Seputar
Indonesia
Minggu,
22 Juli 2007
Perahu
Kertas
Cerpen: Maryam Bachmid
Bunyi benturan besi roda dengan rel menimbulkan suara yang sangat akrab di telingaku. Suara yang mengiringi aku dan Yu Rin tumbuh menjadi dua gadis dari dusun kecil tak jauh dari rel kereta. Mataku tak lepas memandang keluar jendela.Aku dan Yu Rin besar di tengahtengah alam seperti itu. Beberapa kilometer saja jaraknya dari rumah kami yang sederhana,di situlah,di kebun tebu aku dan Yu Rin biasa menghabiskan waktu bermain. Selain di kebun tebu, kami biasa bermain perahu kertas.
Perahu kecil-kecil yang kami buat dari kertas bekas, lalu dilepas di selokan kecil berair jernih. Sementara yang satu melepas perahunya, kawan yang lain menunggunya di tempat yang agak jauh. Begitu seterusnya sampai pada tempat yang kami anggap pelabuhan. Tanganku kembali menyentuh
Aku yang berselisih usia dua tahun dengannya selalu ke sekolah bersama.Tubuhnya yang jangkung berisi selalu melindungi aku dari teman laki-laki yang kadang usil mengganggu. Mereka biasanya sengaja menggoda aku agar mendapat perhatian Yu Rin. Mereka suka dipelototi mata Yu Rin yang berbola hitam indah. Dan Yu Rin tahu itu. Dia sangat sadar dirinya memiliki sesuatu yang menjadi impian terdalam kaum lelaki.Daya tarik fisiknya sangat kuat. Sayang, Emak dan Bapak tak punya cukup penghasilan untuk membiayai Yu Rin melanjutkan sekolah sampai tingkat atas.
Bapak yang hanya memiliki beberapa petak sawah dan kebun tebu tak bisa berbuat banyak. Saat orangtua kami menyerah,Yu Rin tak patah semangat. Dia bahkan mengharapkan aku yang dapat melanjutkan sekolah, menjadi bidan seperti cita-citaku. ”De Mar saja yang melanjutkan sekolah. Biar aku di desa membantu dan menjaga Emak dan Bapak,”ujarnya saat aku bersiap-siap ujian sekolah menengah pertama. Aku sungguh terharu.Yu Rin rela berhenti sekolah dan menyerahkan masa depannya padaku. Aku tak mau menyia-nyiakan pengorbanannya.
Gadis cantik, kembang desa seperti Yu Rin tentu banyak didekati lelaki.Tapi hati Yu Rin sudah telanjur diberikan pada Mas Jati, tetangga kami sendiri yang sejak kecil menjadi teman main kami.Aku sering melihat keduanya mencuri- curi pandang atau saling bercengkerama sampai akhirnya tertawa berdua. Mas Jati pemuda yang baik, juga di mataku dan di depan Emak dan Bapak. Seperti keluarga kami, keluarga Mas Jati juga sangat sederhana. Dari Yu Rin, aku dengar Mas Jati ingin sekali membahagiakan kakakku itu, juga kami sekeluarga.
Cita-citanya tinggi,ia ingin melanjutkan sekolah di
Dua potong roti dan segelas teh manis sudah cukup mengganjal perutku. Kukeluarkan
Tanahnya menjadi keras, retak dan berdebu. Ya, seperti itu De Mar, kebahagiaan yang tak diiringi dengan cinta,” tulis Yu Rin di suratnya. Aku menahan air mata yang hampir meleleh di pipiku. Mbakyuku yang cantik menulis seperti itu.Aku sungguh ikut merasakan kegalauan hatinya. Gusti Allah telah menciptakan kasih sayang hampir sempurna buat Yu Rin dan Mas Jati. Namun, dunia dan manusia membelokkan arahnya karena sebuah peristiwa. Takdir yang tak mampu kami tolak. Semua berawal saat tebu kami jatuh harga. Entah kenapa pabrik gula tak lagi dapat membayar dengan harga yang bagus seperti sebelumnya.
Dengar-dengar ada yang tak beres dalam pengelolaan pabrik yang sudah beroperasi sejak puluhan tahun lalu itu.Kami petani hanya bisa pasrah. Itu artinya Bapak tak punya cukup uang untuk mengirim aku sekolah ke
Namun, jauh di dalam hati sebenarnya aku heran angin apa yang membuat mandor pabrik gula sedemikian cepat mau meminjamkan uangnya. Rupanya diam-diam Yu Rin telah membuat sebuah hati terpikat habis-habisan padanya.Mas Jarot, anak sulung mandor pabrik gula jatuh hati padanya. Memang bukan hanya sekali aku melihat Mas Jarot memandang Yu Rin lekat-lekat seperti ingin menelan dirinya. Pandangan yang membuatku menggigil, apalagi bila kilatan di matanya menikmati tubuh indah Yu Rin dari jauh.Aku menyimpan hal ini untuk diriku sendiri. Baru enam bulan melanjutkan sekolah, aku dikejutkan sepucuk
Isinya membuatku menangis semalaman. Kalimat-kalimat yang dirangkainya terasa seperti suara Yu Rin sendiri yang berbicara di depanku. Penuh kepedihan dan kehancuran namun sangat tegar untuk hati seorang perempuan. ”De Mar,adikku terkasih,sebelumnya aku harus mengatakan padamu terlebih dahulu, bahwa apa yang kita harapkan dalam hidup tak selamanya harus terjadi demikian. Itulah hidup, De. Aku juga belajar banyak bahwa takdir memang telah dirancang Gusti Allah buat masing-masing orang. Sekali lagi, jangan pernah engkau merasa bersalah dengan apa yang telah terjadi padaku ini. Engkau hanya ada di tepian itu semua,aku yang berada di dalamnya dan aku siap mengambil semua risiko itu. Aku ikhlas De.
Adikku, kita harus legawa, meskipun batin berontak dan terkoyak habis karena kepedihan yang ditimbulkan. Aku harus mengubur semua cintaku pada Mas Jati. Selebihnya aku merasa sangat bersalah padanya. Aku harus meninggalkan dirinya tanpa kesalahan apapun yang telah diperbuatnya. Emak dan Bapak sendiri bahkan telah berbicara langsung pada Mas Jati,memohon maaf untuk menikahkan aku dengan Mas Jarot. Kami tak mampu membayar semua pinjaman berikut bunganya. De Mar, engkau kan tahu, kita tak memiliki apaapa lagi.
Jadi, dengan pernikahanku ini kita bisa terbebas dari semua yang menjerat. Adikku,sekali lagi ingat,ini semua bukan disebabkan dirimu. De Mar, tak perlu pulang untuk menghadiri pernikahanku. Doakan saja aku dari jauh. Juga doakanlah Mas Jati. Ia sudah pergi sejak sebulan lalu.Kabarnya tak pernah datang lagi. Adikku, biar aku simpan cinta ini untuknya,mungkin saja pada suatu waktu cinta itu akan datang kembali mencari jalannya sendiri.” *** Aku memang tak mau pulang menghadiri pernikahan Yu Rin. Aku tak sanggup melihatnya disandingkan dengan Mas Jarot. Sungguh, aku yang paling merasa bersalah. Aku sangat tahu bagaimana dalamnya cinta Yu Rin pada Mas Jati, begitu juga sebaliknya.Lantas kenapa aku yang ditakdirkan menjadi api yang menghanguskan pucuk-pucuk cinta mereka berdua?
Sekolahku selesai pada waktunya. Aku pulang sebentar mengabarkan kegembiraan ini. Aku bahkan tak pernah merasa benar-benar bahagia dengan kelulusanku. Beda dengan kakakku, ia menyambutku seperti seorang ibu yang telah lama menanti kepulangan buah hatinya.Yu Rin sangat membanggakan aku di depan kerabat sedesa, juga di hadapan keluarga suaminya. Aku mencari- cari sinar indah di mata kakakku itu. Sepandai-pandainya ia memperlihatkan kegembiraannya, aku tahu sinar di bola mata hitam itu tak lagi berkilau. Cahaya berpendar itu telah lama mati. Air muka kakakku tak mampu menyembunyikan kegetiran hatinya. ”Engkau menyembunyikan sesuatu Yu,” kataku keesokan harinya saat kami berdua jalan-jalan di kebun tebu.
Langkah kakakku terhenti. Ia berjingkat, tangannya memetik bunga tebu lalu disematkannya di telingaku. Seperti yang sering ia lakukan saat kami kecil. Aku tertawa. Ia tersenyum. ”Apa perlunya aku menyembunyikan sesuatu De? Hidupku berjalan seperti biasa, aku sudah punya anak, dan tak kurang apa pun.Mari kita bicara tentang kau, bagaimana selanjutnya? Kapan engkau akan berumah tangga?” ”Aku akan kembali ke kota,Yu. Ada seorang pemilik klinik bersalin mengajakku bekerja di tempatnya.Aku mohon doa restumu Yu. Biarkan aku menjalani ini dulu untuk menebus semua yang sudah engkau korbankan.
” Mata kakakku berkaca-kaca.Aku memeluknya erat.Yu Rin mungkin tak tahu bahwa aku sudah mendengar semuanya. Mas Jarot tak lagi setia. Ia sudah punya wanita baru di desa tetangga sehingga jarang pulang ke rumah. Setahun sejak aku tinggal dan bekerja di kota, datang surat Yu Rin untukku. ”De Mar, tentu engkau masih ingat perahu kertas yang kita lepas di selokan sawah? Itu hanya perumpamaan De. Seperti halnya perahu yang menemukan pelabuhan, aku sudah menemukan cintaku yang dulu. Sedalam apa pun aku menguburnya, ia muncul kembali dalam kehidupanku. Gusti Allah tak pernah menutup telinga saat mendengar doaku.
Mata-Nya tak pernah buta melihatku meneteskan air mata saat rindu datang menghantam. Gusti Allah hadirkan kebahagiaan untukku. De Mar, ternyata Mas Jati merasakan hal yang sama. Cinta kami tak pernah mati. Begitu bunyi surat Yu Rin. Kereta berhenti di stasiun Madiun. Aku bergegas turun. Langkahku ringan menenteng tas sepanjang peron. Bibirku tak henti mengulum senyum.Aku datang Yu Rin, aku ingin turut menikmati kebahagiaan yang engkau rasakan. Seakan pupus semua rasa bersalah yang selama ini mengganjal hatiku. Kakakku telah menemukan cinta sejatinya. Setelah menemui Emak dan Bapak, aku tak mau berlama-lama di rumah.Aku harus segera menemui Yu Rin.Rumahnya memang tidak terlalu dekat dengan rumah kami.
Aku mengambil jalan pintas. Lewat belakang, menerobos kebun tebu lalu melintas jembatan kecil di atas selokan tempat kami biasa bermainmain. Langit sore mulai memerah, sebentar lagi malam tiba. Aku menengadah, mendung rupanya. Gerimis mulai turun, kakiku melangkah ke gardu jaga kereta yang sudah tak digunakan lagi. Dulu bila hari hujan, biasanya kami menepi dan berteduh di dalamnya.Beberapa meter sebelum mencapai gardu langkahku terhenti. Dua bayangan manusia berkelebat di dalamnya. Sungguh aku tak pernah lupa pada sosok kakakku dan Mas Jati.
Itu pasti mereka berdua. Seketika itu pula aku berdiri mematung sendirian di antara kebun tebu, rel kereta, dan petak sawah, menyaksikan dua anak manusia saling melepas rindu. Rambut ikal Yu Rin tergerai di genggaman Mas Jati. Cinta dan kegairahan yang menyeruak dari tubuh keduanya membuat badanku kaku. Aku mengalihkan pandang dari tubuh Yu Rin dan Mas Jati yang tengah berpelukan erat. Aku menghela napas, wangi rumput lamat-lamat tercium. Gerimis sudah reda. Aku menatap langit yang kian memerah. Aku sungguh mengerti apa yang tengah terjadi. Tiba-tiba mataku basah, aku menangis bahagia. Cinta sejati memang tak pernah mati. ***
2 Mei 2007 Antara Surabaya-Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar