Kamis, 02 Februari 2012

Ruslan Tak Pulang Cerpen: Fakhrunnas MA Jabbar


Suara Pembaruan
Minggu, 08 Juli 2007

Ruslan Tak Pulang
Cerpen: Fakhrunnas MA Jabbar

SUNGAI Jangkang yang bermuara ke Selat Malaka itu masih berkirim riak ke bibir pantai. Embun dinihari pelan-pelan menyelubungi perkampungan pesisir itu. Bau maung asin laut terasa makin deras dilambungkan angin. Burung malam masih bersahutan. Sebuah tongkang kayu yang masih dipancangi layar kusam baru saja menyandar di pelantar kecil. Puluhan orang -laki-laki dan perempuan- dengan wajah letih menjinjing -dan ada juga menjunjung- koper terkunci berukuran lumayan besar. Seulas senyum masih tergores di bibir sebagian orang.

"Syukurlah, awak dah pulang dengan selamat. Tak ada halangan apa-apa di perjalanan?" tegur Wak Saman, lelaki berusia senja itu, sambil menghentikan langkahnya. Padahal ia ingin ke surau untuk menunaikan sholat subuh. Lelaki setengah baya yang ditegur juga ikut berhenti.

"Biasalah, Wak. Setiap pulang, tak pernah lancar. Waktu separuh jalan tadi, kami sempat disiasat Polis Diraja. Untunglah Tekong Ripin piawai juga menghindar di sebuah pulau kecil. Tongkang segera dihentikannya dan layar diturunkan. Memang kami sempat dimainkan ombak. Syukur, kami bisa selamat," tanggap Rauf.

Pembicaraan terhenti sejenak ketika puluhan orang yang baru pulang dari Negeri Jiran itu terus lalu-lalang menuju tempat penampungan di rumah Tekong Ripin yang tak berapa jauh dari situ. Wak Saman, lelaki tua yang sangat dihormati di kampung itu mencoba menatap satu demi satu kumpulan orang yang baru pulang itu. Meski tak begitu jelas karena suasana malam terasa kental berbaur tetesan embun, tapi langit yang cukup cerah saat itu masih membiaskan cahaya ke wajah-wajah yang lalu-lalang.

"Ruslan mana?" tanya Wak Saman sekenanya.

"Dia memang tak ikut tongkang kami. Tapi dua hari lalu, kami bertemu di sekitar Chow Kit . Dia dah berkemas-kemas untuk pulang juga. Mungkin dia ikut Tekong Bujang Dagang. Dia dah jadi langganan sejak membawanya pertama kali menyeberang. Kalau tak salah, dia berangkat pada hari yang sama dengan kami."

"Aku bertanya soal Ruslan bukan apa-apa. Bini dan anak-anaknya dah rindu betul. Maklum sudah tiga tahun ini dia tak pulang.... Hampir tiap hari, aku menengok anak-bininya bermuram durja. Alamak, kasihan betul aku....," kata Wak Saman sambil berdecak dan menggeleng kepalanya beberapa kali.

"Sudahlah, Wak. Kita berdoa saja, semoga tahun ini Bang Ruslan pulang dengan selamat."

"Betul, Rauf. Tapi aku mendengar di radio seberang, Polis Diraja Malaysia makin memperketat pelabur-pelabur asing yang tak punya dokumen, supaya lekas meninggalkan negeri itu. Alasannya, semakin banyak pelabur asing, semakin banyak pula tindak kejahatan di sana. Apalagi, yang pelaku kejahatan itu kebanyakan orang- orang kita."

"Betul, Wak. Kami pun pulang tahun ini, entah bisa balik lagi entah tidak. Sebab, Pemerintah Malaysia dah buat maklumat di mana-mana supaya pelabur asing cepat-cepat balik ke negeri masing-masing. Kalau tidak, barang siapa yang tertangkap bakal kena rajam. Alamak, siapa kuat menahan kena sebat sampai sepuluh kali.... Sudah itu, harus pula masuk jil sampai berbulan-bulan. Tak terbayanglah, Wak..."

Keduanya berpisah saat azan subuh berkumandang di surau kecil di kampung itu. Kampung Jangkang memang sejak lama dijadikan tempat pemberangkatan para pencari kerja asal Indonesia ke negeri jiran Malaysia. Banyak tekong yang benar-benar piawai memberangkatkan para pencari kerja tidak hanya orang tempatan tapi juga para pendatang dari tanah Jawa atau bagian Sumatera lainnya. Dengan menyetorkan uang ratusan ribu rupiah kepada tekong biasanya si pencari kerja sudah bisa sampai ke negeri seberang. Bahkan, melalui agen-agen gelap, si pencari kerja bisa pula diterima bekerja di sana. Soal kerja bisa beragam. Tapi kebanyakan di antaranya diterima bekerja di kawasan perkebunan sawit dengan tugas mendodos buah sawit. Tapi sebagian yang lain ada pula yang bekerja sebagai pelabur bangunan.

Ruslan, lelaki baik dan santun, memang patut dikenang orang-orang di kampung itu. Sebab, sebelum dia mencoba mengadu nasib di negeri jiran itu, ia dikenal sebagai guru mengaji. Ia punya cita-cita untuk membangun pesantren di kampungnya agar anak-anak di sana punya moral yang baik. Hidup dengan cara mengajar anak-anak didik mengaji di surau yang mengharapkan sekeping dua keping duit iuran dari orangtua murid, nampaknya tak cukup menghidupi seorang istri dan tiga anaknya yang masih kecil. Yang besar masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Dan yang kecil pun masih menyusu pada ibunya.

Wak Saman memang tak punya hubungan saudara-mara dengannya. Tapi rumah mereka bersebelahan. Jadi, apa pun yang dibuat tetangga dekatnya itu, pastilah lelaki tua tersebut tahu banyak akan segala hal yang menimpanya.

"Apa hal dengan Ruslan, Nur? Apa betul dia tak pulang juga tahun ini?" tanya Wak Saman selepas seminggu rombongan pekerja yang diangkut Tekong Ripin tiba di kampung itu.

"Entahlah, Wak. Belum ada kabar-berita tentang Bang Ruslan. Orang-orang banyak cakap bahwa Bang Ruslan sudah berencana pulang tapi dia naik tongkangnya Tekong Bujang Dagang. " sahut Nurhaida, istri Ruslan.

"Ya, aku pun dapat berita bahwa tongkang Bujang 'tu, berangkat selang 2-3 jam saja dari tongkang Ripin. Tapi aku akan cari kabar yang jelas soal ini." kata Wak Saman mencoba menghibur. Sebelum meninggalkan halaman rumah Ruslan itu, Wak Saman sempat juga membelai rambut anak Ruslan yang bungsu.

Ruslan tak pulang tahun ini. Tampaknya hal itu sudah jadi berita pasti di kalangan orang kampung. Cerita dari mulut ke mulut pun semakin jelas. Ada banyak orang yang mendengar radio dan televisi Malaysia -hanya siaran itu yang bisa ditangkap di kampung itu karena terpelosok di pesisir Selat Malaka- bahwa sebuah tongkang yang mengangkut pekerja Indonesia sempat karam. Tak kurang dari 60 penumpangnya raib. Pencarian pun masih terus dilakukan.

Karamnya tongkang yang mengangkut pekerja-pekerja Indonesia ke Malaysia sudah jadi berita biasa bagi orang-orang kampung itu. Sebab, tongkang kayu yang menggunakan layar pancang saat menyeberangi Selat Malaka yang terkenal gelombangnya yang ganas -apalagi di Musim Utara- telah sering menenggelamkan tongkang-tongkang tidak hanya kepunyaan orang tempatan tapi juga kampung lain di kawasan Pulau Bengkalis yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka.

Banyak kerisauan di benak Nurhaida, istri Ruslan dan orang-orang kampung lainnya. Semakin jauh rentang jarak waktunya, semakin bertambah pulau kegalauan Nurhaida. Ruslan baginya adalah segalanya. Tumpuan segala persoalan hidupnya. Tumpuan rezeki untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil. Berbagai bayangan menakutkan selalu mengisi mimpi-mimpi buruk perempuan kulit putih dan bersahaja yang suka berkerudung itu. Bukan apa-apa. Jangan-jangan, Ruslan benar-benar tenggelam di Selat Malaka yang selalu meniupkan maung air mata ke bibir pantai yang dipenuhi kayu bakau. Tapi bagi orang Melayu seperti Nurhaida walaupun kematian tak bisa ditepis begitu saja, setidak-tidaknya masih ada jejak kubur yang bias diziarahi seketika.

Namun, bayangan hitam mengerikan yang muncul mengisi belahan benaknya, andaikan Ruslan berhasil diselamatkan. Lantas, ia ditangkap Polis Diraja. Sudah banyak cukup bukti, orang-orang sempat masuk jil di sana bakal tak pulang dengan selamat. Entah benar entah tidak, ada beberapa orang kampungnya yang hingga kini jadi senu setelah keluar dari jil semacam itu. Katanya -ya, ini katanya- Kurmain, salah seorang di antaranya, jadi kacau setelah disuntik anjing gila.

Ampun! Nurhaida menutup kedua telinganya saat di tengah-tengah malam yang dilabur ombak pasang yang deras tak kuasa juga memicingkan mata. Arus pikirannya selalu bermuara pada Ruslan. Tanpa terasa, setahun berlalu begitu saja yang memaksa perempuan berhati lembut itu berjualan lontong di depan rumahnya. Ia merasa harus jadi perkasa ketika sang suami sudah tak bersamanya lagi. Apalagi, Nurhaida sudah yatim-piatu sejak berumur 9 tahun. Ia dibesarkan dan disekolahkan oleh orang-orang kampong termasuk Wak Saman.

Nurhaida membuang jauh-jauh sifat manja perempuan Melayu. Apalagi saat bersuka-ria bersama suami. Tapi Nurhaida tak pernah mengubur kerinduannya pada Ruslan, sang suami. Setiap ada rombongan pekerja yang pulang dari negeri jiran itu, Nurhaida tak luput bertanya kian-kemari. Kerinduan dan kegundahan selalu berbaur mengisi hari-hari sepi Nurhaida bersama anak-anaknya. Semakin banyak berbilang tahun sejak kepergian Ruslan, semakin banyak pula kabar berita yang menyebutkan Ruslan telah mati tenggelam saat pulang. Bagai batu karang yang terus digerus ombak dahsyat, Nurhaida tak kuasa juga bertahan dengan kesendirian. Ia butuh seorang sosok ayah bagi anak-anaknya yang makin memahami arti kasih sayang.

"Sebagai perempuan, kau telah cukup bersabar. Apalagi, kita semua merasa pasti, Ruslan mungkin sudah tiada. Aku tak bisa berbuat banyak dalam soal ini. Penantian yang tak berujung, memang menyakitkan. Kalau...." Suara Wak Saman terhenti karena matanya berkaca-kaca dan suaranya sesegukan tiba-tiba.

"Maksud, Wak... saya menikah lagi?" sela Nurhaida dengan kelopak mata ternganga.

"Aku tak menyuruh. Dan tak pula melarang. Tapi ada baiknya kau pertimbangkan masa depan anak-anak..." tutur Wak Saman berpetuah.

Dorongan Wak Saman jugalah yang membuat Nurhaida tak kuasa menolak pinangan Juned, lelaki bujang yang baru selesai kuliah di tanah Jawa. Sebagai anak jati kampong Jangkang, Juned memang bertekad untuk kembali ke kampong halaman. Membangun kampung dengan tetesan darah dan keringat sendiri. Banyak kawasan pantai yang bisa dibuat tambak ikan dan udang. Bila peruntungannya baik, ia akan melanjutkan cita-cita Ruslan membangun pesantren.

Setelah tujuh puasa dalam kehidupan Nurhaida bersama Juned, jantung perempuan bagai berhenti berdetak. Kepulangan Tekong Ripin yang terakhir, membawa berita yang tak pernah dibayangkannya. Sebab, Ruslan secara tak sengaja ikut pulang bersamanya. Tapi Ruslan bukan lagi yang dulu. Bukan Ruslan yang cerdas, cendikia atau cekatan. Ruslan yang dibawanya pulang benar-benar telah berubah akal. Pakaiannya sobek-sobek dan kumal karena dibiarkan lama terlantar di pesisir pulau lain yang penghuninya tak sampai seratus orang. Sudah biasa terdengar bila pihak keamanan Negeri Jiran membuang pekerja Indonesia begitu saja di kawasan pesisir. Tekong Ripin tak tahu pasti sudah berapa lama Ruslan terdampar di pulau itu. Tapi, menurut orang-orang setempat, lelaki yang dikenal sebagai lelaki senu itu sudah berbulan-bulan terdampar di situ. Tak ada yang peduli. Sebab, Ruslan pun tak tahu lagi siapa dirinya.

Saat Tekong Ripin membawa Ruslan ke rumah Wak Saman, lelaki tua itu sangat berhati-hati memberitahu Nurhaida. Tapi kampung 'sebesar lepat' memang tak bisa berahasia. Kabar cepat menyebar ke penjuru kampung bahwa Ruslan memang masih hidup tapi sudah jadi senu. Ia tak bisa lagi mengenal orang-orang termasuk anak-bininya.

Nurhaida membatin saat berhadapan dengan Ruslan yang kurus dan kuyu itu. Airmatanya menggelinding di puncaknya pipinya yang ranum. Ketiga anaknya yang lahir dari benih Ruslan ditambah dua anak lagi dari pernikahannya dengan Juned, ikut mematung meskipun hanya anak tertua yang mulai paham apa yang menimpa diri sang ayah. Juned pun tak kuasa menatap keadaan Ruslan yang pangkat abang baginya.

"Kita bersyukur, Ruslan pulang juga akhirnya...," hibur Wak Saman memecah keheningan malam itu.

"Ya, Ruslan sudah pulang walaupun keadaannya sudah jauh berbeda. Bukankah ini jauh lebih baik bila ia lenyap begitu saja?" tambah Tekong Ripin yang ikut bersimpati.

Nurhaida memeluk Juned kuat-kuat meski anaknya yang paling bungsu merengek ingin disusui. Nurhaida makin membenamkan wajahnya ke dada Juned. Perasaannya berbaur antara gundah dan nestapa. Ada penyesalan berlabuh di hatinya yang kosong. Mengapa Ruslan pulang ketika batinnya tak siap menerima?

"Kita syukuri, Ruslan pulang juga akhirnya...," bisik Juned di telinga Nurhaida.

Perempuan yang berwajah molek itu menengadah dan menerawang. Berulang-ulang kepala menggeleng. Dalam genangan danau air mata yang kini mengalir ke batinnya, Nurhaida tetap saja merasa Ruslan tak pernah pulang. Ruslan hanya ada di awang-awang.***

Pelalawan, 0307

Tidak ada komentar:

Posting Komentar