Jawa
Pos
Minggu,
06 Januari 2008
Bangku Beton
Cerpen: Sunlie Thomas
Alexander
Di tengah pandangannya yang berkabut, lelaki itu seolah masih duduk di
"Pinggangmu kurang lentur, geser kaki kananmu lebih ke belakang," ia seperti mendapat instruksi dari lelaki itu lagi. "Ya, turunkan kuda-kudamu lebih rendah. Kalau lawan datang dari samping, kau akan punya kesempatan mengelak dan menyerang bagian rusuknya."
Tapi, lututnya sudah goyah, bahunya terasa linu. "
"Ah, manja kau!" lelaki itu menyeringai." Kau les piano
Aroma dupa mengental, menyengat hidungnya. Gerimis sudah berhenti. Tiupan harmonika itu timbul-tenggelam, terus mengiang-ngiang di telinganya. Lagu-lagu silih berganti, menyeret kembali kenangannya dengan kejam. Ballade Pour Adeline, A Comme Amour, Un Blanc Jour D’un Chaton, Nostalgy, Lettre A Ma Mere... Agaknya ia masih menghafal semua judul lagu. Meskipun ia tidak pernah bisa memainkan lagu-lagu itu dengan baik di atas tuts-tuts piano, dan lebih tertarik pada musik klasik murni. Pada Chopin, Mozart, Beethoven, dan Bach. Atau yang lebih kontemporer, Stravinsky. Dan, ketika memutuskan untuk belajar di akademi musik, ia pun lebih senang mengambil mayor gitar.
Namun, saat langkah kakinya sampai di
Memandang sekeliling, ia melihat pekarangan rumahnya kini agak kurang terurus. Ia tahu, sejak muda ibunya bukanlah perempuan yang cukup telaten mengurus rumah. Lagi pula sekarang di rumah mereka tak ada pembantu. Bibi Fatonah dipulangkan ibu ke kampung setelah lelaki itu meninggal.
"Dia sudah tua, biarlah istirahat di kampung. Ibu beri pesangon secukupnya," kata ibunya dalam sepucuk
"Kau mau makan dulu?"’Suara ibu sedikit mengagetkan lamunannya. Ia berpaling dan mendapatkan perempuan itu sedang berdiri di ambang pintu dapur. Ia menggeleng ragu.
***
IA pulang juga setelah sembilan tahun. Rumahnya -sebuah ruko tepatnya-tidak banyak berubah seperti juga
Diteruskan langkahnya ke pintu depan rumah yang terbuka dengan rolling door tergulung ke atas. Sebetulnya itu pintu samping dari ruko yang berfungsi sebagai pintu masuk rumah tinggal. Los toko dipisahkan dari rumah dengan pembatas dinding triplek yang membentuk semacam lorong kecil dari pintu masuk itu. Lampu di lorong kecil itu belum dinyalakan.
Ia akhirnya sampai ke bagian dalam rumah. Ruang tengah juga tidak banyak berubah. Sebuah lukisan pemandangan alam pegunungan masih tergantung sayu di dinding. Agak miring. Berpaling ke kiri, ia melihat pintu kamar baca itu tertutup rapat. Kenangan yang berdebu menyergapnya. Gelenggeleng kepala, ia meneruskan langkahnya melewati ruang tengah.
Ketika ia sampai di dapur, ibunya sedang mengatur sesajen di atas meja sembahyang. Perempuan itu menoleh ketika mendengar langkah kaki anaknya masuk. Tampak begitu tua dan ringkih, tapi senyumnya masih menyisakan kecantikan di masa muda.
"Ah, kau sudah sampai rupanya. Pas! Mama baru saja mau sembahyang." Perempuan itu menarik sebuah kursi plastik di dekatnya, "Duduklah." Perempuan itu kemudian menuangkan secangkir teh dari teko keramik untuk anaknya. Diperhatikan betul kerut-merut wajah ibunya, juga uban di kepala perempuan itu. Ia tersenyum getir.
"Mama pikir kau tak jadi pulang," suara ibunya seperti menggantung. Ah, tidak Ma, aku pasti pulang seperti yang aku katakan di telepon, elaknya buruburu. Ibunya tersenyum tipis. Tiba-tiba ia merasa malu karena teringat dua kali ia pernah berjanji untuk pulang tapi tak pernah jadi. Pertama, saat kakak perempuannya menikah. Kedua, ketika neneknya sakit lalu meninggal. Setelah itu, ia seolah ditelan tanah rantau, nyaris tak pernah berkabar ke rumah.
Diperhatikannya ibunya menuang arak dari botol bekas sirup ke tiga cawan kecil di atas meja sembahyang. Perempuan itu kemudian merobek sebungkus dupa merah, dan membakarnya pada lilin besar di sisi kiri meja. Tiga buah kaleng bekas susu bubuk yang dililit kertas merah berisi pasir diletakkan bersusun di tepi meja. Tiga lembar kertas merah bertulisan
"Sembahyanglah! Kabari papamu kalau kau pulang!" kata perempuan itu sambil mengulurkan sejumlah dupa berasap kepadanya. Ia menerima dengan begitu bimbang. Dengan canggung ia memegang dupa itu dengan kedua tangannya di depan meja. Dan, semakin ragu ketika menatap beragam buah, kue, dan daging yang tertata dalam piring-piring di atas meja.
Akhirnya, dengan setengah hati, ia menuruti juga keinginan ibunya. Ia bersin berulang kali oleh asap dupa yang tajam menyengat. Padahal, dulu, aroma dupa itu begitu harum bagi hidungnya. Ia hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya yang memegang dupa di depan dada sekadarnya dengan mulut terkatup, tanpa mengucapkan sepatah doa pun. Dulu, ibunya, juga nenek, selalu saja mengajarinya berdoa panjang-lebar setiap kali sembahyang.
Ia merasa tak ada yang harus dipanjatkan, tak ada kata-kata yang mesti diucapkan untuk masa lalu. Orangorang yang telah pergi itu cukuplah menjadi hantu di dalam kenangan. Sekadar hantu, yang kadang-kadang membuat kita terharu -atau sakit-oleh beragam peristiwa yang telah lewat. Demikian ia berpikir ketika menancapkan dupa di kaleng. Sampai tiba- tiba ia menangkap bayangan bangku beton itu lewat ambang pintu dapur yang terbuka lebar.
***
Lelaki itu seharusnya bisa memilihuntuk melupakan masa silamnya. Seharusnya. Tetapi lelaki itu memilih mengawetkannya, bahkan kemudian menjemput masa silam itu. Ia tahu alangkah sulit bagi lelaki itu untuk menjatuhkan pilihan. Ia selalu yakin lelaki itu seorang yang cukup bijak. Tapi ketika lelaki itu akhirnya memilih tidak seperti yang ia harapkan, kekecewaan tak mampu ia pendam. Ia memang menghargai pilihan lelaki itu, meskipun sejak itu dendam perlahan mulai tumbuh di dadanya, menggerogoti hatinya. Barangkali seperti lumut yang kini melapisi bangku beton di hadapannya, pikirnya sedikit sinis.
Ia ingat, bermalam-malam ibunya menangis. Cuma menangis. Tak ada keributan di rumah. Semua berjalan seperti biasa. Hanya saja, kemudian lelaki itu semakin sering keluar rumah, mulai jarang duduk-duduk di bangku beton itu sambil memainkan harmonika atau membaca. Meskipun setiap kali pergi, lelaki itu selalu saja pulang, kadang menjelang dini hari. Dan ibunya tetap setia membukakan pintu.
Ia tidak tahu apa yang salah. Apakah ia memang pantas membenci lelaki itu. Yang pasti, ia mulai jarang bicara dengan lelaki itu. Lebih sering menghindar bila berpapasan. Tak ada makan malam bersama, tak ada latihan wushu, atau acara pergi memancing berdua ke pelabuhan. Hubungan mereka jadi aneh. Serba canggung. Richard Clayderman menghilang.
"Papamu tidak salah, Nak. Mamalah yang merebutnya dari perempuan itu...."
Ibunya kemudian menuturkan sebuah cerita, nyaris seperti dongeng-dongeng yang suka dikisahkan perempuan itu waktu ia masih kecil. Tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang gadis penyanyi di sebuah bar. Seorang biduan yang manis. Ah, tidak, Nak, itu bukan pertemuan mereka yang pertama. Perempuan itu sesungguhnya bersama dari masa lalu si lelaki. Masa kecil yang hilang. Saat itu, si lelaki masih seorang mahasiswa tingkat akhir yang mencari tambahan uang saku dengan menjadi pianis di sejumlah bar. Ia begitu bahagia menemukan biduan itu, yang selalu dikenangnya sebagai seorang gadis cilik berkepang dua. Diajaknya perempuan itu pulang ke kampung halaman.
"Tapi aku tidak punya rumah dan siapa-siapa lagi di
Namun, kampung halaman ternyata bukan lagi tempat yang ramah untuk menerima si perempuan, juga rumah lelaki itu. Wajah kedua orang tuanya, suami-istri pemilik toko kelontong, begitu masam ketika menerima jabatan tangan si biduan.
"Kau tahu, perempuan apa yang kau bawa kemari?!" Suara bapaknya cukup keras di tengah malam, "Kau bahkan tak tahu siapa orang tuanya
"Aku mencintainya!" Si lelaki menjadi garang. Kedua matanya berapi-api. Tapi perempuan itu sudah lenyap keesokan pagi. Lenyap. Tanpa meninggalkan pesan apa pun. Lelaki itu menangis, ia kehilangan untuk yang kedua kali.
***
IA tidak tahu kenapa perempuan itu kembali. Apa keinginannya. Ia mengenal Natalia ketika gadis berkulit kuning langsat dengan rambut potongan poni itu pindah ke sekolahnya. Berwajah polos tapi sensual. Ia diam-diam suka mencuri pandang pada gadis itu ketika pelajaran sedang berlangsung dengan dada yang sedikit berdebar. Tapi gadis itu jinak-jinak merpati. Menjauh kalau didekati, mendekat ketika ia menjauh. Toh, justru membuat ia makin penasaran dan bersemangat mendekati gadis itu. Sampai kemudian ia melihat sebuah luka. Luka yang begitu muram di kedua mata Natalia yang sayu...
Dan, ia bertemu perempuan itu, perempuan yang fotonya dulu pernah ia temukan di laci meja baca bapaknya. Waktu itu ia kelas enam SD. Ibunya buru-buru merebut foto itu dari tangannya dan memasukkan kembali ke laci, sekaligus mengunci laci itu.
"Jangan lancang, Nak! Jangan ganggu barang-barang di laci itu!" Ibunya bergegas menariknya keluar dari ruang baca yang merangkap perpustakaan kecil.
"Siapa perempuan di foto itu, Ma?" tanyanya. Namun ia tidak pernah mendapat jawaban.
"Jangan masuk lagi ke ruang baca Papa!" Lelaki itu menatapnya tajam dengan wajah agak merah. Ia buru-buru menunduk. Belum pernah lelaki itu bersuara keras padanya. Sejak itu ruang baca selalu terkunci rapat, namun wajah perempuan cantik di dalam foto itu tak pernah pudar dari ingatannya.
"Aku bertemu dengan perempuan dalam foto Papa...," katanya sore itu sepulang dari rumah Natalia. Gadis itu memang tidak pernah mau mengatakan padanya tinggal di mana, tetapi siang itu sepulang sekolah ia diamdiam menguntit Natalia. Dan perempuan itu ada di
"Aku bertemu dengannya, Ma," ia mengulangi sekali lagi. Dilihatnya wajah ibunya berangsur-angsur berubah pucat. Tertegun menatapnya.
***
ENTAH telah berapa tahun, bangku beton itu tinggal sepi. Sudah belasan tahun agaknya. Setelah semuanya berlangsung, sesekali lelaki itu memang masih duduk-duduk di
Tak lama setelah itu, ia pergi meninggalkan rumah, meninggalkan pulau kecil itu, dan tak pernah pulang sekali pun...
"Mama harap kau mau pulang. Kakakmu sedang dalam masalah. Toko bangkrut. Kakak iparmu entah di mana sekarang. Hampir tiap hari selalu saja ada orang datang menagih hutang, tambang-tambang itu benar-benar menguras seluruh uang kakak iparmu!" Itu kata-kata ibunya dalam telepon beberapa hari lalu. Ia tak menyangka kalau akan tiba di rumah tepat pada hari sembahyang arwah Chit Ngiat Pan...
yang kusam dan berlumut itu, ketika namanya dipanggil. Menoleh, ia melihat kakak perempuannya sedang berjalan mendatanginya. Wajah Ai Ling tampak tirus dan kusut, lebih tua dari usia yang sebenarnya. Begitu berbeda dengan sosok gadis manis dan periang yang dikenalnya bertahun-tahun lalu. Ibunya masih berdiri di pintu dapur.
Ah, tiba-tiba ia merasa ingin sekali bermain harmonika, memainkan Les Premiers Sourires de Venessa dan lagu-lagu lainnya... ***
Gaten,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar