Batam
Pos
Minggu,
03 Juni 2007
Perahu yang
Lelah
Cerpen: Agustinus Wahyono
Senja telah menutup kilau layar
kuning-jingganya sejak delapan jam lampau, Kekasihku. Mataku tak kuasa mengelak
putaran pikiranku, meski masih teringat pesan nyonya majikanku pada empat jam
lalu, ?Tidurlah, Mel, sudah jam dua, kamu harus istirahat lalu jam tujuh
mengantarkan Aken ke sekolah.?
Sampai dini hari aku masih duduk sendiri di sofa samping jendela apartemen ini, Kekasihku. Tak bisa kuhitung berapa lama aku di situ sambil menatap perahu-perahu yang bersandar dan bergoyang gemulai di dermaga nun tampak disana , beberapa kilometer
dari apartemen majikanku ini. Ombak kecil memukul-mukul badannya. Siluet
berbedak kunang-kunang elektrik gedung-gedung jangkung bergoyang-goyang. Separoh
rembulan dan gemintang tergantung di atasnya. Sedang suara-suara geliat malam
tak mampu menembus jendela kaca yang berada di lantai tujuh belas ini. Malam
pun melarut dalam kesunyian, sesunyi hatiku kini, Kekasihku.
Tapi suara-suara tadi masih mengiang-ngiang? ah, semakin sunyi hatiku. Suara-suara dalam kotak kaca yang menayangkan film yang pernah menggetarkan hati anak-anak muda beberapa tahun silam, dan tadi diputar oleh keluarga majikanku. Kisah cinta yang dilerai malapetaka yang berujung pada kematian si lelaki, dibintangi oleh Leonardo de Caprio, meski keduanya berhasil menyelamatkan diri dari kecelakaan yang menenggelamkan kapal congkak Tytanic. Ajal telah menjemput lelaki yang kelelahan dan terlalu lelap di permukaan samudera. Tragis. Namun sang perempuan tetap setia pada cintanya, walau helai-helai salju telah memahkotainya. Kesetiaan yang tergenggam dalam kalung yang kekal.
Kesetiaan? Masih adakah?
Sebuah fatamorgana cinta yang kembali menampar kesadaranku tentang cinta. Apakah cinta itu, Kekasihku?
Masih ingat, nona sulungku, Kekasihku? Dia kini sudah punya pacar. Perempuan lagi? Bukan. Kini pacarnya laki-laki. Dia sudah tidak mau lagi berpacaran dengan sesama jenisnya. Tadi sore kekasihnya datang, lalu mengantar si bungsu ke sekolah.Ada
kegiatan semacam pramuka. Ingat si bungsu, Aken, cowok kecil yang selalu merasa
diri Spyderman tapi tiba-tiba bergaya kayak gadis di sofa panjang dan sedang
dilukis dalam film itu? Pangeran kecilku itu pernah pulang dari kemping dengan
mengaku tidak gosok gigi selama tiga hari. Bau naga! Sedangkan yang tengah,
nona cantikku, kini berambisi jadi artis remaja, mentang-mentang umurnya sudah
empat belas tahun. Aku sayang mereka, Kekasihku. Kecuali kau datang dengan
perahu cinta, membawaku?
Cinta? Kekasihku, jujur saja, aku tidak sepenuhnya lagi percaya pada cinta semenjak pernikahanku hancur-lebur dalam hitungan dua tahun saja. Pernikahan yang memang tak kupersiapkan dengan cinta selayaknya, kecuali kuingin suamiku dulu mau membiayai kuliahku yang mengambil jurusan tanpa restu kedua orang tuaku.
Ya, mantan suamiku dulu anak orang kaya, namun ternyata tak bisa apa-apa. Waktu itu usianya baru 19 tahun, terbiasa manja. Sedangkan umurku waktu itu sudah 22 tahun. Kalau toh pernikahan itu kemudian membuahkan seorang anak, cinta sejati tidak jua hadir di tengah-tengah kami. Bahtera kami akhirnya karam. Kuliahku terlanjur kandas. Cita-cita menjadi sarjana sastra pun terkubur.
Aku memilih pergi ke luar negeri. Kutinggalkan anakku di rumah ibuku. Kutinggalkan taman anggrek kami. Kutinggalkan sawah ayahku yang cuma enam petak. Kutinggalkan koor katak-katak. Kini terhitung sudah tiga belas tahun aku di Negeri Naga. Baru dua kali aku mudik. Belum lama ini kuterima kabar, istri mantan suamiku telah melahirkan anak mereka. Terserahlah. Toh kini aku sudah menemukan laki-laki yang?
Apakah engkau juga pernah menonton film itu, Kekasihku? Apakah engkau juga bisa menangkap kesetiaan perempuan yang duduk di sofa panjang itu, Kekasihku?
Kesetiaan cinta? Masihkah kesetiaan merupakan mutiara hati setiap insan? Jika hanya kematian adalah pedang pemisah kesatuan jiwa, kenapa ketidaksetiaan begitu semena-mena mendiktekan suatu perpisahan? Di manakah cinta? Di manakah mutiara?
Mungkin engkau kini sedang menyimpan mutiara cinta itu, yang belasan tahun kupinta dari Tuhan. Belasan tahun, sejak tenggelamnya bahtera rumah tanggaku! Dalam usiaku yang berangka empat puluh, masih kucari mutiara itu di antara pria-pria yang kujumpai di dunia internet milik anak majikanku. Ingin kutunjukkan pada bekas suamiku bahwa aku bukan janda jelek yang selalu merana, merengek-rengek rujuk bersyarat tetek-bengek. Gigi-gigi depanku yang gondrong bukan kendala memalukan apalagi memilukan. Aku masih mampu mendapatkan penggantinya. Cara berpikirku pun lebih maju darinya. Dia wajib sadari itu!
Tapi, masihkah ada cinta sejati di dunia maya semacam itu, Kekasihku? Bilang cinta membabi buta lewat chatting tapi berkencan pula dengan gadis-gadis internet lainnya? Apakahasmara
maya terakhirku ini denganmu layak kupercaya kesetiaanmu, Kekasihku?
Engkau tampan dan pintar, Kekasihku. Usiamu belum sampai dualima . Pasti banyak gadis yang terpikat
olehmu. Apakah kesetiaanmu bisa kuandalkan dan menjamin kesembuhan luka lara
lamaku yang menanahi hari-hariku akhir-akhir ini? Bagaimana pula dengan
laki-laki lainnya yang belum lama ini begitu nekat hendak melamarku ke rumah
orangtuaku, termasuk seorang laki-laki berusia enam puluh tahun dan masih
beristri?
Pernah kubaca sebuah puisi pendek di sebuah antologi puisi semasa aku masih mahasiswi belia. Biarlah cinta bercahaya / Sinari jejalan hati percaya. Perceraian kami memudarkan cahaya cinta itu. Kepercayaanku pada cinta pun entah ke mana hingga kita bertemu di dunia maya. Kuingin kembali menyusun puing-puing kepercayaanku pada cahaya cinta, meski tak akan segemerlap Kota Naga tatkala kelambu kelam malam membungkusnya.
Dan kesetiaan. Masihkah ada pada saat layar kaca dijejali oleh pemandangan para perempuan serba molek, serba binal, dan pertempuran birahi yang berapi-api? Apakah laki-laki masih berpegang pada kesetiaannya, meski kekasih atau istrinya sudah tak lagi jelita, apalagi aku, janda beranak satu serta wajahku tak cantik dan tak sesegar bunga baru mekar nan cerah-ceria. Kakek-kakek saja masih suka menggoda perempuan muda dengan bahasa gula dan janji madu, bagaimana dengan engkau, Kekasihku, yang masih segar-bugar?
Aku memang egois; menuntut kesetiaanmu, sedangkan aku masih mengais-ngais perhatian dari laki-laki lainnya di belakangmu. Tapi, walau lebih muda, engkau bisa mengerti kondisi jiwaku. Sekian tahun menjanda, sebatang kara di perantauan, dan malam-malam tertentu sepi hasratku dicekik oleh cekikikan kedua majikanku di kamar intim mereka.
Bukankah lumrah bila aku pun menginginkan suara cekikikan semacam itu, Kekasihku? Bukankah aku pernah merasakan hangatnya sentuhan jemari dan asinnya tetesan keringat laki-laki? Wajar,kan ,
kalau kini aku merindukan itu? Ingin kudapatkan itu lagi dari?
Aaah? Selama kita menjalin kasih di dunia maya, hanya bisa kudengar deru nafas dan erangmu. Itu pun harus kupancing dengan rengekan manjaku menembus telpon genggammu.
Kemarin pagi aku menelpon ibuku di udiksana ,
Kekasihku. Beliau menyuruhku segera pulang, dan menikah lagi. Menikah lagi?
Semudah itu? Siapkah engkau? Siapkah keluargamu menerima kehadiranku,
Kekasihku?
Aku belum berani lagi mengambil resiko, meski kusadari usiaku semakin rawan. Orangtuaku bertambah renta. Ayahku berumur lebih tujuh puluh tahun, daya dengarnya kian menurun. Ibuku sudah kewalahan membagi perhatian, apalagi mengawasi anakku yang kini sudah SMA. Untungnya anakku itu laki-laki. Bukan perempuan. Sehingga kalau aku menikah lagi, aku tak usah was-was atas perilaku suami baruku alias papa tirinya. Tak jarang di mediamassa online kubaca berita ayah tiri
memperkosa atau mencabuli anak tirinya. Ah, laki-laki?
Tapi, kapan aku akan menikah lagi? Kapan aku akan menetap di udik bersama keluarga baru dan anakku itu? Jika gagal dan gagal lagi? Sejujurnya kuakui, aku malu jadi janda di udik. Berkeluarga di usia muda dan muda pula usia pernikahanku. Apa pula kata tetanggaku kelak? Apalagi kalau tiba-tiba aku bertemu dengan mantan suamiku dan keluarga barunya.
Aaah? di negeri orang ini aku bisa lebih tenang, Kekasih. Kita pun bisa bebas bercinta kapan saja kendati cuma lewat kata-kata dan suara-suara. Namun tak mungkin selamanya aku di sini dan begini. Ibuku juga sempat menanyakan, kelak siapa mengurus anak semata wayang itu, Mul. Oh iya, ya, siapa? Masak sih keluargaku lainnya? Bukankah aku ini mama kandungnya, kendati tak kurasa lagi ada ikatan batin dengannya?
Lantas, apakah aku harus memaksamu untuk menikahiku dalam waktu dekat? Sudikah engkau menjadi ayah untuk seorang remaja?
Ah, engkau masih harus menyelesaikan skripsimu, Kekasihku. Belum lagi bagaimana tanggapan orangtuamu, keluargamu, kawan-kawanmu. Aaaah?
Memang salahku dulu. Berjumpa dirimu di internet, aku langsung tertarik, kudekati terus, dan kutelpon engkau setiap hari hingga pernah tiga kali sehari demi kelegaan hasrat sepiku. Lalu kita terlibatasmara membara. Engkau kian mencintaiku.
Begitu katamu, dan sering begitu di saat kita mulai mendesah-desah.
Aku percaya padamu, Kekasihku. Karena memang selama setengah tahun lebih ini tidak pernah kudengar obrolan orang-orang internet tentang perselingkuhanmu, atau suara merdu perempuan yang mengangkat telponmu. Engkau tipe laki-laki setia, kayaknya. Pernah pula beberapa kali kutelpon orangtuamu di pulausana , walaupun tidak
pernah kuberi tahu usia dan statusku. Suara ayahmu, ibumu, kakakmu, istri
kakakmu, adikmu, dan pacar adikmu pernah mencandai telingaku. Sebuah keluarga
ramah, sederhana nan setia. Mereka sangat percaya padaku, pada cinta kita.
Mungkin karena mereka belum tahu asliku. Mungkin pula lantaran kau mahir
merangkai cerita romantika meyakinkan.
Tapi, sekali lagi, apakah engkau itu sudi kuajak menikah dalam waktu dekat ini? Aaah? Aku tak berani bertaruh dengan angan. Kenyataan tidak segampang bicara via telpon. Apalagi kaubilang, tunggu gelar sarjana berhasil kau raih.
Atau aku menikah dengan laki-laki lain saja? Dengan yang sudah beristri tapi tidak peduli keluarganya? Atau, yang kini menduda setelah menceraikan istri keduanya dan meninggalkan bayi yang belum genap satu bulan? Bukankah mereka jelas berpengalaman dalam banyak hal jika dibandingkan denganmu? Tapi bagaimana dengan kesetiaan mereka?
Lagi-lagi kesetiaan, sebuah penghormatan terhadap kesakralan akad pernikahan? ?
Terus kupandangi perahu-perahu dan siluetnya bersandar di dermaga. Perahu-perahu di dermagasana
digoyang-goyang gelombang kecil. Tak jarang aku merasa diriku seperti dermaga
itu, Kekasihku. Kapal demi kapal singgah, bersandar. Satu per satu lainnya
bertolak, meninggalkan dermaga. Datang dan pergi. Terus dan terus. Tiada yang
sudi menetap dan merapat dengan dermaga itu. Setiap ada kapal yang singgah,
bukan hanya bahagia serta semarak kurasa, tetapi juga perih, perih sekali.
Tak pelak aku bertanya pada diriku sendiri, apakah dermagaku ini adalah pula akuarium atau ruang-ruang kaca semacam di mega mal. Mereka yang datang hanya melongok barang pameran, lantas pergi setelah mengangkat bahu dengan garis bibir cembung. Sebab aku yang buruk rupa dan makin tua ini memang tidak pantas menjadi barang pajangan. Kuyakin, engkau pun akan malu membawaku pada acara-acaramu, reuni-reuni sekolah dan ulang tahun kolegamu kelak.
Tidak. Aku bukan dermaga itu, Kekasihku. Melainkan seorang perempuan yang berdiri di dermaga cinta. Aku sedang menunggu perahumu datang dan membawaku pergi dari kesunyian di pulau kehidupanku sendiri. Perahu jiwaku telah lama kutambatkan di dermaga itu. Perahuku makin lusuh dilupakan waktu. Waktu melaju tanpa mau tahu. Bianglala yang semula membalut tubuhnya, tak lagi cerah.
Warna-warnanya berangsur gugur, terkelupas oleh masa dan jeritan batinku. Sedikit demi sedikit tampak kayu aslinya yang melapuk dan rapuh dirajah alam serta unsur-unsurnya secara membabi buta.
Kini, sepanjang hari, sungguh-sungguh kunantikan sang waktu menggiring perahumu singgah semenjak kaunyalakan sinyal-sinyal jiwamu berlabuh di dermaga rindu, berjanji menjemputku. Sepanjang hari, sejak waktu itu, sejak kita bersepakat dalam cinta.
Entah sudah berapa kali sang ratu malam mengangkangi angkasa. Entah sudah berapa ratus pangeran fajar bergantian menyuguhkan segenggam harapan demi harapan. Entah sudah berapa banyak putri senja menghibur diriku di jendela beku gedung jangkung ini sembari berbisik bahwa esok selalu ada fajar berpijar dan senja kencana memancar kegemilangan di penghujung usiaku.
Kekasihku, apakah engkau benar-benar akan berikan fajar serta senja bagi hari-hariku dan menyinari jalanku melintasi sisa-sisa usiaku hingga kelak kujawab sepenuhnya panggilan Sang Kekal? Apakah engkau pun mampu melukis pelangi di pekat kelam malam-malamku supaya segenap hari-hariku adalah kesemarakan cahaya puji-syukur ke Hadirat Ilahi?
Di dermaga cinta, perahu jiwaku tak henti bergoyang-goyang, sedikit terombang-ambing oleh masa penantian yang sepi serta tak jelas kapan akan berakhir. Kuakui, diriku mulai jenuh, jengah dan lelah bersetia di dermaga cinta ini, Kekasihku. Aku ingin perahumu muncul di kaki langit Laut Cina Selatan, singgah, kau keluar dari perahu, tersenyum, membentangkan kedua lengan berototmu, datang, menggendong dan membelaiku secara nyata.
Tapi, ketahuilah olehmu, Kekasihku, di perantauan ini aku, Mulyani, meski keluarga majikanku dan orang-orang di sini memanggilku Meliani karena kelenturan lidah mereka berbeda dengan kita, mati-matian menahan diri agar kelak aku tidak mengoleh-olehi aib ke udik, tidak mempermalukan keluargaku dan anakku satu-satunya. Aku tidak mau seperti Atun, Oneng, Iyem, atau lain-lain yang sangat bebas mengumbar birahi bersama pria-pria asing di luar negeri, terutama dari negeri berkulit aspal. Juga aku tidak mau seperti Wati dan Tinah yang pulang keIndonesia
membawa oleh-oleh anak haram jadah. Padahal aku pun perempuan normal, apalagi
aku janda yang dahaga sentuhan laki-laki seperti yang pernah kurasakan. ?
Kekasih, bilamanakah perahumu melawat untuk merapat? Bilamanakah engkau akan menjemputku, menggendongku turun dari gedung jangkung ini, masuki perahumu dan ajakku arungi samudera kehidupan? Mungkin perahumu diam-diam, oh, merapat di dermaga lain yang menjanjikan kegairahan siang-malamnya dengan aroma kemudaan yang menyenangkan. Haruskah kualami terus dan selalu kualami kelelahan menunggu perahu pujaanku?
Kesunyian kian menghasut kesepianku. Keluarga majikanku telah bermimpi sampai entah di mana seusai menonton film tadi. Sebentar lagi aku mau membereskan cucian keluarga majikanku yang tersisa. Sebentar lagi. Tidak apa-apa. Nyonyaku tak akan mengomeliku sebab seharusnya tugasku ini nanti siang kukerjakan. Keluarga majikanku memang baik. Aku jadi betah sejak pertama ikut mereka, biarpun aku tak lebih dari seorang babu. Nanti aku mau membereskan cucian itu. Aku belum ingin tidur. Belum mengantuk, Kekasihku. Kisah film tadi mengajakku melayari angan-angan tentang cinta, kesetiaan, dan dirimu yang pada saat dingin dini hari ini entah sedang melakukan apa.
Dan seperti waktu-waktu lampau, setia kunanti perahu kasih sayangmu datang. Di ujung teluksana
mercu suar berkedap-kedip menggoda kerinduanku, menggoda harapanku itu.
Kapal-kapal selalu hilir-mudik. Bila mentari membuka lebar-lebar jendela
cakrawala, burung-burung camar kian menerbangkan anganku ke ranjang angkasa dan
busa awan-gemawan bersamamu, menikmati keindahan langit biru sebiru cinta kita.
Aku sungguh-sungguh mengharapkan perahumu segera melawat, merapat di dermaga itu, Kekasihku, lalu engkau melihatku duduk di sofa dekat jendela ini seperti perahu yang lelah di dermaga itu, engkau mengenaliku dengan daster ungu, gerai rambut panjang, dan kilau gigi gondrong lalu engkau melambaikan tanda hadir, tanda panggil.
O Kekasihku, lihatlah aku di dekat jendela ini. Sengaja kubuka kordennya lebar-lebar. Kunyalakan lampu terang-benderang. Lihatlah rambut panjang bergerai, gigi gondrongku memantulkan cahaya mercu suar, melambai-lambai, memanggil, hendak menggapai sejatimu.
Datanglah, duhai Dambaanku. Segeralah. Aku telah lelah. Letih batinku. Bawalah aku dengan perahu baru kita. Bawalah aku bersamamu, layari samudera hidup beserta berlaksa asa selagi nafas kita masih mampu meniupkan angin yang akan menggiring perahu kita tiba di pulau kebahagiaan abadi seperti impian muda-mudi. Oh, lelah kian dalam menderaku.
Angin dini hari menggigilkan belantara beton berkaca. Kupeluk hangat diriku sambil pandanganku tak lepas dari lampu-lampu di sekitar dermaga. Kekasih, andai perahumu tak juga datang beserta selembar surat lamaran yang ditandatangani oleh orangtua kita, dan memang akhirnya harus kusadari bahwa kata-kata cintamu hanya halusinasi, mungkin harus kuterima ajakan naik perahu laki-laki lainnya yang betul-betul sudi segera membawaku berlayar, pulang, dan cinta kudapatkan pula. Sungguh, aku sudah tak tahan berlama-lama berlelah-lelah dalam kesetiaan penantian sepi ini, Kekasihku. ***
Sampai dini hari aku masih duduk sendiri di sofa samping jendela apartemen ini, Kekasihku. Tak bisa kuhitung berapa lama aku di situ sambil menatap perahu-perahu yang bersandar dan bergoyang gemulai di dermaga nun tampak di
Tapi suara-suara tadi masih mengiang-ngiang? ah, semakin sunyi hatiku. Suara-suara dalam kotak kaca yang menayangkan film yang pernah menggetarkan hati anak-anak muda beberapa tahun silam, dan tadi diputar oleh keluarga majikanku. Kisah cinta yang dilerai malapetaka yang berujung pada kematian si lelaki, dibintangi oleh Leonardo de Caprio, meski keduanya berhasil menyelamatkan diri dari kecelakaan yang menenggelamkan kapal congkak Tytanic. Ajal telah menjemput lelaki yang kelelahan dan terlalu lelap di permukaan samudera. Tragis. Namun sang perempuan tetap setia pada cintanya, walau helai-helai salju telah memahkotainya. Kesetiaan yang tergenggam dalam kalung yang kekal.
Kesetiaan? Masih adakah?
Sebuah fatamorgana cinta yang kembali menampar kesadaranku tentang cinta. Apakah cinta itu, Kekasihku?
Masih ingat, nona sulungku, Kekasihku? Dia kini sudah punya pacar. Perempuan lagi? Bukan. Kini pacarnya laki-laki. Dia sudah tidak mau lagi berpacaran dengan sesama jenisnya. Tadi sore kekasihnya datang, lalu mengantar si bungsu ke sekolah.
Cinta? Kekasihku, jujur saja, aku tidak sepenuhnya lagi percaya pada cinta semenjak pernikahanku hancur-lebur dalam hitungan dua tahun saja. Pernikahan yang memang tak kupersiapkan dengan cinta selayaknya, kecuali kuingin suamiku dulu mau membiayai kuliahku yang mengambil jurusan tanpa restu kedua orang tuaku.
Ya, mantan suamiku dulu anak orang kaya, namun ternyata tak bisa apa-apa. Waktu itu usianya baru 19 tahun, terbiasa manja. Sedangkan umurku waktu itu sudah 22 tahun. Kalau toh pernikahan itu kemudian membuahkan seorang anak, cinta sejati tidak jua hadir di tengah-tengah kami. Bahtera kami akhirnya karam. Kuliahku terlanjur kandas. Cita-cita menjadi sarjana sastra pun terkubur.
Aku memilih pergi ke luar negeri. Kutinggalkan anakku di rumah ibuku. Kutinggalkan taman anggrek kami. Kutinggalkan sawah ayahku yang cuma enam petak. Kutinggalkan koor katak-katak. Kini terhitung sudah tiga belas tahun aku di Negeri Naga. Baru dua kali aku mudik. Belum lama ini kuterima kabar, istri mantan suamiku telah melahirkan anak mereka. Terserahlah. Toh kini aku sudah menemukan laki-laki yang?
Apakah engkau juga pernah menonton film itu, Kekasihku? Apakah engkau juga bisa menangkap kesetiaan perempuan yang duduk di sofa panjang itu, Kekasihku?
Kesetiaan cinta? Masihkah kesetiaan merupakan mutiara hati setiap insan? Jika hanya kematian adalah pedang pemisah kesatuan jiwa, kenapa ketidaksetiaan begitu semena-mena mendiktekan suatu perpisahan? Di manakah cinta? Di manakah mutiara?
Mungkin engkau kini sedang menyimpan mutiara cinta itu, yang belasan tahun kupinta dari Tuhan. Belasan tahun, sejak tenggelamnya bahtera rumah tanggaku! Dalam usiaku yang berangka empat puluh, masih kucari mutiara itu di antara pria-pria yang kujumpai di dunia internet milik anak majikanku. Ingin kutunjukkan pada bekas suamiku bahwa aku bukan janda jelek yang selalu merana, merengek-rengek rujuk bersyarat tetek-bengek. Gigi-gigi depanku yang gondrong bukan kendala memalukan apalagi memilukan. Aku masih mampu mendapatkan penggantinya. Cara berpikirku pun lebih maju darinya. Dia wajib sadari itu!
Tapi, masihkah ada cinta sejati di dunia maya semacam itu, Kekasihku? Bilang cinta membabi buta lewat chatting tapi berkencan pula dengan gadis-gadis internet lainnya? Apakah
Engkau tampan dan pintar, Kekasihku. Usiamu belum sampai dua
Pernah kubaca sebuah puisi pendek di sebuah antologi puisi semasa aku masih mahasiswi belia. Biarlah cinta bercahaya / Sinari jejalan hati percaya. Perceraian kami memudarkan cahaya cinta itu. Kepercayaanku pada cinta pun entah ke mana hingga kita bertemu di dunia maya. Kuingin kembali menyusun puing-puing kepercayaanku pada cahaya cinta, meski tak akan segemerlap Kota Naga tatkala kelambu kelam malam membungkusnya.
Dan kesetiaan. Masihkah ada pada saat layar kaca dijejali oleh pemandangan para perempuan serba molek, serba binal, dan pertempuran birahi yang berapi-api? Apakah laki-laki masih berpegang pada kesetiaannya, meski kekasih atau istrinya sudah tak lagi jelita, apalagi aku, janda beranak satu serta wajahku tak cantik dan tak sesegar bunga baru mekar nan cerah-ceria. Kakek-kakek saja masih suka menggoda perempuan muda dengan bahasa gula dan janji madu, bagaimana dengan engkau, Kekasihku, yang masih segar-bugar?
Aku memang egois; menuntut kesetiaanmu, sedangkan aku masih mengais-ngais perhatian dari laki-laki lainnya di belakangmu. Tapi, walau lebih muda, engkau bisa mengerti kondisi jiwaku. Sekian tahun menjanda, sebatang kara di perantauan, dan malam-malam tertentu sepi hasratku dicekik oleh cekikikan kedua majikanku di kamar intim mereka.
Bukankah lumrah bila aku pun menginginkan suara cekikikan semacam itu, Kekasihku? Bukankah aku pernah merasakan hangatnya sentuhan jemari dan asinnya tetesan keringat laki-laki? Wajar,
Aaah? Selama kita menjalin kasih di dunia maya, hanya bisa kudengar deru nafas dan erangmu. Itu pun harus kupancing dengan rengekan manjaku menembus telpon genggammu.
Kemarin pagi aku menelpon ibuku di udik
Aku belum berani lagi mengambil resiko, meski kusadari usiaku semakin rawan. Orangtuaku bertambah renta. Ayahku berumur lebih tujuh puluh tahun, daya dengarnya kian menurun. Ibuku sudah kewalahan membagi perhatian, apalagi mengawasi anakku yang kini sudah SMA. Untungnya anakku itu laki-laki. Bukan perempuan. Sehingga kalau aku menikah lagi, aku tak usah was-was atas perilaku suami baruku alias papa tirinya. Tak jarang di media
Tapi, kapan aku akan menikah lagi? Kapan aku akan menetap di udik bersama keluarga baru dan anakku itu? Jika gagal dan gagal lagi? Sejujurnya kuakui, aku malu jadi janda di udik. Berkeluarga di usia muda dan muda pula usia pernikahanku. Apa pula kata tetanggaku kelak? Apalagi kalau tiba-tiba aku bertemu dengan mantan suamiku dan keluarga barunya.
Aaah? di negeri orang ini aku bisa lebih tenang, Kekasih. Kita pun bisa bebas bercinta kapan saja kendati cuma lewat kata-kata dan suara-suara. Namun tak mungkin selamanya aku di sini dan begini. Ibuku juga sempat menanyakan, kelak siapa mengurus anak semata wayang itu, Mul. Oh iya, ya, siapa? Masak sih keluargaku lainnya? Bukankah aku ini mama kandungnya, kendati tak kurasa lagi ada ikatan batin dengannya?
Lantas, apakah aku harus memaksamu untuk menikahiku dalam waktu dekat? Sudikah engkau menjadi ayah untuk seorang remaja?
Ah, engkau masih harus menyelesaikan skripsimu, Kekasihku. Belum lagi bagaimana tanggapan orangtuamu, keluargamu, kawan-kawanmu. Aaaah?
Memang salahku dulu. Berjumpa dirimu di internet, aku langsung tertarik, kudekati terus, dan kutelpon engkau setiap hari hingga pernah tiga kali sehari demi kelegaan hasrat sepiku. Lalu kita terlibat
Aku percaya padamu, Kekasihku. Karena memang selama setengah tahun lebih ini tidak pernah kudengar obrolan orang-orang internet tentang perselingkuhanmu, atau suara merdu perempuan yang mengangkat telponmu. Engkau tipe laki-laki setia, kayaknya. Pernah pula beberapa kali kutelpon orangtuamu di pulau
Tapi, sekali lagi, apakah engkau itu sudi kuajak menikah dalam waktu dekat ini? Aaah? Aku tak berani bertaruh dengan angan. Kenyataan tidak segampang bicara via telpon. Apalagi kaubilang, tunggu gelar sarjana berhasil kau raih.
Atau aku menikah dengan laki-laki lain saja? Dengan yang sudah beristri tapi tidak peduli keluarganya? Atau, yang kini menduda setelah menceraikan istri keduanya dan meninggalkan bayi yang belum genap satu bulan? Bukankah mereka jelas berpengalaman dalam banyak hal jika dibandingkan denganmu? Tapi bagaimana dengan kesetiaan mereka?
Lagi-lagi kesetiaan, sebuah penghormatan terhadap kesakralan akad pernikahan? ?
Terus kupandangi perahu-perahu dan siluetnya bersandar di dermaga. Perahu-perahu di dermaga
Tak pelak aku bertanya pada diriku sendiri, apakah dermagaku ini adalah pula akuarium atau ruang-ruang kaca semacam di mega mal. Mereka yang datang hanya melongok barang pameran, lantas pergi setelah mengangkat bahu dengan garis bibir cembung. Sebab aku yang buruk rupa dan makin tua ini memang tidak pantas menjadi barang pajangan. Kuyakin, engkau pun akan malu membawaku pada acara-acaramu, reuni-reuni sekolah dan ulang tahun kolegamu kelak.
Tidak. Aku bukan dermaga itu, Kekasihku. Melainkan seorang perempuan yang berdiri di dermaga cinta. Aku sedang menunggu perahumu datang dan membawaku pergi dari kesunyian di pulau kehidupanku sendiri. Perahu jiwaku telah lama kutambatkan di dermaga itu. Perahuku makin lusuh dilupakan waktu. Waktu melaju tanpa mau tahu. Bianglala yang semula membalut tubuhnya, tak lagi cerah.
Warna-warnanya berangsur gugur, terkelupas oleh masa dan jeritan batinku. Sedikit demi sedikit tampak kayu aslinya yang melapuk dan rapuh dirajah alam serta unsur-unsurnya secara membabi buta.
Kini, sepanjang hari, sungguh-sungguh kunantikan sang waktu menggiring perahumu singgah semenjak kaunyalakan sinyal-sinyal jiwamu berlabuh di dermaga rindu, berjanji menjemputku. Sepanjang hari, sejak waktu itu, sejak kita bersepakat dalam cinta.
Entah sudah berapa kali sang ratu malam mengangkangi angkasa. Entah sudah berapa ratus pangeran fajar bergantian menyuguhkan segenggam harapan demi harapan. Entah sudah berapa banyak putri senja menghibur diriku di jendela beku gedung jangkung ini sembari berbisik bahwa esok selalu ada fajar berpijar dan senja kencana memancar kegemilangan di penghujung usiaku.
Kekasihku, apakah engkau benar-benar akan berikan fajar serta senja bagi hari-hariku dan menyinari jalanku melintasi sisa-sisa usiaku hingga kelak kujawab sepenuhnya panggilan Sang Kekal? Apakah engkau pun mampu melukis pelangi di pekat kelam malam-malamku supaya segenap hari-hariku adalah kesemarakan cahaya puji-syukur ke Hadirat Ilahi?
Di dermaga cinta, perahu jiwaku tak henti bergoyang-goyang, sedikit terombang-ambing oleh masa penantian yang sepi serta tak jelas kapan akan berakhir. Kuakui, diriku mulai jenuh, jengah dan lelah bersetia di dermaga cinta ini, Kekasihku. Aku ingin perahumu muncul di kaki langit Laut Cina Selatan, singgah, kau keluar dari perahu, tersenyum, membentangkan kedua lengan berototmu, datang, menggendong dan membelaiku secara nyata.
Tapi, ketahuilah olehmu, Kekasihku, di perantauan ini aku, Mulyani, meski keluarga majikanku dan orang-orang di sini memanggilku Meliani karena kelenturan lidah mereka berbeda dengan kita, mati-matian menahan diri agar kelak aku tidak mengoleh-olehi aib ke udik, tidak mempermalukan keluargaku dan anakku satu-satunya. Aku tidak mau seperti Atun, Oneng, Iyem, atau lain-lain yang sangat bebas mengumbar birahi bersama pria-pria asing di luar negeri, terutama dari negeri berkulit aspal. Juga aku tidak mau seperti Wati dan Tinah yang pulang ke
Kekasih, bilamanakah perahumu melawat untuk merapat? Bilamanakah engkau akan menjemputku, menggendongku turun dari gedung jangkung ini, masuki perahumu dan ajakku arungi samudera kehidupan? Mungkin perahumu diam-diam, oh, merapat di dermaga lain yang menjanjikan kegairahan siang-malamnya dengan aroma kemudaan yang menyenangkan. Haruskah kualami terus dan selalu kualami kelelahan menunggu perahu pujaanku?
Kesunyian kian menghasut kesepianku. Keluarga majikanku telah bermimpi sampai entah di mana seusai menonton film tadi. Sebentar lagi aku mau membereskan cucian keluarga majikanku yang tersisa. Sebentar lagi. Tidak apa-apa. Nyonyaku tak akan mengomeliku sebab seharusnya tugasku ini nanti siang kukerjakan. Keluarga majikanku memang baik. Aku jadi betah sejak pertama ikut mereka, biarpun aku tak lebih dari seorang babu. Nanti aku mau membereskan cucian itu. Aku belum ingin tidur. Belum mengantuk, Kekasihku. Kisah film tadi mengajakku melayari angan-angan tentang cinta, kesetiaan, dan dirimu yang pada saat dingin dini hari ini entah sedang melakukan apa.
Dan seperti waktu-waktu lampau, setia kunanti perahu kasih sayangmu datang. Di ujung teluk
Aku sungguh-sungguh mengharapkan perahumu segera melawat, merapat di dermaga itu, Kekasihku, lalu engkau melihatku duduk di sofa dekat jendela ini seperti perahu yang lelah di dermaga itu, engkau mengenaliku dengan daster ungu, gerai rambut panjang, dan kilau gigi gondrong lalu engkau melambaikan tanda hadir, tanda panggil.
O Kekasihku, lihatlah aku di dekat jendela ini. Sengaja kubuka kordennya lebar-lebar. Kunyalakan lampu terang-benderang. Lihatlah rambut panjang bergerai, gigi gondrongku memantulkan cahaya mercu suar, melambai-lambai, memanggil, hendak menggapai sejatimu.
Datanglah, duhai Dambaanku. Segeralah. Aku telah lelah. Letih batinku. Bawalah aku dengan perahu baru kita. Bawalah aku bersamamu, layari samudera hidup beserta berlaksa asa selagi nafas kita masih mampu meniupkan angin yang akan menggiring perahu kita tiba di pulau kebahagiaan abadi seperti impian muda-mudi. Oh, lelah kian dalam menderaku.
Angin dini hari menggigilkan belantara beton berkaca. Kupeluk hangat diriku sambil pandanganku tak lepas dari lampu-lampu di sekitar dermaga. Kekasih, andai perahumu tak juga datang beserta selembar surat lamaran yang ditandatangani oleh orangtua kita, dan memang akhirnya harus kusadari bahwa kata-kata cintamu hanya halusinasi, mungkin harus kuterima ajakan naik perahu laki-laki lainnya yang betul-betul sudi segera membawaku berlayar, pulang, dan cinta kudapatkan pula. Sungguh, aku sudah tak tahan berlama-lama berlelah-lelah dalam kesetiaan penantian sepi ini, Kekasihku. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar