Kamis, 02 Februari 2012

Tak Bisa Pulang Cerpen: EH Kartanegara


Republika
Minggu, 10 Juni 2007

Tak Bisa Pulang
Cerpen: EH Kartanegara

Malam mulai larut dan kampung pun sudah sangat sepi. Angin malam menghembuskan hawa dingin mengandung embun, tapi punggung lelaki itu tarasa basah dan lengket oleh keringat.

Tiga jam lebih dia berkeliling di desa itu, jalan kaki memasuki kampung demi kampung, mencari rumah emaknya, ya emaknya sendiri, perempuan yang melahirkan dan membesarkan dia bersama tiga saudara kandungnya di desa itu, Desa Girimulyo.

"Benar di sini kampung Girimukti, Desa Girimulyo, tapi setahu saya tak ada yang bernama Mak Turah," jawab seorang lelaki terakhir yang dia tanya beberapa menit berselang.

"Mak Turah, istri Pak Putut. Putut Kintir yang sudah lama meninggal," kata dia dengan perasaan putus asa.

"Saya asli orang sini, tapi rasanya tak ada yang bernama Mak Turah, juga Pak...."

"Pak Putut Kintir."
"Ya...," ujar lelaki itu seraya merapatkan kain sarung yang dipakainya sebagai kerudung untuk menahan hawa dingin. "Maaf, Nak ini sebenarnya siapa, dari mana dan mau ke mana?"

Sudah capai dia, sejak pertama tiba selepas Maghrib, entah sudah berapa kali dia memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangannya ke desa itu. Setiap orang di desa sepertinya berhak mengetahui urusan pribadi orang lain: "Sampeyan ini siapa, dari mana dan mau ke mana?" Lagu kuno yang masih saja diputar berulang-ulang.

Seandainya dia tadi lekas menemukan alamat yang tepat, ceritanya tentu tak seruwet sekarang. Ketika memasuki gerbang desa yang ditandai pohon beringin yang konon berumur ratusan tahun, dia yakin benar memasuki kampung halamannya sendiri. Dengan yakin pula dia bilang pada tukang ojek yang menghampirinya: "Kemuning."

Setelah berputar-putar di desa itu dan, aneh, beberapa orang yang ditanya tak seorang pun tahu nama Mak Turah, akhirnya dia datang ke rumah Pak RT. "Sudah tujuh tahun lebih saya menjadi RT di sini, dan saya sendiri juga asli orang sini, tapi setahu saya ada tiga nama Turah," kata Pak RT sambil membuka buku daftar nama warganya.

"Turah istri Pak Gondo, bekas lurah, Turah bakul singkong yang sudah meninggal empat tahun lalu, terus satu lagi Turah Ngaturah, sudah dua tahun di Arab Saudi jadi TKW."

Tak salah, Pak RT di desa adalah orang yang paling hapal di luar kepala semua nama, alamat, pekerjaan, anggota keluarga, bahkan riwayat hidup para warganya. Jangankan warga yang masih hidup, entah tinggal menetap atau merantau, nama warga yang telah mati pun dia hapal. Sungguh mustahil rasanya kalau dia sampai tak kenal Mak Turah, istri Putut Kintir, yang punya anak lelaki sulung bernama Sulani, yang sudah sepuluh tahun lebih merantau ke kota dan sekarang pulang ke kampungnya karena menerima kabar emaknya meninggal.

"Sulani?" bisik Pak RT seperti kepada dirinya sendiri. Jika benar-benar mengenal Sulani, mustahil rasanya dia harus mengaduk-aduk ingatannya begitu dalam.

Setelah mengucap terima kasih, dia mengambil tas punggunya, lalu jalan kaki meninggalkan rumah Pak RT tanpa tahu entah mau menuju ke mana lagi. Tawaran Pak RT untuk mengantarnya, dia jawab, "Tak usah Pak RT, terima kasih."

Dia menyusuri jalan desa yang di kanan dan kirinya ditumbuhi tananam perdu yang meranggas. Suasana di sekitarnya kadang gelap, dan kadang berubah temaram oleh pantulan cahaya sepotong bulan yang sembunyi di balik awan. Jalan itu kadang terasa mendaki, berbatu-batu, kadang menurun dan berbelok. Dia rasakan ayukan kakinya makin lama makin pelan seakan sedang menghitung langkahnya sendiri.

"Sampeyan ini siapa, dari mana dan mau ke mana?" pertanyaan banyak orang tentang dirinya masih terngiang-ngiang di telinganya. Dia heran, mengapa orang-orang itu bertanya begitu. Pertanyaan seperti itu, dia pikir, hanya pantas ditujukan buat orang asing; orang yang bukan berasal dari desa itu. "Lha, aku ini 'kan orang desa ini, masak dianggap orang asing," kata dia dalam hati. Tiba-tiba dia merasa pantas untuk tersinggung diperlakukan sebagai orang asing.

Dia tahu benar bahwa desa itu telah jauh berubah. Dulu pun ketika memutuskan untuk meninggalkan desa tempat dia dilahirkan, karena dia tahu betul bahwa desa itu telah berubah. Sungai sudah mengering dan tak ada lagi sepetak tanah yang bisa ditanami padi, jagung, atau singkong. Bahkan untuk memberi makan dua atau tiga ekor kambing saja, orang perlu berjalan jauh ke desa tetangga di balik bukit sekadar mendapatkan sekeranjang rumput atau dedaunan.

Hanya karena keajaiban saja, orang bisa bertahan hidup di desa itu. Bukan mengada-ada bahwa orang harus makan batu dan tanah galian yang keras untuk hidup. Di sela-sela perut perbukitan yang telah gersang dan mengering masih menyimpan bebatuan. Orang-orang menggangsirnya untuk mencari batu-batu lalu dijual kepada para tengkulak bahan bangunan. Sisa-sisa tanah galian kering dan keras juga dijual untuk bahan campuran membuat batu bata.

"Sul, jadi ikut aku ke kota?" tanya Marjani, tetangga dan teman sepermainan di masa kecil dulu.

"Hemm... bagaimana ya... Aku tunggu izin emak," kata Sulani ragu. "Kalau mau ikut, aku berangkat lusa."

Sudah lama Sulani memendam keinginan merantau ke kota seperti banyak lelaki lain di desa itu. Tak penting lagi kerja apa di kota. "Yang penting berangkat saja dulu, nanti di sana banyak pekerjaan," kata beberapa teman yang sudah lebih dulu merantau ke kota. Nyatanya, mereka sudah pada kerja dan membawa pulang penghasilan ke desa. Bahkan beberapa di antara mereka yang bisa membangun rumah, membeli sebidang tanah, atau sepeda motor. Banyak pula yang tak mau lagi pulang ke desa.

Suatu hari desa geger karena Mak Turah berulang kali pingsan. Sulani, anak sulungnya yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarga, sudah beberapa hari dikabarkan hilang. Benar-benar hilang atau menghilang entah ke mana, tak ada yang tahu. "Tak ada lagi lelaki di rumah ini. Bapaknya mati, dan sekarang anaknya tak jelas berada di mana," gumam Mak Turah di antara tangisnya.

Beberapa tahun kemudian barulah tersiar kabar bahwa Sulani menjadi pemulung di kota. "Saya 'kan berteman dengan dia sejak kecil. Masak saya lupa padanya," kata Bero, tetangga Mak Turah, yang menjadi kuli bangunan di kota. "Saya yakin, dia benar Sulani. Saya ketemu dia sedang mengumpulkan sisa-sisa kayu untuk selanjutnya diangkut dengan gerobak. Katanya, dia baru mau pulang kalau sudah kaya."

Dia belum kaya ketika mendengar kabar emaknya meninggal. Berbekal uang seadanya, dia putuskan pulang ke desa untuk melayat. Namun sekarang dia merasakan keganjilan yang tak sepenuhnya dipahami. "Tak seorang pun di sini mengenalku, dan rasanya desa ini juga bukan desaku yang dulu," bisiknya dalam hati disertai keyakinan bahwa dirinya tak akan berubah menjadi batu.***

Denpasar, April 2007

3 komentar:

  1. unsur intriinsik dan nilainya,, tolong dijelaskan.

    BalasHapus
  2. unsur intriinsik dan nilainya,, tolong dijelaskan.

    BalasHapus
  3. Apa unsur intrinsiknya dengan unsur ekstrinsiknya?

    BalasHapus