Republika
Minggu, 29 Juli 2007
MENAWAR KEMATIAN
Cerpen: Dianing Widya Yudhistira
Namanya Zakia. Itu
saja. Tidak ada nama belakang atau depannya. Hanya Zakia. Perempuan biasa.
Bukan dari kalangan apapun. Hanya dari keluarga biasa-biasa saja. Kalau akhir-akhir
ini hampir semua media di penjuru negeri ini memuat foto dan beritanya, itu
karena hukuman yang amat mengerikan tengah menantinya.
Perempuan yang divonis bersalah karena membunuh saudara kembarnya, Saskia, itu harus menerima hukuman mati dalam hitungan hari saja. Tuhan sepertinya memberikan kelebihan tak terkira padanya. Biarpun telah mendekam di sel yang sumpek selama tujuh tahun lebih, kulit tubuhnya yang tak pernah tersentuh kosmetik apapun senantiasa putih dan bersih.
Ia tampak tenang. Wajahnya berseri-seri. Matanya begitu teduh, tenang, memancarkan kedamaian. Siapapun yang menemuinya, tak akan pernah percaya bahwa Zakia adalah pembunuh saudara kembarnya. Termasuk aku, karibnya sejak kecil. Memang, hari-hari pertama ditangkap dan dipenjara, Zakia dirundung gelisah. Setiap malam ia berteriak-teriak hebat. Wajahnya melukiskan kekecewaan amat dalam. Suaranya yang parau pun tak membuatnya berhenti memekik. "Aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh saudaraku."
Mulanya teriakan Zakia sangat menganggu penghuni lapas lainnya. Juga sering membuat repot para sipir. Tetapi lama-lama teriakan Zakia menjadi irama tersendiri bagi petugas dan penghuni penjara. Bahkan penjara jadi senyap tatkala Zakia berhenti berteriak-teriak. Teriakan Zakia akhirnya sering mereka nantikan. Teriakkan Zakia seperti mewakili orang-orang terzalimi. Meski teriakan itu tak lain adalah ungkapan kemarahan, juga raungan kekecewaan Zakia.
Tapi pelan-pelan teriakkan Zakia tak terdengar lagi. Rentang waktu satu tahun dalam penjara telah mengubah Zakia. Orang-orang mengenal Zakia sebagai sosok yang tak banyak bicara. Dalam pembicaraan dengan orang-orang di penjara, ia selalu menekankan bahwa ia tidak pernah membunuh Saskia. "Aku tak pernah membunuh siapapun," katanya selalu. Ia tetap yakin beban hukuman mati telah salah alamat kepadanya.
Tak ada duka yang sedalam ini sebelumnya. Duka yang menyergap Zakia dulu ketika ia harus kehilangan ibu dan neneknya dalam waktu bersamaan. Dulu Zakia merasa dunia seperti hilang dalam ingatannya ketika kabar kecelakaan datang merenggut dua perempuan yang sangat ia cinta.
"Aku percaya kamu bukan pembunuh, Zakia," suara seorang perempuan tiba-tiba menghentakkannya. Mata indah Zakia benderang.
"Aku yakin
itu," perempuan itu melanjutkan.
"Kau tengah
menghiburku?"
"Aku melihat
kejujuran di matamu."
Mendengar itu Zakia
menunduk.
"Kalau saja
mereka seperti engkau."
Ketika Zakia
mengangkat kepalanya. Zakia tak menemukan lagi perempuan itu di depannya.
Jantungnya berdegup. Begitu cepat perempuan itu beranjak darinya. Ah, ia sedang
melamun. Ia sedang membayangkan ada orang yang mau mendengar kata-katanya.
Tetapi tidak. Semua orang sepakat dengan vonis itu: Zakia pembunuh.
Senja telah lama menjemput malam. Zakia duduk diam di sel yang pengap, bau dan gelap. Ingatannya menerawang ke masa kanak-kanak. Kesendirian membuat Zakia ingat peristiwa tujuh tahun silam. Peristiwa itu hadir begitu saja.
Sebagai kembar Zakia memiliki banyak kesamaan dengan Saskia. Watak, kegemaran, semuanya selalu sama dengan Saskia. Termasuk dalam soal cinta. Zakia mencintai laki-laki yang juga dicintai Saskia. Cinta Zakia tak terbalas. Saskia berhasil memiliki lelaki itu. Apalagi, kemudian Saskia hamil oleh lelaki itu. Mereka kemudian bertunangan dan segera menikah. Zakia sungguh sakit pertunangan itu.
Tapi Saskia sama sekali tak mengetahui bila Zakia juga menaruh hati pada lelaki itu. Ia menutupnya rapat-rapat. Hingga datang malam yang nahas itu, beberapa minggu menjelang pernikahan Saskia. Malam yang benar-benar diluar jangkauan Zakia. Tidak ada siapa-siapa malam itu, hanya mereka berdua di rumah.
Ia menemukan Saskia yang tertelungkup di lantai, mengalir darah segar. Sebilah belati menancap di punggungnya. Zakia segera mencabut belati itu. Ia ingin menyelamatkan nyawa Saskia. Tetapi Saskia tidak bernafas lagi. Zakia berteriak-teriak dan berlari keluar dengan menggenggam belati itu. Di ruang tamu, belati itu jatuh dari tangannya. Zakia pun terjatuh. Pingsan. Ketika sadar Zakia sudah berada di ruang kecil berjeruji. Seseorang yang belum ia kenal, menjawab sebelum ia tanya.
"Ini penjara."
"Penjara?"
"Tempat yang tepat bagi pembunuh."
"Tempat yang tepat bagi pembunuh."
Sungguh sebutan yang
sangat menusuk.
Malam telah sempurna ketika ia terjaga. Zakia duduk meringkuk di sudut sel. Gelap. Senyap. Ia kangen pada ibunya. Berulangkali Zakia memanggil-manggil ibunya dengan lirih. Teramat lirih. Ia ingin bertemu ibu, meski hanya lewat mimpi. Ia ingin bersenda gurau dengan ibunya di malam terakhir dalam hidupnya. Besok pagi, ia dihadapkan pada regu tembak. Setelah itu, riwayatnya selesai.
Aroma kematian makin mendekat. Tubuhnya menggigil. Tiba-tiba sel yang gelap, pengap dan sunyi berubah menjadi terang berderang. Sebentuk cahaya menyerbu ke
"Zakia."
Ia tersentak. Di depannya, Saskia dengan gaun indah tersenyum. Pelan-pelan Saskia mendekat dan mengulurkan tangan padanya. Zakia ragu menyambutnya, tetapi tangan Saskia makin dekat. Suaranya lembut dan nyata. Zakia terpana.
"Kau juga menuduh bahwa aku yang membunuhmu?"
Saskia menggeleng.
"Aku tahu siapa
yang mengakhiri hidupku."
Zakia tegang.
"Siapa Saskia?
Katakan padaku.
Jangan biarkan aku sengsara di dalam sel pengap ini."
"Sudahlah. Aku
sudah melupakannya. Tuhan telah menghukumnya," ujarnya. "Mengapa kau
dibunuh?"
"Karena ia
mencintaimu, tapi terhalang olehku."
"Aku tidak
mengerti."
"Pada satu saat
juga kau akan mengerti," kata Saskia, lalu hilang. Pelan-pelan sel kembali
gelap. Pelan-pelan dinding sel yang putih mengabur.
Zakia merebahkan tubuhnya. Memejamkan mata. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan Saskia. Siapakah sebenarnya yang membunuhnya? Mengapa Saskia tidak berterus terang, justru mengirim teka-teki baru untuknya. Kalau benar orang yang membunuh itu mencintainya, mengapa harus membunuh. Mengapa ia tidak mengungkapkan cinta itu padanya.
Ah, terlalu banyak pertanyaan tak terjawab. Ia terduduk. Capek. Waktu berlari sangat cepat. Kembali ia terbayang sepasukan regu tembak siap menghujamnya dengan peluru, besok pagi. Zakia sedih. Ia ingin kematiannya karena kehendak Tuhan, bukan di tangan regu tembak. Zakia mulai terlelap. Belum begitu lama ia merasa tertidur, tiba-tiba ada yang membangunkan. Ia membuka mata dan melirik jam weker di dekatnya: baru pukul empat pagi. Sebuah suara lalu menyapanya. Entah siapa.
"Aku membawa kabar penting untukmu."
"Pasti kau akan
mengatakan bahwa di luar petugas penjara sudah siap mengantarku ke depan regu
tembak," balas Zakia.
"Apakah kau
takut dengan kematian."
"Tidak. Sebab
kematianlah kekasih yang paling setia, tetapi kalau saja kematian dapat aku
tawar."
"Apa maksudmu."
"Apa maksudmu."
"Kalau saja
Tuhan memanggilku lebih cepat."
"Apakah kamu
telah siap?"
"Kematian karena
Tuhan, jauh lebih indah. Saat-saat mendebarkan bertemu dengan Zat Yang Paling
Tahu tentang aku. Kalau saja takdir Tuhan dapat aku tawar. Aku ingin Tuhan
memanggilku lebih cepat, sebelum aku dihadapkan di depan regu tembak."
Suara itu tiba-tiba
membentuk sebuah cahaya sebesar bola. Sebuah cahaya yang terang dan kemilau.
Zakia memekik. Tubuhnya menggigil. Beku.
"Siapa kau
sesungguhnya."
"Tuhan
mengutusku untuk menjemputmu. Ayo kita berangkat Zakia." Cahaya itu
mengulurkan tangannya. Zakia menyambut. Detik-detik yang mendebarkan. Zakia dan
cahaya itu terbang menembus jeruji dan tembok penjara. Mereka menembus pagi
yang masih gelap, melesat ke langit demi langit.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar