Riau Pos
Minggu, 23 Maret 2008
SEKOLAH PARA SETAN
Cerpen: Musa Ismail
Sekolah itu bagai
rumah setan. Isinya pun laksana setan. Tetapi, sebagaiannya laksana malaikat.
Siswa memekau. Guru linglung laksana hilang akal. Kebingungan berputar. Lalu,
membentur tembok-tembok melangit. Terpelanting sekian depa. Semuanya kandas
pada keyakinan. Setan-setan terbang seperti keyakinan sebagian isi sekolah itu.
Setan-setan tertawa sebagaimana para pemujanya. Para
laknatullah itu menyerang laksana invasi AS terhadap Irak dan Afganistan.
Mereka menyeringai. Melotot. Meneror. Kemudian, masuk ke jiwa yang kering.
’’Kubunuh kalian. Keparat. Kalian kotor. Manusia laknat. Pelaku maksiat,’’
’’Otak dan mataku hilang di sekolah ini!’’
’’Tolong kalian angkat ke musala,’’ Pak Sabri meminta bantuan kepada tiga siswa lelaki. Dua puluh menit,
’’Pikiranmu jangan kosong. Pikirkan Allah. Hati kita harus berzikir. Baca apa yang bisa. Jangan lepaskan bibir dari-Nya. Berjiwalah bagai baja,’’ tangan Bu Murni membelai rambut
Sepuluh menit berselang, dari lantai dua, pekik-pekau bersahutan.
Sekejap saja, beberapa orang tua siswa berdatangan. Mereka diperbolehkan membawa pulang anaknya yang keselap. Sejurus setelah itu, bel pulang didendangkan. Padahal, hari baru pukul 09.00. Belajar pun gagal. Di beberapa sudut, ada kawanan setan terkekeh-kekeh. Si tubuh api itu merasa menang. Mereka melonjak-lonjak. Dengan tubuhnya, mereka telah membakar keyakinan. Semangat juga ikut hangus. Jiwa jadi legam. Ibadah belajar pun ikut kerontong.
’’Manusia tolol. Padahal, kita lebih hina daripada mereka,’’ beberapa setan di sudut sekolah berbual-bual. Tatapan mereka bagai belati karat yang siap menikam hati. Di sekeliling sekolah, ternyata mereka sangat ramai. Jumlah mereka sama seperti jumlah penghuni sekolah itu. Mereka tidur di beberapa labor. Sebagiannya, menghuni kelas.
Di musala.
’’Kalian mengotori rumah kami,’’ suara itu keluar dari mulut Leni, siswa yang masih belum siuman. Tapi, bukan suara Leni. Ijal dan Asri, dua siswa yang pandai meruqiyah, terus saja berupaya. Pak Sabri dan beberapa guru yang peduli ikut mendampingi mereka. Lebih pukul 12.00, barulah tuntas semuanya. Pak Sabri, beberapa guru, dan beberapa siswa tampak letih. Mereka seperti telah kehilangan ribuan kalori. Di atas, langit mendung. Semakin tebal, semakin legam. Dari laut, angin turun begitu kencang.
***
Sekolah itu pun ibarat sekolah walet. Di sekelilingnya, penuh rumah bertingkat. Isinya adalah walet dan para setan. Pemiliknya juga setan. Umumnya, bangunan bertingkat itu adalah rumah walet. Setiap hari sejak pukul 07.00, suara elektronik walet, mematahkan kecerdasan. Diskusi siswa ditelan suara itu. Ceramah guru kalah kuat. Beberapa kali, gangguan ini diekspose di koran. Tapi, suara elektronik walet tetap membingitkan. Perda walet jadi mubazir.
Sebelum ini, sudah beberapa hari para siswa keselap. Sudah pula diupayakan orang pintar untuk mengobatinya. Dari adat mematikan tanah, hingga tahlil, zikir, dan pembacaan Yassin. Kepercayaan-kepercayaan Tionghoa pun pernah membela sekolah ini. Ternyata, tak berlangsung lama. Tak sampai setahun, teror para setan itu kembali mengusik. Semakin parah, kian kacau-balau.
Pukul 08.00, pokok hari gelap. Hasil kesepakatan guru beberapa hari lalu, dilaksanakan ruqiyah massal di laman sekolah. Ustad Jamil, Ustad Aman, dan beberapa temannya memulai dengan ceramah.
Musala sesak. Siswa yang keselap, bergelimpangan. Mereka meracau.
’’Makhluk apa sebenarnya yang mengganggu siswa ini?’’ tanya Taufik. Wartawan itu menyodorkan rekamannya.
’’Setan. Ini adalah gangguan setan. Mereka punya misi membodohkan kita. Juga mencelakakan kita. Itu ’
’’Setan saja?’’ pertanyaan konyol dari Seto, wartawan yang lainnya.
’’Ya. Setan cinta dan setan lainnya. Setan cinta agak payah. Mereka mencintai siswa yang dirasuki. Kebetulan semua siswa putri. Mereka sulit untuk dipisahkan jika sudah jatuh cinta. Semoga dengan ruqiyah ini, Allah memperkenankan upaya kita,’’ wajah ustad itu tampak lesu sekali.
’’Apa ada jaminan?’’
’’Jaminan apa?’’
’’Jaminan mereka tak meneror lagi.’’
’’Tidak ada jaminan begitu. Maksiat bisa mengundang mereka. Mereka memang bertugas menyesatkan kita. Itu sampai kiamat.’’
Hari itu, belajar juga gagal. Beberapa orang tua, protes.
’’Elok anak saya tak sekolah, Pak. Kasihan dia tersiksa,’’ seorang ayah yang mengaku menyayangi Leni, anaknya.
’’Kalau gitu, kita kalah, Pak,’’ Pak Sabri membalas. ’’Ke mana Bapak campakkan kasih sayang kepada anak Bapak?’’
’’Tapi, saya tak sampai hati melihat dia begini terus,’’ tangkis orang tua itu lagi.
’’Kita harus terus melawan. Harus bisa melawan. Mereka adalah musuh kita yang nyata,’’ Pak Sabri mencoba memberi pengertian. Orang tua itu diam. Dia pergi diam-diam. Leni diangkut pakai becak. Badannya terkulai. Kepalanya telentok.
***
’’Ini adalah gambaran dosa kita,’’ Pak Sabri tercocol di depan semua. Beberapa guru, ada yang menggerutu karena tak setuju dengan Pak Sabri. Untuk mengakui suatu kesalahan, memang perlu perjuangan. Perjuangannya lebih berat daripada menghamburkan beribu kebaikan, lebih berat daripada melawan setan. Dari lantai 2, Pak Sabri terus memandang lingkungan sekolah. Matanya menatap labor, menatap wc, rumah-rumah walet, kelas. ’’Dasar setan. Mereka ada di mana-mana,’’ pikiran Pak Sabri bercelaru. Mata hatinya merasakan setan-setan bergentayangan di sekolah itu. Sepanjang perjalanan pulang dengan sepeda motor tuanya, Pak Sabri masih sedih. Di sekolah itu, terlalu banyak jiwa yang kering.
Seminggu kemudian, para setan kembali menyerang. Mereka menelan otak, mata, telinga, dan mulut sekolah itu. Dasar setan!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar