Seputar
Indonesia
Minggu,
04 November 2007
Membunuh
Siluman
Cerpen: Ganda Pekasih
Barjo nyaris terperosok lubang yang
runtuh tiba-tiba dari dinding lobang yang digalinya kalau saja dia tidak cepat
berpegangan pada akar kayu yang menjuntai di atas galian. Barjo menghentikan
pekerjaannya dan terheran-heran.
Di samping lobang galian hasil pekerjaannya yang dalamnya kini sudah mencapai satu setengah meter itu menganga lobang baru pada dindingnya, seukuran sarang buaya-buaya muara di Karang Pencah.
Barjo berdebar memperhatikan lobang yang cukup besar itu. Perlahan dia mengintip mendekatkan wajahnya ke permukaan lobang.Bau aneh dan misterius menyergap hidungnya. Barjo naik ke atas penggalian dengan menggapai akar kayu, jantungnya berdebar kencang.
Di atas lobang, dia tidak melihat ada orang yang melihatnya, Barjo mencoba tenang. Lalu pelan-pelan Barjo kembali turun, dia merasa seperti akan mendapatkan sesuatu yang berharga, tapi dia berharap bukan seperti yang telah didapatkan orang-orang dari Desa Pengging yang dibencinya.
Barjo memasukkan kepalanya ke mulut lobang yang menganga, beberapa tanah di sekelilingnya runtuh,lobang itu tambah menganga. Barjo seperti disergap kekuatan lobang misterius itu disertai bau aneh dan sunyi. Lalu dia rasakan seperti ada yang mengisyaratkannya untuk masuk, tapi Barjo tak berani. Barjo kembali naik ke atas lobang.
Di samping lobang galian hasil pekerjaannya yang dalamnya kini sudah mencapai satu setengah meter itu menganga lobang baru pada dindingnya, seukuran sarang buaya-buaya muara di Karang Pencah.
Barjo berdebar memperhatikan lobang yang cukup besar itu. Perlahan dia mengintip mendekatkan wajahnya ke permukaan lobang.Bau aneh dan misterius menyergap hidungnya. Barjo naik ke atas penggalian dengan menggapai akar kayu, jantungnya berdebar kencang.
Di atas lobang, dia tidak melihat ada orang yang melihatnya, Barjo mencoba tenang. Lalu pelan-pelan Barjo kembali turun, dia merasa seperti akan mendapatkan sesuatu yang berharga, tapi dia berharap bukan seperti yang telah didapatkan orang-orang dari Desa Pengging yang dibencinya.
Barjo memasukkan kepalanya ke mulut lobang yang menganga, beberapa tanah di sekelilingnya runtuh,lobang itu tambah menganga. Barjo seperti disergap kekuatan lobang misterius itu disertai bau aneh dan sunyi. Lalu dia rasakan seperti ada yang mengisyaratkannya untuk masuk, tapi Barjo tak berani. Barjo kembali naik ke atas lobang.
***
Malam ini Barjo duduk bersemedi sehabis sembahyang, dia ingin tahu gerangan lobang apa yang ada di belakang rumahnya itu yang semula ia menggali lobang untuk membuat sumur. Maghrib tadi, Minten, istri Barjo, ikut membantu menutup lobang itu dengan dinding gedhek agar tidak diketahui orang. Belum lama mereka membeli gubuk sederhana setelah menjual rumah mereka di Desa Pengging.
Bukan karena di sana mereka tak tahan hidup miskin,sementara tetangga tetangganya semakin banyak yang kaya raya karena usaha mereka berhasil, tapi karena mereka tak ingin jadi budak setan.Bahkan si Sarmin yang kerjanya cuma mencari kodok kini sudah bisa membeli motor, padahal rawa-rawa tempat dia mencari rezeki lebih sering tandus daripada berair. Dan sudah bukan rahasia lagi kalau Desa Pengging terkenal dengan banyak petilasan tempat meminta kekayaan.
Kini malah tersiar kabar kalau Desa Pengging telah menjadi salah satu tempat persinggahan gejok yang mengiringi Nyai Layonsari mencari abdi dalem, hingga saatnya nanti semua orang Pengging akan menjadi abdi dalem sang Nyai. Tapi sudah bukan rahasia, orangorang di Pengging memiliki borok di salah satu tubuhnya yang tak bisa disembuhkan. Awal mulanya hanya luka seperti di patuk ular.
Makhluk-makhluk gaib berupa ular, monyet, tuyul, setiap malam menetek di luka itu menghisap darah. Dan gilanya, apa saja kini di Pengging bisa dijual kepada pendatang, sebuah keris berkarat, secuil batu makam, bahkan sepotong akar beringin bisa sangat berharga. Orang-orang mengaku dengan gampang sebagai juru kunci petilasan anu, kuncen makam keramat anu, kuncen pohon anu, kuncen situ anu, dan semua tempat kini seperti sudah menjadi kapling-kapling petilasan.
Dan sebelum keluarganya menjadi pengikut gejok,sekalipun ditawari sendiri oleh Nyai menjadi abdi dalem-nya, Barjo tak akan tertarik. Barjo lalu cepat menyingkir dari Pengging. Carik Desa Gondel ketika pertama kali Barjo dan istrinya Minten datang, mensyaratkan orangorang dari Pengging yang mau tinggal di desanya tidak boleh mempunyai luka bekas patukan ular, sekecil apa pun.Maka dengan satu syarat itu, Barjo pun diterima.
”Besok malam aku akan masuk ke lobang itu, kau awasi di atas, jangan ada penduduk yang tau,” kata Barjo setelah usai bersemedi. “Emangnya mau ngapainPak?” “Aku punya firasat kita akan kaya?” “Kaya?” “Sstt? jangan keras-keras, nanti kedengeran orang.” “Kok bapak malah ikut orangorang Pengging, nyari pesugihan biar kaya, apa kita akan mengorbankan cucu kita? Kita pindah ke sinikan
supaya kita tidak termasuk golongan mereka.”
”Bukan begitu Bune, itu bukan lobang pesugihan, menurutku itu lobang harta karun.Kenapa rupanya kalau kita dapat harta karun.” “Jangan percaya Pak, itu tipu daya setan,kan
bapak pernah bilang, habib yang pernah mampir ke Pengging kalau ceramah ya
melulu tentang syaitan yang kerjanya siang malam hanya memperdaya manusia.”
”Sudahlah, kau tidur saja, lobang itu lobang harta, bukan lobang siluman apalagi lobang Genderuwo.” Minten beringsut masuk kamar sambil bersungut-sungut, gara-gara lobang itu dia cemas, suaminya kali ini mungkin saja akan teperdaya. ***
Barjo masuk ke dalam lubang dengan membawa lentera,keesokan harinya,menjelang senja, saat matahari mulai tenggelam di kaki-kaki bukit Marengas, tanah harapan mereka terakhir untuk sekadar menyambung hidup yang rencananya akan mereka tanami semangka.
Minten dengan ragu menunggu di atas penggalian mengawasi dengan berdebar, dia berharap Barjo tak menemukan apa-apa, tapi Barjo berhasil merayunya bahwa tidak ada orang yang boleh tahu soal lobang itu sebelum mereka mengetahui apa isinya. Barjo tercengang, sementara jantungnya berdebar saat dia melihat ada anak tangga terbuat dari batu walau tampak tidak sempurna karena batu-batu itu sudah pecah bercampur tanah, tapi Barjo yakin batu-batu itu suatu hari pernah disusun menjadi tangga. Kaki kaki? selasar selasar?
Lalu dia menemukan terowongan yang lain.Ini pasti bagian dari istana raja-raja zaman dulu, pikir Barjo. Barjo tak ingat sudah berapa puluh langkah dia masuk, menyinari langit-langit lobang, dan dinding dindingnya dengan lentera minyaknya. Dan dia sungguh terpesona karena tergambar jelas kini, bahwa tempat ini bukan gua yang diciptakan alam, tapi sebuah tempat yang sengaja dibikin oleh manusia.
Ada anak
tangga, ada dinding yang berukir dengan garis-garis aneh. Ada air yang mengucur dari atas dan di
bawahnya ada tanah landai yang menampung cucuran air itu. Ada selasar-selasar bercabang? Ha-ha-ha!
Sebentar lagi aku akan menemukan sesuatu yang berharga,pikirnya gembira. Maka
dalam pikirannya,tempat ini seketika menjelma seperti bagian dari sebuah istana
yang luas, yang mungkin pernah terkubur oleh letusan Gunung Merbabu.
Keluar dari lobang itu, Barjo membawa beberapa pecahan batu-batu berukir sekepalan tangan. Minten kembali menutup lobang di samping galian itu dengan gedhek lalu buru-buru masuk ke rumah, penasaran dengan apa yang dibawa Barjo. “Cuma batu-batu itu Pak?” Barjo tertawa.
”Otakmu juga sudah dipenuhi pikiran untuk kayakan ? Lalu kalau kita kaya kamu mau beli apa?”
“Eling, Pak. eling?.” “Mulanya memang batu-batu ini, tapi kalau terus digali
kita akan menemukan sumber kekayaan kita.” “Tapi Pak? lobang itu bukan milik
kita. Lagian kalau kita kaya, orang-orang Pengging pasti menyangka kita juga
muja Pak.” “Biarkan saja.” “Astagfirullah? eling Pak. Bapak sudah kemasukan roh
jahat.” ***
Barjo pulang ke Gendol dengan riang, beberapa benda-benda yang ditemukannya di selasar sekitar lobang laku dijual kepada pedagang barang antik yang tertarik menanti barang yang akan dijual Barjo selanjutnya seperti yang dijanjikan Barjo, bahwa dia akan menjual barangnya hanya kepada si pedagang Tionghoa itu. Tapi siang harinya saat Barjo pulang, Minten kesurupan, matanya melotot marah, dia berlaku seperti seekor ular yang sangat besar yang hendak membelit Barjo.
Barjo tak segera memberi tahu penduduk kampung, sempat dia berpikir untuk memanggil Carik Desa Gendol, atau seorang yang bergelar kiai di kampung itu untuk mengusir makhluk yang menempati Minten, tapi pikirannya seketika berubah, lebih baik makhluk yang menempati Minten diajak berdialog dan bekerja sama untuk mengetahui apakah banyak benda-benda berharga di lobang itu, sekaligus meminta izinnya untuk mengambil barang-barang itu. ***
Barjo seperti melayang saat sebongkah benda berkarat berupa piring yang ternyata emas muda dibayar dua juta rupiah oleh Tong Kian, babah gemuk penjual barang-barang antik terkenal di kota.Tapi Barjo melihat senyum licik di mata manusia berkepala botak itu, maka Barjo tidak langsung pulang menemui Minten di Gendol, tapi dia jalan-jalan dulu ke Pengging, menikmati wedang kopi Mbah Mirjan di pinggir jalan Desa Wetan langganannya, sempat pula dia didatangi dua orang yang mengaku dari Mojokerto.
Barjo diminta untuk mencarikan mereka kuncen yang bisa mempertemukan mereka dengan Nyi Layonsari. Barjo tersenyum tenang, dia menjelaskan bahwa dia bukan orang yang tepat untuk orang putus asa seperti mereka. Mampuslah kalian, mau saja diperbudak setan, maki Barjo dalam hati.
Malam hari, saat Barjo tak melihat ada orang yang mencurigakan yang mengikutinya, Barjo bergegas pulang ke Gendol. Kali ini Minten sangat gembira karena dia yakin Barjo mendapatkan uang bukan karena muja seperti kebanyakan orang-orang Pengging tapi karena ketiban rezeki nomplok menemukan harta pusaka. ***
Barang-barang yang dijual Barjo terus mendatangkan uang yang melimpah, dengan sekejap mereka bisa menggaji beberapa orang menggarap kebun semangka dan menyewa tanah garapan ratusan meter, mereka juga membeli beberapa ekor kambing dan sapi, memperbaiki rumah gubuk mereka dan membeli mesin pompa air.
Setiap mendapatkan uang, biasanya Barjo berjalan-jalan dulu ke Pengging menikmati wedang kopi Mbah Mirjan kesukaannya sambil menghabiskan senja,ngobrol terkekeh kekeh dengan orang tua itu,di bawah keteduhan beberapa batang sawo tua tempat banyak orang berteduh di siang hari sehabis pulang berjualan di pasar kecamatan. ***
Pino, cucu tunggal mereka yang sering menginap setelah rumah mereka semakin rapi, suatu hari saat tidur siang hilang tak tahu rimbanya. Balita mungil yang kini montok karena terus dibelikan susu sapi murni oleh Barjo dan Minten hilang tak berbekas seperti raib ditelan Bumi. Barjo dan Minten panik, mereka mencari ke segenap Desa Gendol. Desa yang tenang jadi geger.
Seorang tetua desa menyuruh penduduk memukul bunyi-bunyian menjelang maghrib, katanya Pino diambil makhluk halus, maka ramailah penduduk desa memukuli apa saja, panci, ember, kentongan, tapi hingga malam tiba tak ada tandatanda Tino ditemukan. Minten berkata pada Barjo, janganjangan Pino diambil makhluk penjaga harta karun itu.
Barjo tersadar, bukankah beberapa bulan lalu dia bernegosiasi dengan makhluk yang menempati Minten untuk dibantu mengambil harta-harta itu. Dan kini dia meminta imbalan.Benarkah? Barjo panik, Minten pun kalang kabut. Barjo masuk ke dalam lobang itu tengah malam dengan lentera minyak, dengan memelas dia meminta Tino dikembalikan, tapi tak ada jawaban.
Barjo sempat melihat sesuatu bergerak berwarna hijau keemasan, berdiri dengan sepasang tanduk dan mata nyalang, tubuhnya laksana naga, dia bergerak mendekati Barjo, Barjo menjerit ketakutan dan berlari keluar lobang.
Dengan berat hati, Barjo dan Minten terpaksa merelakan Pino, tapi Sarmih, ibu Pino yang suaminya bekerja di Mojekerto tak bisa menerima kalau anak mereka diambil makhluk berbentuk naga itu. Barjo dan Minten disuruh mengembalikan apa-apa yang pernah mereka ambil dari lobang makhluk itu, tapi bagaimana caranya. Barjo tak mungkin menebus kembali barang-barangnya kepada Tong Kian.
Beberapa hari kemudian, saat Barjo pulang dari Pengging malam hari menghabiskan senja di sana bersama Mbah Mirjan dan kopi wedangnya, kabut aneh berwarna kelam muncul di langit Gendol, Barjo merasa kabut itu pertanda buruk. Tiba di rumah, Barjo melihat bukan Minten yang menyambutnya seperti biasa di pintu rumah, tapi makhluk itu, dia berdiri angkuh, hijau keemasan kulitnya, berkilau diterpa lampu minyak tanah yang mulai kehabisan minyaknya.
Barjo memanggil Minten, tapi tak ada sahutan. Barjo mengeluarkan pisaunya, saatnya makhluk ini mampus dan aku yang menggantikannya menguasai lobang itu. Satu tikaman mengena, pisau itu menancap. Satu kelebatan parang bagai kilat yang diayunkan Barjo memotong kepala makhluk itu.
Tubuh Jejadian itu terkulai jatuh ke tanah dengan suara jeritan aneh. Barjo bersorak kegirangan. Tapi suatu keajaiban terjadi. Makhluk itu bukan naga jejadian, tapi sepersekian detik berganti menjadi Minten, kepala minten terlempar jauh di lantai, terlepas dari batang tubuhnya dengan bersimbah darah kental menghitam, di tengah temaram lampu minyak tanah di malam celaka yang berkabut aneh di langit Gendol.***
Malam ini Barjo duduk bersemedi sehabis sembahyang, dia ingin tahu gerangan lobang apa yang ada di belakang rumahnya itu yang semula ia menggali lobang untuk membuat sumur. Maghrib tadi, Minten, istri Barjo, ikut membantu menutup lobang itu dengan dinding gedhek agar tidak diketahui orang. Belum lama mereka membeli gubuk sederhana setelah menjual rumah mereka di Desa Pengging.
Bukan karena di sana mereka tak tahan hidup miskin,sementara tetangga tetangganya semakin banyak yang kaya raya karena usaha mereka berhasil, tapi karena mereka tak ingin jadi budak setan.Bahkan si Sarmin yang kerjanya cuma mencari kodok kini sudah bisa membeli motor, padahal rawa-rawa tempat dia mencari rezeki lebih sering tandus daripada berair. Dan sudah bukan rahasia lagi kalau Desa Pengging terkenal dengan banyak petilasan tempat meminta kekayaan.
Kini malah tersiar kabar kalau Desa Pengging telah menjadi salah satu tempat persinggahan gejok yang mengiringi Nyai Layonsari mencari abdi dalem, hingga saatnya nanti semua orang Pengging akan menjadi abdi dalem sang Nyai. Tapi sudah bukan rahasia, orangorang di Pengging memiliki borok di salah satu tubuhnya yang tak bisa disembuhkan. Awal mulanya hanya luka seperti di patuk ular.
Makhluk-makhluk gaib berupa ular, monyet, tuyul, setiap malam menetek di luka itu menghisap darah. Dan gilanya, apa saja kini di Pengging bisa dijual kepada pendatang, sebuah keris berkarat, secuil batu makam, bahkan sepotong akar beringin bisa sangat berharga. Orang-orang mengaku dengan gampang sebagai juru kunci petilasan anu, kuncen makam keramat anu, kuncen pohon anu, kuncen situ anu, dan semua tempat kini seperti sudah menjadi kapling-kapling petilasan.
Dan sebelum keluarganya menjadi pengikut gejok,sekalipun ditawari sendiri oleh Nyai menjadi abdi dalem-nya, Barjo tak akan tertarik. Barjo lalu cepat menyingkir dari Pengging. Carik Desa Gondel ketika pertama kali Barjo dan istrinya Minten datang, mensyaratkan orangorang dari Pengging yang mau tinggal di desanya tidak boleh mempunyai luka bekas patukan ular, sekecil apa pun.Maka dengan satu syarat itu, Barjo pun diterima.
”Besok malam aku akan masuk ke lobang itu, kau awasi di atas, jangan ada penduduk yang tau,” kata Barjo setelah usai bersemedi. “Emangnya mau ngapainPak?” “Aku punya firasat kita akan kaya?” “Kaya?” “Sstt? jangan keras-keras, nanti kedengeran orang.” “Kok bapak malah ikut orangorang Pengging, nyari pesugihan biar kaya, apa kita akan mengorbankan cucu kita? Kita pindah ke sini
”Bukan begitu Bune, itu bukan lobang pesugihan, menurutku itu lobang harta karun.Kenapa rupanya kalau kita dapat harta karun.” “Jangan percaya Pak, itu tipu daya setan,
”Sudahlah, kau tidur saja, lobang itu lobang harta, bukan lobang siluman apalagi lobang Genderuwo.” Minten beringsut masuk kamar sambil bersungut-sungut, gara-gara lobang itu dia cemas, suaminya kali ini mungkin saja akan teperdaya. ***
Barjo masuk ke dalam lubang dengan membawa lentera,keesokan harinya,menjelang senja, saat matahari mulai tenggelam di kaki-kaki bukit Marengas, tanah harapan mereka terakhir untuk sekadar menyambung hidup yang rencananya akan mereka tanami semangka.
Minten dengan ragu menunggu di atas penggalian mengawasi dengan berdebar, dia berharap Barjo tak menemukan apa-apa, tapi Barjo berhasil merayunya bahwa tidak ada orang yang boleh tahu soal lobang itu sebelum mereka mengetahui apa isinya. Barjo tercengang, sementara jantungnya berdebar saat dia melihat ada anak tangga terbuat dari batu walau tampak tidak sempurna karena batu-batu itu sudah pecah bercampur tanah, tapi Barjo yakin batu-batu itu suatu hari pernah disusun menjadi tangga. Kaki kaki? selasar selasar?
Lalu dia menemukan terowongan yang lain.Ini pasti bagian dari istana raja-raja zaman dulu, pikir Barjo. Barjo tak ingat sudah berapa puluh langkah dia masuk, menyinari langit-langit lobang, dan dinding dindingnya dengan lentera minyaknya. Dan dia sungguh terpesona karena tergambar jelas kini, bahwa tempat ini bukan gua yang diciptakan alam, tapi sebuah tempat yang sengaja dibikin oleh manusia.
Keluar dari lobang itu, Barjo membawa beberapa pecahan batu-batu berukir sekepalan tangan. Minten kembali menutup lobang di samping galian itu dengan gedhek lalu buru-buru masuk ke rumah, penasaran dengan apa yang dibawa Barjo. “Cuma batu-batu itu Pak?” Barjo tertawa.
”Otakmu juga sudah dipenuhi pikiran untuk kaya
Barjo pulang ke Gendol dengan riang, beberapa benda-benda yang ditemukannya di selasar sekitar lobang laku dijual kepada pedagang barang antik yang tertarik menanti barang yang akan dijual Barjo selanjutnya seperti yang dijanjikan Barjo, bahwa dia akan menjual barangnya hanya kepada si pedagang Tionghoa itu. Tapi siang harinya saat Barjo pulang, Minten kesurupan, matanya melotot marah, dia berlaku seperti seekor ular yang sangat besar yang hendak membelit Barjo.
Barjo tak segera memberi tahu penduduk kampung, sempat dia berpikir untuk memanggil Carik Desa Gendol, atau seorang yang bergelar kiai di kampung itu untuk mengusir makhluk yang menempati Minten, tapi pikirannya seketika berubah, lebih baik makhluk yang menempati Minten diajak berdialog dan bekerja sama untuk mengetahui apakah banyak benda-benda berharga di lobang itu, sekaligus meminta izinnya untuk mengambil barang-barang itu. ***
Barjo seperti melayang saat sebongkah benda berkarat berupa piring yang ternyata emas muda dibayar dua juta rupiah oleh Tong Kian, babah gemuk penjual barang-barang antik terkenal di kota.Tapi Barjo melihat senyum licik di mata manusia berkepala botak itu, maka Barjo tidak langsung pulang menemui Minten di Gendol, tapi dia jalan-jalan dulu ke Pengging, menikmati wedang kopi Mbah Mirjan di pinggir jalan Desa Wetan langganannya, sempat pula dia didatangi dua orang yang mengaku dari Mojokerto.
Barjo diminta untuk mencarikan mereka kuncen yang bisa mempertemukan mereka dengan Nyi Layonsari. Barjo tersenyum tenang, dia menjelaskan bahwa dia bukan orang yang tepat untuk orang putus asa seperti mereka. Mampuslah kalian, mau saja diperbudak setan, maki Barjo dalam hati.
Malam hari, saat Barjo tak melihat ada orang yang mencurigakan yang mengikutinya, Barjo bergegas pulang ke Gendol. Kali ini Minten sangat gembira karena dia yakin Barjo mendapatkan uang bukan karena muja seperti kebanyakan orang-orang Pengging tapi karena ketiban rezeki nomplok menemukan harta pusaka. ***
Barang-barang yang dijual Barjo terus mendatangkan uang yang melimpah, dengan sekejap mereka bisa menggaji beberapa orang menggarap kebun semangka dan menyewa tanah garapan ratusan meter, mereka juga membeli beberapa ekor kambing dan sapi, memperbaiki rumah gubuk mereka dan membeli mesin pompa air.
Setiap mendapatkan uang, biasanya Barjo berjalan-jalan dulu ke Pengging menikmati wedang kopi Mbah Mirjan kesukaannya sambil menghabiskan senja,ngobrol terkekeh kekeh dengan orang tua itu,di bawah keteduhan beberapa batang sawo tua tempat banyak orang berteduh di siang hari sehabis pulang berjualan di pasar kecamatan. ***
Pino, cucu tunggal mereka yang sering menginap setelah rumah mereka semakin rapi, suatu hari saat tidur siang hilang tak tahu rimbanya. Balita mungil yang kini montok karena terus dibelikan susu sapi murni oleh Barjo dan Minten hilang tak berbekas seperti raib ditelan Bumi. Barjo dan Minten panik, mereka mencari ke segenap Desa Gendol. Desa yang tenang jadi geger.
Seorang tetua desa menyuruh penduduk memukul bunyi-bunyian menjelang maghrib, katanya Pino diambil makhluk halus, maka ramailah penduduk desa memukuli apa saja, panci, ember, kentongan, tapi hingga malam tiba tak ada tandatanda Tino ditemukan. Minten berkata pada Barjo, janganjangan Pino diambil makhluk penjaga harta karun itu.
Barjo tersadar, bukankah beberapa bulan lalu dia bernegosiasi dengan makhluk yang menempati Minten untuk dibantu mengambil harta-harta itu. Dan kini dia meminta imbalan.Benarkah? Barjo panik, Minten pun kalang kabut. Barjo masuk ke dalam lobang itu tengah malam dengan lentera minyak, dengan memelas dia meminta Tino dikembalikan, tapi tak ada jawaban.
Barjo sempat melihat sesuatu bergerak berwarna hijau keemasan, berdiri dengan sepasang tanduk dan mata nyalang, tubuhnya laksana naga, dia bergerak mendekati Barjo, Barjo menjerit ketakutan dan berlari keluar lobang.
Dengan berat hati, Barjo dan Minten terpaksa merelakan Pino, tapi Sarmih, ibu Pino yang suaminya bekerja di Mojekerto tak bisa menerima kalau anak mereka diambil makhluk berbentuk naga itu. Barjo dan Minten disuruh mengembalikan apa-apa yang pernah mereka ambil dari lobang makhluk itu, tapi bagaimana caranya. Barjo tak mungkin menebus kembali barang-barangnya kepada Tong Kian.
Beberapa hari kemudian, saat Barjo pulang dari Pengging malam hari menghabiskan senja di sana bersama Mbah Mirjan dan kopi wedangnya, kabut aneh berwarna kelam muncul di langit Gendol, Barjo merasa kabut itu pertanda buruk. Tiba di rumah, Barjo melihat bukan Minten yang menyambutnya seperti biasa di pintu rumah, tapi makhluk itu, dia berdiri angkuh, hijau keemasan kulitnya, berkilau diterpa lampu minyak tanah yang mulai kehabisan minyaknya.
Barjo memanggil Minten, tapi tak ada sahutan. Barjo mengeluarkan pisaunya, saatnya makhluk ini mampus dan aku yang menggantikannya menguasai lobang itu. Satu tikaman mengena, pisau itu menancap. Satu kelebatan parang bagai kilat yang diayunkan Barjo memotong kepala makhluk itu.
Tubuh Jejadian itu terkulai jatuh ke tanah dengan suara jeritan aneh. Barjo bersorak kegirangan. Tapi suatu keajaiban terjadi. Makhluk itu bukan naga jejadian, tapi sepersekian detik berganti menjadi Minten, kepala minten terlempar jauh di lantai, terlepas dari batang tubuhnya dengan bersimbah darah kental menghitam, di tengah temaram lampu minyak tanah di malam celaka yang berkabut aneh di langit Gendol.***
Gejok: Balatentara roh halus.?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar