Pikiran
Rakyat
Sabtu,
26 Januari 2008
Mang Preddy
Cerpen: Ida Ahdiah
Menurut Nina, beberapa kali Ikah menelepon menceritakan keberatannya dengan segala kerepotan pesta, yang sebenarnya ia tidak sukai. Maunya mereka berdua, cukup mengundang kerabat dekat dan sahabat. Tak perlu baju dan perias pengantin. Dia pakai kain kebaya, berhias ala kadarnya saja. Toto pakai sarung dan baju takwa. Tak perlu juga makanan limpah ruah dan tenda depan rumah. Ikah tahu, sayalah yang akan mendanai sebagian besar biaya pernikahannya. Tapi Ikah tak berdaya waktu Ibu bilang, ``Tak enak sama saudara, teman, dan tetangga menikahkan anak bungsu begitu saja. Sudah, kamu diam saja.``
Padaku Ibu menceritakan rencana ijab
``Mang Preddy bekas tukang delman itu jadi Kepala Desa!``
``Ya, Mang Preddy yang sayang kamu itu....``
Saya merasa bersalah telah melupakan Mang Preddy, sahabat dewasa di masa kecil dan remaja saya. Ia menyebut dirinya Mang Preddy bukan saya atau aku saat bicara dengan siapa saja. Dia adalah tukang delman sewaktu jalan antara
Rumah Mang Preddy berjarak enam rumah dari rumah kami. Saya suka membantu Mang Preddy melepas dan memasang Arjuna dari kerangka delman. Arjuna mengenal saya. Jika kami bertemu, ia menempel-nempelkan kepalanya di wajah saya. Ibu selalu wanti-wanti agar saya tidak bersentuhan dengan kotoran kuda, apalagi kalau punya luka, bisa kena tetanus.
Satu liburan kwartal Mang Preddy mengajak saya jadi keneknya. Saya duduk di sampingnya dan memecut Arjuna jika ia malas berlari kencang. Kalau sedang ngetem di pasar kecamatan, tugas saya menemani Arjuna dan memberinya makan. Lalu saya ditraktir makan nasi lengko dan es limun. Saya juga diberi uang beberapa rupiah. Katanya buat nambah-nambah uang jajan.
Selama menunggu penumpang, Mang Preddy menawarkan tenaga untuk angkut-angkut barang. ``Mari, saya tolong bawakan belanjaannya. Langsung naik delman, tah. Itu delmannya di bawah pohon asam.``
Waktu yang ditempuh delman dari pasar kecamatan ke desa saya kira-kira satu jam. Jalanan lebih banyak dilalui sepeda, pedati, dan pejalan kaki. Kadang saja motor milik juragan penggilingan padi dan pemilik warung kelontong melintas. Sesekali truk minyak tanah lewat. Tapi dengan delman Mang Preddy, perjalanan terasa singkat. Sebab Mang Preddy tak pernah kehabisan cerita maupun memancing penumpang untuk bercerita.
Mang Preddy tahu informasi tentang pembasmi hama wereng, dukun sunat yang murah, obat penghilang encok, sungai yang banyak ikannya, manfaat daun turi, orang hajatan yang nanggap orkes, dokter inpres yang baru, NĂ©ng Geulis di kampung tertentu, siapa yang panennya gagal, siapa yang melahirkan, siapa yang merantau ke Jakarta, siapa yang melanjutkan sekolah ke kota, dan banyak lagi.
Ia juga tahu cerita misteri. Satu cerita Mang Preddy yang saya ingat adalah tentang penghuni pohon asam tua di tepi jalan. Tiap melewati pohon itu, Mang Preddy meminta penumpang baca
Jika melewati orang yang sedang menjemur padi di pinggir jalan, Mang Preddy menghentikan delmannya sejenak, mengajak bicara orang tersebut. ``Waduh, padinya beuneur-beuneur pisan. Kapan-kapan, kalau hendak menggiling padi, panggil saja Mang Preddy. Mau Rabu Pahing, Selasa Wage, Jumat Kaliwon, hari pasar boleh, asal jangan malam hari, penggilingan tutup.`` Mang Preddy tertawa. Orang itu biasanya menjawab, ``Beres Mang Preddy....``
Menjelang lulus SD, saya dan teman-teman harus difoto untuk ijazah. Tukang foto hanya ada di pasar kecamatan. Mang Preddy pun dipesan untuk mengantarkan anak-anak ke
``Nanti Mang Preddy usahakan jalan keluarnya,`` kata Mang Preddy pada Pak Guru Ama, wali kelas saya.
Jalan keluar Mang Preddy adalah membawa tukang foto itu ke desa. Tukang foto tak cuma memotret anak-anak, orang-orang kampung juga ada yang mau difoto. Tukang foto itu memberinya komisi lumayan. Selanjutnya fotografer itu menjadi tukang foto keliling, yang menggunakan jasa Mang Preddy untuk transportasi.
Saat jalan selesai diaspal, mobil angkutan perdesaan yang berwarna kuning mulai dioperasikan. Jam operasinya dari jam tujuh pagi hingga jam empat sore. Transportasi selanjutnya diambil alih oleh ojek. Delman Mang Preddy tak bisa bertahan. Ia menjual Arjuna dan delmannya ke petani di desa lain. Mang Preddy menolak menjadi kusir bayaran. Ia belajar naik motor. Selanjutnya ia membeli motor Honda Astra bekas untuk diojekkan.
Saya sudah di SMA dan kos di
Mang Preddy tak hanya menunggu penumpang di pangkalan ojek. Ia rajin mencari orang yang punya rencana besok, lusa, atau seminggu lagi pergi kondangan, ke puskesmas, ke sawah, ke mana saja. Pagi dan sore ia punya langganan mengantar-jemput putra Pak Kapten ke sekolahnya di
Pada satu bulan puasa, Mang Preddy meminta saya menawarkan jasa ojek es batu pada orang-orang kampung. Di bulan itu pembelian es meningkat pesat karena orang suka minum sirup, es teh, kelapa muda, dan makan kolak campur es sebagai pelepas dahaga kala buka. Es batu dibeli dari depot yang tempatnya lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Tawaran itu mendapat sambutan bukan saja dari kampung kami, melainkan kampung lainnya. Ongkosnya murah karena dibayar ramai-ramai. Sekali jalan, sepanjang puasa, saya yang duduk boncengan, membawa 12 es batu selebar buku tulis dengan tebal sekitar 10 cm, yang berbalut sekam dan diikat tali yang terbuat dari bambu.
Seminggu menjelang lebaran, kesibukan Mang Preddy dan saya menjadi-jadi.
Saya mendapat bagian uang dari Mang Preddy. Dua hari menjelang lebaran, ia membonceng saya ke
Mang Preddy berkaca-kaca waktu tahu saya lulus sipenmaru, diterima di sebuah universitas negeri di ibu
Menurut bapak dan ibu, Mang Preddy sayang pada saya karena dia tidak punya anak. Orang-orang bilang, istrinya, Bi Ecih, gabug, ibarat padi yang tidak ada berasnya, ia tak bisa punya anak. Bi Ecih terkenal pandai memasak. Ia kerap dipanggil untuk memasak di orang-orang yang punya hajat. Tidak saja orang-orang sekampung, juga orang dari kampung kecamatan lain. Menurut cerita yang kudengar, untuk mendapat keturunan, Mang Preddy pernah disuruh nikah lagi oleh orang tuanya. Tapi Mang Preddy menolak. ``Kalau saya yang gabug bagaimana?`` Mang Preddy bilang begitu pada Ibu.
Kesibukan kuliah menyita separuh waktu saya. Keasyikan menjelajah sudut-sudut
Saat ijab
``Mana istrimu? Sudah berapa anakmu? Sepertinya kamu sibuk sekali sehingga jarang pulang. Tapi kamu sekeluarga sehat-sehat saja, bukan?``
Saya kenalkan Nina padanya. Saya tunjukkan putra saya nomor satu, yang berjalan di samping kakeknya. Saya kenalkan putri saya nomor dua, yang menggelayut di lengan neneknya.
``Perasaan baru saja kemarin kamu turut mengurus Arjuna dan turut Mang Preddy ngojek.``
``Waktu cepat sekali berlalu. Sekarang Mang Preddy jadi Pak Kuwu. Saya senang. Saya bangga.``
Kata Mang Preddy, sebelumnya ia tak terpikir ikut dalam pemilihan Kuwu. Ia tahu diri, cuma lulusan STN, bekas tukang delman, tukang ojek, dan sopir. Tidak punya uang pula. Namun, orang-orang terus mendesaknya. Pendukungnya menganggap Mang Preddy mengenal masyarakat sedalam-dalamnya dan senang membantu, tanpa pandang bulu. Mang Preddy juga banyak akalnya.
Resepsi pernikahan Ikah, yang sesuai dengan harapan Ibu, selesai sebelum magrib. Mang Preddy baru pulang setelah pesta usai. Ia turut membantu panitia membereskan sisa pesta. Tenda diturunkan dan kursi-kursi dilipat. Piring, gelas, dan sendok pinjaman sedang disusun dan hendak dikembalikan.
Kami pun pamit kembali ke Jakarta. Besok, saya dan Nina harus masuk kerja. Kembali ke kegiatan semula, memikirkan cicilan rumah, cicilan mobil, cicilan kartu kredit, uang masuk untuk si sulung ke SD favorit, yang sebagiannya terpakai untuk pernikahan Ikah. Juga merencanakan agar anak kami yang kedua bisa masuk TK, yang juga favorit. Ibu tampak tak senang dengan keterburu-buruan kami. Katanya, ia masih kangen sama kedua cucunya.
Kami sempatkan mampir ke rumah Mang Preddy untuk pamitan. Ia baru selesai salat magrib waktu kami tiba. Ia mengenakan sarung, baju takwa, dan kopiah hitam. Bi Ecih masih mengenakan mukena. Mang Preddy menawari kami teh tubruk, teh kental dengan gula batu, kesukaannya. Saya menolak secara halus karena tak mau kemalaman di jalan.
``Mang Preddy kira hendak bermalam lagi. Ngobrol-ngobrol dulu dengan Mang Preddy, begitu.``
``Inginnya lama, tapi saya dan Nina besok masuk kerja.``
``Kalau begitu, tunggu, yah, tunggu....`` Mang Preddy masuk kamar, tergopoh-gopoh.
Saya jabat tangan Mang Preddy saat ia keluar kamar. ``Buat nambah-nambah beli bensin,`` bisiknya seraya menyelipkan uang di telapak tangan saya.
Saya kaget dan hendak menolak. Segera Mang Preddy beranjak menerima jabat tangan Nina. Lalu bergantian memangku kedua anak saya. Dan memberi masing-masing selembar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar