Batam
Pos
Minggu,
29 April 2007
Malam Seribu
Bulan
Cerpen: Leo Kelana
(untuk perempuan bertudung senja dengan
senyum berwarna jingga)
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit
yang semalaman tak memejamkan mata.**
"Perempuan itu seperti melati,"
kata ibuku suatu ketika. Aku diam saja. Kupandangi melati yang bermandi cahaya
mentari pagi. Di depan rumahku, ia tumbuh begitu sempurna. Ah?benarkah
perempuan itu seperti melati. Bisikku dalam hati.
*****
Dan ketika saatnya, aku baru mengerti.
Perempuan itu seperti melati. Lembut. Bening. Aku seperti selalu diminta untuk
diam bahkan terdiam ketika bening itu kutatap. Ingin kureguk. Ingin kurengkuh.
Tapi beburungan mengabarkan padaku, biarkan ia tumbuh di taman itu. Jangan kau
dekati. Jangan kau sentuh. Jangan kau tergesa tuk meraihnya. Biarkan ia luruh
ketika tiba saatnya. Kau hanya perlu menyiraminya.
Aku terpekur diam. Dengan apakah aku
menyirami melati itu? Melati yang tidak tumbuh di taman depan rumahku. Melati
yang tidak bermandi cahaya mentari pagi. Melati semerbak mewangi yang tak
terlihat kasat mata. Melati yang tumbuh di dalam hatiku. Melati yang tak pernah
membiarkan hatiku sunyi dari mendoakannya.
"Aku melihat lautan teduh di
matamu," kataku ketika pertama kali bertemu dengannya. Di sebuah bis malam
dalam perjalananku menyusuri sunyi. Angin hanya bisa berbisik ketika kulihat
perempuan itu tersenyum. Senyum yang sangat kusuka. Senyum berwarna jingga.
"Sepertinya kabut telah menyelimuti
batinku. Aku sama sekali tak mengerti kata-katamu. Bahkan telingaku seakan tak
mendengar apa-apa." Jawabnya berpuisi. Sepertinya aku sedang berhadapan
dengan Dewi Venus.
"Aku tak akan pernah bosan mengulangi
kata-kata itu. Aku akan berteriak sejuta kali sampai tiba saatnya telingamu
terbuka, juga kabut yang menyelimuti batinmu tersingkap. Aku tak akan pernah
bosan!"
Perempuan itu begitu sempurna. Pertemuan kali
itu pakaian putih bening membalut badannya. Sebening itukah hatimu wahai
perempuan salju? Hatiku diam-diam bertanya pada rembulan. Rembulan memandangku
iba.
"Mengapa kau menatapku seperti itu? Aku
melihat beban seberat bumi menggelantung di raut wajahmu. Maukah kau
mengabarkan padaku tentang keresahan jiwamu?"
"Aku takut kau berlaku tergesa pada
bidadari itu. Aku hanya ingin mengingatkan padamu, bersabarlah menghadapinya."
Rembulan menjawab, menyampaikan suara dawai biola kehidupan.
"Siramilah melati itu dalam setiap detak
jantungmu," lanjutnya.
*****
Ketika matahari mengambang tenang di atas
kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa.**
Bumi tiba-tiba terdiam. Bisu. Kaku terpaku
menatap gelap. Rembulan lenyap di telan pekat. Mengapa ifrit datang
bersijingkat dalam jiwaku lalu membisikkan sabda malapetaka? Aku tak mengerti.
Mengapa jibril tak membawakan secawan minuman surgawi agar aku tak terbakar
rayuan syaitan? Barangkali takdir memang menggariskan untuk tak boleh menatap
melati sementara waktu.
"Aku telah berbuat tolol. Aku tak sadar,
tiba-tiba saja aku ingin merengkuh melati itu. Aku ingin mencium semerbak
wanginya. Aku ingin memetiknya." Desahku pada rerumputan. Rerumputan di
taman-taman itu ternyata sesenggukan. Rinai air mata beranak sungai mengalir
deras pada wajahnya yang tirus.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku
katakan. Melati itu kini meranggas. Melati itu terkulai karena tanganmu yang
ceroboh. Mengapa kau berbuat seperti itu. Mengapa kau tak mendengarkan
sayup-sayup kebijaksanaan yang ditiupkan kupu-kupu setiap pagi? Dan sekarang
kau lihat air mata membanjiri kerajaan langit dan bumi.
Melati itu telah kau buat menangis. Dan dunia
pun kini berduka." Suara rerumputan di antara isak tangisnya.
"Lelaki seringkali bermimpi mendapatkan
cinta perempuan semudah ia manangkap merpati. Lelaki bisa jatuh sekali pandang,
tapi perempuan butuh dua kali musim gugur untuk mencari tahu apa sejatinya kehendak
nurani."
Aku terbuang pada keterpurukan. Aku telah
membuat melati itu terluka. Aku tak tahu kemana harus membawa jiwa yang
nelangsa. Nafasku terengah-engah membawa lari perasaanku yang linglung.
*****
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor
burung gereja yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis.**
"Ibu, aku datang padamu sebagai seorang
lelaki. Tolong katakan padaku apakah yang kau maksudkan, perempuan itu seperti
melati?"
"Anakku, apakah yang terjadi denganmu?
Mengapa di matamu terjadi badai dan hujan lebat? Katakan padaku apa yang telah
terjadi sehingga kau berlari membawa pertanyaan aneh".
"Aku mengingat kata-katamu yang dulu.
Perempuan itu seperti melati. Aku mengerti perempuan itu memang seperti melati.
Indah. Wangi. Lembut. Lalu beburungan dan sekawanan sahabatku yang lain
mengatakan padaku untuk menyiraminya. Tapi aku ceroboh. Tergesa-gesa ingin
memetiknya."
"Oh...mengapa kau anakku? Tanganmu masih
kaku dan keras. Tanganmu harus kau buat lentur bergerak. Menghiasinya dengan
tarian kebijaksanaan. Setelah itulah kau bisa memetik melati itu."
"Adakah selain itu perihal melati,
Bunda?"
"Aku ingin tahu bagaimana kau menyirami
melati itu. Melati yang tumbuh di taman hati akan layu kalau kau sirami dengan
kasar."
"Ajarkan aku bagaimana menyirami melati
itu, Bunda."
"Mengapa kau tak belajar dari alam
bagaimana menyirami melati."
"Aku ingin belajar dari seorang
perempuan. Dan perempuan yang paling berhak menerangkan padaku adalah engkau,
Bunda."
"Perempuan itu harus kau sirami dengan
lemah-lembut. Lihatlah arakan-arakan awan putih yang membawa air hujan. Ia
berjalan perlahan. Ia tak pernah tergesa. Seperti itulah kau menghadapi
perempuan."
"Tapi sekali lagi anakku. Tuhan
sebenarnya ingin kau lebih memahami bahwa hidup itu sangat rumit untuk
dijalani. Kau sedang ditempa untuk tidak menjadi orang yang kerdil. Kau tak
perlu risau dengan setangkai melati yang terlanjur kau kecewakan. Mintalah
kepada Tuhan semua yang kau inginkan. Dia Maha Pemurah. Tapi sebenarnya cinta
Tuhan-lah yang sejati."
*****
Magrib ini dalam doaku kau menjelma angin
yang turun sangat perlahan dari nun jauh di sana.**
Tuhan meraih tanganku yang lemah terkulai
karena setangkai melati. Dia kemudian menuntunku menuju mihrab-Nya yang agung.
Seorang penjaga surga membawakan secawan minuman dari al-Kautsar. Dingin.
Tenang mengalir di lorong tenggorokan hidupku. Apakah yang Kau anugerahkan
padaku, wahai Sang Maha Pecinta?
Dalam doa malamku kau menjelma denyut
jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah
batasnya.**
Putih menyelimuti seluruh badanku. Aku
berselonjor di teras mesjid. Tengah malam yang menggigil dingin, segerombolan
malaikat datang menjemputku.
"Seni rupa doamu telah sampai di Arsy
yang agung. Semoga Tuhan menganugerahkan bidadari surga yang akan menuntunmu
menuju cinta hakiki. Hanya cinta Tuhan-lah yang hakiki".
Semburat fajar tersenyum di ufuk timur. Malam
seribu bulan telah berlalu. Malaikat-malaikat yang turun ke bumi untuk
menjemput doa, kini telah kembali ke langit. Aku masih terus menyirami melatiku
di sela-sela adzan subuh yang mengalun syahdu. Kusirami melatiku dengan
lemah-lembut. Dengan untaian doaku.
Aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak kan
pernah selesai mendoakan keselamatanmu.***
Kairo, 15 Ramadhan 05:11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar