Jawa
Pos
Minggu,
27 Januari 2008
Hati-Hati
Menerima Telepon dari Nomor Tak Dikenal
Cerpen: Gunawan Maryanto
Cerpen: Gunawan Maryanto
Aku sama sekali tak menduganya. Bukannya aku sudah lupa dengan suaranya. Tapi aku memang benar-benar tak menduga bahwa yang meneleponku di siang hari itu adalah dia. Lagi pula aku sudah lama menghapus nomornya dari ponselku. Aku bahkan tidak tahu apakah itu nomor dia yang dulu atau nomor baru. Aku selalu lupa pada angka. Atau memang angka demikian mudah dilupakan.
"Hallo… Ini siapa, ya?" Jadi aku memang benar-benar bertanya. Bukan sedang berpura-pura untuk menggodanya.
"Alah, masa lupa, sih?" Aku jadi tak enak. Kau pun akan merasa demikian
Aku berusaha keras mengingat. Sebenarnya bukan berkeras mengingat, tapi berusaha keras untuk meyakinkan diri. Suaranya, aku tak pangling lagi: Alina. Tapi benarkah dia? Aku tak segera bisa meyakinkan diriku.
"Alin, ya?" Tebakku tak yakin. Sama sekali tak yakin.
"Ooo… Masih ingat, ta? Kirain udah lupa." Lalu ia tertawa. Ngakak. Tawa yang seharusnya segera bisa meyakinkanku bahwa yang sedang bicara di seberang
Tapi teleponnya siang hari bolong itu seperti mengejek keberhasilanku itu. Panas setahun hilang oleh hujan sehari kata orang lama. Tapi karena nila setitik rusak susu sebelanga lebih tepat bagiku. Karena teleponnya rusaklah keberhasilanku melupakannya. Sial! Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Jika kau gagal bukankah kau selalu mencari kambing hitam? Sialnya, tak ada kambing hitam yang tepat untuk kejadian yang kualami ini selain diriku sendiri. Aku mulai mencurigai diriku. Jangan-jangan aku tak pernah sekali pun melupakannya. Bahwa selama ini ia tetap ada tapi aku berpura-pura tak menyadarinya. Aku hanya sekadar menumpuki ingatanku tentangnya dengan beragam ingatan yang lain. Jadi, aslinya ia tetap ada. Tak kurang tak lebih. Ia tetap bersemayam dengan kuat dalam kepalaku. Diam. Seperti menunggu saat yang tepat buat membalas dendam. Dan saatnya telah tiba.
"Tentu saja aku masih ingat. Nggak mungkinlah aku bisa lupa sama kamu." Tentu saja tak kukatakan bahwa aku telah gagal melupakannya. "Apa kabar?"
"Baik. Kamu?"
"Baik. Mmm… Lagi di mana, Lin?" Semoga ia tak berada di tempat yang dekat. Jawablah dengan nama
"Kampung. Aku balik kampung. Dah 5 tahun." Aku sedikit lega. Meski kampung yang dimaksudkannya itu cuma enam jam perjalanan darat saja dari tempatku. Setidaknya ia tak berada di
"Dapat kerja di situ?"
"Yup." Kelegaanku sedikit bertambah. Aku sedikit merasa nyaman bercakap dengannya.
"Gak sedang sibuk
"Gak kok. Kebetulan lagi istirahat.
"
"Janur gunung? Apa tuh?"
"Tumben."
"Janur gunung kok bisa jadi tumben?"
"Njanur gunung sama dengan menyerupai aren. Menyerupai aren bahasa Jawanya kadingaren. Kadingaren bahasa Indonesianya adalah tumben."
"Kamu kok nggak capek-capek sih jadi orang Jawa."
"Ya capek sih kalau dipikir-pikir. Tapi jika sejak kecil kau berada di dalamnya, dipaksa terus-menerus berada di
"Kamu gak capek. Yang denger yang capek, tauk!"
Seperti dam yang pintu airnya jebol. Serupa bendungan yang tanggulnya ambrol. Percakapan kami mengalir tak habis-habis. Ia dalang yang tak pernah kehabisan cerita. Aku wayang dari kulit kerbau terbaik --ulet dan tahan lama; siap memainkan kisah apa saja. Juga kisah antara aku dan dia. Sebuah kisah cinta. Atau hanya kangen-kangenan biasa.
"Aku sudah nikah, Lin. Anakku satu. Tapi kami sudah pisah."
"Wah,
"
"Duda keren. Ha ha…" Ia tertawa ngakak lagi. Mengingatkanku pada banyak hal tentang dirinya. Mungkin benar kata orang, segala sesuatu mengingatkan kita pada sesuatu yang lain. Tawanya mengingatkan pada senja oranye di sebuah pantai di mana jemariku menggelitiki pinggangnya. Mengingatkanku pada hari di mana ia meniup lilin ulang tahunnya yang dua puluh dua. Juga mengingatkanku, aneh, pada tangisnya yang berwarna kelabu. Warna favoritku. Warna sejumlah t-shirt-ku. Warna perpisahan kami.
"Tahu tidak? Berbulan-bulan aku mencari nomormu." O, ya? Untuk apa? Tidakkah seluruh hal tentang kita telah kita tinggalkan karena tak satu pun dari kita kuasa menanggungnya? "Dan baru hari ini aku menemukannya."
Aku memang selalu berganti nomor. Dan baru kali itu aku benar-benar menyadari alasannya: menghindar darinya. Dan seperti bocah yang tempat persembunyiannya ketahuan, aku tersenyum kecut, merasa kalah dan gagal.
"Mmm… Dari mana kau dapat nomorku?"
"Darimu."
"O, ya? Kapan?" Tiba-tiba aku cemas. Jangan-jangan tanpa kusadari ada bagian dari diriku yang meneleponnya terlebih dulu, atau meninggalkan nomor terbaruku di e-mailnya. "O, ya, ya. Aku lupa." Aku harus mengakui perbuatan yang tak pernah kulakukan. Atau tak sepenuhnya kusadari. Kecurigaanku kepada diriku sendiri makin berlipat. Jangan-jangan diriku memang terbelah menjadi dua. Satu bagian masih berusaha mempertahankan kehadiran Alina. Yang lain berusaha keras melupakannya. Dan selama ini mereka bertarung di luar kehendak dan kesadaranku. Mereka sama-sama mengkhianatiku. Sama-sama meninggalkanku. Sendirian. Dan kedinginan.
"Aku hanya ingin tahu sebahagia apa kamu sekarang." Ah, jika bahagia itu ada, aku akan menjawab dengan pasti bahwa aku bahagia. Tapi sebagai jalan ia adalah jalan yang licin, sebagai sebuah tempat ia tak beralamat.
"Aku bahagia sekaligus tidak bahagia. Bagaimana, ya, ngomonginnya? Ya, gitu-gitu deh. Kau sudah tahu bagaimana aku." Jawabku aman-aman saja. Tak menjawab sesungguhnya. "Bagaimana dengan kamu sendiri?"
"Nggak tahu ya. Tapi aku senang dengan seluruh hal yang kulakukan sekarang." Syukurlah. Bagaimanapun aku turut senang mendengarnya.
"Juga sekarang kau senang?"
"Ya. Aku senang sekali bisa meneleponmu. Kupikir kau sudah melupakanku."
"Mmm… Kau sudah nikah, Lin?"
"Belum." Entah kenapa aku merasa lega. Tapi segera ada bagian dari diriku yang kembali mengikatnya. Erat dan menyesakkan. Kelegaan itu segera menghilang.
"Tapi beberapa hari yang lalu kami sudah memutuskan untuk menikah."
"O, ya. Selamat deh." Aku meresponnya dengan biasa saja. "Semoga kau makin bahagia karenanya."
"Thanks. Eh, minta e-mailmu dong."
"Ya, ntar ku-sms. Ini nomormu
"Yup."
"Eh, dah dulu, ya? Aku ada janjian ketemu orang. Kapan-kapan kita sambung lagi." Sebenarnya aku tak ada janji dengan siapa-siapa hari itu. Aku hanya berjanji kepada diriku sendiri untuk segera mengakhiri percakapan itu. Secepat-cepatnya. Makin cepat makin baik.
"Oke. Sampai ketemu lagi. Sorry sudah ngganggu waktumu. Mmmmuuaaahhh!"
Aku segera mematikan ponselku sebelum ciuman akhir itu benar-benar mendarat di pipiku. Dan baru kemudian aku merasa lega. Tak sepenuhnya memang. Tapi seperti ada beban yang kuturunkan dari bahuku. Aku menengok jam dinding, 5 menit. Hanya 5 menit kami bercakap. Dan itu sudah cukup. Terlalu cukup untuk situasiku belakangan ini.
Berbareng dengan semua itu, diam-diam jemari tangan kananku mengirim pesan ke sebuah nomor:
Tahu tidak? Aku senang sekali menerima telponmu. Aku bahagia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar