa-siapa Tak ada suara. Ratusan cd bergelatakan di meja. Juga kardus-kardus yang beberapa sudah setengahnya tersisi.
Tergesa ia masuk ke ruangan mandor. Dia tak ada di sana. Pikirnya, mungkin saja malam itu pabrik tutup karena cuaca buruk. Lalu mandor lupa memberi tahu dia. Perasaannya lega. Malam itu tak akan ada yang memecatnya.
Lalu ia masuk ke ruang istirahat. Di meja ada beberapa cangkir kopi, yang masih hangat. Roti yang belum dibuka bungkusnya. Juga kue-kue yang dikeluarkan dari bungkusnya, tapi belum sempat digigit. Jantung saleha bertalu-talu, bulu kuduknya berdiri. Ia berlari, ingin segera meninggalkan pabrik.
Ia melompat kaget dan menjerit ketika bahunya ada yang menyentuh dari belakang. Ia memejamkan matanya pasrah, tak mau menoleh ke belakang.
"Ini aku."
Saleha membuka mata mendengar seseorang berbicara di depannya. Teman sekerjanya, pria asal Pakistan, yang ia tidak tahu namanya.
"Apa yang terjadi? Ke mana orang-orang?" tanya Saleha.
"Polisi baru saja melakukan razia. Ia menangkap semua pekerja gelap.. Bersyukur busku terlambat. Kusaksikan penggerebekan dari halte..."
Pria itu menghentikan cerita, menajamkan telinga. Bola matanya bergulir ke sana ke mari. Terdengar sirene meraung-raung. Kian dekat jaraknya. Kian dekat sekali, menuju ke arahnya.
Pria itu lari sekencang ia dapat.
Saleha pun lari sekuat ia bisa, mengunci diri di kamar mandi. Nasibnya ditentukan beberapa menit lagi. Akankah polisi menemukan persembunyian? Di luar badai salju masih berlangsung... ***
Montreal, musim dingin 2007 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar