Pikiran
Rakyat
Sabtu,
10 November 2007
Muksa
Cerpen: Hermawan Aksan
LELAKI itu teronggok di sudut halte,
seperti timbunan sampah yang terus-menerus meruabkan bau busuk. Udara dingin
sisa gerimis dini hari tak menggigilkan tubuhnya walaupun baju dan celana
kumalnya sudah tercabik-cabik seperti sobekan-sobekan kain lap, menegaskan
kulit tubuhnya yang kering, cokelat, dan kotor.
Duduk bersila seperti Dwarapala di bawah pohon akasia, matanya terlempar jauh ke langit rendah yang masih berkabut, menancap ke bulatan samar piringan mentari, yang belum lama menyembul dari sela-sela gedung-gedung yang masih beku oleh embun. Di atas aspal basah, mobil-mobil dan orang-orang mulai bergegas-gegas, seakan-akan waktu sudah siap mengejar-ngejar seperti pemburu.
Apakah Baratayuda meledak hanya karena keserakahan kubu Kurawa, di bawah hasrat sang raja Duryudana, yang mendapat dukungan ambisi ibunda Dewi Gendari, dan dibenarkan oleh nafsu sang patih Sangkuni? Apakah perang antara Alengka dan pasukan Rama meletus hanya karena angkara murka seorang Rahwana, yang didukung laskar raksasanya?
Tentu saja tidak sesederhana itu. Namun, apakah juga segala bencana di Arcapada terjadi hanya karena kesalahan manusia?
Tiap sekian menit bunyi dua nada monoton melengking-lengking mencabik kuping, seperti nada mainan anak-anak yang membosankan, yang memberitahukan bahwa kereta api akan melesat menggelegar.
Orang-orang tak memedulikan lelaki itu--tentu saja. Persoalan hidup sudah terlalu menyesakkan seperti udara yang pengap dankota ini, seperti sebuah kotak sampah, kian
berjejal saja oleh gelandangan, pengemis, dan orang-orang kumal lainnya. Tapi
lelaki itu tetap duduk bersila di bawah akasia, membisu seperti patung
perunggu, dengan mata yang sesekali melesat ke langit dan sesekali pula menyapu
wajah orang-orang dengan mulut tersenyum-senyum.
Halte bus makin ramai. Orang duduk-duduk. Merokok. Melamun. Menggaruk-garuk kepala. Membaca koran. Orang-orang juga berdiri. Menengok-nengok. Memasukkan tangan ke saku celana. Bersandar di tiang.
Sebuah bus berhenti, seperti muncul begitu saja dari ketiadaan. Orang-orang berebut naik, menjejalkan diri pada ruang-ruang sempit. Bus berlalu, dan kondektur berteriak-teriak. Orang-orang baru duduk-duduk. Merokok. Melamun. Menalikan sepatu. Bersandar di tiang.
Tak ada kata-kata dan hari mulai hangat. Hangat seperti perut perempuan telanjang.
Sepasang remaja berseragam putih abu-abu dengan tas masing-masing bergayut di pundak berangkulan dan terkikik-kikik seperti dua anak kuntilanak. Rambut mereka sama-sama dicat warna-warni seperti rujak cingur. Menyelinap duduk di bagian kursi yang masih sela, mereka kemudian berciuman, dan lidah mereka saling berjilatan seakan-akan bibir-bibir mereka dilapisi adonan es krim. Keduanya terus-menerus tertawa cekikikan, bersahut-sahutan dengan jerit mesin dan klakson mobil-mobil.
Engkau ingat kelakuanmu, Manikmaya? Sebagai penguasa tertinggi Suralaya, mestinya engkau berperan sebagai pengatur alam semesta. Namun bahkan sejak Wayang Purwa, bersama dua saudaramu, Hyang Ismaya dan Hyang Antaga, engkau selalu bersaing demi sesuatu yang tak berharga. Ismaya dan Antaga berlomba menelan gunung hanya demi keangkuhan diri. Engkau sendiri merasa dirimu tanpa cacat sehingga menjadi tinggi hati. Bukankah tatkala menatap sesosok bayi, engkau menganggapnya makhluk tak berdaya? Maka kakimu menjadi tak berdaya. Bukankah ketika minum air telaga, yang ternyata pahit, kau memuntahkan kembali? Maka, lehermu menjadi belang. Kau bahkan tertawa ketika melihat seseorang bersembahyang berselimut kain, mengira orang itu bertangan empat, maka tanganmu pun menjadi empat. Namun, mengapa engkau tak juga menjadi insaf karenanya?
Orang-orang di halte tetap merokok, melamun, membaca, menggaruk-garuk, seakan-akan hidup semata-mata adalah apa yang mereka kerjakan sendiri. Orang-orang di trotoar tetap melangkah terburu-buru. Dan lalu lintas makin sesak. Dan udara lekas sekali menjadi panas seperti mesin mobil tua.
Bunyi dua nada yang berganti-ganti secara monoton dan membosankan kembali melengking merobek kuping.
Wajah-wajah pengemudi dan penumpang mobil-mobil dan motor memperlihatkan rasa kesal karena harus berhenti ketika waktu terus berlari. Tapi seorang lelaki berpikir bahwa waktu sudah berhenti ketika ia menyeberang rel dengan mata lurus. Ia tak juga menoleh, berhenti, atau mempercepat langkahnya seakan-akan kereta api kelas eksekutif yang meraung dan melaju dengan kecepatan tinggi hanyalah bagian dari imajinasi. Lelaki itu tersambar tanpa mengeluarkan suara, terseret sekitar 20 meter sebelum tubuhnya terpental keluar dari rel bagaikan kerikil yang terlontar karena tersapu tepi roda. Tubuhnya terpotong dua di bagian perut seperti dibelah sebilah pedang raksasa dan lengan sebelah kanannya terlepas seakan-akan lengan boneka.
Namun, wajah-wajah pengemudi dan penumpangnya tetap beku dan bunyi klakson seperti berebut ruang bunyi di udara, tak menyisakan lagi kesabaran menunggu terangkatnya pintu palang kereta api. Orang-orang pun tetap dikejar waktu yang memburu. Dua potongan tubuh itu terempas kesepian seperti bangkai hewan nista.
O, penguasa Suralaya, mengapa engkau masih juga suka mengumbar berahi sesuka hati? Bahkan, di tempat dan waktu yang keliru, engkau pernah memaksa Dewi Uma, istrimu, bercinta di punggung Lembu Andini, di atas samudra. Maka anak yang dilahirkannya adalah api yang berkobar-kobar, yang kemudian menjelma menjadi sosok raksasa yang bertabiat angkara: Batara Kala.
Duh, engkau juga pernah terkesima menatap wanita Arcapada bernama Anjani yang sedang bertapa tanpa busana sehingga berahimu tak tertahan dan spermamu jatuh menempel di daun sinom, yang kemudian ditelan Anjani.
Seorang perempuan berkulit langsat, dengan rok hitam yang pendek, mendekap tas hitam di dadanya yang melembung seperti balon mainan anak-anak. Ia membalas tersenyum ketika seorang lelaki tampan tersenyum kepadanya. Dan ia hanya mampu mengeluh pendek tatkala lelaki itu kemudian memeluk pinggangnya dari belakang, menciumi lehernya dan menggerayangi payudaranya. Ketika perempuan itu sadar dan berniat melawan, sebuah hantaman pada tengkuknya membuatnya terkulai di lantai.
Lelaki itu kemudian melucuti celananya sendiri dan celana dalam perempuan itu, kemudian memmerkosanya, di tengah orang-orang yang hanya menoleh sekilas, dan kemudian kembali kepada urusan hidup mereka masing-masing. Setelah selesai memuaskan nafsu binatangnya, lelaki itu dengan santai menarik reslueting-nya, membuang napas dengan bunyi seperti sendawa, lalu meninggalkan si korban dengan langkah sedikit gontai dan pergi entah ke mana.
Tatkala kemudian perempuan itu siuman dan mendapati dirinya tergeletak dengan rok tersingkap dan ada cairan yang kental pada tepi dalam pahanya, ia pun menjerit seperti hendak mencabik seluruh bidang langit.
Ia terhuyung-huyung di tengah orang-orang yang melangkah terburu-buru.
Namun, hidup harus berjalan terus sesuai dengan rencana yang telah tertulis rapi pada lembar-lembar agenda.
Apakah karena itu sejumlah dewa melakukan hal yang sama? Lihatlah, para batara tak puas hanya beristrikan para batari! Hyang Surya, misalnya, terkenal sebagai dewa yang sering menyambangi wanita-wanita jelita di Arcapada, antara lain Dewi Windradi (istri Resi Gotama) dan Dewi Kuntitalibrata (istri Pandu). Lihatlah, ketika Pandu menjalani kutukan tak bisa bercinta kalau tak ingin perlaya, Hyang Darma, Bayu, dan Indra bergiliran bercumbu dengan sang permaisuri Hastina.
Dari sebuah lorong berlari seorang lelaki muda dengan wajah ketakutan dan mulut ternganga-nganga. Ia terengah-engah di trotoar. Di belakangnya memburu belasan orang. Mereka berteriak-teriak agar lelaki yang mereka teriaki sebagai maling itu menghentikan larinya. Tangan-tangan mereka mengepal dan wajah-wajah mereka menyemburkan kemarahan.
Hampir tepat di depan si lelaki kumuh, kaki lelaki muda itu terpeleset ke jalan aspal sehingga jatuh terjerembap seperti pemain bola malang yang kena ganjal lawan.Para pengejar itu berhasil menangkap
buruannya. Hanya terdengar teriakan, "Hajar!" Mereka pun langsung
menghunjamkan hantaman seperti hujan ke badan lelaki muda itu. Terdengar bunyi
seperti tumbukan-tumbukan alu yang bersahutan. Semakin lama, massa semakin banyak. Hampir setiap orang
yang baru datang langsung melayangkan kepalan.
Rintihan kata "ampun" tidak meluluhkan hati mereka.
Ketika pemuda itu ambruk dan sekarat, dengan darah memerahi seluruh wajahnya dan membercaki bajunya, seperti darah ayam yang kalah aduan, orang-orang bersorak-sorai. Tak lama kemudian, tampak api menyala dan tercium bau daging yang terbakar. Sorak-sorai orang-orang makin menggemuruh, seperti kelompok primitif menyambut sebuah kemenangan yang gilang-gemilang.
Lelaki kumuh itu tersenyum-senyum menatap tubuh hangus yang hitam itu ketika orang-orang sudah pergi. Asap mengepul dari sisa-sisa bekas tubuh manusia itu. Udara masih diruapi bau angit daging. Dan orang-orang dan mobil-mobil dan bus-bus tetap lewat di atas jalan mereka masing-masing yang tak boleh bergeser barang satu derajat pun dari rencana.
Matahari jatuh tegak lurus merejam aspal.
Kalau para hyang dan batara seperti itu, jangan salahkan manusia jika mereka becermin kepada para dewa. Jangan salahkan khalayak jelata kalau mereka meniru perilaku para pemimpinnya.
Dan matahari masih memanggang trotoar ketika puluhan orang berikat kepala kain berteriak-teriak menuju gedung sebuah instansi. Mereka mengacung-acungkan golok, bambu runcing, dan bongkah-bongkah batu, dengan tangan yang mengepal-ngepal dan mata yang merah. Gedung itu tegak menjulang seperti raksasa persegi. Seluruh permukaannya dari kaca hijau belaka. Dan tak perlu waktu seperempat jam lebih bagi bongkahan-bongkahan batu itu untuk beterbangan menghantam kaca-kaca gedung sehingga pecah berhamburan dan lantas tampak asap hitam mengepul dari satu sudut dan kemudian sekali gedung itu lenyap dibungkus jilatan api seperti rumah kardus yang dibakar dalam Sigala-gala.
Lelaki itu masih bersila di bawah pohon akasia dekat halte, terenyak seperti timbunan sampah. Mulutnya tersenyum-senyum dan bibirnya bergerak-gerak membentuk rangkaian kata-kata:
"Dewa dan manusia memang sama gilanya."
Ia merasa sudah waktunya untuk muksa, kembali ke Suralaya.***
Duduk bersila seperti Dwarapala di bawah pohon akasia, matanya terlempar jauh ke langit rendah yang masih berkabut, menancap ke bulatan samar piringan mentari, yang belum lama menyembul dari sela-sela gedung-gedung yang masih beku oleh embun. Di atas aspal basah, mobil-mobil dan orang-orang mulai bergegas-gegas, seakan-akan waktu sudah siap mengejar-ngejar seperti pemburu.
Apakah Baratayuda meledak hanya karena keserakahan kubu Kurawa, di bawah hasrat sang raja Duryudana, yang mendapat dukungan ambisi ibunda Dewi Gendari, dan dibenarkan oleh nafsu sang patih Sangkuni? Apakah perang antara Alengka dan pasukan Rama meletus hanya karena angkara murka seorang Rahwana, yang didukung laskar raksasanya?
Tentu saja tidak sesederhana itu. Namun, apakah juga segala bencana di Arcapada terjadi hanya karena kesalahan manusia?
Tiap sekian menit bunyi dua nada monoton melengking-lengking mencabik kuping, seperti nada mainan anak-anak yang membosankan, yang memberitahukan bahwa kereta api akan melesat menggelegar.
Orang-orang tak memedulikan lelaki itu--tentu saja. Persoalan hidup sudah terlalu menyesakkan seperti udara yang pengap dan
Halte bus makin ramai. Orang duduk-duduk. Merokok. Melamun. Menggaruk-garuk kepala. Membaca koran. Orang-orang juga berdiri. Menengok-nengok. Memasukkan tangan ke saku celana. Bersandar di tiang.
Sebuah bus berhenti, seperti muncul begitu saja dari ketiadaan. Orang-orang berebut naik, menjejalkan diri pada ruang-ruang sempit. Bus berlalu, dan kondektur berteriak-teriak. Orang-orang baru duduk-duduk. Merokok. Melamun. Menalikan sepatu. Bersandar di tiang.
Tak ada kata-kata dan hari mulai hangat. Hangat seperti perut perempuan telanjang.
Sepasang remaja berseragam putih abu-abu dengan tas masing-masing bergayut di pundak berangkulan dan terkikik-kikik seperti dua anak kuntilanak. Rambut mereka sama-sama dicat warna-warni seperti rujak cingur. Menyelinap duduk di bagian kursi yang masih sela, mereka kemudian berciuman, dan lidah mereka saling berjilatan seakan-akan bibir-bibir mereka dilapisi adonan es krim. Keduanya terus-menerus tertawa cekikikan, bersahut-sahutan dengan jerit mesin dan klakson mobil-mobil.
Engkau ingat kelakuanmu, Manikmaya? Sebagai penguasa tertinggi Suralaya, mestinya engkau berperan sebagai pengatur alam semesta. Namun bahkan sejak Wayang Purwa, bersama dua saudaramu, Hyang Ismaya dan Hyang Antaga, engkau selalu bersaing demi sesuatu yang tak berharga. Ismaya dan Antaga berlomba menelan gunung hanya demi keangkuhan diri. Engkau sendiri merasa dirimu tanpa cacat sehingga menjadi tinggi hati. Bukankah tatkala menatap sesosok bayi, engkau menganggapnya makhluk tak berdaya? Maka kakimu menjadi tak berdaya. Bukankah ketika minum air telaga, yang ternyata pahit, kau memuntahkan kembali? Maka, lehermu menjadi belang. Kau bahkan tertawa ketika melihat seseorang bersembahyang berselimut kain, mengira orang itu bertangan empat, maka tanganmu pun menjadi empat. Namun, mengapa engkau tak juga menjadi insaf karenanya?
Orang-orang di halte tetap merokok, melamun, membaca, menggaruk-garuk, seakan-akan hidup semata-mata adalah apa yang mereka kerjakan sendiri. Orang-orang di trotoar tetap melangkah terburu-buru. Dan lalu lintas makin sesak. Dan udara lekas sekali menjadi panas seperti mesin mobil tua.
Bunyi dua nada yang berganti-ganti secara monoton dan membosankan kembali melengking merobek kuping.
Wajah-wajah pengemudi dan penumpang mobil-mobil dan motor memperlihatkan rasa kesal karena harus berhenti ketika waktu terus berlari. Tapi seorang lelaki berpikir bahwa waktu sudah berhenti ketika ia menyeberang rel dengan mata lurus. Ia tak juga menoleh, berhenti, atau mempercepat langkahnya seakan-akan kereta api kelas eksekutif yang meraung dan melaju dengan kecepatan tinggi hanyalah bagian dari imajinasi. Lelaki itu tersambar tanpa mengeluarkan suara, terseret sekitar 20 meter sebelum tubuhnya terpental keluar dari rel bagaikan kerikil yang terlontar karena tersapu tepi roda. Tubuhnya terpotong dua di bagian perut seperti dibelah sebilah pedang raksasa dan lengan sebelah kanannya terlepas seakan-akan lengan boneka.
Namun, wajah-wajah pengemudi dan penumpangnya tetap beku dan bunyi klakson seperti berebut ruang bunyi di udara, tak menyisakan lagi kesabaran menunggu terangkatnya pintu palang kereta api. Orang-orang pun tetap dikejar waktu yang memburu. Dua potongan tubuh itu terempas kesepian seperti bangkai hewan nista.
O, penguasa Suralaya, mengapa engkau masih juga suka mengumbar berahi sesuka hati? Bahkan, di tempat dan waktu yang keliru, engkau pernah memaksa Dewi Uma, istrimu, bercinta di punggung Lembu Andini, di atas samudra. Maka anak yang dilahirkannya adalah api yang berkobar-kobar, yang kemudian menjelma menjadi sosok raksasa yang bertabiat angkara: Batara Kala.
Duh, engkau juga pernah terkesima menatap wanita Arcapada bernama Anjani yang sedang bertapa tanpa busana sehingga berahimu tak tertahan dan spermamu jatuh menempel di daun sinom, yang kemudian ditelan Anjani.
Seorang perempuan berkulit langsat, dengan rok hitam yang pendek, mendekap tas hitam di dadanya yang melembung seperti balon mainan anak-anak. Ia membalas tersenyum ketika seorang lelaki tampan tersenyum kepadanya. Dan ia hanya mampu mengeluh pendek tatkala lelaki itu kemudian memeluk pinggangnya dari belakang, menciumi lehernya dan menggerayangi payudaranya. Ketika perempuan itu sadar dan berniat melawan, sebuah hantaman pada tengkuknya membuatnya terkulai di lantai.
Lelaki itu kemudian melucuti celananya sendiri dan celana dalam perempuan itu, kemudian memmerkosanya, di tengah orang-orang yang hanya menoleh sekilas, dan kemudian kembali kepada urusan hidup mereka masing-masing. Setelah selesai memuaskan nafsu binatangnya, lelaki itu dengan santai menarik reslueting-nya, membuang napas dengan bunyi seperti sendawa, lalu meninggalkan si korban dengan langkah sedikit gontai dan pergi entah ke mana.
Tatkala kemudian perempuan itu siuman dan mendapati dirinya tergeletak dengan rok tersingkap dan ada cairan yang kental pada tepi dalam pahanya, ia pun menjerit seperti hendak mencabik seluruh bidang langit.
Ia terhuyung-huyung di tengah orang-orang yang melangkah terburu-buru.
Namun, hidup harus berjalan terus sesuai dengan rencana yang telah tertulis rapi pada lembar-lembar agenda.
Apakah karena itu sejumlah dewa melakukan hal yang sama? Lihatlah, para batara tak puas hanya beristrikan para batari! Hyang Surya, misalnya, terkenal sebagai dewa yang sering menyambangi wanita-wanita jelita di Arcapada, antara lain Dewi Windradi (istri Resi Gotama) dan Dewi Kuntitalibrata (istri Pandu). Lihatlah, ketika Pandu menjalani kutukan tak bisa bercinta kalau tak ingin perlaya, Hyang Darma, Bayu, dan Indra bergiliran bercumbu dengan sang permaisuri Hastina.
Dari sebuah lorong berlari seorang lelaki muda dengan wajah ketakutan dan mulut ternganga-nganga. Ia terengah-engah di trotoar. Di belakangnya memburu belasan orang. Mereka berteriak-teriak agar lelaki yang mereka teriaki sebagai maling itu menghentikan larinya. Tangan-tangan mereka mengepal dan wajah-wajah mereka menyemburkan kemarahan.
Hampir tepat di depan si lelaki kumuh, kaki lelaki muda itu terpeleset ke jalan aspal sehingga jatuh terjerembap seperti pemain bola malang yang kena ganjal lawan.
Rintihan kata "ampun" tidak meluluhkan hati mereka.
Ketika pemuda itu ambruk dan sekarat, dengan darah memerahi seluruh wajahnya dan membercaki bajunya, seperti darah ayam yang kalah aduan, orang-orang bersorak-sorai. Tak lama kemudian, tampak api menyala dan tercium bau daging yang terbakar. Sorak-sorai orang-orang makin menggemuruh, seperti kelompok primitif menyambut sebuah kemenangan yang gilang-gemilang.
Lelaki kumuh itu tersenyum-senyum menatap tubuh hangus yang hitam itu ketika orang-orang sudah pergi. Asap mengepul dari sisa-sisa bekas tubuh manusia itu. Udara masih diruapi bau angit daging. Dan orang-orang dan mobil-mobil dan bus-bus tetap lewat di atas jalan mereka masing-masing yang tak boleh bergeser barang satu derajat pun dari rencana.
Matahari jatuh tegak lurus merejam aspal.
Kalau para hyang dan batara seperti itu, jangan salahkan manusia jika mereka becermin kepada para dewa. Jangan salahkan khalayak jelata kalau mereka meniru perilaku para pemimpinnya.
Dan matahari masih memanggang trotoar ketika puluhan orang berikat kepala kain berteriak-teriak menuju gedung sebuah instansi. Mereka mengacung-acungkan golok, bambu runcing, dan bongkah-bongkah batu, dengan tangan yang mengepal-ngepal dan mata yang merah. Gedung itu tegak menjulang seperti raksasa persegi. Seluruh permukaannya dari kaca hijau belaka. Dan tak perlu waktu seperempat jam lebih bagi bongkahan-bongkahan batu itu untuk beterbangan menghantam kaca-kaca gedung sehingga pecah berhamburan dan lantas tampak asap hitam mengepul dari satu sudut dan kemudian sekali gedung itu lenyap dibungkus jilatan api seperti rumah kardus yang dibakar dalam Sigala-gala.
Lelaki itu masih bersila di bawah pohon akasia dekat halte, terenyak seperti timbunan sampah. Mulutnya tersenyum-senyum dan bibirnya bergerak-gerak membentuk rangkaian kata-kata:
"Dewa dan manusia memang sama gilanya."
Ia merasa sudah waktunya untuk muksa, kembali ke Suralaya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar