Kamis, 02 Februari 2012

SAAT-SAAT MENUJU KEKOSONGAN Cerpen: Sutomo Magentahadi


Republika
Minggu, 20 Mei 2007

SAAT-SAAT MENUJU KEKOSONGAN
Cerpen: Sutomo Magentahadi

Aku hanya mampu mendengar sayup-sayup suara orang-orang berteriak histeris. Mereka sibuk menolong kami, korban kecelakaan lalu lintas. Mobil yang kami tumpangi bertabrakan, terguling dan tersungkur dengan posisi terbalik.

Tubuhku terlempar. Darah berceceran. Aku tak bisa mengangkat tubuhku sendiri, bahkan untuk membuka mata pun aku tak mampu. "Mbak..., sadar, Mbak." Seseorang mencoba menyadarkanku. Aku mendengar suara itu, tapi tidak mampu untuk menjawab. Terasa darah mengucur membasahi kepala dan tubuhku.

"Cari HP-nya! Hubungi orang yang sering SMS atau telepon!" Terdengar suara seorang laki-laki, panik. Orang yang menyadarkanku buru-buru mengambil HP di dalam tas yang talinya masih tersangkut di bahuku. Dia juga memeriksa KTP dan kartu absen kerjaku. Orang-orang lantas membawa kami ke rumah sakit. Aku hanya mendengar sayup-sayup mobil ambulans meraung. Aku belum sanggup membuka mataku. Darah makin mengucur seperti aliran anak sungai di tubuhku.

Tubuhku yang lemah akhirnya dibaringkan di kasur hijau tua. Suster mendorongku tergesa-gesa melewati lorong-lorong sunyi. Aku tidak lagi mendengar suara histeris teriakan kesakitan ataupun kepanikan. Antara sadar dan tidak, aku hanya merasakan kesenyapan yang begitu sunyi dan dingin. Hanya suara halus derap sepatu para suster dalam gerakan yang padu. Mereka tak banyak bicara, hanya tangan-tangan mereka yang cekatan bekerja.

Dua hari sudah aku terkapar di ruang gawat darurat. Pada lengan dan tubuhku tertancap kabel-kabel yang terhubung dengan monitor di sebelah kiri tempat tidur, bahkan hidung dan mulutku dijejali selang medis. Aku benar-benar terkapar tak berdaya. Samar-samar aku mendengar isak tangis Bapak dan Emak. Mereka datang dari kampung yang jauh untuk menemuiku. Aku ingin bersimpuh dan memeluk mereka, seperti setiap aku bertemu. Tapi, kali ini aku tak mampu melakukannya.

Tiba-tiba aku merasa ringan sekali, seperti terlepas dari raga yang membelenggu. Aku tak tahu apakah ini jiwa atau rohku yang telah lolos dari tubuhku. Ya Allah, apakah Kau akan menghentikan perjalananku sampai di sini? Ampuni hambamu yang sering alpa ini, ya Allah.

Aneh, sepertinya aku bisa melayang-layang di langit-langit kamar yang serba putih. Aku melihat tubuhku sendiri yang terkapar begitu rapuh. Aku juga melihat Bapak, Emak, kakak, dan adikku ada di ruangan serba putih itu. Sekali lagi aku ingin mencoba memeluk Bapak dan Emak untuk menenangkannya. Sekali lagi aku juga gagal. Hanya kekosongan yang dapat kuraih.

Tiba-tiba pintu terbuka. Bapak dan Emak diminta keluar. Aku berusaha berteriak, jangan tinggalkan aku! Tapi sia-sia. Mereka tidak mendengar teriakanku. Mereka yang menemuiku seperti sirkulasi udara yang tak berhenti, masuk dan keluar untuk memanjatkan doa. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, melihat Mas Prastomo, laki-laki yang aku cintai, datang. Aku melihat dengan jelas dia menitikkan air mata.

"Re, kenapa ini bisa terjadi?" tanya Mas Prastomo. Ingin sekali aku menjawab pertanyaannya. Tapi, lagi-lagi aku tak mampu. "Re, maafkan aku, selama ini belum bisa membahagiakanmu," kata Mas Prastomo. "Bahkan aku pernah berbuat salah padamu," katanya lagi, lembut, sambil menyentuh tanganku.

"Re, jangan sakiti dia ya. Dia itu orangnya baik, pemalu, dan pendiam," kata Imam, saudaraku, saat memperkenalkanku dengan Mas Prastomo. "Emangnya aku punya tampang untuk nyakitin orang ya?" sahutku sambil tertawa. "Bukannya gitu, Re, soalnya dia pernah disakiti," kata Imam lagi.

"Iya, insya Allah aku tak akan menyakitinya," jawabku. Sejak perkenalan itu aku selalu berhati-hati jangan sampai menyakiti hatinya. Kami sering SMS-an. Bahkan setiap hari dia selalu kirim SMS. Begitu pun aku, karena tempat tinggal kami beda kota. Jadi, hanya SMS sarana bertemu, barsambung rasa yang paling murah.

Pada suatu hari, lima bulan setelah perkenalan, dia bertanya, apakah aku sayang dia?
"Ya aku sayang kamu. Kalau kamu?" tanyaku.
"Aku sayang kamu, Re," jawab Mas Prastomo.
"Apa kamu cinta aku?" tanyaku.
"Ya aku sayang dan mencintaimu," jawabnya.
"Kalau kamu?" dia balik bertanya.
"Wah, kalau cinta aku ga tahu, perlu waktu untuk itu," jawabku. "Kelak kalau aku cinta kamu, ternyata kamu sudah nggak cinta lagi sama aku, gimana," kataku.
"Insya Allah aku akan menjaga nyala api cinta yang ada dalam hatiku untukmu," jawabnya.
"Wooowww gombal ya?"
Kami tertawa bersama.
"Paling juga udah bosen nanti," kataku lagi.
"Insya Allah aku orangnya nggak bosenan. Biasanya malah orang lain yang bosen dengan ketidakbosananku," jawab Mas Prastomo meyakinkan.

Satu bulan berlalu setelah ungkapan hatinya padaku, baru aku memberi jawaban bahwa aku juga mencintainya. Dia begitu senang, dan aku pun bahagia. Kami berjanji tidak saling menyakiti, saling jujur, saling percaya, saling tulus. Aku memegang teguh janji tersebut. Diam-diam hatiku berjanji untuk tidak menyakiti apalagi menghianatinya.

Kami semakin dekat. Aku dikenalkan pada orang tua dan saudara-saudaranya. Dia pun aku kenalkan pada orang tua dan saudara-saudaraku. Mereka semua merestui hubungan kami. Bertambah bahagialah kami. Tapi, memang perjalanan hidup manusia tiada yang dapat menduga. Saat itu dia main ke rumahku. Sewaktu dia shalat, aku iseng buka HP-nya. Bagai kena tampar, aku membaca SMS yang masuk ke HP-nya. Ternyata dia masih SMS-an dengan mantannya, bahkan bertemu tanpa sepengetahuanku. Aku menangis. Ya Allah mengapa dia mengingkari janjinya sendiri? Padahal aku tidak pernah sedikitpun menghianatinya?

"Maafkan aku, Re. Aku salah. Aku sungguh-sungguh menyesal dan bertobat atas kesalahanku yang telah menyakiti hatimu," katanya. Kami berdua menangis. Aku jadi berpikir, apakah dia masih mencintainya? Atau, mungkin aku hanya sebagai pelampiasan hatinya? Tak tahulah. Hatiku benar-benar terpukul. Memang aku hanyalah seorang wanita yang sangat sederhana, tidak secantik mantannya, tidak sebagus bentuk lekuk tubuhnya. Kuakui sebagai seorang gadis aku banyak memiliki kekurangan dan tidak sempurna. Tapi, setidaknya aku memegang teguh setiap janji yang telah kuucapkan dan tidak pernah menghianatinya.

"Sekarang pilih aku atau dia!" terisak aku menawarkan pilihan. "Aku pilih kamu, Re. Aku mohon kamu jangan menangis lagi. Aku ga ada niat sedikitpun untuk kembali sama dia. Dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku sangat menyayangi dan mencintai dirimu dan ga ada niat sedikitpun dalam hatiku untuk menduakan atau meninggalkanmu," kata Mas Prastomo. Ya Allah mudah-mudahan dia tidak sedang membual. "Tapi mengapa kamu memperlakukan aku seperti ini?" tanyaku masih menangis. "Itu salahku, aku khilaf, aku minta maaf dan ga akan aku ulangi lagi," janjinya. Ya Allah mengapa dia tega berlaku seperti itu? Padahal aku tulus ikhlas menyayangi dan mencintainya.

Para medis panik melihat kondisiku yang melemah. Ya Allah, jika kelak aku akan jadi lebih baik, panjangkan umurku. Tetapi, kalau akan lebih banyak melakukan dosa, aku rela Kau akhiri perjalananku, karena aku takkan sanggup menerima pembalasanMu. Aku yakin dan percaya janjiMu adalah benar, maka ampuni aku ya Allah. Ampuni segala salahku.

Lentera dalam gua kesadaranku senantiasa menyala, walau patah-patah mengucapkan asmaNya, mengharapkan maghfirah-Nya. Benarkah ini perjalananku kembali kepadaMu? Aku tak tahu lagi. Yang pasti kesenyapan itu makin terasa. Suara-suara makin meredup, saat jiwaku melayang menuju kekosongan, meninggalkan Mas Prastomo bersama cintanya yang fana.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar