Suara
Merdeka
Minggu,
15 Juli 2007
Kami Bongkar
Rumah Kami
Cerpen: Imam Muhtarom
KAMI turunkan genteng sepanjang siang yang
terik setelah jendela, pintu, beserta jeruji-jeruji kami lepaskan dari tembok
rumah yang dibangun kakek-nenek kami 90 tahun yang lalu. Kami memutuskan untuk
membongkar rumah warisan itu dan menggantinya dengan yang baru. Kami akan
mengubahnya dengan gaya
"spanyol" yang lagi mewabah di daerah kami. Rumah dengan satu pintu
di bagian depan, kaca hitam tanpa kerai kaca di sebelah kiri, dan dinding
sebelah kanan akan dilekatkan keramik mengilat dengan bagian atasnya terdapat
angin-angin dari kaca hitam. Di serambi akan kami pancangkan dua tiang dari
beton berhias ukiran khas Jepara dan lantainya tentu dengan keramik mengilat.
Rumah itu tidak membesar tetapi memanjang ke belakang dengan satu kamar utama
di samping ruang tamu dan dua kamar tidur bersebelahan dengan ruang
peristirahatan keluarga. Kami bayangkan tersedia satu televisi berukuran 21
inci dan satu perangkat lengkap elektronik untuk mendengarkan musik. Di bagian
belakang akan dibangun sebuah dapur model terbaru dengan lemari kayu terpasang
menempel di tembok dan di bagian bawah lemari itu dipasang plester tertutup
keramik seukuran telapak tangan berwarna putih. Sementara di samping dapur,
tepat di kanannya, akan dipisahkan oleh tembok sebagai sebuah ruangan garasi.
Di sebelahnya akan ada sebuah kamar mandi dengan lantai keramik berukuran kecil
berwarna biru dan satu bola lampu berkekuatan 70 watt. Dan kami akan mengecat
tembok bersemen tersebut dengan cat putih buatan pabrik dan bukan dari kapur.
Menutupinya dengan genteng bercat merah yang kalau tertimpa cahaya matahari
akan memantulkan kilatan-kilatan yang menyilaukan. Mungkin rumah kami ini
nantinya menyerupai makhluk baru dan siapa pun yang pernah datang ke rumah kami
pasti akan tercengang dan apabila memasukinya akan merasakan seperti berada di
sebuah pesawat luar angkasa dengan antena televisi menjulang ke atas seakan
ingin menusuk langit.
Kami tiga bersaudara telah sepakat mengganti rumah itu bukan semata mengikutigaya terakhir bentuk
rumah di daerah kami, tetapi kami sengaja untuk menghilangkan segala
peninggalan kakek-nenek kami. Jauh-jauh hari telah kami undang penebang
bergergaji mesin untuk memangkas sepuluh batang pohon kelapa yang barangkali
usianya lebih tua dari kami. Popon-pohon itu tinggi sekitar 75 meter dan kala
tertiup angin akan meliuk-liuk seakan memanggil cerita-cerita yang kami dengar
dari bapak-ibu kami, saudara-saudara ibu kami, dan tetangga-tetangga kami. Dan
kami juga melihat album foto keluarga tentang rumah itu kala tahun 1967. Kami
selalu merasa tidak pernah berada di tahun 2006 ketika mengingat dan membuka
album keluarga itu. Ada
bayangan hitam yang selalu membuat kami ingin membakar rumah beserta tanah sekitar
satu hektar itu. Membakarnya dan menggantikannya dengan sebuah gedung
bertingkat 70 lantai. Tapi itu mustahil. Kami hanya biasa menggantinya dengan
rumah bergaya "spanyol" dan memangkas semua pohon kelapa di halaman
dan menggantikannya dengan sebuah taman dan di situ berdiri sepuluh pohon
cemara. Pohon dengan daun-daun bergerigi dan lancip yang akan mengingatkan kami
bahwa kami hidup pada tahun 2006 dan bukan berada di tahun 1967.
Memang kakek-nenek kami tidak langsung membangun rumah yang sedang kami bongkar ini dengan tembok seperti yang terlihat sekarang, tetapi bertahap. Pertama kalinya dibangun dengan menjejakkan kayu yang ditebang dari hutan entah di mana dan menutupinya dengan anyaman bambu, memberinya daun pintu dari kayu jati dan jendela dengan terali dari kayu yang dipasak dan diatapi genteng yang dibeli dari tetangga desa. Setiap pasak dari kayu yang dijejakkan, diberi landasan batu kali yang diambil dari Sungai Ewuh di sebelah timur rumah. Pertama kali membangun rumah itu sekitar tahun 1930-an sebelum Jepang masuk dengan senjata berbayonet dan merampok padi-padi dan memaksa orang-orang makan dari ubi kayu dan sayur hati pohon pisang. Kami tidak tahu bagaimana rasa makanan seperti itu. Tapi menurut bapak kala itu makanan seperti itu nikmat sekali.
Tahap kedua rumah itu dibangun pada tahun 1957. Ibu pernah bercerita pemugaran rumah tersebut atas usul kakek kami sebelum dua tahun kemudian meninggal yang menurut ibu terserang sesak nafas. Rumah itu dibedah bagian tengahnya dan menguatkan pondasi dari batu kali dengan beton campuran pasir sungai, pasir batu merah, dan kapur putih. Lantas di atasnya batu-bata disusun membujur dan bukan melintang sebagaimana tembok sekarang. Tembok rumah kakek-nenek kami tersebut tebal dan tampak sangat kuat. Daun pintu dan jendelanya terbuat dari kayu jati yang sudah sangat tua dan ketebalannya 5 cm. Sementara bagian depan dibiarkan tetap berdinding anyaman bambu dan bagian dinding depannya tersusun dari bilahan-bilahan kayu jati. Rumah nenek kami tidak membujur ke belakang melainkan berbentuk serupa huruf L dengan bagian bangunan depan sebagai kakinya.
Rumah itu besar dan, sebagaimana terlihat sekarang, satu-satunya yang terbesar di antara rumah-rumah yang ada. Rumah tembok dengan warna putih dari batu kapur yang setiap tahunnya selalu dikapur, tepatnya hari raya lebaran. Setiap dikapur mendadak rumah itu tampak bangun dari tidur panjangnya, berganti dengan pakaian baru, dan siap menyambut siapa saja. Seolah hanya pada hari raya rumah kami bergembira dan menghadapi apa pun dengan kesukaan ria tersendiri yang tidak akan ditemukan kecuali pada hari raya itu. Kadang di depannya akan dipasang daun kelapa yang masih muda berjuntaian seolah tangan yang melambai-lambai kepada setiap orang yang lewat. Mungkin berkata, "Hei kemarilah. Aku bahagia kau datang. Aku sedang tidak ada masalah hari ini."
Demikian juga penghuninya. Pada hari raya itu semuanya, kami beserta bapak ibu kami, adalah manusia baru. Kami saling melihat di antara kami seolah kami adalah orang baru dan tidak teringat apa yang terjadi kemarin, kemarin, dan kemarinnya. Kami memakai baju baru meskipun tidak yang terbagus yang dijual di daerah kami. Sandal baru. Celana baru. Dan makanan-makanan baru berwarna-warni. Sering kami, ketika tidak hari raya, selalu berharap setiap bangun dari tidur adalah makanan yang baru tersedia, tersenyum-senyum, dan tidak bertemu orang-orang terkutuk yang selalu datang dengan wajah muram dan seolah hendak memakan kami seketika itu juga.
Ya, sewaktu kami berusia sekitar dua belas tahun rumah kami sering didatangi orang-orang yang meneror kami sekalipun mereka adalah keluarga dari ibu. Sebab mereka datang dengan begitu saja dan meminta pada ibu apa saja dan harus tersedia pada hari itu. Jika tidak, ibu kami akan dibentak-bentak dan jika tidak diberi juga apa yang diminta ibu kami akan digampar seolah ibu kami bukan manusia. Kami tak tahu apa yang dibenak orang itu. Orang itu biasa kami sebut Pak Min jika kami dengan terpaksa bertemu dengannya di depan rumah atau di jalan sebagai tanda hormat di mata orang-orang yang ada di sekitar kami: bahwa kami masih menghormati saudara ibu. Atau, sebenarnya ketakutan akan digampar juga?
Sebelum nenek kami meninggal, nenek kamilah yang menjadi sasaran. Kerap kali nenek dibentak-bentak oleh Pak Min dan entah karena takut terus-menerus dibentak anak laki-lakinya atau karena alasan lain nenek biasanya mengambil uang simpanannya atau perhiasannya dan begitu saja mengulurkannya pada si anak. Setelah itu, si anak, tanpa satu kata pun, beranjak dari tempatnya duduk dan langsung berjalan menuju sepeda di halaman dan mengayuhnya entah ke mana. Nenek kami lihat hanya menghela nafas dan berusaha tersenyum pada kami seraya mengajak kami ke luar rumah membersihkan rumput-rumput yang mulai tumbuh di seantero halaman depan. Nenek selama membersihkan rumput-rumput tak satu kali pun bersuara dan hanya tangannya yang cekatan dan kuat mencerabut cengkeraman akar-akar rumput di tanah halaman rumah. Kemudian mengumpulkannya di sebelah barat rumah dan membakarnya bersama-sama dengan daun pisang dan rambutan yang sudah mengering. Di mata kami selama pembakaran rumput nenek sangat khidmat seolah nenek sedang membakar kemarahannya sendiri atas perilaku anak lelakinya.
Tapi di dalam hati kami tidak menyebutnya Pak Min tetapi sang Pembelih. Sang Pembelih karena ia algojo orang-orang di daerah kami ketika prahara 1965. Menurut saudara Ibu, pada suatu malam sang Pembelih itu didatangi beberapa orang yang menggunakan penutup kepala hitam dan hanya dua biji matanya yang tampak serta sekujur badannya tertutup oleh pakaian hitam. Tak tahu bagaimana jalan pikirannya, sang Pembelih itu dengan senang hati ikut mereka. Sang Pembelih itu turun dari rumah dan berjalan di kegelapan malam dan menuju ke jalan menuju ke utara. Ibunya, nenek kami, menangis sewaktu sang Pembelih itu ikut sekalipun nenek kami telah berusaha mencegahnya. Ia tergulung-gulung di lantai disaksikan keempat anak perempuannya yang masih kecil-kecil menggigil di sudut rumah. Kakek kami saat itu telah mati dan nenek kami menjadi bulan-bulanan anak-anak lelakinya, terutama sang Pembelih.
Begitulah dalam bulan-bulan di paruh kedua tahun 1960-an sang Pembelih merajalela. Banyak orang yang dibunuh oleh sang Pembelih. Nenek kami mendengar kabar perilaku anaknya hanya tercenung dan sulit sekali diajak bicara. Nenek kami menjadi jarang di rumah dan suka sekali ke luar rumah malam-malam entah ke mana. Kadang dua hari tidak pulang dan pulang dengan baju lusuh dan bau tak sedap menguap dari badannya. Setiap ibu kami atau saudara perempuan lainnya mengatakan kebutuhan dapur telah habis, nenek akan diam atau berteriak, "Kalau ingin makan cari sendiri, kalau tidak mati saja sekalian!" Maka, ibu kami yang masih kecil bersama ketiga saudara perempuannya mencari kebutuhan dapur dengan cara pergi ke pinggiran Sungai Ewuh untuk mencari cabai dan sayur-sayuran yang tumbuh dengan sendirinya sebab sawah telah terbengkelai. Kalau tidak mencukupi sebab seharian tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan, biasanya mereka meminta kepada tetangga-tetangga sebelah. Sementara kedua saudaranya laki-laki semakin jarang pulang dan jika pulang hanya sekejap dan itu pun akan membawa barang-barang untuk digadai atau dijual semenjak nenek kami sulit sekali diajak bicara dengan enak tanpa ledakan-ledakan amarah. Ibu kami akhirnya putus dari sekolah menengah pertama karena sepeda yang dipakainya untuk mencapai sekolah selama dua jam perjalanan dibawa kabur dan tidak pernah kembali. Ibu kami hanya bisa menangis.
Ya, Ibu hanya bisa menangis. Menangis sebagaimana ia dipukul oleh sang Pembelih itu. Kami hanya diam dan diam-diam semenjak kami masih kecil hati kami mengeras kepada sang Pembelih itu. Sang Pembelih yang memang tak lagi menyembelih tetapi sang Pembelih itu tidak tahan ketika sangat lama tidak mendengarkan suara-saura sayatan sebagaimana ia dengar terus-menerus pada prahara 1965-an. Suara sayatan akibat parangnya itu telah meresap ke sanubarinya dan tertanam dalam dan bahkan berumah disana .
Setiap kali suara sayatan yang setiap malam terdengar di tahun-tahun paruh
kedua tahun 1960-an itu berkelebat di tahun 1980-an maka sang Pembelih itu
kelimpungan. Ia akan membanting apa pun sampai suara-suara itu meredam sayatan
yang menggejolak dalam sanubarinya. Kalau membanting tidak cukup meredam suara
sayatan itu, ia akan datang menemui istri atau anak-anaknya, dan kalau tidak
ada maka ia akan ke tempat saudaranya, terutama saudara perempuannya. Dan sang
Pembelih itu akan suka sekali mendengar suara saudaranya mengerang kesakitan.
Ah, dada kami seperti hendak memecah. Tapi Ibu kami mengatakan pada kami untuk tidak melakukan apa pun pada sang Pembelih itu atas semua yang telah dilakukannya kepadanya. Ibu mengatakan bahwa kami harus memberhentikan serangkaian dendam itu dan mengakhirinya, syukur kalau bisa memotongnya. Kami tak tahu apa yang sesungguhnya berada di dalam benak Ibu kami ketika Ibu kami mengatakan pada kami ketika ia membujur di ruang tengah rumah dengan wajah memandang jauh ke atas. Senja baru menyemburat ke langit. Burung-burung terbang di angkasa. Daun-daun pohon kelapa tampak kekuningan di pucuk-pucuknya. Nafas Ibu tersengal sebentar kemudian diam selamanya.
Pada saat itu Ibu adalah orang terakhir yang hidup di antara saudara-saudaranya yang lain. Ibu tidak memberikan apa-apa kepada kami kecuali harapannya kepada kami untuk hidup berdamai. Ya, kami bisa memaafkan kepada keluarga sang Pembelih yang membuat Ibu kami tersiksa sepanjang hidupnya. Kami hanya tak tahan apabila kenangan rumah itu menguat dan mulai mengganggu mimpi-mimpi kami lalu merambat di antara pikiran-pikiran kami seperti percikan api di musim kemarau. Kami bukan takut pada bayangan-bayangan itu, tetapi kami takut kami tidak bisa mengendalikan tindakan kami ketika dalam kami muncul bayangan sang Pembelih. Mungkin kami diam atau mungkin kami mengambil apa pun dan mengayunkannya kepada siapa pun yang berada di dekat kami.
Kami tak mau bayangan-bayangan itu muncul lagi dan kami telah sepakat di antara saudara kami untuk membongkar rumah kami yang usianya hampir seratus tahun itu dan menggantinya dengan rumah baru bergaya "spanyol". Kami tak tahu apa yang terjadi pada pikiran-pikiran kami setelah rumah baru tersebut selesai dibangun. Mungkin kami akan kehilangan semua masa lampau kami sebab semua perangkat rumah baru kami nanti tak satupun berasal dari warisan kakek-nenek kami dan bapak-Ibu kami. Kami akan membeli semua peralatan rumah dan menatanya dengan cara terbaru sehingga akan terbentuk suasana yang tak pernah kami rasakan sebelumnya dan tak pernah orang pikirkan. Kami akan berada di sebuah situs baru dan kami akan membuat masa lampau-masa lampau yang baru lagi.***
2006
Kami tiga bersaudara telah sepakat mengganti rumah itu bukan semata mengikuti
Memang kakek-nenek kami tidak langsung membangun rumah yang sedang kami bongkar ini dengan tembok seperti yang terlihat sekarang, tetapi bertahap. Pertama kalinya dibangun dengan menjejakkan kayu yang ditebang dari hutan entah di mana dan menutupinya dengan anyaman bambu, memberinya daun pintu dari kayu jati dan jendela dengan terali dari kayu yang dipasak dan diatapi genteng yang dibeli dari tetangga desa. Setiap pasak dari kayu yang dijejakkan, diberi landasan batu kali yang diambil dari Sungai Ewuh di sebelah timur rumah. Pertama kali membangun rumah itu sekitar tahun 1930-an sebelum Jepang masuk dengan senjata berbayonet dan merampok padi-padi dan memaksa orang-orang makan dari ubi kayu dan sayur hati pohon pisang. Kami tidak tahu bagaimana rasa makanan seperti itu. Tapi menurut bapak kala itu makanan seperti itu nikmat sekali.
Tahap kedua rumah itu dibangun pada tahun 1957. Ibu pernah bercerita pemugaran rumah tersebut atas usul kakek kami sebelum dua tahun kemudian meninggal yang menurut ibu terserang sesak nafas. Rumah itu dibedah bagian tengahnya dan menguatkan pondasi dari batu kali dengan beton campuran pasir sungai, pasir batu merah, dan kapur putih. Lantas di atasnya batu-bata disusun membujur dan bukan melintang sebagaimana tembok sekarang. Tembok rumah kakek-nenek kami tersebut tebal dan tampak sangat kuat. Daun pintu dan jendelanya terbuat dari kayu jati yang sudah sangat tua dan ketebalannya 5 cm. Sementara bagian depan dibiarkan tetap berdinding anyaman bambu dan bagian dinding depannya tersusun dari bilahan-bilahan kayu jati. Rumah nenek kami tidak membujur ke belakang melainkan berbentuk serupa huruf L dengan bagian bangunan depan sebagai kakinya.
Rumah itu besar dan, sebagaimana terlihat sekarang, satu-satunya yang terbesar di antara rumah-rumah yang ada. Rumah tembok dengan warna putih dari batu kapur yang setiap tahunnya selalu dikapur, tepatnya hari raya lebaran. Setiap dikapur mendadak rumah itu tampak bangun dari tidur panjangnya, berganti dengan pakaian baru, dan siap menyambut siapa saja. Seolah hanya pada hari raya rumah kami bergembira dan menghadapi apa pun dengan kesukaan ria tersendiri yang tidak akan ditemukan kecuali pada hari raya itu. Kadang di depannya akan dipasang daun kelapa yang masih muda berjuntaian seolah tangan yang melambai-lambai kepada setiap orang yang lewat. Mungkin berkata, "Hei kemarilah. Aku bahagia kau datang. Aku sedang tidak ada masalah hari ini."
Demikian juga penghuninya. Pada hari raya itu semuanya, kami beserta bapak ibu kami, adalah manusia baru. Kami saling melihat di antara kami seolah kami adalah orang baru dan tidak teringat apa yang terjadi kemarin, kemarin, dan kemarinnya. Kami memakai baju baru meskipun tidak yang terbagus yang dijual di daerah kami. Sandal baru. Celana baru. Dan makanan-makanan baru berwarna-warni. Sering kami, ketika tidak hari raya, selalu berharap setiap bangun dari tidur adalah makanan yang baru tersedia, tersenyum-senyum, dan tidak bertemu orang-orang terkutuk yang selalu datang dengan wajah muram dan seolah hendak memakan kami seketika itu juga.
Ya, sewaktu kami berusia sekitar dua belas tahun rumah kami sering didatangi orang-orang yang meneror kami sekalipun mereka adalah keluarga dari ibu. Sebab mereka datang dengan begitu saja dan meminta pada ibu apa saja dan harus tersedia pada hari itu. Jika tidak, ibu kami akan dibentak-bentak dan jika tidak diberi juga apa yang diminta ibu kami akan digampar seolah ibu kami bukan manusia. Kami tak tahu apa yang dibenak orang itu. Orang itu biasa kami sebut Pak Min jika kami dengan terpaksa bertemu dengannya di depan rumah atau di jalan sebagai tanda hormat di mata orang-orang yang ada di sekitar kami: bahwa kami masih menghormati saudara ibu. Atau, sebenarnya ketakutan akan digampar juga?
Sebelum nenek kami meninggal, nenek kamilah yang menjadi sasaran. Kerap kali nenek dibentak-bentak oleh Pak Min dan entah karena takut terus-menerus dibentak anak laki-lakinya atau karena alasan lain nenek biasanya mengambil uang simpanannya atau perhiasannya dan begitu saja mengulurkannya pada si anak. Setelah itu, si anak, tanpa satu kata pun, beranjak dari tempatnya duduk dan langsung berjalan menuju sepeda di halaman dan mengayuhnya entah ke mana. Nenek kami lihat hanya menghela nafas dan berusaha tersenyum pada kami seraya mengajak kami ke luar rumah membersihkan rumput-rumput yang mulai tumbuh di seantero halaman depan. Nenek selama membersihkan rumput-rumput tak satu kali pun bersuara dan hanya tangannya yang cekatan dan kuat mencerabut cengkeraman akar-akar rumput di tanah halaman rumah. Kemudian mengumpulkannya di sebelah barat rumah dan membakarnya bersama-sama dengan daun pisang dan rambutan yang sudah mengering. Di mata kami selama pembakaran rumput nenek sangat khidmat seolah nenek sedang membakar kemarahannya sendiri atas perilaku anak lelakinya.
Tapi di dalam hati kami tidak menyebutnya Pak Min tetapi sang Pembelih. Sang Pembelih karena ia algojo orang-orang di daerah kami ketika prahara 1965. Menurut saudara Ibu, pada suatu malam sang Pembelih itu didatangi beberapa orang yang menggunakan penutup kepala hitam dan hanya dua biji matanya yang tampak serta sekujur badannya tertutup oleh pakaian hitam. Tak tahu bagaimana jalan pikirannya, sang Pembelih itu dengan senang hati ikut mereka. Sang Pembelih itu turun dari rumah dan berjalan di kegelapan malam dan menuju ke jalan menuju ke utara. Ibunya, nenek kami, menangis sewaktu sang Pembelih itu ikut sekalipun nenek kami telah berusaha mencegahnya. Ia tergulung-gulung di lantai disaksikan keempat anak perempuannya yang masih kecil-kecil menggigil di sudut rumah. Kakek kami saat itu telah mati dan nenek kami menjadi bulan-bulanan anak-anak lelakinya, terutama sang Pembelih.
Begitulah dalam bulan-bulan di paruh kedua tahun 1960-an sang Pembelih merajalela. Banyak orang yang dibunuh oleh sang Pembelih. Nenek kami mendengar kabar perilaku anaknya hanya tercenung dan sulit sekali diajak bicara. Nenek kami menjadi jarang di rumah dan suka sekali ke luar rumah malam-malam entah ke mana. Kadang dua hari tidak pulang dan pulang dengan baju lusuh dan bau tak sedap menguap dari badannya. Setiap ibu kami atau saudara perempuan lainnya mengatakan kebutuhan dapur telah habis, nenek akan diam atau berteriak, "Kalau ingin makan cari sendiri, kalau tidak mati saja sekalian!" Maka, ibu kami yang masih kecil bersama ketiga saudara perempuannya mencari kebutuhan dapur dengan cara pergi ke pinggiran Sungai Ewuh untuk mencari cabai dan sayur-sayuran yang tumbuh dengan sendirinya sebab sawah telah terbengkelai. Kalau tidak mencukupi sebab seharian tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan, biasanya mereka meminta kepada tetangga-tetangga sebelah. Sementara kedua saudaranya laki-laki semakin jarang pulang dan jika pulang hanya sekejap dan itu pun akan membawa barang-barang untuk digadai atau dijual semenjak nenek kami sulit sekali diajak bicara dengan enak tanpa ledakan-ledakan amarah. Ibu kami akhirnya putus dari sekolah menengah pertama karena sepeda yang dipakainya untuk mencapai sekolah selama dua jam perjalanan dibawa kabur dan tidak pernah kembali. Ibu kami hanya bisa menangis.
Ya, Ibu hanya bisa menangis. Menangis sebagaimana ia dipukul oleh sang Pembelih itu. Kami hanya diam dan diam-diam semenjak kami masih kecil hati kami mengeras kepada sang Pembelih itu. Sang Pembelih yang memang tak lagi menyembelih tetapi sang Pembelih itu tidak tahan ketika sangat lama tidak mendengarkan suara-saura sayatan sebagaimana ia dengar terus-menerus pada prahara 1965-an. Suara sayatan akibat parangnya itu telah meresap ke sanubarinya dan tertanam dalam dan bahkan berumah di
Ah, dada kami seperti hendak memecah. Tapi Ibu kami mengatakan pada kami untuk tidak melakukan apa pun pada sang Pembelih itu atas semua yang telah dilakukannya kepadanya. Ibu mengatakan bahwa kami harus memberhentikan serangkaian dendam itu dan mengakhirinya, syukur kalau bisa memotongnya. Kami tak tahu apa yang sesungguhnya berada di dalam benak Ibu kami ketika Ibu kami mengatakan pada kami ketika ia membujur di ruang tengah rumah dengan wajah memandang jauh ke atas. Senja baru menyemburat ke langit. Burung-burung terbang di angkasa. Daun-daun pohon kelapa tampak kekuningan di pucuk-pucuknya. Nafas Ibu tersengal sebentar kemudian diam selamanya.
Pada saat itu Ibu adalah orang terakhir yang hidup di antara saudara-saudaranya yang lain. Ibu tidak memberikan apa-apa kepada kami kecuali harapannya kepada kami untuk hidup berdamai. Ya, kami bisa memaafkan kepada keluarga sang Pembelih yang membuat Ibu kami tersiksa sepanjang hidupnya. Kami hanya tak tahan apabila kenangan rumah itu menguat dan mulai mengganggu mimpi-mimpi kami lalu merambat di antara pikiran-pikiran kami seperti percikan api di musim kemarau. Kami bukan takut pada bayangan-bayangan itu, tetapi kami takut kami tidak bisa mengendalikan tindakan kami ketika dalam kami muncul bayangan sang Pembelih. Mungkin kami diam atau mungkin kami mengambil apa pun dan mengayunkannya kepada siapa pun yang berada di dekat kami.
Kami tak mau bayangan-bayangan itu muncul lagi dan kami telah sepakat di antara saudara kami untuk membongkar rumah kami yang usianya hampir seratus tahun itu dan menggantinya dengan rumah baru bergaya "spanyol". Kami tak tahu apa yang terjadi pada pikiran-pikiran kami setelah rumah baru tersebut selesai dibangun. Mungkin kami akan kehilangan semua masa lampau kami sebab semua perangkat rumah baru kami nanti tak satupun berasal dari warisan kakek-nenek kami dan bapak-Ibu kami. Kami akan membeli semua peralatan rumah dan menatanya dengan cara terbaru sehingga akan terbentuk suasana yang tak pernah kami rasakan sebelumnya dan tak pernah orang pikirkan. Kami akan berada di sebuah situs baru dan kami akan membuat masa lampau-masa lampau yang baru lagi.***
2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar