Kamis, 02 Februari 2012

Tasbih dari Gunung Slamet Cerpen: Sigit Emwe


Batam Pos
Minggu, 03 Februari 2008
Tasbih dari Gunung Slamet
Cerpen: Sigit Emwe

Mbah Muslich masih memegangi jenggotnya yang telah beruban, tangannya pelan membelainya. Perlahan ia memperbaiki posisi pecinya yang agak kurang pas dirasaknnya. Kembali matanya tertuju pada koran pagi ditangannya. Dalam halaman yang dibacanya terdapat berita tentang kematian seorang istri kyai secara khusnul khotimah yaitu saat mengerjakan shalat. Mata Mbah Muslich jauh menerawang ke atas atap rumahnya yang buat dari jerami kering. Dalam-dalam ia hisap asap tembakau yang ia nyalakan berapa menit yang lalu. Dimejanya yang terbuat dari bambu tampak sebuah asbak terbuat dari tanah liat penuh dengan putung-putung rokok yang dihisapnya. Mbah Muslich tampak begitu gelisah, sekali-kali batuknya membuat tubuhnya terguncang dari posisi duduknya.
***
Walaupun menyandang gelar Haji dan memiliki kelebihan indera keenam yaitu mengetahui apa yang tidak diketahui orang lain atau orang biasa menyebutnya ngarti sadurunge weruh, Mbah Muslich tetap lah Mbah Muslich yang dulu. Hidup dalam kesederhanaan dan kesendirian. Mbahi Muslich hidup seorang diri. Sebenarnya keponakannya pernah tinggal bersamanya sejak kecil, namun nasib berkata lain keponakannya yang berkerja sebagai pengrajin tasbih mati secara tragis dengan gantung diri di pohon manggga di depan rumah Mbah Muslich yang berada tepat di bawah kaki Gunung Slamet. Sejak kematian keponakannya Mbah Muslic memilih hidup membujang, apalagi anak, istripun ia tak punya. Meskipun tanahnya amatlah luas, Mbah Musich enggan untuk mencari pendamping hidup. Sebenarnya Mbah Muslich bukan lelaki yang membenci perempuan, namun ia merasa bahwa dirinya takkan mampu membahagiakan perempuan.

Dulu ibu Mbah Muslich adalah seorang janda kaya, ia ditinggal mati suami tercinta dalam perang kemerdekaan. Waktu itu bapak dari Mbah Muslich adalah seorang pejuang yang gigih memperjuangkan kemerdekaan. Pada suatu malam ia bersama pasukannya tengah melakukan patroli untuk menjaga keamanan desanya. Tiba-tiba sebuah bom meledak tepat didepannya. Tubuhnya terpental kaki dan tangannya terpisah dari tubuhnya. Sejak itulah Muslich kecil menjadi anak yatim.

Kehidupan menjadi anak yatim menempa Muslich kecil menjadi orang yang tahan banting. Hidup dalam kasih sayang ibunya membuat Muslich kecil begitu menghargai perempuan. Dari figur ibunya lah Muslich memiliki pandangan tersendiri terhadap perempuan.

Seekor kucing belang yang turun dari atas meja membuyarkan lamunan Mbah Muslich. Sesaat Mbah Muslich menghisap dalam-dalam rokok terakhir sebelum membuangnya ke dalam asbak. Mbah Muslich beranjak dari tempat duduknya, Ia berjalan menuju sebuah sudut ruangan dan mengambil Al-Quran dari dalam lemari.

Tiba-tiba terdengar orang mengucapkan salam dan beberapa saat kemudian terdengar suara orang mengetuk pintu rumah Mbah Muslich. Suara itu semakin keras, seperti begitu tergesa-gesa. Mbah Muslich memasukan kembali Al-Quran ke dalam lemari dan meletaknnya di atas tempatnya. Mbah Muslich kemudian berjalan menuju ke arah pintu untuk membuka dan mengetahui siapa yang datang.

Seorang kakek tua berdiri di depan Mbah Muslich. Pakaiannya serba putih, dengan sorban putih dikepalanya. Ternyata Mbah Ronggo yang datang bertamu kerumah Mbah Muslich. Tampak wajah tua yang berkeriput Mbah Ronggo begitu pucat dan pasi, ada kecemasan tergambar dari raut wajahnya.

Ada gerangan apa saudaraku berkenan berkunju ke gubugku ini” tanya Mbah Muslich sambil mempersilahkan Mbah Ronggo masuk ke dalam rumah dan mempersilahkan Mbah Ronggo untuk duduk.

“Maafkan aku, jika kedatangan jasad ini mengganggu kekhusuanmu” jawab Mbah Ronggo.
Ada gerangan apa yang membuat saudaraku, berkenan hadir dalam wujud wadag ini, sepertinya ada masalah teramat penting engkau bawa kepadaku” Mbah Muslich menerka maksud kedatangan Mbah Ronggo.

“Tentu saudaraku lebih tahu, dan bisa meraba masalah apa yang aku bawa untukmu” jawab Mbah Ronggo singkat.

“Jika masalah itu, pastilah saudaraku lebih mumpuni dalam menyelesaikannya, namun marilah kita bahas masalah itu dengan lebih bijak dan lebih arif” ucapan Mbah Muslich terdengar datar.

“Kehidupan ini semakin tua, kita semakin di makan usia, namun banyak yang belum bisa kita lakukan untuk menjaga keseimbangan alam ini” kata-kata dari Mbah Ronggo keluar penuh makna.

“Itulah yang meski kita lakukan, cobalah saudaraku, bawa tasbih ini dan berikan kepada putramu, biarkan ia menyelesaiakan persoalannya, Inssa Allah masalahnya akan terselesaikan” Mbah Muslich mengambil tasbih dari lehernya dan memberikan kepada Mbah Ronggo.

Tasbih berwarna kuning keemasan. Dengan tulisan Allah pada tiap butirannya. Kini telah ada di tangan Mbah Ronggo. Tanpa waktu yang lama Mbah Ronggo memohon pamit kepada Mbah Muslich.

Di pesantrennya Gus Maktum tampak begitu gelisah, ia tengah menunggu kedatangan bapaknya. Berapa saat kemudian terdengar salam dari luar pesantren. Yang datang ternyata Mbah Ronggo. Tanpa berpanjang kata Mbah Ronggo memberikan tasbih pemberian dari Mbah Muslich kepada putranya Gus Maktum.

Tampak wajah berseri-seri terpancar dari wajah Gus Maktum. Berulang-ulang diciumnya tangan Mbah Ronggo. Ekspresinya seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan dari bapaknya.

“Anakku, sekarang temuilah istrimu dan berikan apa apa yang menjadi keinginannya” perintah Mbah Ronggo kepada Gus Maktum.

Tanpa berpikir lama Gus Maktum menuju kamar di mana istrinya tengah duduk termenung. Tampak mata yang sembab dari sepasang mata yang indah milik istrinya. Seolah istrinya berusaha menahan kesedihan yang ia sembunyikan.

“Istriku, ini tasbich bertuliskan lafal Allah dari gunung Slamet seperti persyaratkan yang kau ajukan kepadaku agar aku bisa menikah lagi” Gus Maktum menunjukan tasbih itu kepada istrinya.

Dengan tangan sedikit gemetar istri Gus Maktum menerima tasbih tersebut. Dipandangnya tasbich itu dengan mata berkaca-kaca. Pikirannya melayang pada seorang pemuda dusun di bawah kaki Gunung Slamet yang berprofesi sebagai pengrajin tasbih. Betapa perasaan bersalah muncul dalam hatinya ketika tanpa alasan yang jelas ia harus meninggalkan dusunnya dan pemuda tercintanya itu untuk menikah dengan Gus Maktum seorang putera dari Kyai Terkenal di Jawa Timur.

Pesta perkawinan Gus Maktum dengan istri keduanya digelar cukup meriah di pondok pesantren Gus Maktum, ada bend ternama yang dulu menjadi santri di pesantren itu di undang meramaikan pesta pernikahan itu. Selain itu kelompok hadroh dan para pemusik kasidah pun tak mau ketinggalan menyubangkan karyanya sbagai wujud ketakdiman kepada seorang guru.

Malam semakin larut, Gus Maktum tampak begitu lelah menyambut tamu-tamu yang datang dari kota-kota dan pesantren-pesantren lainnya. Begitu juga kelelahan tampak menyelimuti istri kedua Gus Maktum yang berdandan layaknya seorang artis. Hanya saja menggunakan Jilbab, sehingga kemenorannya berdandan sedikit tertutupi. Gus Maktum da istri keduannya hendak beristirahat, mereka menarik diri dari keramaian pesta dan bergegas menuju ke dalam kamar.

Tiba di dalam kamar, tiba-tiba istri kedua Gus Maktum menjerit histeris, tubuhnya tampak lunglai. Dihadapnnya terlihat sosok wanita dengan mengenakan pakaian shalat tampak bersimbah darah. Gus Maktum melihat istri pertamanya telah tak bernyawa dengan goresan di urat nadi tangannya. Dalam genggaman tangannya tampak tasbih berlafalkan nama Allah telah berwarna merah. Gus Maktum tak bisa berkata apa-apa, tubuhnya lemah. Kedua kakinya terasa terpaku di atas bumi. Begitu kaku. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar