Batam
Pos
Minggu,
01 Juli 2007
Lukisan
Wajah
Cerpen: Adi Toha
Kamar itu telah lama ditinggalkan. Tetapi
jika suatu saat kau kesana dan memasuki kamar yang sempit di sebuah pondokan di
ujung gang, kau akan menemukan berlembar-lembar kertas dan kanvas dengan
bermacam-macam sketsa dan lukisan wajah orang-orang. Sketsa-sketsa itu
tertempel di dinding-dinding kamar yang lembab yang sebagiannya telah ditumbuhi
jamur. Ada
sketsa wajah perempuan berambut panjang, ada yang berambut pendek, ada yang
sangat cantik bahkan ada rupa sketsa wajah perempuan iblis. Dari semua lukisan
dan sketsa wajah itu, yang paling aku kagumi adalah lukisan wajah istriku.
***
Di salah satu sudut halaman sebuah mall besar di bilangan simpanglima Semarang , aku menemukan laki-laki itu. Ia
seorang pelukis wajah yang cukup terkenal di antara orang-orang kaki lima yang sering mangkal
di sana . Ia
telah menjadi lanskap simpang lima ,
tak seorang pun meragukan itu. Jika kau ingin wajahmu dilukis dengan harga yang
sangat murah, datanglah ke lelaki itu. Jika kau bertanya kepada orang-orang di
sekitar simpang lima :
dimana kau bisa melukis wajahmu dalam kanvas atau dalam kertas, orang-orang
pasti akan menunjuk lelaki itu, yang selalu dapat kau temui tengah melukis
wajah seseorang. Dan ketika kau lihat wajah lukisanmu itu, kau seperti melihat
wajahmu sendiri dalam cermin. Seperti itulah lelaki itu akan melukis wajahmu.
Suatu siang, aku telah lupa hari dan tanggalnya, kulihat ia tengah melukis wajah seorang perempuan.Ada
sebuah foto kecil seukuran setengah kartu remi yang dijepitnya bersama
kanvasnya di pojok atas. Foto seorang gadis. Tertarik akan kecekatan tangannya
dalam menarik garis-garis dan lekuk-lekuk membentuk sebuah wajah, aku sempatkan
diri untuk melihatnya. Kulihat ada beberapa orang selain aku yang tengah
melihat dia. Aku berjongkok. Tak ada seorang perempuan pun di situ. Lantas,
siapa yang tengah ia lukis? Aku tak ingin ambil pusing.
Aku teringat istriku. Kebetulan aku membawa beberapa lembar fotonya dalam dompetku. Aku tertarik untuk memintanya melukis wajah istriku.
”Mas, tolong buatkan lukisan wajah dari foto istri saya, ini fotonya,” kataku suatu siang itu, di sela waktu istirahat kerjaku. Kebetulan kantorku tak jauh dari situ. Aku menyodorkan selembar foto istriku padanya.
Dari dekat lelaki itu terlihat masih muda. Usianya tampak seperti masih dua puluhan. Rambutnya panjang sepundak, tidak terlalu lurus, tidak terlalu bergelombang. Ia mengenakan pakaian kotak-kotak warna abu-abu dengan kaos putih di dalamnya. Celana jins belel dengan bagian dengkul yang telah robek menampakkan daging dengkulnya. Dengan tenang lelaki itu menerima selembar foto dariku. Sesaat ia memperhatikan foto itu.
”Mau jadi kapan, Mas?” tanyanya santai.
”Saya tidak terlalu terburu-buru, sih. Mau jadi besok atau lusa juga tidak apa-apa. Asal jangan lebih dari tiga hari. Saya ingin segera memberikan hasilnya pada istri saya,” jawabku.
”Oh, begitu. Sekarang Mas mau masuk kerja lagi,kan ? Mas nanti pulang kerja jam berapa?
Sore? Oke kalau begitu. Sepulang kerja nanti, Mas sudah bisa lihat hasilnya.”
“Baguslah kalau begitu. Saya harus bayar berapa, Mas?” tanyaku. Tanganku merogoh dompet di saku celana belakang.
“Nanti saja lah, Mas. Mas lihat dulu hasilnya seperti apa, setelah itu, Mas bisa kasih saya harga yang pantas.”
“Baiklah. Saya tinggal dulu. Nanti sepulang kerja saya kesini lagi. Kalau memang belum jadi ya, tidak apa-apa.”
Aku melangkah pergi. Sesaat aku melihat dia segera mengganti foto kecil yang dijepit di pojok kanvasnya dengan foto istriku. Berarti ia akan memenuhi janjinya untuk menyelesaikan lukisan istriku sepulang kerjaku nanti sore. Berarti pula, aku akan segera tahu hasil lukisan dia seperti apa, benarkah ia seperti yang dikatakan oleh orang-orang di sekitar simpang lima.
Aku penasaran sampai sore tiba. Kulangkahkan kakiku menghampiri lapaknya. Ku lihat dari jauh ia baru saja melepas foto istriku dari jepitan di pojok kanvasnya. Segera dia merapikan kanvasnya yang kini telah terlukis di atasnya wajah seorang perempuan yang sangat aku kenal. Ya. Dia lah istriku. Sungguh aku tak mengira aku akan melihat bayangan istriku dalam cermin, persis sama sekali. Bahkan lukisan wajah itu benar-benar menampakkan sinar-sinar kehidupan. Gurat-guratan dan garis-garis wajahnya benar-benar sempurna sekali. Sungguh sangat mirip dengan aslinya. Meskipun lukisan itu hanyalah sketsa pensil yang tak menampakkan warna lain selain hitam dan putih. Aku terkagum-kagum sampai melupakan berapa harga yang harus aku bayar kepada lelaki itu.
”Oh ya, Mas, saya harus bayar berapa?” tanyaku seketika saat tersadar aku harus segera membayar jasanya.
”Kalau Mas sudah cukup puas dengan hasilnya, silahkan, Mas mau ngasih berapapun saya terima, tapi kalau Mas cukup bersabar untuk menunggu sampai besok, saya akan berusaha semaksimal saya untuk membuat lukisan wajah istri Mas lebih bagus dari pada itu. Yang sekarang ada di tangan Mas hanyalah sketsa dari lukisan sebenarnya yang ingin saya lukis dari wajah istri Mas,” katanya. Aku ragu harus mengeluarkan uang. Di satu sisi aku penasaran dengan apa yang akan aku lihat esok.
Kembali aku serahkan sketsa hitam putih lukisan wajah istriku. Meski aku sudah puas dengan hasil yang dia lukis sore itu, tetapi aku sungguh ingin melihat kemampuan yang lain dari pemuda itu. Tampaknya dia yakin sekali dengan apa yang dia janjikan.
”Baiklah, saya bisa menunggu. Besok sore saya akan kesini lagi,” kataku.
***
Sore tiba, aku sudah begitu penasaran akan janji lelaki muda pelukis itu. Bergegas aku memacu langkah menuju tempat dia biasa menggelar lapaknya. Tapi, lelaki itu tidak ada.Ada
alasan apa kiranya lelaki itu tidak muncul sore itu. Aku lalu mencoba bertanya
kepada salah seorang pedagang rokok yang mangkal di tempat itu. Katanya, pagi
tadi dia memang ada, setelah itu dia pulang sebentar, ada sesuatu yang tertinggal,
setelah itu dia tidak kembali lagi. Mereka tidak tahu kenapa. Darinya aku
mendapatkan alamat lelaki muda itu, ternyata tak jauh dari rumahku, hanya
terpaut beberapa gang. Aku sendiri heran, mengapa aku tidak mengenal lelaki
itu, padahal bisa dibilang aku mengenal siapa-siapa saja yang tinggal di gang
itu. Ah, mungkin ia seorang pendatang yang baru pindah.
Rumah tempat tinggalnya hanyalah sebuah kamar kos-kosan. Satu pintu, satu jendela, bersebelahan dengan kamar-kamar lainnya. Kamarnya paling ujung dari deretan kamar-kamar kos di tempat itu. Aku melangkah mendekat. Terlihat sepi. Pintunya sedikit terbuka membentuk celah sempit yang cukup membuatku melihat apa yang ada di dalamnya. Aku mengetuk pintu. Tak terdengar sahutan. Perlahan aku mendorong pintu. Sepi. Berantakan sekali kamar ini. ”Haloooo...ada orang?” aku memanggil. Tetap tak terdengar suara. Penasaran aku melangkahkan kakiku memasuki kamar, meski sebenarnya, tanpa masuk pun seisi kamar cukup bisa terlihat. Hanya ada satu kasur lapuk, satu meja kecil dan beberapa sketsa-sketsa lukisan yang tidak selesai. Palet dan cat-cat minyak bertebaran di mana-mana.
Dinding-dindingnya lembab, penuh dengan coretan kata-kata dan tempelan lukisan dan sketsa-sketsa wajah. Sebuah photo berbingkai tergantung pada salah satu sisi dindingnya, photo pemuda itu tengah mengenakan toga. Aku mendekat. Rupanya dia seorang lulusan perguruan tinggi ternama di Jogja. Di atas meja kecil aku melihat satu kanvas berdiri, menyandar menghadap ke dinding. Penasaran aku balikkan kanvas itu. Aku terkejut, itu lukisan wajah istriku. Sempurna sekali menurutku. Aku seperti melihat wajah nyata istriku yang terbingkai dalam lukisan ini.
Kemanakah gerangan pemuda itu. Aku menunggu sembari duduk di atas kasur lapuknya. Mataku berkeliling memperhatikan seisi kamarnya, mencoba mendengar kesaksian dinding-dindingnya tentang kehidupan pemuda itu. Aku salut akan kesederhanaan hidupnya. Seorang sarjana yang memilih untuk hidup sebagai seorang seniman jalanan. Aku juga bertanya-tanya, kira-kira berapa harga yang pantas yang akan aku bayarkan atas jasanya. Hati kecilku merasa iba. Bagaimana jika seandainya pemuda itu adalah anakku sendiri.
Tak berapa lama aku mendengar suara keributan di luar. Aku berdiri. Sesaat sebelum aku melangkah keluar, seorang polisi berseragam tiba-tiba telah ada di depanku. Aku kaget. Di benakku melintas seketika pikiran-pikiran aneh tentang pemuda itu. Mungkinkah ia telah melakukan kejahatan kriminal, mungkinkah ia seorang buronan, mungkinkah ia seorang pengedar narkoba, mungkinkah ia.......
”Permisi, Bapak keluarganya Affandi?” polisi itu bertanya. Aku terbengong. Aku baru tahu kalau nama pemuda itu Affandi, seperti nama seorang pelukis terkenal. Belum sempat aku menjawab, polisi itu melanjutkan lagi ”Maaf, Pak, dengan sangat menyesal kami ingin mengabarkan bahwa Affandi telah meninggal dunia, pagi tadi dia mengalami kecelakaan. Dia tertabrak bus saat hendak menyeberang. Sekarang mayatnya ada di rumah sakit. Kalau Bapak berkenan, sekarang juga kita ke rumah sakit.”
Aku tak sanggup lagi berpikir macam-macam. Di benakku, perasaan terkejut, iba, kasihan, prihatin, kehilangan, dan rasa bersalah bercampur aduk. Aku belum membalas jasanya akan lukisan wajah istriku yang telah dengan sempurna dia selesaikan. Aku merasa bersalah telah membiarkannya
menyempurnakan lukisan pesananku. Bukankah, kemarin lukisan itu juga telah bagus dan aku telah cukup puas akan hasilnya. Pastinya, pagi tadi dia telah lupa membawa lukisan wajah istriku, makanya dia kembali lagi untuk mengambilnya. Dan karena dia kembali itulah peristiwa naas itu menimpanya.
Sesaat suasana hening. Polisi itu menunggu jawabanku. Tanpa koordinasi antara otak, hati dan pikiranku, mulutku berucap ”Iya, saya bapaknya. Mari kita ke rumah sakit.”
Langkahku terasa berat. Lukisan wajah istriku aku tinggalkan di kamarnya. Kamar seorang pemuda yang aku belum sempat membalas jasanya. Seorang pemuda yang telah pergi meninggalkan dunia karena ketidakpuasanku.***
Jatinangor, 2006
***
Di salah satu sudut halaman sebuah mall besar di bilangan simpang
Suatu siang, aku telah lupa hari dan tanggalnya, kulihat ia tengah melukis wajah seorang perempuan.
Aku teringat istriku. Kebetulan aku membawa beberapa lembar fotonya dalam dompetku. Aku tertarik untuk memintanya melukis wajah istriku.
”Mas, tolong buatkan lukisan wajah dari foto istri saya, ini fotonya,” kataku suatu siang itu, di sela waktu istirahat kerjaku. Kebetulan kantorku tak jauh dari situ. Aku menyodorkan selembar foto istriku padanya.
Dari dekat lelaki itu terlihat masih muda. Usianya tampak seperti masih dua puluhan. Rambutnya panjang sepundak, tidak terlalu lurus, tidak terlalu bergelombang. Ia mengenakan pakaian kotak-kotak warna abu-abu dengan kaos putih di dalamnya. Celana jins belel dengan bagian dengkul yang telah robek menampakkan daging dengkulnya. Dengan tenang lelaki itu menerima selembar foto dariku. Sesaat ia memperhatikan foto itu.
”Mau jadi kapan, Mas?” tanyanya santai.
”Saya tidak terlalu terburu-buru, sih. Mau jadi besok atau lusa juga tidak apa-apa. Asal jangan lebih dari tiga hari. Saya ingin segera memberikan hasilnya pada istri saya,” jawabku.
”Oh, begitu. Sekarang Mas mau masuk kerja lagi,
“Baguslah kalau begitu. Saya harus bayar berapa, Mas?” tanyaku. Tanganku merogoh dompet di saku celana belakang.
“Nanti saja lah, Mas. Mas lihat dulu hasilnya seperti apa, setelah itu, Mas bisa kasih saya harga yang pantas.”
“Baiklah. Saya tinggal dulu. Nanti sepulang kerja saya kesini lagi. Kalau memang belum jadi ya, tidak apa-apa.”
Aku melangkah pergi. Sesaat aku melihat dia segera mengganti foto kecil yang dijepit di pojok kanvasnya dengan foto istriku. Berarti ia akan memenuhi janjinya untuk menyelesaikan lukisan istriku sepulang kerjaku nanti sore. Berarti pula, aku akan segera tahu hasil lukisan dia seperti apa, benarkah ia seperti yang dikatakan oleh orang-orang di sekitar simpang lima.
Aku penasaran sampai sore tiba. Kulangkahkan kakiku menghampiri lapaknya. Ku lihat dari jauh ia baru saja melepas foto istriku dari jepitan di pojok kanvasnya. Segera dia merapikan kanvasnya yang kini telah terlukis di atasnya wajah seorang perempuan yang sangat aku kenal. Ya. Dia lah istriku. Sungguh aku tak mengira aku akan melihat bayangan istriku dalam cermin, persis sama sekali. Bahkan lukisan wajah itu benar-benar menampakkan sinar-sinar kehidupan. Gurat-guratan dan garis-garis wajahnya benar-benar sempurna sekali. Sungguh sangat mirip dengan aslinya. Meskipun lukisan itu hanyalah sketsa pensil yang tak menampakkan warna lain selain hitam dan putih. Aku terkagum-kagum sampai melupakan berapa harga yang harus aku bayar kepada lelaki itu.
”Oh ya, Mas, saya harus bayar berapa?” tanyaku seketika saat tersadar aku harus segera membayar jasanya.
”Kalau Mas sudah cukup puas dengan hasilnya, silahkan, Mas mau ngasih berapapun saya terima, tapi kalau Mas cukup bersabar untuk menunggu sampai besok, saya akan berusaha semaksimal saya untuk membuat lukisan wajah istri Mas lebih bagus dari pada itu. Yang sekarang ada di tangan Mas hanyalah sketsa dari lukisan sebenarnya yang ingin saya lukis dari wajah istri Mas,” katanya. Aku ragu harus mengeluarkan uang. Di satu sisi aku penasaran dengan apa yang akan aku lihat esok.
Kembali aku serahkan sketsa hitam putih lukisan wajah istriku. Meski aku sudah puas dengan hasil yang dia lukis sore itu, tetapi aku sungguh ingin melihat kemampuan yang lain dari pemuda itu. Tampaknya dia yakin sekali dengan apa yang dia janjikan.
”Baiklah, saya bisa menunggu. Besok sore saya akan kesini lagi,” kataku.
***
Sore tiba, aku sudah begitu penasaran akan janji lelaki muda pelukis itu. Bergegas aku memacu langkah menuju tempat dia biasa menggelar lapaknya. Tapi, lelaki itu tidak ada.
Rumah tempat tinggalnya hanyalah sebuah kamar kos-kosan. Satu pintu, satu jendela, bersebelahan dengan kamar-kamar lainnya. Kamarnya paling ujung dari deretan kamar-kamar kos di tempat itu. Aku melangkah mendekat. Terlihat sepi. Pintunya sedikit terbuka membentuk celah sempit yang cukup membuatku melihat apa yang ada di dalamnya. Aku mengetuk pintu. Tak terdengar sahutan. Perlahan aku mendorong pintu. Sepi. Berantakan sekali kamar ini. ”Haloooo...ada orang?” aku memanggil. Tetap tak terdengar suara. Penasaran aku melangkahkan kakiku memasuki kamar, meski sebenarnya, tanpa masuk pun seisi kamar cukup bisa terlihat. Hanya ada satu kasur lapuk, satu meja kecil dan beberapa sketsa-sketsa lukisan yang tidak selesai. Palet dan cat-cat minyak bertebaran di mana-mana.
Dinding-dindingnya lembab, penuh dengan coretan kata-kata dan tempelan lukisan dan sketsa-sketsa wajah. Sebuah photo berbingkai tergantung pada salah satu sisi dindingnya, photo pemuda itu tengah mengenakan toga. Aku mendekat. Rupanya dia seorang lulusan perguruan tinggi ternama di Jogja. Di atas meja kecil aku melihat satu kanvas berdiri, menyandar menghadap ke dinding. Penasaran aku balikkan kanvas itu. Aku terkejut, itu lukisan wajah istriku. Sempurna sekali menurutku. Aku seperti melihat wajah nyata istriku yang terbingkai dalam lukisan ini.
Kemanakah gerangan pemuda itu. Aku menunggu sembari duduk di atas kasur lapuknya. Mataku berkeliling memperhatikan seisi kamarnya, mencoba mendengar kesaksian dinding-dindingnya tentang kehidupan pemuda itu. Aku salut akan kesederhanaan hidupnya. Seorang sarjana yang memilih untuk hidup sebagai seorang seniman jalanan. Aku juga bertanya-tanya, kira-kira berapa harga yang pantas yang akan aku bayarkan atas jasanya. Hati kecilku merasa iba. Bagaimana jika seandainya pemuda itu adalah anakku sendiri.
Tak berapa lama aku mendengar suara keributan di luar. Aku berdiri. Sesaat sebelum aku melangkah keluar, seorang polisi berseragam tiba-tiba telah ada di depanku. Aku kaget. Di benakku melintas seketika pikiran-pikiran aneh tentang pemuda itu. Mungkinkah ia telah melakukan kejahatan kriminal, mungkinkah ia seorang buronan, mungkinkah ia seorang pengedar narkoba, mungkinkah ia.......
”Permisi, Bapak keluarganya Affandi?” polisi itu bertanya. Aku terbengong. Aku baru tahu kalau nama pemuda itu Affandi, seperti nama seorang pelukis terkenal. Belum sempat aku menjawab, polisi itu melanjutkan lagi ”Maaf, Pak, dengan sangat menyesal kami ingin mengabarkan bahwa Affandi telah meninggal dunia, pagi tadi dia mengalami kecelakaan. Dia tertabrak bus saat hendak menyeberang. Sekarang mayatnya ada di rumah sakit. Kalau Bapak berkenan, sekarang juga kita ke rumah sakit.”
Aku tak sanggup lagi berpikir macam-macam. Di benakku, perasaan terkejut, iba, kasihan, prihatin, kehilangan, dan rasa bersalah bercampur aduk. Aku belum membalas jasanya akan lukisan wajah istriku yang telah dengan sempurna dia selesaikan. Aku merasa bersalah telah membiarkannya
menyempurnakan lukisan pesananku. Bukankah, kemarin lukisan itu juga telah bagus dan aku telah cukup puas akan hasilnya. Pastinya, pagi tadi dia telah lupa membawa lukisan wajah istriku, makanya dia kembali lagi untuk mengambilnya. Dan karena dia kembali itulah peristiwa naas itu menimpanya.
Sesaat suasana hening. Polisi itu menunggu jawabanku. Tanpa koordinasi antara otak, hati dan pikiranku, mulutku berucap ”Iya, saya bapaknya. Mari kita ke rumah sakit.”
Langkahku terasa berat. Lukisan wajah istriku aku tinggalkan di kamarnya. Kamar seorang pemuda yang aku belum sempat membalas jasanya. Seorang pemuda yang telah pergi meninggalkan dunia karena ketidakpuasanku.***
Jatinangor, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar