Kompas
Minggu,
09 September 2007
Marni! Oh,
Marni!
Cerpen: Palti R Tamba
Sebuah truk berhenti jauh di depan sana . Truk dengan atap
terpal. Semula Nawar, mengira truk itu hendak berhenti di halte, karena itu ia
terjaga. Ia mencurigai cara perhentian kendaraan itu. Maka ia pun bersiap-siap
melarikan diri.
Namun Nawar terlambat kabur. Tak terduga olehnya, dua lelaki berseragam sudah berada di sebelahnya. Mereka memegang tangannya kuat-kuat. Mereka menggiringnya.
”Hayo Cepat!” bentak salah seorang sambil menghentakkan lengan Nawar.
Nawar menatap mereka dengan rasa takut. Meskipun tidak jelas benar terlihat olehnya. Seorang di kiri dan seorang lagi di kanannya. Ia tak tahu hendak berkata apa.
”Apa yang kau lihat, goblok!” Yang di kiri mementung kepalanya.
Nawar meringis. Kedua tangannya meregang. Dalam hati ia berdoa semoga mereka lengah, sehingga ia bisa melarikan diri. Ya, untuk menyembunyikan diri entah di mana saja. Meskipun sebenarnya, ia tak mengenal daerah ini.
”Kau kira ada hakmu untuk mengenali kami, hah...?”
Nawar menatap lelaki di kanannya. Lelaki itu melihat lurus ke depan. Namun, lelaki di sebelah kiri mementung kepalanya lagi.
”Apa, heh?... Kau pikir kau ini siapa...?” tantangnya. “Barangkali dia pikir dia dapat menuntut kita, Pak Kadim. Dasar anak gelandangan...!”
Anak gelandangan? Nawar membatin. Aku anak gelandangan?...
”Ayo, cepat! Kami bisa dipecat kalau sampai tamu-tamu negara sempat melihat orang-orang seperti kau!... Dan, aku tak sabar lagi untuk menemani Marni, Pak Kadim...!”
”Tapi, Pak Bobi! Giliran kau menyetir sekarang...!”
”Begitu...?”
”Ya, pembagian tugas tetap berjalan, kawan. Jangan ketika kita mendapat kembang kau lupa. Ha, ha... Sekarang aku yang menemani Marni, Pak Bobi...!”
Pak Kadim memasangkan borgol di kedua pergelangan tangan Nawar. Lalu lelaki berseragam itu menarik remaja kencur itu ke dalam truk.
Pak Kadim menyenteri muka Nawar, lalu muka setiap orang dalam truk. Namun ketika sinar senter menerpa muka seorang lelaki tua, ia menyuruhnya mendekat. Lelaki berseragam itu membuka satu borgol di pergelangan Nawar, lalu memasangkannya ke pergelangan tangan si tua itu. Ia pun turun dengan tenang tanpa berkata apa-apa. Ia cuma bersiul.
Truk pun melaju. Dalam truk, ada enam lelaki. Tiga di antaranya anak-anak, tapi ada lebih banyak perempuan. Anak-anak, remaja dan perempuan dewasa.
Nawar sebisanya melihati muka mereka. Samar-samar. Marni, di mana kau berada? Kaukah yang mereka percakapkan? Bisik hatinya.
”Kau mencari siapa, Nak...?” tanya lelaki tua “teman satu borgolan,” pelan.
”Marni....” Remaja kencur itu mengangguk. Angin malam mencubit-cubit kulit.
Truk tiba-tiba direm, orang-orang yang berdiri ada yang terjerembab. Dua perempuan terjatuh bagai batang tebu ditebas golok tajam. Si lelaki tua terkekeh-kekeh. Kedua perempuan itu secara spontan melontarkan sumpah serapah berkali-kali kepada dua lelaki berseragam di jok depan.
”Kau mencari siapa, Nak...?” Si lelaki tua kembali menanya Nawar.
”Marni, Pak, eh, Kek..,”
”Marni yang mana...?”
Nawar menghela nafas, meragu. Marni yang mana?...Ada berpuluh-puluh Marni di kota ini... Atau mungkin ada beratus-ratus
Marni di kota
ini?... Kota
apakah ini sehingga mengumpulkan berpuluh-puluh, beratus-ratus orang bernama
Marni?...
Si lelaki tua menatap Nawar dekat-dekat. Si lelaki tua lainnya dan istrinya mendekatinya. Sementara yang lainnya larut dalam diam, seolah bisu, buta dan tuli.
” Tak usah takut, Nak...,” kata lelaki tua itu. “Kita ini dibawa ke rumah penampungan. Biasalah.... Dikasih” apa istilahnya? “pengarahan.... Dipulangkan.... Ya.... Beberapa hari berikutnya, kita datang lagi....”
Si lelaki tua beristri mendekatkan muka ke muka Nawar. “Sepertinya aku pernah bertemu kau.... Dari tadi aku mengingat-ingat... sejak mukamu disenteri petugas itu...!”
”Bapak... eh, Kakek pernah bertemu saya...?” tanya Nawar.
”Ii-iya. Di tanah lapang!... Aku tak tahu nama tempat itu, tapi.... Waktu itu, di tempat itu ada orang bermain bola kaki.... Aku dan istriku ada di situ...!”
Waktu itu? Nawar menggigit bibir. Ia tak mengingatnya.
”Aku membawa kantong plastik hitam besar. Kami diberi orang nasi kotak berisi ayam goreng. Kami mengajak kau makan. Tapi kau menolak.... Iyakan ...?”
Sungguh. Nawar tak pernah melihat pasangan orangtua ini sebelumnya. Namun, ia pun tak jelas ingat sejak kapan dikota
ini.... Dua hari lalukah? Seminggu lalukan?... Oh! Ia bahkan merasa sudah
berbulan-bulan meninggalkan kampung di Brebes sana .
”Kenapa? Belum ingat...?” kata si lelaki tua beristri. “Tidak apa-apa....”
”Ti-dak pernah, Pak, eh Kek....”
Truk melalui jalan yang terang benderang. Di kiri dan kanan jalan gedung-gedung perbelanjaan bermandikan cahaya lampu. Terang benderang, seperti pada siang hari. Nawar bersama si lelaki tua dan beberapa orang lainnya bergeser ke tepi bak truk untuk melihat ke luar: gedung-gedung, bermacam-macam billboard, mobil-mobil dan orang-orang yang berjalan kaki.Ada bapak dan ibu menggandeng dua anaknya
menyeberang jalan di sebelah sana .
Ada anak-anak
kecil mengamen di jalan sebelah sini ketika lampu lalu lintas berwarna merah.
Namun, anak-anak itu berlarian sesaat melihat truk itu.
Kemudian truk itu berbelok ke kiri. Kira-kira sejauh satu kilometer, berbelok ke kanan lagi. Memasuki jalan yang sepi.Ada
tiang-tiang lampu jalan, tapi lampunya tak menyala. Dan truk pun berhenti. Dan
beberapa menit kemudian Nawar mendengar suara-suara perempuan. Terdengar pula
besi palang truk dilepas.
”Aku tak mau, Pak...”
”Akan dibawa kemana kami, Pak..?”
Nawar melihat empat perempuan dipaksa naik ke truk. Bau parfum mereka yang khas seperti menyambut penciuman Nawar. Setelah mereka naik, si lelaki berseragam itu memasang borgol di tangan mereka. Bagai domba yang dibawa ke pembantaian, perempuan-perempuan itu tak melawan.
Lelaki berseragam itu turun, lalu memasang besi palang truk. Dan truk melaju lagi. Keempat perempuan itu saling berpegangan.
”Marni yang mana yang kau maksud, Nak? Aku bisa memberitahumu...?” suara si lelaki tua, lagi.
”Ya, mungkin aku kenal juga...” tambah lelaki tua beristri, melihat istrinya.
”Kami...,” ralat istrinya seraya mencubit lengannya.
”Ya, ya. ka-mi....”
Nawar mendekatkan muka ke sisi lelaki tua dan perempuan tua itu. “Kakak saya.... Dimana dia kini, Kek? Saya mau ber....”
”Kakak kau, Nak...?” tanya ketiga orang tua itu, bersamaan.
”Ya...,”
Lelaki tua itu menggeleng. Lelaki tua beristri menggeleng, diikuti istrinya.
”Aku ini Marni...!” terdengar tiba-tiba.
Nawar, si lelaki tua, lelaki tua beristri dan istrinya dan orang-orang lainnya melihat seorang perempuan mendekat dengan mendekapkan tangan ke dadanya. Samar-samar.
”Tapi, aku Marni dari Kemakmuran...!” katanya dengan suara berat.
”Dari Jalan Kemakmuran, Sayang!” ralat temannya dengan suara berat juga.
”Ya, ya, Sayang....”
Bencong? Nawar sering menonton bencong di tv, entah dalam acara lawak ataupun sinetron. Dan sekarang, ada di hadapannya. Mereka persis perempuan. Tapi suara yang berat itu jelas milik lelaki!....
”Kau ini perempuan apa laki-laki?” tanya lelaki tua itu.
”Ai, ai,kota
lontong!.... Sudah truk larinya tak karuan, ditanya macam-macam lagi, ya,
Sayang,” ujar seorang dari bencong itu. Dia memeluk temannya karena hampir
terjerembab. Lalu kedua bencong itu berpegangan ke tepi bak truk. Berlompatan
sumpah serapah dari mulut mereka.
Si lelaki tua mengajak Nawar duduk. Nawar menaruh matanya ke langitsana . Namun kemudian,
setelah menaikkan kedua lututnya dan menaruh kepalanya di situ, Nawar
memejamkan mata. Lambat-laun, Nawar merasa ada air mata yang keluar dari
sudut-sudut kelopak matanya.
Seingat Nawar, seturun dari bus, ia dan Marni ke luar terminal. Marni mengirim SMS ke majikannya yang perempuan. Di luar terminal itu, mereka menunggu sang majikan yang akan datang menjemput. Tapi kemudian seorang lelaki mendekati Marni. Marni bercakap-cakap girang dengan lelaki itu. Marni memperkenalkan pacarnya itu kepada Nawar sebagai sopir yang khusus mengantar jemput anak-anak majikan mereka ke dan dari sekolah, serta ke mana pun. Ya, Marni pernah cerita pada Nawar tentang lelaki itu yang mengirim SMS menanyakan kepulangannya. Lalu, lelaki itu mengajak Marni dan Nawar masuk mobil. “Supaya kita jangan kemalaman tiba di rumah,” kata lelaki itu.
Seingat Nawar, Marni sempat menanyakan mobil yang dikemudikan lelaki itu. Karena mobil itu bukan mobil yang biasa dikemudikan lelaki itu. “Mobil sedang di bengkel,” demikian jawab si lelaki.
Mereka pun meninggalkan terminal. Di tengah jalan agak sepi, mobil berhenti, dan naik dua lelaki lagi. Nawar mendengar Marni menanyakan sang pacar tentang dua lelaki yang baru naik itu. “Teman. Mereka numpang karena searah,” jawab lelaki itu.
Kira-kiralima
menit berlalu, mobil itu mengambil jalan ke pinggir dan dengan kecepatan
lambat. Marni yang duduk di jok depan diajak si pacar bercakap-cakap terus.
Nawar yang semula duduk di sebelah dalam di jok tengah, disuruh pindah oleh dua
lelaki yang duduk bersamanya itu ke pintu kiri. Kemudian seorang dari mereka
membuka pintu pelan-pelan. “Aku kegerahan,” katanya. Dan semakin lebar. Dan
tiba-tiba, dua lelaki itu mendorong Nawar keluar.
Seingat Nawar , ia menjerit-jerit minta tolong, tapi ia pun
tak berhasil mengenali mobil yang mereka tumpangi itu.
Nawar terbayang bagaimana Marni membujuknya agar ikut kekota besar ini selepas lebaran. Majikan Marni
telah menyetujui Nawar dibawa serta. Mendengar cerita Marni tentang kebaikan
majikannya, sebenarnya Nawar merasa biasa saja. Walaupun tak bisa ia pungkiri
ada keinginan terpendam untuk melihat kota
besar ini. Karena selama ini, ia hanya melihat lewat siaran tv milik tetangga.
Bapak membujuk, Nawar bergeming. Namun ijin ibu-lah yang membuat Nawar luluh.
Ibu yang berjanji akan menggembalakan tiga ekor kambingnya itu. Bapak yang akan
menggantikan Ibu bila Ibu mendapat kerja upahan. Bapak akan membagi waktunya
untuk menarik becak dan menggembalakan ternak itu.
”Sampai lebaran tahun depan tak lama, Nak. Asal rajin dan tekun, kau akan pulang bawa uang. Bisa buat biaya adikmu Agus menyambung SD nya dan biaya Tini masuk SD. Kalau kau rindu kami,kan
ada kakakmu.... Bila matahari di ufuk barat, ingatlah bahwa Ibu atau Bapakmu
sedang membawa kambingmu ke kandang....!” kata ibu malam itu....***
Cikarang Selatan, Juni 2006
Namun Nawar terlambat kabur. Tak terduga olehnya, dua lelaki berseragam sudah berada di sebelahnya. Mereka memegang tangannya kuat-kuat. Mereka menggiringnya.
”Hayo Cepat!” bentak salah seorang sambil menghentakkan lengan Nawar.
Nawar menatap mereka dengan rasa takut. Meskipun tidak jelas benar terlihat olehnya. Seorang di kiri dan seorang lagi di kanannya. Ia tak tahu hendak berkata apa.
”Apa yang kau lihat, goblok!” Yang di kiri mementung kepalanya.
Nawar meringis. Kedua tangannya meregang. Dalam hati ia berdoa semoga mereka lengah, sehingga ia bisa melarikan diri. Ya, untuk menyembunyikan diri entah di mana saja. Meskipun sebenarnya, ia tak mengenal daerah ini.
”Kau kira ada hakmu untuk mengenali kami, hah...?”
Nawar menatap lelaki di kanannya. Lelaki itu melihat lurus ke depan. Namun, lelaki di sebelah kiri mementung kepalanya lagi.
”Apa, heh?... Kau pikir kau ini siapa...?” tantangnya. “Barangkali dia pikir dia dapat menuntut kita, Pak Kadim. Dasar anak gelandangan...!”
Anak gelandangan? Nawar membatin. Aku anak gelandangan?...
”Ayo, cepat! Kami bisa dipecat kalau sampai tamu-tamu negara sempat melihat orang-orang seperti kau!... Dan, aku tak sabar lagi untuk menemani Marni, Pak Kadim...!”
”Tapi, Pak Bobi! Giliran kau menyetir sekarang...!”
”Begitu...?”
”Ya, pembagian tugas tetap berjalan, kawan. Jangan ketika kita mendapat kembang kau lupa. Ha, ha... Sekarang aku yang menemani Marni, Pak Bobi...!”
Pak Kadim memasangkan borgol di kedua pergelangan tangan Nawar. Lalu lelaki berseragam itu menarik remaja kencur itu ke dalam truk.
Pak Kadim menyenteri muka Nawar, lalu muka setiap orang dalam truk. Namun ketika sinar senter menerpa muka seorang lelaki tua, ia menyuruhnya mendekat. Lelaki berseragam itu membuka satu borgol di pergelangan Nawar, lalu memasangkannya ke pergelangan tangan si tua itu. Ia pun turun dengan tenang tanpa berkata apa-apa. Ia cuma bersiul.
Truk pun melaju. Dalam truk, ada enam lelaki. Tiga di antaranya anak-anak, tapi ada lebih banyak perempuan. Anak-anak, remaja dan perempuan dewasa.
Nawar sebisanya melihati muka mereka. Samar-samar. Marni, di mana kau berada? Kaukah yang mereka percakapkan? Bisik hatinya.
”Kau mencari siapa, Nak...?” tanya lelaki tua “teman satu borgolan,” pelan.
”Marni....” Remaja kencur itu mengangguk. Angin malam mencubit-cubit kulit.
Truk tiba-tiba direm, orang-orang yang berdiri ada yang terjerembab. Dua perempuan terjatuh bagai batang tebu ditebas golok tajam. Si lelaki tua terkekeh-kekeh. Kedua perempuan itu secara spontan melontarkan sumpah serapah berkali-kali kepada dua lelaki berseragam di jok depan.
”Kau mencari siapa, Nak...?” Si lelaki tua kembali menanya Nawar.
”Marni, Pak, eh, Kek..,”
”Marni yang mana...?”
Nawar menghela nafas, meragu. Marni yang mana?...
Si lelaki tua menatap Nawar dekat-dekat. Si lelaki tua lainnya dan istrinya mendekatinya. Sementara yang lainnya larut dalam diam, seolah bisu, buta dan tuli.
” Tak usah takut, Nak...,” kata lelaki tua itu. “Kita ini dibawa ke rumah penampungan. Biasalah.... Dikasih” apa istilahnya? “pengarahan.... Dipulangkan.... Ya.... Beberapa hari berikutnya, kita datang lagi....”
Si lelaki tua beristri mendekatkan muka ke muka Nawar. “Sepertinya aku pernah bertemu kau.... Dari tadi aku mengingat-ingat... sejak mukamu disenteri petugas itu...!”
”Bapak... eh, Kakek pernah bertemu saya...?” tanya Nawar.
”Ii-iya. Di tanah lapang!... Aku tak tahu nama tempat itu, tapi.... Waktu itu, di tempat itu ada orang bermain bola kaki.... Aku dan istriku ada di situ...!”
Waktu itu? Nawar menggigit bibir. Ia tak mengingatnya.
”Aku membawa kantong plastik hitam besar. Kami diberi orang nasi kotak berisi ayam goreng. Kami mengajak kau makan. Tapi kau menolak.... Iya
Sungguh. Nawar tak pernah melihat pasangan orangtua ini sebelumnya. Namun, ia pun tak jelas ingat sejak kapan di
”Kenapa? Belum ingat...?” kata si lelaki tua beristri. “Tidak apa-apa....”
”Ti-dak pernah, Pak, eh Kek....”
Truk melalui jalan yang terang benderang. Di kiri dan kanan jalan gedung-gedung perbelanjaan bermandikan cahaya lampu. Terang benderang, seperti pada siang hari. Nawar bersama si lelaki tua dan beberapa orang lainnya bergeser ke tepi bak truk untuk melihat ke luar: gedung-gedung, bermacam-macam billboard, mobil-mobil dan orang-orang yang berjalan kaki.
Kemudian truk itu berbelok ke kiri. Kira-kira sejauh satu kilometer, berbelok ke kanan lagi. Memasuki jalan yang sepi.
”Aku tak mau, Pak...”
”Akan dibawa kemana kami, Pak..?”
Nawar melihat empat perempuan dipaksa naik ke truk. Bau parfum mereka yang khas seperti menyambut penciuman Nawar. Setelah mereka naik, si lelaki berseragam itu memasang borgol di tangan mereka. Bagai domba yang dibawa ke pembantaian, perempuan-perempuan itu tak melawan.
Lelaki berseragam itu turun, lalu memasang besi palang truk. Dan truk melaju lagi. Keempat perempuan itu saling berpegangan.
”Marni yang mana yang kau maksud, Nak? Aku bisa memberitahumu...?” suara si lelaki tua, lagi.
”Ya, mungkin aku kenal juga...” tambah lelaki tua beristri, melihat istrinya.
”Kami...,” ralat istrinya seraya mencubit lengannya.
”Ya, ya. ka-mi....”
Nawar mendekatkan muka ke sisi lelaki tua dan perempuan tua itu. “Kakak saya.... Dimana dia kini, Kek? Saya mau ber....”
”Kakak kau, Nak...?” tanya ketiga orang tua itu, bersamaan.
”Ya...,”
Lelaki tua itu menggeleng. Lelaki tua beristri menggeleng, diikuti istrinya.
”Aku ini Marni...!” terdengar tiba-tiba.
Nawar, si lelaki tua, lelaki tua beristri dan istrinya dan orang-orang lainnya melihat seorang perempuan mendekat dengan mendekapkan tangan ke dadanya. Samar-samar.
”Tapi, aku Marni dari Kemakmuran...!” katanya dengan suara berat.
”Dari Jalan Kemakmuran, Sayang!” ralat temannya dengan suara berat juga.
”Ya, ya, Sayang....”
Bencong? Nawar sering menonton bencong di tv, entah dalam acara lawak ataupun sinetron. Dan sekarang, ada di hadapannya. Mereka persis perempuan. Tapi suara yang berat itu jelas milik lelaki!....
”Kau ini perempuan apa laki-laki?” tanya lelaki tua itu.
”Ai, ai,
Si lelaki tua mengajak Nawar duduk. Nawar menaruh matanya ke langit
Seingat Nawar, seturun dari bus, ia dan Marni ke luar terminal. Marni mengirim SMS ke majikannya yang perempuan. Di luar terminal itu, mereka menunggu sang majikan yang akan datang menjemput. Tapi kemudian seorang lelaki mendekati Marni. Marni bercakap-cakap girang dengan lelaki itu. Marni memperkenalkan pacarnya itu kepada Nawar sebagai sopir yang khusus mengantar jemput anak-anak majikan mereka ke dan dari sekolah, serta ke mana pun. Ya, Marni pernah cerita pada Nawar tentang lelaki itu yang mengirim SMS menanyakan kepulangannya. Lalu, lelaki itu mengajak Marni dan Nawar masuk mobil. “Supaya kita jangan kemalaman tiba di rumah,” kata lelaki itu.
Seingat Nawar, Marni sempat menanyakan mobil yang dikemudikan lelaki itu. Karena mobil itu bukan mobil yang biasa dikemudikan lelaki itu. “Mobil sedang di bengkel,” demikian jawab si lelaki.
Mereka pun meninggalkan terminal. Di tengah jalan agak sepi, mobil berhenti, dan naik dua lelaki lagi. Nawar mendengar Marni menanyakan sang pacar tentang dua lelaki yang baru naik itu. “Teman. Mereka numpang karena searah,” jawab lelaki itu.
Kira-kira
Nawar terbayang bagaimana Marni membujuknya agar ikut ke
”Sampai lebaran tahun depan tak lama, Nak. Asal rajin dan tekun, kau akan pulang bawa uang. Bisa buat biaya adikmu Agus menyambung SD nya dan biaya Tini masuk SD. Kalau kau rindu kami,
Cikarang Selatan, Juni 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar