Republika
Minggu,
08 Juli 2007
Gajah di
Pelupuk Mata
Cerpen: Sunaryono Basuki
Ks
Tubuh Gajah ternyata tak meraksasa, tetapi
orang tuanya, Sanca, telanjur memberinya nama Gajah dengan harapan anak itu
takkan ditelan oleh orang tuanya sendiri.
Tuan Sanca adalah pengusaha kaya, dan politikus terkenal. Perusahaannya ada di mana-mana.Ada
hotel berbintang di Makasar, ada perusahaan konstruksi yang mengerjakan
kondominium besar di Jakarta ,
ada pula keikutsertaan dalam proyek Lapindo Brantas.
Harapan Sanca, anaknya juga menjadi pengusaha besar, sebesar gajah, sehingga Sanca takkan menelannya. Dia rela dikalahkan oleh Gajah, apalagi dia anak satu-satunya, anak semata wayang golek. Sebab, wayang kulit tipis dan matanya tak sebulat mata wayang golek.
Walaupun Sanca bukan orang Sunda, dia sangat menyukai wayang golek, terutama yang dimainkan oleh dalang Asep Sunandar. Mula-mula tak sengaja dia saksikan dalang itu bermain di TV, kemudian dia memerintahkan stafnya untuk mengundang dalang Asep lengkap dengan timnya untuk bermain di halaman rumahnya.
Ikut menonton wayang golek, ternyata Gajah memilih jalan hidupnya untuk menjadi seniman. Memang dia berhasil masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Jayanegara. Selama menjadi mahasiswa bukannya dia aktif dalam mengelola koperasi atau toko mahasiswa, tetapi justru memimpin Unit Kegiatan Mahasiswa Teater.
Memang Gajah tamat dari Fakultas Ekonomi sesuai dengan keinginan ayahnya, dengan nilai sangat memuaskan. Ayahnya menganjurkan Gajah untuk melanjutkan studinya di School of Business Administration di University of London untuk gelar master dan kalau bisa akan tetap dibiayai sampai mencapai gelar PhD. Menerima pesan-pesan ayahnya sebelum berangkat, Gajah hanya mengatakan, "Ya, Ayah."
Dana tidak terbatas, bisa digunakan kapan saja dan untukl apa saja, tersedia dalam rekenuing banknya. Kalau perlu, tambahan dana bisa ditransfer melaluiWestern Union atau cabang Bank BNI di London. Di
University of London Gajah menemukan lahan baru, kelompok baru, teman-teman
baru dalam berkesenian. Selain bergabung dengan Islamic Society, dia juga
menjadi anggota Film Society, dan tentu saja Drama Society.
Kepada ayanya selalu dilaporkan melalui telpon kegiatan belajarnya di kampus, juga Islamic Society dengan shalat Jumat bersama di Masjid Besar London, tetapi, dia sama sekali tak pernah memberi tahu ayahnya bahwa dia juga aktif dalam kegiatan teater dan film. Dalam kegiatan teater, dia tidak hanya ikut menonton, tetapi juga ikut terlibat dalam pementasan, sebagai penata artistik, sebagai penata musik, dan bahkan pada pementasan The Tempest, dia ikut berperan.
Setiap kesempatan dia menonton semua pertunjukan di West End. Dia menonton Ghost karya Henrik Ibsen, The House of Bernarda Alba karya Ferderico Garcia Lorca, dan juga The Mousetrap karya Agatha Christie. Dia juga langganan tetap menonton di The Royal Shakespeare Theatre di London, terkadang bila sedang musim pertunjukan juga menginap di Strtaford -- upon-Avon untuk menonton pertunjukan-pertunjukan drama di The Royal Shakespreare Theatre dikota kelahiran dramawan
besar itu.
Dalam tempo duabelas bulan dia menyelesaikan gelar masternya, karena masa studinya memang 12 bulan, berbeda dengan program serupa diIndonesia yang
bisa molor sampai tiga tahun. Karena hasilnya yang baik, menurut laporan Gajah,
dia juga diterima melamar untuk program Master of Philosophy leading to PhD.
Bulan September saat dia lulus, Tuan Sanca mengundangnya untuk pulang sebab dia ingin merayakan keberhasilan studi anak semata wayang golek itu. Walau wisuda masih akan berlangsung bulan Desember, toh dengan bangga Tuan Sanca mengumumkan kepada para tamunya bahwa Gajah sudah menyandang gelar MBA dari London.
"Anak kami Gajah telah berhasil dalam studinya. Kami merasa bangga dan bersyukur, sebab dia tak meniru ayahnya yang bodoh ini, hanya suka bermalas-malasan dan tidur, terutama setelah makan."
Hadirin tertawa ketika Sanca juga ketawa.
"Dia kan barusan makan PT Kambing Gemuk," seorang tamu berbisik. "Tentu saja sekarang dia tidur sebab kekenyangan."
Gajah kelihatan gagah sekali berdiri di samping Tuan Sanca. Badannya masih tetap kurus juga walau dipasok gizi bagus di Inggris. Tiap pagi minum susu, tiap makan tak lupa makan buah anggur atau jeruk atau strawberry kalau sedang musim, atau buah apel, dan pear.
Dalam pesta itu dia mengenakan kemeja batik corak modern karya pebatik terkemuka Iwan Tirta. Tetapi yang paling menarik bagi Gajah ialah terhidangnya sejumlah makanan tradisional yang sengaja dimintanya untuk kesempatan itu. Jengkol kesayangannya terhidang dan juga buah mangga arum manis yang sedang musim.
Gajah segera kembali ke London, tergesa ingin memulai studinya lagi. Di asrama yang sama, di kamar yang sama, dia disambut oleh suasana yang sama. Minggu pertama bulan Oktober udara sudah mulai dingin, dan kuliah-kuliah dimulai. Gajah merasa bersalah kepada Tuan Sanca sebab dia telah berbohong. Memang dia menempuh program Master bidang Business Administration sesuai dengan kehendak ayahnya, tetapi, sekarang dia mendaftarkan diri untuk program Master bidang Theatre Studies yang nantinya akan dia lanjutkan dengan program PhD. Dia yakin dapat menyelesaikan kedua program itu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Dia punya kecintaan luar biasa kepada seni terutama teater. Dia sudah menangani sejumlah pementasan bersama mahasiswa dariMalaysia dan Afrika yang mengambil
program Master. Sekarang dia tahu lika-liku studi di program itu, dan resmi
menjadi mahasiswa teater. Dia mulai dengan tekun belajar teori seni, sejarah
dan teori teater.
Soal sejarah teater yang katanya berasal dari upacara sesuai dengan pendapat Sir James Frazer, Levi-Strauss, dan Malinosvki yang semuanya ahli anthropologi jagoan, dia tak punya masalah untuk memahaminya. Soal teater Yunani kuno dengan tiga menulis tragedi terkemuka dan penemuan mereka tentang jumlah aktor atau kemampuan suara yang terlibat juga dapat dipahaminya dengan mudah. Soalnya, dia juga paham mengenai teaterBali , ada topeng
pajegan yang dipentaskan mirip saat jaman kuno di Yunani. Yang lebih modern ada
topeng bondres, dengan tiga pemain tetapi memerankan banyak tokoh.
Ternyata dia bertemu kembali dengan Francis Katamba yang sudah menyelesaikan program master teaternya, dan sekarang justru kembali mau menulis disertasi tentang teater tradisional di negerinya. Setelah menyelesaikan kuliah-kuliah teori, dia yakin harus kembali keIndonesia untuk melakukan
penelitian di Bali tanpa singgah di Jakarta , bahkan tanpa
melapor kepada Tuan Sanca. Kalau ayahnya tahu proyek besar yang digarapnya,
pasti akan pingsan. Anak semata wayang golek akan menjadi doktor seniman atau
seniman doktor. Apapula komentar anak buahnya? Tidak ada kata-kata: air cucuran
atap jatuhnya ke pelimbahan juga.
Tapi, Gajah punya senjata ampuh, yakni kata-kata Gilbran, "Anakmu bukan anakmu," untuk mengelak.
Saat berada di Ubud, telpon Gajah berdering, "Papa besok akan keLondon . Ada bisnis penting. Apa kita bisa bertemu?
Sudah rindu."
Gajah gelagapan, tetapi, dasar dia seorang aktor, segera dia jawab, "Wah, Papa, saya sedang sibuk sekali melakukan penelitian jauh diAberdeen , soal bisnis ikan laut utara."
"Tapi,kan
kamu bisa terbang ke London .
Tinggalkan saja proyek itu."
"Maaf, Papa, ini Inggris, bukanIndonesia . Appointment yang sudah
dibikin tak bisa seenaknya diubah."
Tuan Sanca dapat diperdaya oleh Gajah, namun diLondon dia suruhan orang untuk menyelidiki
anaknya sampai di asrama, dan menemukan informasi yang mengejutkan. Sudah enam
bulan Gajah pulang ke Indonesia
melakukan penelitian. Dan, dari penjaga asrama dia mendengar bahwa Gajah adalah
mahasiswa teater, bukan mahasiswa bisnis.
"Kamu bohong sama Papa.Kamu di
Indonesia , kan ? Tak
ada Gajah yang mahasiswa bisnis, tetapi ada Gajah mahasiswa teater. Kamu gila,
ya!"
Dengan tersenyum dia menjawab, "Tidak, Pa. Aku tidak gila, sebab bila gajah gila, bisa mengamuk dan menginjak-injak ular sanca."
"Duh, Gajah. Gajah di pelupuk mata, kok aku tak tahu."
Tetapi, dia tidak pingsan sebab tahu bahwa Gajah mengambil program PhD, walaupun bidang teater. Kalau dia pulang, dia akan dibangunkan sebuah gedung pertunjukan modern dan megah, lebih megah dari Jakarta Convention Center.***
Tuan Sanca adalah pengusaha kaya, dan politikus terkenal. Perusahaannya ada di mana-mana.
Harapan Sanca, anaknya juga menjadi pengusaha besar, sebesar gajah, sehingga Sanca takkan menelannya. Dia rela dikalahkan oleh Gajah, apalagi dia anak satu-satunya, anak semata wayang golek. Sebab, wayang kulit tipis dan matanya tak sebulat mata wayang golek.
Walaupun Sanca bukan orang Sunda, dia sangat menyukai wayang golek, terutama yang dimainkan oleh dalang Asep Sunandar. Mula-mula tak sengaja dia saksikan dalang itu bermain di TV, kemudian dia memerintahkan stafnya untuk mengundang dalang Asep lengkap dengan timnya untuk bermain di halaman rumahnya.
Ikut menonton wayang golek, ternyata Gajah memilih jalan hidupnya untuk menjadi seniman. Memang dia berhasil masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Jayanegara. Selama menjadi mahasiswa bukannya dia aktif dalam mengelola koperasi atau toko mahasiswa, tetapi justru memimpin Unit Kegiatan Mahasiswa Teater.
Memang Gajah tamat dari Fakultas Ekonomi sesuai dengan keinginan ayahnya, dengan nilai sangat memuaskan. Ayahnya menganjurkan Gajah untuk melanjutkan studinya di School of Business Administration di University of London untuk gelar master dan kalau bisa akan tetap dibiayai sampai mencapai gelar PhD. Menerima pesan-pesan ayahnya sebelum berangkat, Gajah hanya mengatakan, "Ya, Ayah."
Dana tidak terbatas, bisa digunakan kapan saja dan untukl apa saja, tersedia dalam rekenuing banknya. Kalau perlu, tambahan dana bisa ditransfer melalui
Kepada ayanya selalu dilaporkan melalui telpon kegiatan belajarnya di kampus, juga Islamic Society dengan shalat Jumat bersama di Masjid Besar London, tetapi, dia sama sekali tak pernah memberi tahu ayahnya bahwa dia juga aktif dalam kegiatan teater dan film. Dalam kegiatan teater, dia tidak hanya ikut menonton, tetapi juga ikut terlibat dalam pementasan, sebagai penata artistik, sebagai penata musik, dan bahkan pada pementasan The Tempest, dia ikut berperan.
Setiap kesempatan dia menonton semua pertunjukan di West End. Dia menonton Ghost karya Henrik Ibsen, The House of Bernarda Alba karya Ferderico Garcia Lorca, dan juga The Mousetrap karya Agatha Christie. Dia juga langganan tetap menonton di The Royal Shakespeare Theatre di London, terkadang bila sedang musim pertunjukan juga menginap di Strtaford -- upon-Avon untuk menonton pertunjukan-pertunjukan drama di The Royal Shakespreare Theatre di
Dalam tempo duabelas bulan dia menyelesaikan gelar masternya, karena masa studinya memang 12 bulan, berbeda dengan program serupa di
Bulan September saat dia lulus, Tuan Sanca mengundangnya untuk pulang sebab dia ingin merayakan keberhasilan studi anak semata wayang golek itu. Walau wisuda masih akan berlangsung bulan Desember, toh dengan bangga Tuan Sanca mengumumkan kepada para tamunya bahwa Gajah sudah menyandang gelar MBA dari London.
"Anak kami Gajah telah berhasil dalam studinya. Kami merasa bangga dan bersyukur, sebab dia tak meniru ayahnya yang bodoh ini, hanya suka bermalas-malasan dan tidur, terutama setelah makan."
Hadirin tertawa ketika Sanca juga ketawa.
"Dia kan barusan makan PT Kambing Gemuk," seorang tamu berbisik. "Tentu saja sekarang dia tidur sebab kekenyangan."
Gajah kelihatan gagah sekali berdiri di samping Tuan Sanca. Badannya masih tetap kurus juga walau dipasok gizi bagus di Inggris. Tiap pagi minum susu, tiap makan tak lupa makan buah anggur atau jeruk atau strawberry kalau sedang musim, atau buah apel, dan pear.
Dalam pesta itu dia mengenakan kemeja batik corak modern karya pebatik terkemuka Iwan Tirta. Tetapi yang paling menarik bagi Gajah ialah terhidangnya sejumlah makanan tradisional yang sengaja dimintanya untuk kesempatan itu. Jengkol kesayangannya terhidang dan juga buah mangga arum manis yang sedang musim.
Gajah segera kembali ke London, tergesa ingin memulai studinya lagi. Di asrama yang sama, di kamar yang sama, dia disambut oleh suasana yang sama. Minggu pertama bulan Oktober udara sudah mulai dingin, dan kuliah-kuliah dimulai. Gajah merasa bersalah kepada Tuan Sanca sebab dia telah berbohong. Memang dia menempuh program Master bidang Business Administration sesuai dengan kehendak ayahnya, tetapi, sekarang dia mendaftarkan diri untuk program Master bidang Theatre Studies yang nantinya akan dia lanjutkan dengan program PhD. Dia yakin dapat menyelesaikan kedua program itu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Dia punya kecintaan luar biasa kepada seni terutama teater. Dia sudah menangani sejumlah pementasan bersama mahasiswa dari
Soal sejarah teater yang katanya berasal dari upacara sesuai dengan pendapat Sir James Frazer, Levi-Strauss, dan Malinosvki yang semuanya ahli anthropologi jagoan, dia tak punya masalah untuk memahaminya. Soal teater Yunani kuno dengan tiga menulis tragedi terkemuka dan penemuan mereka tentang jumlah aktor atau kemampuan suara yang terlibat juga dapat dipahaminya dengan mudah. Soalnya, dia juga paham mengenai teater
Ternyata dia bertemu kembali dengan Francis Katamba yang sudah menyelesaikan program master teaternya, dan sekarang justru kembali mau menulis disertasi tentang teater tradisional di negerinya. Setelah menyelesaikan kuliah-kuliah teori, dia yakin harus kembali ke
Tapi, Gajah punya senjata ampuh, yakni kata-kata Gilbran, "Anakmu bukan anakmu," untuk mengelak.
Saat berada di Ubud, telpon Gajah berdering, "Papa besok akan ke
Gajah gelagapan, tetapi, dasar dia seorang aktor, segera dia jawab, "Wah, Papa, saya sedang sibuk sekali melakukan penelitian jauh di
"Tapi,
"Maaf, Papa, ini Inggris, bukan
Tuan Sanca dapat diperdaya oleh Gajah, namun di
"Kamu bohong sama Papa.
Dengan tersenyum dia menjawab, "Tidak, Pa. Aku tidak gila, sebab bila gajah gila, bisa mengamuk dan menginjak-injak ular sanca."
"Duh, Gajah. Gajah di pelupuk mata, kok aku tak tahu."
Tetapi, dia tidak pingsan sebab tahu bahwa Gajah mengambil program PhD, walaupun bidang teater. Kalau dia pulang, dia akan dibangunkan sebuah gedung pertunjukan modern dan megah, lebih megah dari Jakarta Convention Center.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar