Suara
Merdeka
Minggu,
11 Mei 2008
Jeritan
Serigala dari Gunung
Cerpen: Irfan Zamzami
AKHIR DESEMBER. Akhirnya ia pun
menempuh perjalanan itu. Ia selalu bisa merasakan aroma penghabisan pada
Desember. Seperti matahari yang ia rasakan letih pada Jumat, dan terik ketika
Senin: alam seolah memiliki laku yang identik dengan ruas-ruas waktu yang
dianggit manusia. Ataukah sebaliknya: saat manusia tidur ketika malam, dan
terjaga ketika siang, manusialah yang mengikuti pergerakan alam. Adapun pada
perjalanan itu ia hendak melawannya. Kalau pun mendadak malam turun, dan badai
menderu melebihi kekuatan wajarnya, ia akan tetap menempuhnya.
Tetapi begitu ia memulai perjalanan itu,
tiba-tiba ia tersadar betapa peta dan tapal batas tak pernah memberi tahu
dirinya sejauh apa jarak yang akan ia tempuh. Geografi dan fisika menyebut
kilometer, mil, dan segala pengukuran, meskipun kejauhan tidak bisa diukur
dengan angka. Betapa dekat Jawa dengan Belanda ketika telah ditegaskan
rempah-rempah dan kemenangan harus dibawa pulang bersama kapal-kapal. Dan
betapa jauh dan tak terjangkau seberang jalan bagi nenek yang telah renta.
Barangkali angka selamanya tak pernah memberikan kebenaran.
Barangkali kebenaran selamanya tidak pernah
ada.
Ketika ia berpamit, “Aku hendak menempuh
perjalanan pulang,” kawan-kawannya tak bisa menahan heran. Sebelum itu ia tak
pernah menyebut kata “pulang”. Bahkan tak seorang pun tahu ia punya tempat
pulang.
***
NAMANYA
PARWANTI.
Pada umur sepuluh, ia telah disetubuhi oleh seorang lelaki pada sebuah malam
celaka yang tak hendak ia lupakan.
Di Sawangan, tanah kelahirannya yang teduh di
kaki Merapi, bapaknya
dari orang-orang di sekelilingnya bilang ia
adalah perempuan. Padahal kala itu ia hanya mengenal orang dalam satu wujud.
Tidak ada laki-laki. Tidak ada perempuan. Segalanya hanya serbakebetulan.
Kebetulan bapaknya laki-laki, dan kebetulan ibunya, yang telah meninggal saat
melahirkan dirinya, adalah perempuan.
Bapaknya
selalu berkata, “Kamu anak perempuan, pakailah rok.”
Parwanti
tertawa, “Pak, aku hanya kebetulan perempuan. Tetapi aku tak membutuhkan rok.”
Ia juga sudah mengetahui kemaluannya berbeda
dari temannya yang laki-laki. Jika hanya itu yang membedakan, kenapakah ia
harus menerima sebuah kebetulan terlahir sebagai perempuan dan menuruti apa pun
yang diinginkan orang pada dirinya.
Maka ia ingin orang tahu betapa kemaluan tak
akan membedakan dirinya dari teman-temannya yang laki-laki. Parwanti tak pernah
bermain bersama teman-teman perempuan pasaran, bongkar pasang, atau congklak.
Dia bermain sepak bola di bawah hujan sampai senja membuat anak-anak lain
diseret pulang oleh orang tua masing-masing. Parwanti pernah memukuli seorang
anak laki-laki hingga babak belur sebab anak itu menghina ibunya yang telah
tiada. Pada umur delapan, orang-orang kampung nyaris lupa bahwa Parwanti memang
perempuan.
Sampai suatu malam yang tak dipahami seorang
pun tiba.
Malam di tempat terpencil itu selalu turun
lebih cepat. Begitu matahari tampak letih dan hendak beradu di ufuk barat,
kabut tiba-tiba turun dari gunung. Kadang lembut, terkadang mereka bergumul dan
mengempas dedaunan pada pohon-pohon, hingga segala yang terlewati menjadi
kebas.
Gelap kemudian tak terhindarkan, bersama
suara jeritan serigala yang menggaung dari hutan entah di mana. Orang-orang
tahu tak ada lagi populasi serigala di sana .
Tetapi suara itu selalu datang pada saat-saat tertentu. Tidak hanya dari
bebukitan yang seolah-olah berusaha menggapai puncak Merapi di utara, tetapi
juga di selatan dan barat tempat hutan tak mungkin lagi tersisa dan sebuah kota bernama Magelang
juga tak mungkin menyembunyikan serigala.
Di desa itu, kata orang, yang gaib dan nyata
memang bercampur tanpa bisa saling memisahkan diri.
Pada senja yang dini itu Parwanti terpekur
dalam kamarnya yang kecil dan tak berpintu, hanya kelambu bergambar bunga-bunga
yang telah usang tergantung di kusen. Radio dengan empat buah baterai ia
nyalakan, meskipun suaranya sayup bercampur bersama suara-suara alam yang liar
di luar sana .
Tiba-tiba Parwanti merasa mengantuk. Ia bisa
mendengar gaung tulang-tulang ketika ia menguap lebar, dan air asin yang
merembes di pelupuk matanya. Aku terlalu lama bermain di kali hari ini,
pikirnya. Ia keletihan. Tanpa sempat mematikan radio di meja, Parwanti
memasrahkan dirinya pada rasa kantuk yang berat.
Tetapi ketika malam benar-benar beranjak
malam, Parwanti seolah bisa mendengarkan sebuah suara pada ambang sadar dan
tidurnya. Seperti sebuah langkah yang mendekat. Ibu, itukah kau? Dalam ambang
separo tidur itu pula Parwanti tersenyum. Ia belum pernah melihat ibunya. Hanya
dalam mimpi sosok itu muncul. Mungkin malam ini, mungkin langkah itu, adalah
ibunya yang selalu menjenguk dirinya setiap malam.
Ibu...
Suara langkah mendekat kini telah berganti
dengan suara derit dipan kayu yang mulai rapuh. Lalu hening. Hanya suara jangkrik,
atau gangsir, yang tak henti menjerit-jerit di luar. Parwanti tiba-tiba merasa
seperti ketindihan: keadaan ketika indera seolah bekerja dalam kesadaran,
tetapi otak tak mampu memerintahkan saraf untuk menggerakkan segala anggota
tubuh.
Ibu...kaukah yang datang?
Kemudian, suara itu berubah menjadi sentuhan.
Ia merasakan ada tangan yang memegang lengan kirinya. Basah. Dingin. Memaksa
tubuhnya untuk terlentang. Tangan itu kekar.
Bukan! Itu bukan Ibu!
Seperti ada alarm yang berbunyi di kepala
Parwanti. Tetapi kebekuan itu terlalu ganjil sebab ia tak mampu melakukan apa
pun meskipun pikirannya bisa separo sadar dan berpikir. Matanya ingin mencari
sosok yang menyentuh dirinya. Hanya langit-langit. Hanya sebuah bayangan hitam
di dinding yang bergoyang seiring pergerakan api dari pelita. Wahai, aku ingin
melihat tetapi tak kuasa, aku seperti melihat tetapi terpejam, apa yang
terjadi? Mulutnya terbuka seolah bicara, tetapi gaung suara hanya bisa ia
dengar di kepalanya.
Dari kejauhan, jeritan serigala menggaung
dari arah-arah yang tak pasti, seolah menjadi sebuah tanda sesuatu yang tak
semestinya bermula:
Tangan itu menggerayangi setiap lekuk tubuh
Parwanti dalam irama yang teratur, sementara mata Parwanti terus terpejam. Pada
setiap jengkal yang berhasil dijamah tangan itu, Parwanti selalu mengerahkan
segala tenaganya untuk meronta. Tetapi ia masih terjebak ketindihan, keberadaan
antara alam sadar dan mimpi yang liar, yang mengerikan.
Setelah usaha perlawanan yang sia-sia,
Parwanti akhirnya pasrah. Menyerah. Dan air matanya pun tumpah tanpa suara.
Sementara ia sudah tak sanggup membayangkan dan mengingat apa yang telah
dilakukan sosok tak dikenal itu pada tubuhnya.
Mimpi? Di manakah batas antara yang mimpi dan
yang nyata? Seperti sebuah cerita yang ia ingat. Bandung Bondowoso akhirnya
gagal membuatkan seribu candi dalam semalam untuk cintanya, Roro Jonggrang,
sebab ia mendengar suara lesung para perempuan petani. Tetapi itukah batas
antara malam dan pagi? Kenapa bukan merah fajar? Kenapa bukan ayam jantan yang berkokok?
Akhirnya ia tahu, tidak ada tapal yang mampu membatasi segala dengan absolut.
Bahkan tak ada batas antara mimpi dan kenyataan.
Dan inilah yang terjadi ketika Parwanti pada
esok harinya mendengar suara-suara pagi yang mulai riuh:
Sementara pada kesadaran semu yang
bertanya-tanya di manakah batas antara mimpi dan kenyataan, ia begitu heran
dengan mimpi yang ia dapat semalam. Matanya memandang langit-langit sembari
mendengarkan suara yang menggaung di ingatannya, seorang guru agama pernah
berkata bahwa seseorang akan melewati sebuah malam yang membatasi kedewasaan,
akil baligh, dengan sebuah mimpi. Tak seorang pun bisa menjelaskan padanya apa
mimpi itu. Mungkinkah, Parwanti bertanya-tanya dengan pipi yang memerah,
seperti mimpi yang ia alami semalam?
Tetapi begitu ia mencoba bangkit, Parwanti
nyaris tak bisa menahan sebuah pekik. Ia melihat percikan darah mengering pada
selimutnya yang putih. Parwanti tahu ia tak semestinya mendapat haid. Lalu
nyeri pada persendiannya seolah menjelaskan bagian lain dari kenyataan ganjil
itu. Kemudian rasa basah dan lembab di dada dan seprei yang tak ia kenal. Aroma
basa.
Sebelum ia sanggup membendung ingatannya
tentang mimpi semalam, yang barangkali nyata, Parwanti menjerit sekuat tenaga.
Bapaknya lari tergopoh-gopoh ke kamar,
“Nduk... nduk... Apa yang terjadi padamu?”
***
AKHIRNYA IA MENEMPUH PERJALANAN ITU
Sebab
sejak malam yang menyiksa seluruh sisa hidupnya itu, Parwanti menyadari bahwa
hidup adalah sebuah perjalanan. Perjalanan-penempuhan dua batas antara awal dan
akhir. Perjalanan-pengakuan pada peta dan tapal batas.
Hidup bukan lagi serba kebetulan yang
menyenangkan. Dan sejak itu pun ia tahu lelaki dan perempuan memang berbeda:
lelaki menyerang, perempuan menjadi korban. Selamanya begitu.
Tetapi yang paling mengerikan dari pengakuan
atas batas dan sejarah adalah ingatan yang terkumpul. Dan inilah jadinya:
dendam. Parwanti pun bersumpah, siapa pun lelaki yang melecehkannya malam itu,
jika kelak akhirnya ia mengetahui, ia akan menuntut balas. Tak banyak, hanya
nyawa. Ia tak pernah ragu soal itu.
Maka pada subuh berkabut itu Parwanti
meninggalkan tanah tempat ia melarikan dirinya dari masa lalu: Solo. Sebuah
tempat tujuan yang dulunya ia katakan ketika pamit pada bapak, bahwa ia akan
kuliah di sana ,
dan jangan menungguku, Pak. Aku tak hendak pulang. Aku tak hendak kembali.
Sebab aku sudah tak berani lagi melihat yang tersisa dari masa lalu.
Tetapi kini Parwanti kembali, seperti yang ia
pamitkan pada kawan-kawannya, aku hendak menempuh perjalanan pulang. Meski ada
yang tak ia sebutkan —aku hendak menuntut balas atas kepahitan masa lalu yang
kucecap.
Ia mengenderai sepeda motor dalam kecepatan
tinggi, dan merasakan jalananan mulai menanjak ketika akan sampai Boyolali. Di kota yang sejuk dan
bersih itu ia berbelok di sebuah pertigaan besar ke sebuah jalan yang sejauh
matanya memandang dipenuhi dengan bendera-bendera berwarna hijau.
Apakah bendera, selain sebuah pengukuhan akan
pengakuan bahwa diri adalah yang terkuat? Seperti pada perang perang masa lalu.
Sebuah keangkuhan.
Keangkuhan. Seperti lelaki yang melecehkannya
malam itu. Lelaki yang hendak ia bunuh hari ini.
Kemudian jalanan benar-benar menanjak setahap
demi setahap seperti tangga ketika ia telah melewati sebuah gerbang besar. Kata
tulisan di gerbang itu: Anda memasuki Kawasan Wisata Selo.
Astaga! Apakah gunanya tulisan, sebuah teks,
simbol sejarah dan peradaban, ketika ia telah lepas dari konteksnya. Aku tak
hendak berwisata. Aku hendak membunuh seseorang!
Tak lama kemudian, jalanan telah berubah
menjadi hanya tanjakan dan curaman. Tempat ia bisa sesekali melirik hamparan
sawah yang dicacah dengan terasiring, seperti kue ulang tahun yang tak
kongruen, dan juga jurang-jurang yang terkadang tak menunjukkan dasar: hanya
kabut yang menebal.
Mesin sepeda motornya meraung-raung, meronta
oleh jalanan yang hanya menanjak dan kebanyakan melingkar. Dalam konsentrasi
itu hanya sesekali ia melirik tulisan: Awas, daerah rawan longsor. Lalu ia
sedikit melirik, dan di tebing-tebing yang tinggi ia lihat tanah merah yang
mulus tanpa sedikit pun vegetasi. Tanah dan bebatuan di atas sana seperti telah siap menimpa dirinya. Dari
kejauhan, Merapi diselimuti asap putih. Entah kabut entah material. Semula ia
saksikan puncak itu di sebelah barat, lalu, lama kelamaan, melalui
tanjakan-tanjakan yang nyaris mustahil, gunung itu berubah posisi menjadi di
sebelah selatan. Itu berarti tak lama kemudian ia akan sampai di Ketep.
Di gardu pandang itu, tempat Merapi tampak
keteguhan dan kewibawaannya, Parwanti berhenti. Ia tiba-tiba seperti tak siap,
seperti ada yang menahan niatnya untuk melanjutkan selangkah lagi menuju
jalanan menurun seterusnya hingga sampai ke desa kelahirannya. Di Ketep, tempat
tanjakan akan berubah menjadi turunan, ia seperti menemukan klimaks yang
menyesakkan.
Tetapi tiba-tiba ia mendengar suara itu:
jeritan serigala.
Jeritan serigala yang sama dengan yang ia
dengar ketika ia menumpahkan air mata tanpa suara dalam rengkuhan lelaki yang
kini hendak ia bunuh. Mendadak Parwanti merasakan sarafnya menegang. Ada amarah yang tiba-tiba
merasuk dalam dirinya, dan mendorongnya untuk melanjutkan kembali perjalanan
itu. Tinggal selangkah. Ia merasakan jalan menurun. Ia merasakan tak ada
rintangan.
Dari jauh, ia seperti mendengar suara jeritan
serigala bersahutan. Seolah-olah mereka telah tahu apa yang akan terjadi.
Parwanti hendak membunuh bapaknya. ***
Catatan:
Cerpen ini
memenangi Juara I lomba cerpen yang diselenggarakan oleh Language Central UNS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar