Kamis, 02 Februari 2012

Sepekan di Jakarta Cerpen: Asmadji As Muchtar


Kedaulatan Rakyat
Minggu, 24 Juni 2007

Sepekan di Jakarta
Cerpen: Asmadji As Muchtar

AJAKAN Aris agar aku ikut dia ke Jakarta sulit kutolak. Sebab, dia adalah teman mainku waktu kecil yang kini kuanggap sudah sukses. Lagi pula sudah lama aku ingin melihat-lihat suasana Jakarta. Selama ini aku hanya bisa membayangkan betapa indahnya suasana Jakarta, terutama di malam hari. “Kamu bisa menikmati suasana Jakarta selama sepekan. Jangan khawatir soal makan dan ongkos keluyuran selama di Jakarta, juga ongkos untuk pulang. Semuanya menjadi tanggung jawabku,” janji Aris.

Aku dan Aris tiba di Jakarta ketika pagi masih berkabut. Perjalanan sepanjang malam membuat kami kelelahan dan ingin segera istirahat, tidur. Maka, Aris langsung menyuruhku masuk ke kamar tamu di rumahnya, dan dia pun langsung masuk ke kamar tidur utama. Istrinya belum bangun.

Meski aku lelah dan mengantuk, ternyata mataku sulit kupejamkan setelah aku berbaring di atas ranjang di dalam kamar tamu itu.

Ternyata Aris memang sudah kaya. Ru-mahnya besar berlantai dua. Di garasi ada dua buah mobil mewah. Pasti ke mana-mana istrinya selalu membawa mobil sendiri.

Sampai menjelang siang, aku baru bisa memejamkan mata, karena rasa kantukku tidak bisa kutahan lagi. Menjelang sore, aku baru bangun dan langsung mandi, kemudian keluar kamar, duduk di beranda sambil membaca koran. Mataku langsung terbelalak, karena koran yang kubaca ternyata memuat cerpenku yang berjudul ‘Koruptor’. Cerpenku itu mengisahkan seorang pejabat tinggi yang sering melakukan korupsi sehingga hidupnya sangat mewah, bahkan sopir pribadinya punya rumah megah dan mobil mewah serta deposito berlimpah. Ya, kisah dalam cerpenku memang diilhami oleh nasib Aris.

Baru saja aku asyik membaca cerpenku di koran itu, Aris dan istrinya tiba-tiba mendekatiku. Dengan tersipu segera kuletakkan koran itu di meja.

“Kata istriku, cerpenmu yang dimuat koran itu sangat realistis. Kisahnya mirip dengan kisah hidup majikanku dan hidup kami,” ujar Aris sambil tersenyum melirik istrinya.

“Benar, Mas Amir. Cerpen Mas Amir sangat realistis,” komentar istrinya. “Pasti ide cerpen itu dari Mas Aris, kan?”

Aku hanya tersipu-sipu. Sebab, ide cerpen berjudul ‘Koruptor’ itu memang dari kisah hidup Aris yang diceritakan setahun lalu ketika dia mudik ke Jawa.

“Ayolah kita jalan-jalan berdua. Sekalian makan malam,” ajak Aris, setelah menikmati makan siang bersama.

“Pulangnya jangan terlalu malam, Mas,” pesan istrinya, ketika Aris dan aku sudah berada di dalam mobil.

“Aku pasti akan pulang sebelum jam satu! Tapi kalau Mas Amir, terserah, mau nginap di hotel atau semalaman menikmati kopi di kafe,” ujar Aris sambil mengemudikan mobilnya.

Pada malam itu, tempat yang dipilih Aris untuk kunikmati adalah diskotek yang cukup ramai.

Beberapa gadis cantik dengan busana mini yang ada di diskotek itu langsung memeluk Aris dan menatapku dengan tersenyum manis.

“Coba kamu temani sobatku ini minum kopi. Jangan terlalu agresif, ya?” perintah Aris kepada seorang gadis cantik berbusana mini yang sedang memeluknya.

Aku hanya tersenyum dengan menahan gugup ketika gadis cantik itu menggandengku untuk duduk di kursi panjang yang terletak di pojok ruangan yang temaram.

“Baru kali ini Mas kemari?” tanya gadis cantik itu sambil merapatkan duduknya di sampingku.

“Ya,” jawabku dengan menahan gugup yang terasa kian menggigilkan tubuhku. Tangan gadis cantik yang lembut itu mulai melingkar di leherku dan memanaskan darahku.

“Mas nanti tidur di mana? Di hotel? Kutemani, ya?” tanya gadis cantik itu sambil meraba dadaku.

“Tadi Mas Aris sudah kirim SMS, agar aku menemanimu semalam suntuk, Mas. Kata Mas Aris, Mas sudah terbiasa begadangan semalam suntuk, kan?”

Napasku agak kacau. Aku berusaha untuk tetap santai. Kunikmati aroma parfum gadis cantik itu yang begitu harum. Kunikmati rabaan lembut jari-jari tangannya di dadaku. Lama-lama aku bisa mengatasi kegugupanku. Bahkan, aku mulai digoda oleh keinginan-keinginan khas bujangan.

“Sebaiknya kita segera mencari kamar hotel, Mas. Kata Mas Aris, semua biayanya sudah dibereskan,” ujar gadis cantik itu lagi sambil bangkit dan menarik lenganku untuk segera meninggalkan diskotek itu.

Aku menurut saja diajak gadis cantik itu ke kamar hotel di dekat diskotek itu.

Kubayangkan Aris juga sudah bersenang-senang dengan gadis cantik di sebuah kamar lain, atau sudah pulang ke rumah dan bercinta dengan istrinya.

Sebagai bujangan tua, aku sangat mudah ditaklukkan oleh gadis cantik itu di kamar hotel. Ini adalah pengalamanku yang pertama menikmati lekuk-lekuk tubuh perempuan yang selama ini hanya bisa kubayangkan dengan beronani. Aku benar-benar merasa tolol di depan gadis cantik itu, yang begitu bergairah membimbingku mengenali tahap-tahap romantisme.

***

PADA malam kedua, Aris mengajakku menikmati suasana kafe. Sama seperti malam sebelumnya, aku langsung ditemani oleh gadis cantik, sementara Aris tiba-tiba menghilang entah ke mana.

Pada malam ketiga, Aris mengajakku menemui seorang pejabat, rekan majikannya, di sebuah restoran.

Dari pembicarannya dengan pejabat itu, aku mengerti betapa Aris ternyata juga menjadi germo. Ya, aku sulit mengatakannya bukan sebagai germo, setelah dengan jelas dia memperlihatkan selembar foto gadis berjilbab yang bisa diajak tidur di hotel dengan imbalan lima juta rupiah. Pejabat itu nampak gembira, dan langsung menyatakan bersedia membayar lima juta rupiah. Lalu Aris segera mengirimkan SMS. Sebentar kemudian, seorang gadis berjilbab muncul di restoran itu dengan malu-malu.

“Tolong temani Bapak ini sampai pagi,” perintah Aris kepada gadis berjilbab itu, sebelum kemudian mengajakku pulang. Di tengah perjalanan pulang, aku mencoba mempersoalkan gadis berjilbab itu.

“Jangan heran. Banyak gadis nakal yang berjilbab. Banyak pejabat yang sangat bangga bisa melucuti jilbab, sebelum menikmati tubuh molek yang sebelumnya terbungkus jilbab,” ujar Aris.

Pada malam keempat, aku diajak Aris menemui seorang pengusaha di sebuah apartemen megah. Dari pembicaraannya dengan pengusaha itu, aku bisa mengerti betapa Aris ternyata juga pemasok kayu jati yang diperolehnya dari kawasan hutan di Jawa Tengah. Kayu jati itu akan diselundupkan ke luar negeri. Aku pun terbayang sekian ratus hektar hutan di Jawa Tengah yang kini nyaris gundul akbat penebangan liar yang merajalela.

Pada malam kelima, Aris mengajakku ke sebuah hotel berbintang lima, untuk menemui seorang konglomerat.

Dari pembicaraannya dengan konglomerat itu, aku bisa mengerti betapa Aris ternyata juga pengimpor gadis-gadis bule dengan kedok pariwisata. Gadis-gadis bule itu masuk ke Indonesia sebagai turis, tapi selama di Indonesia menjual tubuhnya kepada pria-pria kaya yang berani membayarnya dengan mata uang dolar.

Setelah satu pekan di Jakarta, aku pulang untuk menulis lagi. Tapi rasanya aku sangat sulit mengembangkan imajinasiku, setelah aku menikmati berbagai hiburan di Jakarta.

Kini, aku benar-benar telah kehilangan daya khayalku, daya kontemplasiku dan daya kreatifku sebagai seorang sastrawan. Mungkinkah aku telah mengalami gegar mental? ***

*) Kota Wali, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar