Lampung
Post
Minggu,
20 Mei 2007
Parto
Cerpen: Rudi Suhaimi
LELAKI usia 45-an tahun itu kelihatan
sekali ragu-ragu. Ada
yang hendak disampaikan lelaki itu kepada lelaki yang berada di hadapannya.
Tetapi seorang wanita yang duduk di sebelah lelaki pemilik rumah belum juga beranjak. Wanita itu baru saja menyuguhkan dua cangkir kopi, secangkir untuk tamunya, yang secangkir lagi untuk suaminya.
Usia dua lelaki itu sebenarnya sebaya, tetapi yang menjadi tamu malam itu jauh kelihatan tua, penuh guratan di wajahnya.
Lelaki itu kelihatan gelisah sekali, sudahlima kali dia mengingsut bokongnya, padahal
baru sepuluh menit dia duduk di sofa lapisan beludru loreng-loreng kuning yang
kelihatan kusam dan menipis dimakan usia itu.
"Saya tinggal ke dalam dulu ya, diminum kopinya Mas Parto," suara wanita itu memecah kebekuan kata. Tanpa menunggu jawaban dari suami, dan lelaki tamunya yang dipanggil Parto, wanita yang mengenakan kebaya, dan kain batik yang sudah lusuh itu beranjak masuk ke ruangan berbatas kain gorden warna merah. Parto menganggukkan kepala tanpa bisa menyembunyikan kegelisahan.
"Ada apa
To, tumben kamu bertandang ke rumahku, malam-malam lagi?" ujar lelaki tuan
rumah itu.
Yang ditanya, hanya celingak-celinguk, sesekali pandangannya mencoba menembus gorden pembatas ruang tamu dan bagian lain rumah itu. Parto coba-coba meyakini tidak ada orang yang akan mendengar saat dia berbicara dengan lelaki yang duduk persis di hadapanya itu. Tak lama, dia beringsut, duduk persis di samping lelaki pemilik rumah itu.
"Bantu aku Harli," kata Parto, dengan berbisik. Suaranya nyaris tiada terdengar digilas kegelisahanya.
"Apa yang bisa aku bantu," timpal Harli, dengan intonasi normal.
Saat itu Parto mengangkat jari telunjuknya dan diletakkan di kedua bibirnya mengisyaratkan agar Harli tidak berbicara keras-keras. Harli terheran-heran menyaksikan perilaku Parto. Apalagi Harli bukan setahun atau dua tahun mengenal Parto, jauh dari itu keduanya berteman sejak kecil.
"Bukan, kamu ini ada apa?" tanya Harli dengan suara berbisik mengikuti keinginan sahabatnya itu.
"Pinjami aku duit. Aku mau kabur dari kampung ini," ujar Parto seraya meraih sigaret milik Harli yang diletakkan di meja, menyulutnya dengan jari jemari yang tampak gemetaran, disedotnya asap sigaret itu lalu diembuskan asap dari mulut dan hidungnya. Asap pun mengepul tak beraturan.
Harli melakukan tindakan yang sama dengan Parto, tapi Harli meraih puntung rokok sisa yang diletakkan di asbak, sisa rokok habis makan malamnya tadi.
"Darimana aku punya uang lebih Parto, kamu tahu sendiri seluruh petani di kampung ini gagal panen. Lagi pula, kenapa kamu hendak kaluar kampung ini?" ujar Harli kepada lelaki yang duduk tanpa jarak di sebelahnya itu.
Yang diajak bicara kelihatan gelisah, dan celingak-celinguk. Lagi-lagi meletakkan jari telunjuknya ke bibir.
"Aku terlibat pencurian, Li," kata Parto dengan intonasi yang sangat rendah. Suara yang agak bergetar itu nyaris tiada terdengar.
"Apa, kamu maling!" Harli setengah terpekik, seraya membelalakkan mata. Suara itu hingga terdengar ke dalam kamar, di mana istri Harli tengah menetekkan bayinya. Apalagi, rumah itu berukuran kecil dengan pembatas gedek belaka.
"Jangan keras-keras bicara kamu Harli," Parto memohon dengan mimik cemas berbaur takut. Namun terlambat, dari dalam kamar terdengar dehaman istri Harli.
"Siapa yang maling Pak," terdengar suara perempuan dari dalam kamar. Bersamaan kepias-pasian menghiasi tiap lubang pori-pori wajah Parto.
"O, tidak, Bu," jawab Harli kikuk dan coba mengendalikan keadaan. "Di kampung tetangga belakangan banyak maling," Harli berbohong. Dia tidak tega melihat perubahan roman wajah sahabat yang terjalin sejak kecil itu.
Namun, Parto betul-betul kelihatan ketakutan. Duduknya menjadi serbasalah. "Aku terpaksa, terpaksa sekali, dan sungguh benar-benar terpaksa, Li. Dan saat ini cuma itu yang bisa aku lakukan," ujar Parto memelas, punah sudah aura kejantanan Parto yang selama ini dikenal Harli sebagai seorang pemberani dan tegar.
"Aku gak mau dipenjara, tolong aku pinjami uang Rp250 ribu saja untuk ongkos kabur dari kampung ini, kalau aku dipenjara siapa yang akan beri makan istriku yang sedang sakit, dan anakku yang masih kecil itu," ujar Parto, dari sudut-sudut matanya mulai menetes cairan bening.
Memang, sejak Sukab dan Bendot ditangkap polisi tadi pagi, Parto seharian dihantui kegelisahan. Selama ini lelaki itu berkomplot dengan keduanya melakukan aksi pencurian ternak dan warung di kampung itu serta beberapa kampung tetangga.
Kegelisahan yang teramat sangat. Parto sendiri baru dua kali ikut Sukab dan Bendot mencuri. Yang pertama maling sapi di rumah juragan Markut dan yang terakhir di warung Mang Gendut.
Dari hasil penjualan sapi curian itu, Parto kebagian Rp500 ribu. Uang itu habis dipakai untuk makan sehari-hari dan biaya berobat istrinya yang terkena malaria. Yang terakhir, dari hasil mencuri di warung Mang Gendut, Parto mencicipi uang Rp25 ribu dan beberapa bungkus rokok yang dikonsumsinya.
Parto takut sekali, jika diperiksa Polisi, Sukab dan Bendot akan menceritakan kesertaan dirinya mencuri. Parto sendiri terpaksa melakukan itu dan ikut keduanya karena tidak tega melihat keadaan istrinya yang sedang sakit, sementara itu dia hanya petani penggarap yang belakangan ini gagal panen.
Sudah sehari-hari susah mencari makan, ditambah lagi dengan istrinya yang sedang sakit. Namun apes buat lelaki itu, baru dua kali mencuri, dua rekannya tertangkap polisi.
Parto tidak tahu jika Sukab dan Bendot sudah sering mencuri, tidak hanya di kampung-kampung, tetapi juga perumahan-perumahan dikota . Keduanya sudah lama menjadi buron.
Parto berpikir tertangkapnya Sukab dan Bendot juga bersangkutan dengan dirinya,
maling sapi juragan Markut pekan lalu, dan hari Kamisnya, membobol warung Mang
Gendut.
Hanya satu dalam benak Parto, polisi sudah tahu jika pencuri sapi juragan Markut dan warung Mang Gendut ialah Sukab, Bendot, dan dirinya.
"Jadi kalian pelakunya," datar Harli bicara.
"Aku sungguh-sungguh terpaksa, aku tidak punya uang. Istriku sakit, dan anaku perlu makan. Siapa yang mau bantu aku, sungguh itu karena keterpaksaan," ujar Parto terbata. "Bantulah aku Li, aku tidak mau dibui, kasihan istri dan anakku," ujar Parto lagi. "Kalau aku keluar kampung, aku berusaha cari kerja di luar, diam-diam aku bisa pulang, dan memberi uang kepada mereka," tambahnya lagi. Kali ini Parto tak kuasa membendung tangisnya.
"Sudah kubilang, kalau aku tidak punya uang sebanyak itu. Apa tidak sebaiknya kamu menyerahkan diri saja kepada polisi, berkata yang jujur biar meringankan hukumanmu," kata Harli. Parto tertunduk diam, air matanya menganak sungai. Lama Parto memandangi sandal jepitnya yang sudah tipis, digoser-goserkannya di lantai tanah rumah Harli. Sebelum dia mengangkat kepala dan memandang ke arah dua bola mata lelaki yang persis duduk di sebelah kananya.
Tatapan iba yang sarat pengharapan. "Aku takut dipenjara Li, bagaimana nasib istriku yang sedang sakit dan anakku yang masih piyik itu," Parto merepetisi kata-kata itu. "Marni, istriku, pasti sangat kecewa dan terpukul batinnya jika dia tahu kalau aku, suaminya, seorang maling. Pasti sakitnya bisa tambah parah Li," Parto bicara sambil terisak.
"Istrimu pasti tahu karena polisi akan mencari ke rumahmu Parto, Polisi akan katakan pada Mbak Marni, mengapa mereka mencari suaminya," kata Harli.
"Nggak Li, aku nggak mau dipenjara, bantulah aku. Sekali ini saja, aku sungguh kapok dan tidak akan mengulangi, aku malu pada orang kampung. Istri dan anaku pasti juga menanggung aib itu, mereka tidak bersalah, mereka tidak berdosa. Akulah yang salah. Kami tidak punya uang untuk makan, untuk berobat, apalagi untuk beli susu. Tolong aku Li, tolong," Parto benar-benar memelas.
Tergambar di kelopak mata Parto, sosok wanita yang lunglai terkulai di balai bambu, tergambar di batok kepala lelaki itu sosok lelaki kecil dengan tubuh kurus merengek-rengek minta makan. Terbersit dalam pikirannya, polisi memeriksanya dan terlihat juga dalam bayanganya jeruji-jeruji besi, tembok yang tinggi dilapisi pagar kawat berduri. "Marni, Tole, maafkan bapakmu, kenapa aku jadi orang miskin...tidaaaaaaaaak!" Parto bergumam, sebelum tanpa sadar dia berteriak histeris.
"Ada apa Mas Parto?" terdengar teriakan istri Harli dari dalam rumah, berbarengan dengan lengkingan tangis bayi.
"Sabar-sabar Parto," ujar Harli serta merta memeluk sahabatnya itu. Kegaduhan itu juga mengundang perhatian beberapa tetangga Harli. Sebagian dari mereka datang ke rumah berukuran 4 x 6 meter itu.
"Ada apa Mas Parto, pake teriak-teriak. Tetangga pada kumpul di luar tuh," ujar istri Harli yang sudah berada di ruang tamu, tanpa sadar bagian atas kebayanya lupa dikancingi, terlihat kutang warna hitam yang sudah lusuh nyaris melorot, sedangkan bayi yang digendong belum juga mengakhiri tangisnya.
Harli berusaha meyakinkan para tetangga yang berdatangan jika tidak terjadi apa-apa di rumahnya. Bersamaan dengan itu, dari sebelah timur jalan desa terlihat sebuah mobil minibus warna merah parkir, tampak tujuh orang turun bergantian, lalu berjalan menuju rumah Harli. Lima di antara mereka mengenakan seragam polisi dengan menjinjing tiga senapan laras panjang dan dua berpakaian preman.
"Polisi," Harli mendesis. "Kok banyak polisi kemari, ada apa...ada apa?" suara orang di luar rumah Harli saling bertanya satu sama lain.
Sementara itu, Harli memalingkan wajah ke arah Parto, yang tampak gelisah mendengar nama polisi disebut-sebut.
"Polisi?" tanya Parto kepada Harli, yang ditanya hanya mengangguk.
Berapa saat kemudian, Parto menerobos gorden penyekat ruang tamu rumah itu, berlari ke arah dapur.
"Parto jangan lari! Menyerah saja. Polisi bawa senjata," teriak Harli.
Namun, yang diteriaki tak menggubris, terus berlari menerobos dapur dan semak-semak di belakang rumah itu. Ketujuh polisi itu mengejar, derap sepatu lars memecah kesunyian malam itu.
Sementara itu, orang-orang yang mulai ramai berkumpul di halaman rumah Harli saling pandang penuh tanda tanya. "Ada
apa dengan Parto?" satu pertanyaan yang hinggap diuntaian dawai otak
mereka.
"Berhenti!, Dor!..Dor!..Dor!," suara teriakan dan tiga kali salakan senapan menghentikan cengkerama binatang malam di kampung itu.
Parto tersungkur di bawah pohon singkong. Mulutnya mengerang kesakitan. Salah seorang petugas masih menodongkan senapan ke arah tubuh yang terkulai dan kotor akibat tanah lempung. Seorang petugas lagi menggeledah Parto, tubuh kurus yang terkena luka tembak di pahanya itu dihentakkan lalu dipapah menuju minibus yang diparkir di ujung jalan itu.
Parto melambai-lambaikan tangan memanggil Harli, seperti ada yang menuntun lelaki yang mengenakan kaus singlet dan celana hitam comprang itu menghampiri. "Harli, Kalau kau tidak bisa bantu aku. Tolong bantu dan titip istriku yang sedang sakit dan si tole anaku. Tolong sampaikan maafku pada keduanya. Cita-citaku bukan jadi pencuri, tapi kenapa aku jadi pencuri," kata Parto sambil menahan sakit, darah mulai menetes ke mata kakinya.
Tak ada kata yang terucap dari mulut Harli, lelaki itu hanya mengangguk, tak terasa cairan bening meleleh di pipinya. "Parto...Parto," desis Harli.
"Besok bapak ke kantor polisi untuk dimintai keterangan," ujar petugas yang berpakaian preman. Harli hanya mengangguk sambil memandangi mobil yang membawa Parto lapat-lapat hilang ditelan tikungan jalan kampung yang gelap gulita itu.
"Parto...Parto," Harli kembali mendesis. Sebelum kembali ke rumahnya, tak satu pun pertanyaan tetangganya tentang Parto yang dihiraukan, hingga Harli memeluk istrinya di kamar berpenerangan lampu totok itu.
"Berita ini bohong!" Harli mengumpat dalam hati sambil membanting koran, tertulis dalam koran itu, Parto salah seorang anggota komplotan Sukab yang terlibat berbagai aksi pencurian terpaksa ditembak polisi karena berusaha kabur saat hendak diringkus di tempat persembunyian di rumah seorang warga. Dalam menjalankan aksinya komplotan ini diduga sangat kejam, tidak segan-segan melukai korbanya. Parto bersama Sukab dan Bendot kerap melancarkan aksi di perumahan-perumahan dan pertokoan-pertokoankota .
Sudah lama komplotan ini diincar petugas, komplotan ini seperti belut, licin....
"Bohong, Parto tidak bersembunyi di rumah saya, Parto terpaksa mencuri karena istrinya sakit, keluarganya tidak makan, berita ini tidak benar," Harli hanya mengumpat dalam hati tentang isi berita yang dianggap tidak benar itu. Harli tidak paham membedakan mana surat kabar yang berkualitas dan mana yang semata-mata untuk meraup keuntungan. "Parto...Parto, benar kenapa kita miskin, kenapa harus maling," desis Harli. ***
Tetapi seorang wanita yang duduk di sebelah lelaki pemilik rumah belum juga beranjak. Wanita itu baru saja menyuguhkan dua cangkir kopi, secangkir untuk tamunya, yang secangkir lagi untuk suaminya.
Usia dua lelaki itu sebenarnya sebaya, tetapi yang menjadi tamu malam itu jauh kelihatan tua, penuh guratan di wajahnya.
Lelaki itu kelihatan gelisah sekali, sudah
"Saya tinggal ke dalam dulu ya, diminum kopinya Mas Parto," suara wanita itu memecah kebekuan kata. Tanpa menunggu jawaban dari suami, dan lelaki tamunya yang dipanggil Parto, wanita yang mengenakan kebaya, dan kain batik yang sudah lusuh itu beranjak masuk ke ruangan berbatas kain gorden warna merah. Parto menganggukkan kepala tanpa bisa menyembunyikan kegelisahan.
"
Yang ditanya, hanya celingak-celinguk, sesekali pandangannya mencoba menembus gorden pembatas ruang tamu dan bagian lain rumah itu. Parto coba-coba meyakini tidak ada orang yang akan mendengar saat dia berbicara dengan lelaki yang duduk persis di hadapanya itu. Tak lama, dia beringsut, duduk persis di samping lelaki pemilik rumah itu.
"Bantu aku Harli," kata Parto, dengan berbisik. Suaranya nyaris tiada terdengar digilas kegelisahanya.
"Apa yang bisa aku bantu," timpal Harli, dengan intonasi normal.
Saat itu Parto mengangkat jari telunjuknya dan diletakkan di kedua bibirnya mengisyaratkan agar Harli tidak berbicara keras-keras. Harli terheran-heran menyaksikan perilaku Parto. Apalagi Harli bukan setahun atau dua tahun mengenal Parto, jauh dari itu keduanya berteman sejak kecil.
"Bukan, kamu ini ada apa?" tanya Harli dengan suara berbisik mengikuti keinginan sahabatnya itu.
"Pinjami aku duit. Aku mau kabur dari kampung ini," ujar Parto seraya meraih sigaret milik Harli yang diletakkan di meja, menyulutnya dengan jari jemari yang tampak gemetaran, disedotnya asap sigaret itu lalu diembuskan asap dari mulut dan hidungnya. Asap pun mengepul tak beraturan.
Harli melakukan tindakan yang sama dengan Parto, tapi Harli meraih puntung rokok sisa yang diletakkan di asbak, sisa rokok habis makan malamnya tadi.
"Darimana aku punya uang lebih Parto, kamu tahu sendiri seluruh petani di kampung ini gagal panen. Lagi pula, kenapa kamu hendak kaluar kampung ini?" ujar Harli kepada lelaki yang duduk tanpa jarak di sebelahnya itu.
Yang diajak bicara kelihatan gelisah, dan celingak-celinguk. Lagi-lagi meletakkan jari telunjuknya ke bibir.
"Aku terlibat pencurian, Li," kata Parto dengan intonasi yang sangat rendah. Suara yang agak bergetar itu nyaris tiada terdengar.
"Apa, kamu maling!" Harli setengah terpekik, seraya membelalakkan mata. Suara itu hingga terdengar ke dalam kamar, di mana istri Harli tengah menetekkan bayinya. Apalagi, rumah itu berukuran kecil dengan pembatas gedek belaka.
"Jangan keras-keras bicara kamu Harli," Parto memohon dengan mimik cemas berbaur takut. Namun terlambat, dari dalam kamar terdengar dehaman istri Harli.
"Siapa yang maling Pak," terdengar suara perempuan dari dalam kamar. Bersamaan kepias-pasian menghiasi tiap lubang pori-pori wajah Parto.
"O, tidak, Bu," jawab Harli kikuk dan coba mengendalikan keadaan. "Di kampung tetangga belakangan banyak maling," Harli berbohong. Dia tidak tega melihat perubahan roman wajah sahabat yang terjalin sejak kecil itu.
Namun, Parto betul-betul kelihatan ketakutan. Duduknya menjadi serbasalah. "Aku terpaksa, terpaksa sekali, dan sungguh benar-benar terpaksa, Li. Dan saat ini cuma itu yang bisa aku lakukan," ujar Parto memelas, punah sudah aura kejantanan Parto yang selama ini dikenal Harli sebagai seorang pemberani dan tegar.
"Aku gak mau dipenjara, tolong aku pinjami uang Rp250 ribu saja untuk ongkos kabur dari kampung ini, kalau aku dipenjara siapa yang akan beri makan istriku yang sedang sakit, dan anakku yang masih kecil itu," ujar Parto, dari sudut-sudut matanya mulai menetes cairan bening.
Memang, sejak Sukab dan Bendot ditangkap polisi tadi pagi, Parto seharian dihantui kegelisahan. Selama ini lelaki itu berkomplot dengan keduanya melakukan aksi pencurian ternak dan warung di kampung itu serta beberapa kampung tetangga.
Kegelisahan yang teramat sangat. Parto sendiri baru dua kali ikut Sukab dan Bendot mencuri. Yang pertama maling sapi di rumah juragan Markut dan yang terakhir di warung Mang Gendut.
Dari hasil penjualan sapi curian itu, Parto kebagian Rp500 ribu. Uang itu habis dipakai untuk makan sehari-hari dan biaya berobat istrinya yang terkena malaria. Yang terakhir, dari hasil mencuri di warung Mang Gendut, Parto mencicipi uang Rp25 ribu dan beberapa bungkus rokok yang dikonsumsinya.
Parto takut sekali, jika diperiksa Polisi, Sukab dan Bendot akan menceritakan kesertaan dirinya mencuri. Parto sendiri terpaksa melakukan itu dan ikut keduanya karena tidak tega melihat keadaan istrinya yang sedang sakit, sementara itu dia hanya petani penggarap yang belakangan ini gagal panen.
Sudah sehari-hari susah mencari makan, ditambah lagi dengan istrinya yang sedang sakit. Namun apes buat lelaki itu, baru dua kali mencuri, dua rekannya tertangkap polisi.
Parto tidak tahu jika Sukab dan Bendot sudah sering mencuri, tidak hanya di kampung-kampung, tetapi juga perumahan-perumahan di
Hanya satu dalam benak Parto, polisi sudah tahu jika pencuri sapi juragan Markut dan warung Mang Gendut ialah Sukab, Bendot, dan dirinya.
"Jadi kalian pelakunya," datar Harli bicara.
"Aku sungguh-sungguh terpaksa, aku tidak punya uang. Istriku sakit, dan anaku perlu makan. Siapa yang mau bantu aku, sungguh itu karena keterpaksaan," ujar Parto terbata. "Bantulah aku Li, aku tidak mau dibui, kasihan istri dan anakku," ujar Parto lagi. "Kalau aku keluar kampung, aku berusaha cari kerja di luar, diam-diam aku bisa pulang, dan memberi uang kepada mereka," tambahnya lagi. Kali ini Parto tak kuasa membendung tangisnya.
"Sudah kubilang, kalau aku tidak punya uang sebanyak itu. Apa tidak sebaiknya kamu menyerahkan diri saja kepada polisi, berkata yang jujur biar meringankan hukumanmu," kata Harli. Parto tertunduk diam, air matanya menganak sungai. Lama Parto memandangi sandal jepitnya yang sudah tipis, digoser-goserkannya di lantai tanah rumah Harli. Sebelum dia mengangkat kepala dan memandang ke arah dua bola mata lelaki yang persis duduk di sebelah kananya.
Tatapan iba yang sarat pengharapan. "Aku takut dipenjara Li, bagaimana nasib istriku yang sedang sakit dan anakku yang masih piyik itu," Parto merepetisi kata-kata itu. "Marni, istriku, pasti sangat kecewa dan terpukul batinnya jika dia tahu kalau aku, suaminya, seorang maling. Pasti sakitnya bisa tambah parah Li," Parto bicara sambil terisak.
"Istrimu pasti tahu karena polisi akan mencari ke rumahmu Parto, Polisi akan katakan pada Mbak Marni, mengapa mereka mencari suaminya," kata Harli.
"Nggak Li, aku nggak mau dipenjara, bantulah aku. Sekali ini saja, aku sungguh kapok dan tidak akan mengulangi, aku malu pada orang kampung. Istri dan anaku pasti juga menanggung aib itu, mereka tidak bersalah, mereka tidak berdosa. Akulah yang salah. Kami tidak punya uang untuk makan, untuk berobat, apalagi untuk beli susu. Tolong aku Li, tolong," Parto benar-benar memelas.
Tergambar di kelopak mata Parto, sosok wanita yang lunglai terkulai di balai bambu, tergambar di batok kepala lelaki itu sosok lelaki kecil dengan tubuh kurus merengek-rengek minta makan. Terbersit dalam pikirannya, polisi memeriksanya dan terlihat juga dalam bayanganya jeruji-jeruji besi, tembok yang tinggi dilapisi pagar kawat berduri. "Marni, Tole, maafkan bapakmu, kenapa aku jadi orang miskin...tidaaaaaaaaak!" Parto bergumam, sebelum tanpa sadar dia berteriak histeris.
"Ada apa Mas Parto?" terdengar teriakan istri Harli dari dalam rumah, berbarengan dengan lengkingan tangis bayi.
"Sabar-sabar Parto," ujar Harli serta merta memeluk sahabatnya itu. Kegaduhan itu juga mengundang perhatian beberapa tetangga Harli. Sebagian dari mereka datang ke rumah berukuran 4 x 6 meter itu.
"Ada apa Mas Parto, pake teriak-teriak. Tetangga pada kumpul di luar tuh," ujar istri Harli yang sudah berada di ruang tamu, tanpa sadar bagian atas kebayanya lupa dikancingi, terlihat kutang warna hitam yang sudah lusuh nyaris melorot, sedangkan bayi yang digendong belum juga mengakhiri tangisnya.
Harli berusaha meyakinkan para tetangga yang berdatangan jika tidak terjadi apa-apa di rumahnya. Bersamaan dengan itu, dari sebelah timur jalan desa terlihat sebuah mobil minibus warna merah parkir, tampak tujuh orang turun bergantian, lalu berjalan menuju rumah Harli. Lima di antara mereka mengenakan seragam polisi dengan menjinjing tiga senapan laras panjang dan dua berpakaian preman.
"Polisi," Harli mendesis. "Kok banyak polisi kemari, ada apa...ada apa?" suara orang di luar rumah Harli saling bertanya satu sama lain.
Sementara itu, Harli memalingkan wajah ke arah Parto, yang tampak gelisah mendengar nama polisi disebut-sebut.
"Polisi?" tanya Parto kepada Harli, yang ditanya hanya mengangguk.
Berapa saat kemudian, Parto menerobos gorden penyekat ruang tamu rumah itu, berlari ke arah dapur.
"Parto jangan lari! Menyerah saja. Polisi bawa senjata," teriak Harli.
Namun, yang diteriaki tak menggubris, terus berlari menerobos dapur dan semak-semak di belakang rumah itu. Ketujuh polisi itu mengejar, derap sepatu lars memecah kesunyian malam itu.
Sementara itu, orang-orang yang mulai ramai berkumpul di halaman rumah Harli saling pandang penuh tanda tanya. "
"Berhenti!, Dor!..Dor!..Dor!," suara teriakan dan tiga kali salakan senapan menghentikan cengkerama binatang malam di kampung itu.
Parto tersungkur di bawah pohon singkong. Mulutnya mengerang kesakitan. Salah seorang petugas masih menodongkan senapan ke arah tubuh yang terkulai dan kotor akibat tanah lempung. Seorang petugas lagi menggeledah Parto, tubuh kurus yang terkena luka tembak di pahanya itu dihentakkan lalu dipapah menuju minibus yang diparkir di ujung jalan itu.
Parto melambai-lambaikan tangan memanggil Harli, seperti ada yang menuntun lelaki yang mengenakan kaus singlet dan celana hitam comprang itu menghampiri. "Harli, Kalau kau tidak bisa bantu aku. Tolong bantu dan titip istriku yang sedang sakit dan si tole anaku. Tolong sampaikan maafku pada keduanya. Cita-citaku bukan jadi pencuri, tapi kenapa aku jadi pencuri," kata Parto sambil menahan sakit, darah mulai menetes ke mata kakinya.
Tak ada kata yang terucap dari mulut Harli, lelaki itu hanya mengangguk, tak terasa cairan bening meleleh di pipinya. "Parto...Parto," desis Harli.
"Besok bapak ke kantor polisi untuk dimintai keterangan," ujar petugas yang berpakaian preman. Harli hanya mengangguk sambil memandangi mobil yang membawa Parto lapat-lapat hilang ditelan tikungan jalan kampung yang gelap gulita itu.
"Parto...Parto," Harli kembali mendesis. Sebelum kembali ke rumahnya, tak satu pun pertanyaan tetangganya tentang Parto yang dihiraukan, hingga Harli memeluk istrinya di kamar berpenerangan lampu totok itu.
"Berita ini bohong!" Harli mengumpat dalam hati sambil membanting koran, tertulis dalam koran itu, Parto salah seorang anggota komplotan Sukab yang terlibat berbagai aksi pencurian terpaksa ditembak polisi karena berusaha kabur saat hendak diringkus di tempat persembunyian di rumah seorang warga. Dalam menjalankan aksinya komplotan ini diduga sangat kejam, tidak segan-segan melukai korbanya. Parto bersama Sukab dan Bendot kerap melancarkan aksi di perumahan-perumahan dan pertokoan-pertokoan
Sudah lama komplotan ini diincar petugas, komplotan ini seperti belut, licin....
"Bohong, Parto tidak bersembunyi di rumah saya, Parto terpaksa mencuri karena istrinya sakit, keluarganya tidak makan, berita ini tidak benar," Harli hanya mengumpat dalam hati tentang isi berita yang dianggap tidak benar itu. Harli tidak paham membedakan mana surat kabar yang berkualitas dan mana yang semata-mata untuk meraup keuntungan. "Parto...Parto, benar kenapa kita miskin, kenapa harus maling," desis Harli. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar