Batam
Pos
Minggu,
15 April 2007
Sepasang
Mata yang Menyimpan Duka
Cerpen: Noer Mursidi
AKU tidak ingin tenggelam dalam linang air
matamu. Sepasang mata yang setiap kali kutatap lekat-lekat, selalu kutemukan
peta kesedihan yang mirip dasar sebuah sumur yang keruh. Ada genangan lumpur, bongkahan karang dan
sorot matamu yang tajam menatap itu, ah seperti mengundangku untuk basah kuyup
diguyur hujan.
Di luar, hujan memang turun dengan deras. Aku
sungguh tak tega meninggalkanmu sendirian di sebuah rumah yang asing, karena
aku (kamu juga tujuh teman yang lain) baru memasuki kampung itu seminggu lalu
untuk sebuah penelitian. Petir menjerit. Aku pun mendekapmu. Demi air matamu
yang mulai menitik.
Setelah hujan reda, aku sadar jika aku ini
sungguh picik sebagai lelaki yang masih ingat akan dosa. Aku melepas dekapan,
hangat tubuhmu sirna bersama tatapan matamu yang tajam. Aku tahu, kau tak rela
ketika aku akan meninggalkanmu malam itu. Matamu terlihat pedih. Dan aku
berdiri melangkah menuju pintu. Tetapi sebelum itu masih sempat kulihat matamu
basah oleh air mata. Kutatap matamu, lagi-lagi kulihat ada gelap malam dan
gelombang laut yang tak bertepi.
"Tidurlah di sini, setidaknya untuk
semalam!"
"Tidak! Aku harus pergi. Orang sepertiku
adalah pengembara yang tak punya tempat singgah".
"Ini tempat singgahmu! Aku nanti akan
bercerita padamu tentang malam, bintang gemintang dan bulan purnama sebelum kau
menemukan tidur yang nyenyak."
Aku diam, tak menjawab juga tak mengangguk.
Aku pergi, seperti angin, hilang dalam gelap malam. Aku tak mau menoleh, tetapi
cerita dan tatapan matamu yang sedih sungguh merajut malamku ketika
perjalananku menempuh gunung di sebelah barat kampung yang kamu huni itu masih
belum aku taklukkan. Ah, entah kapan, aku bisa jadi lelaki dewasa yang bisa
memberi air untuk dahagamu. Kabut masih bertebaran bak selimut putih yang
membuatku sejenak berteduh, dan lagi-lagi sepasang matamu yang terlihat pedih
itu masih menghantui perjalananku.
Aku akhirnya kembali padamu saat fajar
merekah.
***
AKU adalah lelaki terluka. Hanya ada dua
pilihan tatkala aku beranjak dewasa; jadi pembunuh atau penolong. Ah, dua
pilihan itu, kurasa tidak ada yang baik. Pernah aku jadi penolong untuk sebuah
pertarungan dalam perjalananku melintas tepian hutan. Aku berjumpa dengan sekelompok
lelaki bengis yang hendak memperkosa seorang gadis. Namun, ujung-ujungnya aku
pun menjadi seorang pembunuh.
Masih kuingat peristiwa itu. Senja jatuh dari
sela-sela pohon jati, kudengar sebuah jeritan. Aku tahu, itu jeritan perempuan
terluka. Lalu, kuhentikan langkah kakiku. Kusibak dedaunan dan tepat saat
mataku melihat sekelompok lelaki buas disanjung degup berahi, dengan lantang
aku berteriak...
Sontak, mereka ‘lima orang’ terkejut, melihatku. Aku tantang
mereka bertarung. Dengan nada mengejek kulontarkan tantangan, "Jangan
hanya berani kepada seorang gadis kalau hanya ingin sekadar selangkangan!"
"Kau tak usah ikut campur, lelaki
ingusan!"
"Hadapi aku atau kalian sama sekali tak
akan mendapatkan apa yang kalian inginkan."
Mereka mengeroyokku. Tetapi bukan aku, jika
hanya menghadapi lima
orang sekaligus, mati sekarat. Aku, terus terang saja adalah lelaki sakti yang
hanya mati oleh tangisan perempuan. Jujur, itu kelemahanku. Untuk itu, aku
hanya mengibaskan sebilah pedang ke udara, dalam sekejap mata, mereka sudah
bergelimpangan di tanah, tak bernyawa.
Ujung pedangku meneteskan darah, menyiratkan
sedih. Aku tahu gadis yang aku selamatkan itu melihatku dengan takjup. Matanya
terkagum-kagum, juga menyiratkan rasa takut. Tapi saat mataku menemukan sayatan
luka di tubuhnya, tiba-tiba aku ditimpali birahi.
"Kamu sudah aman, pulanglah!"
"Aku tak ingin pulang, aku ingin
bersamamu."
"Aku pengelana, nanti kau menemui banyak
derita."
"Tak apa! Aku sudah terbiasa
menderita..."
Aku pun mengembara bersamanya melewati laut,
gunung, samudra dan sungai. Tetapi, ketika suatu hari ia ditimpa sakit panas
dan terpaksa harus kutinggal di sebuah kampung di tepian pantai dan aku
terpaksa melanjutkan kembara, betapa terkejutnya diriku setelah tiga bulan
menemuinya. Ia hamil. Demi langit dan bumi, aku tak pernah merabanya, apalagi
menyetubuhinya. Jelas, dalam kandungan itu bukan anakku.
Tak perlu alasan untuk ajalnya, saat malam
tiba, aku membunuhnya. Terus terang, demi luka di hatiku sebab ada goresan yang
tak mungkin bisa diobati sampai kapan pun. Kenanganku bersamanya hanya
menjadikan hidupku sia-sia jika aku tidak membunuh sesamanya. Dan, sejak itu
aku jadi seorang pembunuh. Jika tak salah hitunganku, sudah 98 gadis yang
kubunuh semata-mata karena aku tak ingin peristiwa tragis itu menyanyat hatiku.
Hingga pengembaraanku demi sebuah kematian,
aku berjumpa denganmu di sebuah kampung terpencil. Lewat suatu perkenalan yang
tak istimewa untuk sebuah persabahatan, apalagi saat pertama kali kau
menatapku, sepasang matamu sudah menghukumku. Dan akupun berikrar dalam hati;
sejak saat itu aku berencana akan membunuhmu.
Tetapi setiap kali aku mau membunuhmu, entah
kenapa sepasang matamu selalu mencegahku. Aku, akhirnya menunggu saat yang
tepat untuk membunuhmu. Sepasang bola matamu itu akan kutunggu sampai tak
membuatku basah kuyup sehingga aku bisa leluasa membunuhmu, sebagai mangsaku
yang ke 99 dari perempuan yang pernah aku kenal dengan baik.
***
SUNGGUH, aku tidak ingin tenggelam dalam
linang air matamu. Sudah cukup, aku terganggu dengan bayangan bola matamu yang
keruh setiap kali kita habis bercengkrama. Aku selalu tidak betah menatapmu
sekadar membaca kesedihan yang tertampung di matamu. Selalu kutemukan masa lalu
yang sudah kukubur dalam rajutan waktu. Jika kemudian malam-malamku mirip
malam-malammu yang tanpa gemintang, aku hanya bisa tertegun dan termangu,
gematar saat aku harus mendengar kisah sedihmu.
Aku tidak ingin mengenalmu lebih jauh. Untuk
itu, aku memilih pergi untuk sementara waktu. Tetapi, karena aku tahu tanggung
jawabku sebagai anggota kelompok yang punya kewajiban memberi penyuluhan kepada
warga kampung, aku pun kembali padamu. Aku harus kembali ke kampung itu untuk
menemuimu dan bekerja membangun jembatan, membuat batu bata, membuat kolam lele
dan mencakul di ladang. Meski ada juga tugas yang menurutku sungguh munafik
untuk aku lakukan, memberi ceramah sehabis shalat maghrib.
Demi tugas itu, aku terus kembali ke kampung
itu dan menemuimu. Juga mendengar ceritamu dan akhirnya mendakapmu ketika hujan
turun lebat dan air matamu mulai menetes di pipi. Jelas sekali, kulihat gemuruh
di sudut matamu yang tak akan mampu kauhapuskan. Lentik bulu tipis di atas
matamu itu bak rerumputan kering dan di kelopak matamu yang bulat itu adalah
cermin yang mengabariku akan sebuah petaka.
Petaka itulah yang membuatku selalu pergi
ketika malam telah merajut gelap langit, dan aku kembali begitu fajar
menyingsing. Lalu, saat mentari bersinar dari pohon-pohon jati di sebelah
timur, aku mulai bekerja setelah meneguk secangkir teh manis buatanmu.
Sungguh aneh, lambat laut aku justru kasihan
padamu. Perhatian yang kutumpahkan padamu setiap kali aku ke kampung itu, bisa
berwujud aku bawakan oleh-oleh untukmu. Meski aku pengembara yang tak terikat
apapun tapi aku sungguh sulit meninggalkanmu begitu saja saat ceritamu semakin
seru. Kisah yang selalu membuatku seperti anak kecil yang haus kasih sayang dan
aku membayangkan semua itu seperti masa kecilku, pada saat-saat ibuku bercerita
untuk menghantarkanku tidur.
Entah kenapa, aku akhirnya terbius ceritamu.
Kau mungkin pencerita ulung yang membuatku terkesima. Setidak-tidaknya, kamu
selalu membuatku kembali, meski dalam perjalanan, aku dirundung capek. Tapi ada
semacam kerinduan, meski aku harus dihajar derai tangismu ‘dari sorot matamu
yang sedih itu’ setelah aku bertemu denganmu kembali.
***
KAMU itu adalah perempuan terluka, yang
kebetulan aku kenal. Setidaknya, itulah penilaianku tentangmu. Entah kenapa
saat angin malam berhembus dan aku haus darah ingin membunuh perempuan yang
sudah kukenal, kau justru memulai sebuah cerita. Aku hanyut dalam linang air
matamu. Sepasang mata yang setiap kali aku tatap lekat-lekat, selalu mencegahku
untuk membunuh. Karena itu, aku selalu urung membunuhmu.
Terus terang, aku kasihan padamu. Sorot
matamu yang sedih itu, membuatku menunggu saat yang tepat. Sudah banyak
perempuan yang kubunuh. Tetapi aku tidak bisa berbuat seperti itu padamu. Aku
seperti mati di pelukanmu dan selalu lupa akan niatku; kalau sejak awal aku
akan membunuhmu.
Kurasa, dua bulan hidup bersamamu di sebuah
kampung terpencil bersama tujuh teman, sudah cukup membuatku dewasa sebagai
lelaki. Ceritamu telah menghantarkanku punya perhatian pada setiap perempuan
dan kau juga telah mengajariku bagaimana cara bercinta yang dahsyat.
Tetapi, aku adalah pengembara yang harus
pergi dan tak terikat pada apa pun, tak terkecuali padamu. Untuk itu, saat
tugasku selesai, kutinggalkan kampung itu untuk selamanya, aku pun berpisah
denganmu setelah bercinta di bawah bulan purnama. Lalu, aku pergi jauh. Tak
jadi membunuhmu. Itu sepenuhnya, karena aku banyak berhutang padamu, ceritamu
dan sorot matamu yang sepenuhnya sorot mataku sendiri sepuluh tahun yang lalu.
***
TETAPI selang satu tahun sejak berpisah itu,
kami bertemu kembali di sebuah pelabuhan.
Aku tatap matamu, kamu masih terus menceracau
dengan cerita sedihmu seperti dahulu. Akan tetapi, aku sudah tidak lagi
menemukan sorot matamu yang kelabu. Sudah tak ada batu karang, lumpur dan keruh
sebuah dasar sumur yang membuatku sedih. Kau tampak sudah berubah.
Ketika kapalmu akan berlayar dan kita akan
berpisah, sekelebat camar menyibak duka; kamu bercerita sudah memiliki kekasih
dan sebulan lagi mau melangsungkan pernikahan. Betapa terkejutnya aku. Di sudut
mataku, keruh dengan kabar itu. Aku kecewa. Hampa. Kosong, tapi sepenuhnya tak
basah kuyup oleh dukaku sendiri seperti sepuluh tahun yang lalu.
Rasanya, aku Ingin membunuhmu. Setidaknya,
karena kamu telah mengobarkan obor duka di mataku. Sepasang mataku tiba-tiba
sedih akibat rencana pernikahanmu yang akan membuatku terlunta. Tapi entah
kenapa, aku lagi-lagi tak tega menyibakkan pedangku di lehermu. Aku rasa,
mungkin karena kamu telah membekaliku pelajaran bercinta, menebar simpati pada
perempuan dan membuatku sebagai lelaki kembali secara psikologis akibat
ceritamu yang tidak kusadari telah menjadi obat lukaku yang pernah aku kira tak
ada obatnya.
Ketika kapal berlayar meninggalkan pelabuhan
membawamu ke seberang pulau, aku menatap layar yang mengembang diterpa angin.
Kapal semakin menjauh, dan aku tahu kalau mataku mulai nanar oleh air mata.
Juga aku tahu, ternyata sepasang mataku menatap kepergianmu dengan sedih.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar