Riau
Pos
Minggu,
03 Februari 2008
Malam
Rembulan Tua
Cerpen: Aliela
Malam rembulan tua. Rembulan yang sama dari abad lampau. Sebentuk bundar yang keemasan dengan gurat-gurat halus serupa lukisan ibu yang memeluk anaknya. Kau selalu terpesona memandangnya, berharap bayangmulah yang menghias rembulan itu, meski aku lebih terpesona ketika cahayanya menyapu lembut ruas-ruas wajahmu. Dan kau pun menjelma seribu dewi yang bercahaya. Sungguh Dinda, pemandangan saat itu merupakan mahakarya yang sempurna bagiku, sebuah lukisan hidup ciptaan Yang Maha Agung. Lalu kau pun tersipu, ketika mataku tak ingin lepas mengagumimu.
“Ah, Kanda. Jikalau sanggup Dinda terbang ke awan. Ingin rasanya Dinda mohon kepada rembulan agar sejenak meredupkan sinarnya. Supaya tak nampak wajah ini bersemu merah jambu ketika mata kita saling beradu.”
Duhai, sungai kesejukan mengalir ke seluruh aliran darahku. Hati yang membatu sekian lama mencair sudah, mencari ruang-ruang sunyi sebagai muaranya. Sebuah ruang tempat segala keindahan yang terpancar dari dirimu bersemayam. Tempat pahatan namamu terpatri bersama janji-janji yang diamini para kyai. Dengan lafadz bismillah segala bermula, agar punah segala ganggu, segala tipu, segala ragu menuju Yang Maha Satu. Aku memelukmu. Seperti malam yang membentangkan sayapnya bagi rembulan yang kedinginan. Maka dawai-dawai berdenting, melagukan melodi cinta Yusuf dan Zulaikha. Dan kita menari, dalam tarian kudus diiringi doa-doa dan restu para wali, menjelma Rumi yang menaiki tangga-tangga makrifat sebagai penyatuan diri dengan Illahi. Lihat Dinda, bintang-bintang di langit cemburu melihat kita menyatu dalam jubah kelambu. Alam menjadi saksi. Bagi sepasang tubuh yang saling merengkuh.
Kita berpeluh. Peluh ini Dinda, adalah tetesan embun yang memberi kesegaran bagi dedaun yang setia bertahan pada reranting kering. Mengalirkan kekuatan kesekujur batang pohon hingga akar-akar menggeliat, menopang hidup. Dan tunas-tunas muda terbangun dengan harapan baru. Engkau tersenyum. Sebuah senyuman matahari terbit. Hangat dan beraroma bunga-bunga di musim semi. Di senyummu itulah Dinda, kutitipkan segala kerinduan dan harapan. Tentang sebuah hari baru di mana kedamaian mengiringi langkah kaki kita, dan anak-anak kita yang bermain dengan gembira, menyanyikan lagu cinta.
2.
Di bulan ketiga, ketika semerbak bunga masih setia mengiringi hari kita. Ketika rembulan malu mengetam turun, ketika matahari melambung naik, sebenih harapan yang kusemai di hamparan rahimmu mulai tumbuh. Aduhai Dinda, tak kepalang senang hati Kanda, melihat pagi berseri di wajahmu ketika perutmu semakin lama semakin membesar. Usah kau mengeluh Dinda jika tak lagi bisa kau cium sedapnya aroma masakan, karena mual perutmu ada sebabnya. Tahanlah sekejap Dinda jika tubuhmu mulai memberat, sebab si jabang bayi bertambah berat. Duh Dinda, usah kau risaukan bila harus berpantang dan menjaga sikap sebab aroma tubuhmu disuka para penunggu di dunia halus. Sembilan bulan akan tergantikan dengan kebahagiaan. Dari rahimmu Dinda, akan lahir penerus kita, yang akan memperpanjang tali silsilah kita. Mewarisi darah dan hati kita. Yang akan membawa harum nama kita juga nama nenek moyang kita. Maka segala puja dari segala puji bagi Ilahi kupersembahkan. Agar kelak benih ini menjadi benih yang mulia. Menjadi anak yang tahu asal jadinya, yang tahu membalas guna. Kecilnya cencilak padi. Besarnya cencilak padang. Kecilnya duduk mengaji. Besarnya tegak sembayang. Kebahagiaan apalagi yang hendak diminta, Kenikmatan apalagi yang hendak diingkari. Sungguh Dinda, akan kujaga sepenuh jiwa juga raga. Kutaburi doa-doa dan mantera-mantera supaya selamat, sehat sentausa.
3.
Jika saja aku bisa memilih. Ingin kulepas segala gelar, segala tanda, segala nama yang melekat pada diri. Jika saja aku bukan punggawa raja yang harus bersetia dan mengabdi pada negeri, aku lebih memilih menjagamu juga jabang bayi yang tumbuh di rahimmu. Menemanimu sepanjang hari dan mengusap peluh yang menetes di dahimu. Tapi aku Megat Seri Rama Dinda, pantang menolak panggilan negara. Sebab itu adalah derma bagi seorang ksatria, yang hidup matinya diabdikan pada negeri. Karena itu Dinda, aku mohon kepadamu iklaskan aku pergi berjuang. Jangan iringi aku dengan tangismu sebab itu hanya menyurutkan langkahku. Usah lambaikan tangan tanda perpisahan sebab aku pergi untuk kembali. Cukup senyummu sebagai pengganti yang akan kusimpan di dalam hati. Sebagai bekal perjalananku nanti. Sebagai penawar rindu dahaga hati.
Usah cemaskan aku, Dinda. Laksamana Bentan gelar yang kusandang membuat lawan silau memandang. Dengan ilmu silat yang lincah, keterampilan berperang dan kecerdikan mengatur strategi, aku yakin akan kembali. Sudah berpuluh kali aku turun ke
Jika kau rindukan aku Dinda. Pandanglah langit di kelam malam. Rembulan tua itu adalah diriku yang akan terus menyinarimu dengan kehangatan. Cahayaku takkan meredup meski mendung datang tanpa memberi kabar. Ketahuilah Dinda, di sebalik awan mendung itu, aku tetap mengawasimu dan menjagamu. Memastikan kau dan buah hati kita tak kurang satu apa. Begitu juga aku Dinda, bila aku rindu. Di ujung kuala itu, aku akan selalu menanti rembulan tua yang tak terganti sebab bayangmu selalu menghiasi. Maka rembulan tua jadi perantara cinta kita yang kian menyala.
4
Di batu rindu ini, Dinda, kutulis sebuah puisi abadi. Agar menjadi prasasti bagi anak cucu nanti. Menjadi sejarah tentang kesetiaan yang terjarah. Aku, Megat Seri Rama. Punggawa raja yang mengabdikan dirinya bagi negeri dan bersetia pada raja telah menikamkam keris ke ulu hati rajanya, bersama sumpah seranah karena amarah. Amarah ini Dinda, bukan karena darah muda yang menggelegak, bukan juga karena nafsu hendak berkuasa tetapi karena marwah yang harus dibela. Ini marwah, tuan! Ini marwah bukan barang mainan yang bisa digadaikan. Sekali terusik niscaya maut
Malam itu Dinda, ketika rembulan tua lenyap di pekat malam, bintang-bintang enggan berkelip dan angin melagukan syair duka. Aku tahu sesuatu telah terjadi pada dirimu. Bagai seribu anak panah menusuk seluruh tubuh, menyerapkan racunnya hingga ke tangkai jantung, ke hulu hati, ke tulang sumsum ketika kudengar maut merenggut paksa dirimu. Kau tahu Dinda? Seluruh nafas dan tubuh ini serasa ikut terbang bersamamu, melintasi awan-awan yang bergulung dan membuka pintu-pintu langit menuju cahaya Yang Satu. Wahai pemilik seluruh kehidupan, inikah jalan yang telah Kau gariskan? Manis madu yang kucecap belum juga sampai ke tekak. Buah yang kuperam belum juga masak sebadan namun telah putus jalan ditempuh. Punah sudah mimpi-mimpi indah kita. Lepas sudah anak dari timangan. Sungguh, sebuah kehilangan yang menyakitkan.
Bukan. Bukan aku menolak takdir Dinda, tetapi kematianmu yang menyedihkan, membuat lelakiku tertantang. Karena martabat telah dijatuhkan oleh raja yang sewenang-wenang. Hanya karena seulas nangka raja kau makan, nyawa juga kau bayarkan. Sebuah perdagangan yang tiada seimbang barang yang dijual dengan benda pembelinya. Apalah lagi, kau adalah isteri Megat Seri Rama, seorang punggawa raja yang banyak memberikan jasa bagi negeri. Berapa banyak kemenangan kupersembahkan kepada raja, berapa banyak kuteteskan darah dan keringat demi membela kehormatan raja. Berapa dalam kesetiaan kusembahkan. Dan inikah balasan bagi seorang yang mengabdi? Sungguh Dinda, nurani ku tak mampu menganggap itu sebagai kelaziman. Apakah karena kuasa maka boleh ia memangsa? Apakah karena punya kewenangan maka boleh ia sewenang-wenang? Raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah. Baiklah Dinda untuk menjawab kelaku raja yang zalim itu, emas sudah ditakar, urai telah ditimbang dan inilah hasilnya, Megat Seri Rama tak
5.
Malam ini Dinda, kulihat rembulan tua berseri-seri sebab aku tahu bahwa bayangan ibu yang sedang memeluk anaknya yang menghiasi rembulan tua itu adalah kau bersama anak kita. Maka ulurkan tanganmu Dinda, sambut aku dengan senyummu. Lihatlah, jiwa ini terbang dengan ringan, meninggalkan tubuh yang lepuh, meniti cahayamu. Dan kita akan menyatu tanpa seteru. ***
Pekanbaru, September 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar