Kamis, 02 Februari 2012

Teratai Malam Cerpen: Nugroho Sukmanto


Jawa Pos
Minggu, 08 Juli 2007

Teratai Malam
Cerpen: Nugroho Sukmanto

"Aku mengerti, kalau Mas tak mau menjengukku di Sukamiskin. Aku berjanji, ini terakhir kali aku merepotkan. Tolong pulangkan adikku ke Singkawang! Aku hamil, tak ingin aku melihat dia meratapi kakaknya yang diperlakukan lebih hina dari binatang."

Walau hanya terpancar dari kertas selembar, aku bisa merasakan. Saat menulis surat itu, Lidya tidak menangis. Mungkin dia telah pasrah berada di puncak kepedihan. Tak seperti biasanya --paling tidak tiga kali; sekali berhadapan, kedua melalui telepon, dan ketiga lewat SMS-- dia tumpahkan kekesalannya dengan linangan air mata.

Sepengetahuanku dia hanya menangis karena kesal. Kadang sebagai ungkapan kesedihan. Hanya sebentar, tidak pernah melepas tangis berlama-lama meratapi suratan. Karena, meratap tidak menghadirkan jalan keluar. Meratap itu cengeng. Meratap itu resah. Meratap itu lemah, tanda putus asa, tiada gairah. Itu yang dia camkan di dalam dada dan kepalanya. Nasihatku saat pertama kali bertemu. Tetapi, tanpa nasihatku pun, perangainya selalu riang, sebagai gadis yang terbiasa hidup sengsara di desa berbalut kemiskinan, permukiman keturunan Tionghoa yang berbaur dengan masyarakat Dayak di Kalimantan.

Lidya, itu nama pemberianku. Di kampung dia dipanggil Ye Lian yang berarti "teratai malam". Adalah harapan ayahnya, dia akan seperti teratai. Bunga lambang kesucian dan kekuatan, yang selalu mengambang di atas air; penanda kehidupan, tetapi sekaligus pendulang bencana. Dan, dia akan tegar dalam keadaan sesulit apa pun, yang dilambangkan gelapnya malam.

"Mendiang Papa meminta aku dapat bertahan hidup dalam bencana dan kesulitan," tuturnya.

"Aku menangis karena kesal. Bukan karena sedih!" Dia menegaskan. Waktu itu aku marah melihatnya menyeka genangan di sela kelopak matanya, saat disorot kamera.

"Mengapa gampang sekali kamu menangis di depan publik, sih? Memalukan!" hardikku kemudian.

"Karena pembelaanku selalu sia-sia. Tak dapat membalas perlakuan yang semestinya tak kuterima."

Ternyata kekesalannya melahirkan ganjalan menyumbat saluran pernapasan. "Dengan menangis, ganjalan itu serasa mencair dan kemudian mengalir menggenangi kedua mataku," kilahnya.

Aku pun terdiam dan bertambah yakin bahwa dia kuat, tegar, dan tabah. Tetapi kekuatan, ketegaran, dan ketabahan yang dia miliki, tak pernah mampu menepis kenaifan seorang perempuan, sehingga dia selalu mudah dipecundangi. Dasar perempuan udik! Begitulah omelanku, setiap kali menyaksikan dia salah melangkah, lalu terjerembab. Tapi aku yakin dia tidak dungu, hanya terlalu lugu.

Dia banyak teman, tetapi hampir semua mengkhianati. Dia banyak kenalan, tetapi hanya ingin menikmati pesona diri yang dia miliki. Dan, yang memacari terakhir ini, tenggelam oleh aura dan kharismanya, kemudian hanya berharap mendapat percikan materi. Materi hadiah-hadiah suaminya, saat dia masih berstatus sebagai istri anak seorang taipan, pemilik pabrik baja asal Kalimantan juga.

Saat dia menceritakan perceraiannya aku hanya dapat mengelus dada. Ternyata dia tidak mensyukuri nikmat. Kehidupan mapan yang seharusnya dinikmati, dia korbankan demi aktualisasi diri; menjadi pemain film, peragawati, merangkap sebagai penyanyi. Mungkin dia lebih puas berpredikat sebagai seorang selebriti. Untuk itu aku merasa bersalah, karena akulah yang mendorongnya agar berprestasi di bidang yang potensi dirinya bisa tampil, menjalani pilihan profesi.

Memang bukan kemewahan dan bukan materi berlebihan yang pernah kuberikan. Hanya sebatas mencukupi kebutuhan agar dia memiliki kemampuan dan pengetahuan saat terjun di dunia fashion dan entertainment. Ternyata, peningkatan penguasaan bahasa sebagai alat komunikasi, latihan peragaan busana dan olah vokal, serta kursus kepribadian yang dia ikuti, mampu mengubah citra dirinya. Dari seorang gadis desa yang hanya berpendidikan menengah rendah, menjadi salah seorang idola di dunia tarik suara dan primadona di panggung peragaan busana. Namun, kegairahannya berprestasi ternyata telah melampaui kesadaran akan kodratnya.

"Kamu telah mengingkari kodratmu sebagai perempuan, yang berkewajiban menjalani kehidupan sebagai seorang istri, yang harus siap menjadi ibu. Bahagia dalam pengabdian kepada suami dan keluarga," begitu saat itu aku mengingatkan.

"Tetapi apa salahnya sebagai istri aku tetap menekuni profesi?"
"Kehidupan bersahaja di lingkungan keluarga suamimu, tak akan menolerir sikap dan tindakanmu. Mungkin suamimu tidak keberatan, karena dia berpendidikan, lulusan universitas di negara liberal, Amerika. Tetapi aku kenal keluarganya, yang santun dan sangat religius." Aku menambahkan, "Yang juga semestinya kamu syukuri, mereka sangat menyayangi kamu."

"Iya sih, apalagi ibu mertuaku." Terlihat keharuan dan sedikit penyesalan di wajahnya. Tetapi sekejap berubah menjadi ungkapan keheranan saat mengucapkan, "Tetapi ternyata terbalik. Justru suamiku yang keberatan. Sementara keluarganya mendukung, asal aku masih dapat menjaga diri, tidak melampaui batas-batas kesopanan dan juga tidak menimbulkan citra yang mencederai nama baik keluarga."

"Karena alasan cemburu, kalau begitu! Atau dia menjadi sangat posesif setelah menikah."

"Memang lelaki selalu begitu?"
"Itu tanda dia sangat mencintaimu. Tetapi jangan terlalu naif, itu bisa juga berarti ketidaksetujuan seluruh keluarga, yang diungkapkan lewat pernyataan dan sikap suamimu. Kadang-kadang agar terlihat bijak, orang tua harus bersikap hipokrit."

"Aku tak mau menengok ke belakang, terus-menerus dihantui penyesalan. Yang sudah ya sudah."
Kini Lidya harus menjalani hidup lajang lagi. Berstatus janda kembang. Kurasakan, tersirat kekesalannya saat dia mengatakan, "Mas nggak mau menjadikan aku sebagai istri sih. Kalau mau, dari dulu kan aku bisa konsentrasi menjalani profesi, sampai suatu saat aku merasa siap hijrah ke Hongkong, sebelum ke Holywood."

"Poligami tak ada dalam kamus hidupku. Sedang menjadi wanita simpanan, memunculkan citra yang tidak menunjang perjalanan karirmu." Aku tekankan lagi seperti yang pernah kusampaikan kepadanya, dulu.

Lidya selalu berusaha terlihat tegar dan ceria. Tetapi, menatap ke depan, sendirian, dia seperti kehilangan pegangan. Terkesan seperti wanita yang sedang menjajakan diri. Menggelayuti lelaki, bergonta-ganti ke sana-kemari. Sampai suatu saat aku terkejut. Sepertinya dia berpacaran dengan Bram, pemain tenis nasional yang beristrikan anak seorang perwira tinggi polisi. Gila, aku bergumam saat membayangkan. Kalau istri Bram tahu, celakalah keduanya.

Ternyata benar, SMS-SMS mereka terbaca istri Bram.
Saat kuterima telepon dari Lidya, aku sudah menduga, dia pasti akan berkeluh-kesah dan berujung meminta saran.

"Mas, aku dikejar-kejar dan diancam."
"Oleh siapa?"

"Preman-preman suruhan istri Bram. Aku harus berbuat apa? Istri Bram minta bertemu."

"Temui saja! Selesaikan persoalannya."
"Pasti dia akan marah besar, lalu bisa berbuat seenaknya. Apa aku harus tinggal diam?!"

"Kalau kamu menantang itu bisa terjadi. Dan, perlawananmu akan sia-sia. Merendah saja. Itu lebih baik!"

"Merendah bagaimana?"
"Mengaku saja sebagai pelacur."

"Gila, hina amat!"
"Percayalah, pengakuan sebagai wanita bayaran akan menyelamatkanmu." Lidya tak menjawab.

"Kenapa kamu diam? Pasti kamu sedang menangis?!"
"Aku kesal. Bram ternyata bukan laki-laki. Mestinya dia yang harus menghadapi istrinya. Bukan aku!"

"Kan dulu sudah kubilang, jangan pacaran dengan suami orang yang tak berpendirian."
"Kalau ditanya, aku harus mengatakan dibayar berapa?"

"5 juta sekali ketemu."
"Yang benar saja. Pemain sinetron dan presenter setingkat di bawahku saja, tarifnya 20 juta sekali tampil!"

"Kalau tahu suaminya membayar mahal, dia tambah naik pitam. Sudahlah ikuti saja kata-kataku."

"Lalu kalau dia tanya tentang kata-kata mesra di HP suaminya yang sudah dia copy?"
"Bilang, itu yang menjawab adik atau asisten kamu yang sok tahu. Apa susahnya?!"

"Kenapa sih kamu dekat dengan Bram?" aku jadi ingin tahu.
"Dia menawari aku jadi freelance PR hotelnya yang akan dibangun di kawasan Mega Kuningan. Eh, ujung-ujungnya dia hanya ingin mengajak kencan."

Pengakuan-pengakuan Lidya di hadapan istri Bram ternyata mampu meredam kemarahan. Kecemburuan istri Bram beralih menjadi kekesalan kepada suaminya yang ternyata senang "jajan" di luar rumah. Walaupun diliputi kemarahan, istri Bram masih bisa memaafkan, karena hubungan Lidya dan suaminya hanya dilandasi transaksi kebutuhan penyaluran birahi, bukan jalinan percintaan seperti yang semula dibayangkan.

Tetapi, kemarahan istri Bram yang telah reda, seketika meluap kembali, ketika mengetahui Lidya masih berhubungan dengan suaminya.

"Mas, aku sedang menjalani interograsi di kantor polisi." Kutangkap SMS-nya.
"Kenapa?"

"Bram menuntut pengembalian pinjaman uangnya."
Lidya memang pernah bercerita. Tak lama berkenalan, Bram meminjamkan uang kepadanya Rp 500 juta. Selesai interograsi, Lidya kutemui.

"Katanya bisa dikembalikan kapan saja?"
"Dia marah mendengar pemberitaan di koran yang mengatakan aku menolak ajakan untuk menemaninya saat bertanding di Korea."

"Salahmu. Kenapa berkoar-koar?!"
"Bukan aku yang mengatakan. Shinta, dia terpancing wartawan! Sekarang kupecat dia. Dasar asisten gila sensasi!" Lidya terlihat berang.

"Selesai persoalannya?"
"Belum. Lewat seminggu aku tak membayar dia akan memperkarakan sebagai tindak pidana penggelapan."

"Kamu sudah punya uang untuk menutupnya?"
"Kalau terpaksa akan kujual berlian-berlian hadiah perkawinan ini. Tapi, aku akan rugi satu miliar karena berlian itu tanpa surat-surat, harganya jatuh hingga separo."

"Surat-suratnya hilang?"
"Tidak. Disimpan Bram."

"Kenapa nggak kamu minta?"
"Mana mungkin dia mau memberikan. Apalagi sebentar lagi kasus ini akan mencuat di media massa. Dia yang pengecut, aku yakin akan takut tersangkut. Sertifikat yang dikeluarkan Rosenbloom Jewellry Store, London, pasti terlacak wartawan."

"Tetapi, aku curiga, ini ulah istri Bram, karena dia hanya mengirim pengacara dan preman-preman yang dulu mencariku," Lidya menambahkan.
"Mungkin. Karena melibatkan persoalan harga diri. Tersinggung, suaminya ditolak tidur oleh pelacur. Ha, ha, ha." Aku bercanda.

"Sialan ... Tapi bisa jadi!"
Seperti diduga, ternyata bukan Bram yang berinisiatif menuntut pengembalian uang yang kupinjam itu, melainkan istrinya.

Akhirnya seperangkat hadiah perkawinan lepas untuk menyelamatkan Lidya dari penjara. Tetapi, mendekam di hotel prodeo ternyata memang sudah garis tangannya.

Mendengar Lidya mengalami kerugian saat menyelesaikan utangnya, Bram meminta maaf dan menawarkan sebuah kesempatan untuk meraih keuntungan sebagai kompensasi. Caranya melalui transaksi pembelian uang rupiah seratus ribuan, yang dicetak dengan nomor seri sama dengan yang telah beredar. Kabarnya, itu dilakukan sewaktu rezim Orde Baru mendekati tumbang, saat pejabat-pejabat menyiapkan uang tunai untuk dibawa keluar negeri. Pembelian yang sangat murah, membuat banyak orang tergiur, karena akan dengan cepat membuahkan keuntungan berlipat ganda. Transaksi itu sebenarnya ilegal, karenanya harus bekerja sama dengan teller bank bila penguangannya dilakukan secara besar-besaran, saat menukarkannya menjadi mata uang asing.

Pembelian rupiah cetakan tak semestinya itu ternyata sedang dalam target polisi. Oleh karenanya, saat Lidya tertangkap menawarkan ke beberapa relasinya yang tertarik menempatkan dana, dia langsung ditahan. Salah satu investor yang ditawari adalah intel polisi yang menyamar.

Mendengar nama suaminya tercantum dalam berita acara pemeriksaan, istri Bram marah besar. Sudah dapat diduga, Lidya yang akan menjadi kambing hitam dan harus dikorbankan. Dalam surat sebelumnya, Lidya menceritakan melalui SMS rekannya sekamar.

"Sebelum dipindah ke Sukamiskin malam itu aku disekap dalam sel kosong. Sepertinya sebuah ruang penyiksaan. Kedap suara. Menjerit pun tak ada gunanya. Bergantian preman-preman itu memperkosaku. Aku menangis, bukan karena sedih. Karena kesal tak bisa melakukan perlawanan."

Kini, membaca suratnya, aku meneteskan air mata. Bila tak ingat nasihat yang pernah kuberikan, pasti tangisku akan menjadi ratap berkepanjangan, membayangkan betapa mengenaskan nasibnya. Aku membayangkan Lidya meringkuk di dalam sel yang dingin dan gelap. Kalau aku hanya membayar atas perceraian dan tuntutan kesibukan menjalani profesi, Lidya harus membayar mahal saat berusaha meraih cita-cita karirnya.

Kemudian ingatanku mengais-ngais sebuah pepatah Indian yang akhirnya kuingat berbunyi, "The soul would have no rainbow, if the eyes had no tears."

Aku berharap janin yang menghuni rahimnya bukan benih liar yang memperkelam jalan hidupnya kelak. Melainkan persembahanku yang akan menjadi mentari, yang lahir dari bias-bias air mata kebahagiaan. ***

Bintaro Jaya, 1 Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar